Anda di halaman 1dari 16

Makna dan Ritual Ngaben dalam Masyarakat Penganut Hindu di

Kecamatan Wotu Desa Karambua Kabupaten Luwu Timur

Asmaul Husna
30500116002

Pembimbing 1: Dra. Hj. A. Nirwana, M.HI


Pembimbing 2: Syamsul Arif Galib, M.A

Jurusan Studi Agama-Agama


Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

ABSTRAK

Penelitian ini mengangkat pokok masalah tentang “Makna dan Ritual


Ngaben dalam Masyarakat Penganut Hindu di Kecamatan Wotu Desa Karambua,
Kab. Luwu”, dengan menggunakan pendekatan antropologi dan pendekatan
teologi. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari hasil observasi dan hasil
wawancara dengan beberapa informan yang ditunjang dengan kajian
literaturliteratur. Kemudian data tersebut diolah dengan reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prosesi ritual ngaben memiliki
beberapa tahapan yakni: pengumuman kematian jenazah, pembuatan peti jenazah,
pembersihan jenazah, kremasi jenazah, dan ngeroras. Adapun tujuan dilaksanakan
upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan) cepat bisa kembali ke asalnya,
yaitu panca maha bhuta sehingga atma bisa selamat berangkat ke alam pitra.
Dalam upacara ngaben ada yang dinamakan biaya, inilah yang menjadi kendala
bagi masyarakat Hindu terlebih lagi bagi orang yang kurang mampu. Dalam
upacara ngaben memiliki tiga bagian yakni, nistha, madya, dan utama. Hal inilah
yang menjadi tolak dasar untuk melaksanakan upacara ngaben sehingga seseorang
akan memilih sesuai kemampuan pihak keluarga, sebab ngaben wajib dilakukan
menurut Agama Hindu. Upacara Ngaben ini sebagai salah satu kekayaan budaya
Hindu Indonesia yang perlu dilestarikan. Hal ini perlu diperhatikan agar tradisi
Hindu yang dapat berkembang tanpa dibenturkan dengan aspek-aspek lain
termasuk agama. Sehingga hendaknya lebih meningkatkan nilai solidaritas
terhadap umat agama lain khusunya kepada umat Hindu. Kata Kunci: Makna,
Ritual Ngaben, Hindu
A. PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis, artinya setiap
penduduk yang menjadi warga negara Indonesia harus beragama, yakni memilih
setiap salah satu agama yang telah diakui dan disahkan keberadaannya yaitu islam,
Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan Khonghucu. 1 Kebebasan hak untuk memilih
suatu agama dan beribadah bagi umat beragama telah diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadah menurut agama dan kepercayaanya itu.2
Keragaman budaya yang ada di Indonesia merupakan daya tarik tersendiri
sehingga bisa membedakan dengan negara lainnya, hal ini merupakan warisan
turun-temurun yang begitu banyak nilai-nilai di dalamnya. Di antaranya adalah
adat-istiadat, ritual-ritual, upacara-upacara adat dan juga tradisi yang dilestarikan
di Indonesia. Begitu pula halnya dengan ritual kematian, dalam setiap agama
memiliki cara yang berbeda-beda dalam menanggapi kematian.
Agama-agama yang ada di Indonesia memiliki tradisi ritual yang berbeda-
beda, di antaranya ada agama Islam, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik atau
Khonghucu. Jadi, semua agama tersebut memiliki keunikan sendiri dalam
melaksanakan ritual kematian. Salah satu yang sangat menarik diteliti di sini
adalah agama Hindu, karena agama Hindu adalah agama yang paling tertua di
Indonesia dan agama Hindu memiliki keunikan tersendiri dibanding agama-agama
yang lain.
Di dalam upacara kematian umat Hindu memiliki proses upacara yang
sangat panjang, dari seseorang yang meninggal sampai penguburan. Di antaranya
adalah membersihkan sawanya (mresihin), mendem sawa, ngaben (atiwa-tiwa
atau kremasi, mroras (memukur).3 Dalam agama Hindu ritual kematian tidak
berakhir dengan penghapusan tubuh, masih ada keselamatan jiwa. Untuk
memastikan bagian itu selamat ke dunia lain, orang yang meninggal membuat
perjalanan ke langit atau dunia para leluhur.
Dalam agama Hindu mengikuti kebiasan-kebiasan setempat, dalam
penyelesaian mayat orang meninggal dalam sebutan lainnya yaitu di kremasi.
Dalam tradisi umat Hindu di Bali lebih populer biasa disebut dengan ngaben. Bagi
umat Hindu khususnya di Bali, ngaben atau pembakaran mayat kemudian
berkembang dengan berbagai sesajen dan alat-alat upacara sebagai sarananya.
Proses ngaben dimaknai sebagai bentuk keikhlasan untuk melepaskan anggota
keluarga yang lebih dulu meninggalkan dunia, dan juga menjadi proyek prestise
dengan segala kemegahannya.
Ngaben sebagai ritual keagamaan di Bali merupakan bagian dari Pitra Yadnya,
yakni sebagai upacara keagamaan yang diadakan untuk menyelenggarakan
jenazah keluarga yang meninggal dengan menggunakan berbagai sesajen dan

1 Departemen Agama Republik Indonesia Hasil Musyawarah Antar Umat Beragama,


PPHAUB (Jakarta: TP, 1983-1984), h. 69.
2 Sekretaris Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: GBHN
P4, 1992), h. 7.
3 I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben Sederhana (Paramita: Surabaya, 1999),
h. 6.
upacara di dalamnya, hal ini merupakan sebuah kebutuhan mutlak dan kewajiban
(swadharma).4
Wilayah Luwu Timur adalah salah satu penerima transmigran diantaranya
seperti di Kecamatan Wotu Desa Karambua, sebagai salah satu penerima
transmigran. Desa Karambua dihuni berbagai macam suku dengan latar belakang
budaya yang berbeda-beada. Suku-suku tersebut antara lain Luwu, Bugis, Jawa,
Pamona, dan Bali. Transmigran Bali memberikan corak adat dan budaya yang
berbeda di Kecamatan Wotu Desa Karambua dengan kebudayaan Luwu.
Perkampungan Bali yang ada di Desa Karambua sama persis seperti
perkampungan Bali yang sesungguhnya. Ornamen-ornamen dan simbol-simbol
ada dibuat setiap rumah.
Kajian umat Hindu sangat menarik untuk dikaji karena umat Hindu masih
mempertahankan tradisi atau ritual yang sangat kental seperti ritual kematian yang
masih dilakukan dengan sakral dan kuat. Dari pemaparan latar belakang di atas,
peneliti sangat tertarik untuk meneliti masalah yang terkait tentang Makna dan
Prosesi Ritual Ngaben dalam Masyarakat Penganut Hindu di Kecamatan Wotu
Desa Karambua, Kab. Luwu Timur.

B. PEMBAHASAN
Desa Karambua merupakan salah satu dari tiga desa yang berada di
Kecamatan Wotu yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Secara astronomis,
Desa Karambua terletak antara 120.86543 Bujur Timur dan -2.57142 Lintang
Selatan. Sedangkan secara geografis, Desa Karambua berbatasan dengan Desa
Manunggal di sebelah utara, sebelah barat berbatasan dengan Desa Tarengge, di
sebelah timur berbatasan dengan Desa Manunggal, dan di sebelah timur
berbatasan dengan Desa Kanawatu.
Luas wilayah Desa Karambua yakni 457,83 km2 dengan ketinggian 80 km
di atas permukaan laut. Adapun jarak yang ditempuh dari ibu kota kabupaten
adalah 37 km dan jarak yang ditempuh dari ibu kota kecamatan adalah 12 km.
Daerah ini merupakan pengembangan budidaya pertanian dan perkebunan.
Sehingga sebagian besar penduduknya bermata pencaharian pertanian ataupun
perkebunan.
Jumlah penduduk Desa Karambua mencapai 1.130 jiwa yang terdiri dari
laki-laki 572 jiwa dan perempuan 558 jiwa. Berdasarkan agama yang dianutnya,
penduduk Desa Karambua mayoritas beragama Hindu, sebagian lainnya beragama
Islam dan 37 Kristen. Adapun jumlah tempat peribadatan di Desa Karambua yakni
6 pura, 1 masjid, dan 2 gereja. 5 Dalam kondisi kehidupan sosial, rasa
kebersamaaan antara masyarakat masih sangat kental dengan menerapkan hidup
gotong royong dan sikap saling menghormati.

4 I Gusti Ketut Kader, Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? (Cet. I; Denpasar: Yayasan
Dharma Naradha, 1993), h. 3-5.
5 Profil Desa Karambua 2017-2021.
1. Prosesi Pelaksanaan Ritual Ngaben Pada Masyarakat Penganut Hindu
Kecamatan Wotu Desa Karambua, Kabupaten Luwu Timur
Istilah ritual kematian dalam agama Hindu atau disebut juga dengan
ngaben merupakan upacara peleburan jasad roh (atma) agar roh terbebas dari
hubungan, getaran, gangguan dari raga, sehingga atma bisa kembali kepada
Brahma. Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup
lama maka badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit yang disebut Bhuta cuwi,
dan atmanya akan mendapatkan neraka.6
Ngaben merupakan kegiatan ritual keagamaan Hindu Khususnya di Bali
yang proses pembersihan dan pengembalian roh-roh dikal cakal manusia itu
terjadi. Menurut pandangan Hindu Bali unsur terdiri dari 5 yaitu air, udara, api,
tanah dan ruang. Unsur ini biasa disebut Panca Maha Bhuta tujuannya untuk
mengembalikan semua unsur yang ada di badan kita lewat kegiatan ngaben.
Upacara ngaben ini bagian Pitra Yadnya yang didasari dengan ketulus ikhlasan,
jadi kalau tidak tulus dan ikhlas kita tidak bisa melaksanakan upacara ngaben
karena masih pelit untuk mengeluarkan biaya-biaya itu dan ini bagian dari beban
moral.7
Menurut Dewa Dede Suteja, upacara Ngaben masyarakat Hindu di Wotu
selalu berpedoman pada Hindu Bali bahkan dari segi upacara, upakara, adat
istiadat dan penyelenggaraannya pun sama, cuman yang membedakan tempatnya
saja. Adapun bentuk upacara dalam ngaben terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
upacara mewah (utama), upacara sedang (madya), dan upacara sederhana/kecil
(nista), dari tiga tingkatan ini terbagi lagi menjadi sembilan tingkatan kelompok
utama ada nistaning utama, madyaning utama dan utamning utama begitu pula
kelompok madya ada nistaning madya, madyaning madya dan utamaning madya
kemudian nista ada nistaning nista, madyaning nista dan utamaning nista.
Berdasarkan penjelasan Pendeta Dewa Ketut Iyasa terdapat beberapa
runtutuan dari upacara ngaben yang dilaksanakan di Desa Karambua yaitu sebagai
berikut:
a. Pengumuman Kematian Jenazah
Setelah jenazah meninggal dunia akan diumumkan kepada masyarakat agar
diketahui bahwa orang tersebut telah meninggal. Hal ini biasanya dilakukan oleh
pihak keluarga, khususnya anak yang ditinggal oleh orang tuanya atau sebaliknya.
Pihak keluarga yang sedang berduka cita segera menghubungi pendeta atau
pandita setempat guna mempersiapkan proses pengabenan.
Namun, apabila jenazah yang meninggal adalah pendeta maka akan
langsung diabenkan dalam jangka waktu 3-7 hari tanpa mengenal hari baik kalau
dalam agama Hindu biasa disebut padewasan dalam artian proses dari sejak
lepasnya nafas langsung bisa dilaksanakan upacara pengabenan. Tetapi, kalau

6 Wayan Kari (48 tahun), Ketua Adat, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
7 Dewa Ketut Iyasa (46 tahun), Pandita, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
masyarakat biasa tetap kita mengacu pada hari baik di mana dalam kaitannya itu
ada hari yang sifatnya negatif dan juga positif. Jika hal-hal negatifnya lebih
dominan maka masyarakat tidak berani melanggar (dalam bahasa Bali biasa
disebut hala) sebab akan mempengaruhi yang masih hidup.8 b. Peti Jenazah
Peti jenazah terbagi menjadi dua yakni wadah dan bale. Kedua peti ini
memiliki fungsi yang sama. Bade pada umumnya memiliki tumpang, jumlah atap
tumpangnya dibuat sesuai kasta orang yang akan melaksanakan upacara
pengabenan. Sedangkan jika tak memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat
jenazah biasa disebut wadah. Bahannya terbuat dari bambu, kayu, dan kertas
warna warni yang sesuai dengan ekonomi keluarga, dalam proses pembuatannya
hanya memakan waktu sehari saja. c. Pembersihan Jenazah
Begitu jenazah telah meninggal, sawa hendaknya dibersihkan. Tata
caranya sebagai berikut:
1) Memandikan
Dalam upacara memandikan diperlukan upakara yang harus disiapkan,
yaitu berupa pepaga, tikar sebagai alas memandikan, ember, gayung, pisau atau
silet untuk mengikis kuku, sabun, shampoo, sikat gigi, odol, minyak wangi,
minyak rambut, handuk, toya tabah (air tawar), air kumkuman, tirta pembersihan,
tirta pengelukatan, tirta pura prajapati, kain putih, wukur (uang kepeng), bloyoh
putih kuning, teluar ayam satu butir, angkeb rai putih, rurub putih, daun intaran,
pusuh menur, daun gadung, daun terong, bunga dan kawengan secukpunya.
2) Pelaksanaan Memandikan Jenazah
Jenazah diangkat dari tempat meninggalnya, kemudian di taruh di pepaga.
Di atas pepaga di pasangkan kain putih “luhur”, sedangkan di tempat pepaga
diberi alas berupa tikar. Setelah jenazah dibaringkan mula-mula badannya disiram
dengan air toya tabah, lalu disabuni, diberikan shampo, disikat giginya kemudian
kukunya yang kotor di kerik. Setelah disiram dengan air, lalu diberikan bloyoh
sesudah bloyoh dipakai disiram lagi dengan air toya tabah dan terakhir diberikan
kumkuman (air bercampur dengan bunga harum). Setelah itu, telur disentuhkan
mulai dari kepala sampai kaki baru dikeringkan dengan menggunakan handuk.
3) Eteh-Eteh
Setelah pembersihan lalu dilanjutkan dengan mengeteh-eteh yakni
menempatkan sarana-sarana yang berupa daun intaran pada alis, pusuh menur
(bunga melati) pada hidungnya, daun gadung pada dadanya, daun terong di taruh
di kemaluannya. Kemudian diasumsikan diisi kawengan dengan uang kepeng,
pada masing-masing bagian tubuhnya diletakkan kawengan. Kawengan yang
berisi uang kepeng 11 buah di simpan tengah-tengah dada menghadap ke kepala,
lalu kawengan yang berisi uang kepeng 9 buah yang disertai bunga teratai di
simpan di atas ulu hati, kawengan yang berisi kuncup bunga cempaka putih di
simpan pada tangan kanan dan kiri dan 2 kawengan di simpan pada kaki kanan

8 Dewa Dede Suteja (45 tahun), Pandita, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
dan kiri. Setelah itu diberikan tirta pembersihan dengan pemercikan 3 kali di
bagian kepala, badan dan kaki.9 Kemudian, jenazah diberikan pakaian lengkap
yang disertai tulisan aksara dan huruf-huruf sakral sebagai bentuk pengembalian
ke unsur panca maha bhuta. Lalu, jenazah di gulung dengan kain penggulungan
dengan posisi ujung kain sebelah kiri berada di dalam kemudian di tutup dengan
ujung kain di sebelah kanan. Lalu paling luar adalah tikar dengan cara
menggulung sama dengan gulungan kain di dalamnya lalu bagian kepala dan kaki
dibuat seperti pocong, tali wangke diikatkan pada bagian atas, tengah dan bawah.
Setelah jenazah selesai dimandikan, maka semua pihak keluarga mengelilingi
jenazah sebanyak tiga kali dalam bahasa Hindu biasa disebut nyuruben.
Kemudian, jenazah di sembayangkan oleh pihak keluarga di pandu dengan
pandita.10
d. Pemberangkatan Peti Jenazah
Sebelum jenazah diberangkatkan terlebih dahulu kain putih yang panjang
diikatkan pada peti jenazah. Peti jenazah diletakkan di atas tempat usungan yang
kemudian dipikul oleh kaum laki-laki sebanyak 6-8 orang. Orang yang memikul
usungan itu adalah pihak masyarakat. Sedangkan anggota keluarga berada di
barisan depan sambil memegang kain putih yang diikatkan pada jenazah.
Kemudian jenazah menuju ke tempat kremasi di pandu oleh pandita. Segala
perlengkapan untuk kremasi ikut diarak beramai-ramai berupa sesajen begitu
banyak. Perjalanan dari rumah duka di tempat kremasi ditempuh dengan suasana
yang begitu gembira dan tidak boleh menangis. Barisan paling depan adalah
pandita, pembawa sesajen, rombongan anggota keluarga memegang kain putih
yang diikatkan pada peti jenazah. Hal ini terlihat seolah-olah anggota keluarga
menarik peti jenazah melalui kain putih jenazah dalam bahasa Hindu disebut
penuntun yang di mana pihak keluarga ikut mengantar dan menuntun perjalanan
orang yang meninggal. Di belakangnya rombongan yang memikul usungan peti
jenazah dan masyarakat sekitarnya.11
Sesampainya di kuburan atau tempat kremasi, jenazah melaksanakan
purwodaksina (memutar jenazah sebanyak 3 kali ke arah kiri). Dengan maksud
mohon pamit dan mengucapkan terima kasih kepada warga yang masih hidup dan
telah membantu proses kematian jenazah. Kemudian masyarakat mempersiapkan
tempat kremasi sesuai dengan ukuran jenazah. Tempat kremasinya berupa batang
pohon pasang yang berada di sebelah kiri dan kanan guna sebagai penahan agar
api tidak menyebar dan alasnya seng sebagai tempat abu jenazah nantinya. 12 e.
Kremasi Jenazah

9 Dewa Dede Suteja (45 tahun), Pandita, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
10 I Kadek Jojon Wiyantara (40 tahun), Ketua PHDI, Wawancara, Karambua, 28 April
2022.
11 Dewa Dede Suteja (45 tahun), Pandita, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
12 Dewa Dede Suteja (45 tahun), Pandita, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
Setelah sampai di lokasi, masyarakat mengeluarkan jenazah dari dalam
peti lalu diletakkan di tempat kremasi. lalu tikar dan kain putihnya akan dibuka, di
mana posisi kepala jenazah ke arah timur dan kaki arah ke barat. Peti, tikar, dan
kain putih di bawah keluar dan ditumpuk pada tempat tertentu yang nantinya juga
akan ikut dibakar.
Kemudian bebanten atau sesajen diletakkan di tempat kremasi sesuai
dengan letak posisinya masing-masing. Ada sesajen yang dinamakan sesajen
soroan berupa makanan ringan sebagai syaratnya. Sesajen soroan ini diletakkan
dalam bakul/keranjang yang disebut dengan isilah daksine. Sebelah kiri dan kanan
daksine diletakkan canang rake (bentuknya bulat berisi buah-buahan juga sebagai
syarat. Penuntun jalannya kremasi di pimpin oleh pandita. Kemudian pandita
membacakan doa sambil memercikan tirta pengelukatan (menghilangkan segala
kotoran jenazah), tirta pembersihan (mensucikan roh yang telah meninggal), tirta
pura prajapati (memberi restu dan menjaga roh yang meninggal). Selanjutnya
posisi pandita di gantikan oleh petugas kremasi jenazah.
Setelah itu, kompor dihidupkan menggunakan gas. Posisi kompor ini ada
bagian kepala dan kaki, pembakaran jenazah dimulai dari kepala kemudian kaki
hingga semuanya terbakar. Lamanya pembakaran memakan waktu sekitar 1-2
jam. Ketika jenazah mulai terbakar maka burung akan dilepaskan sebagai simbol
perginya roh dari badan untuk kembali ke asalnya. Adapun kain putih, peti dan
sesajen akan ikut terbakar. Saat jenazah terbakar maka akan diberikan garam
dikarenakan terdapat bagian-bagian tubuh yang lama terbakar seperti bokong,
tulang panggul.
Setelah pembakaran selesai, maka perwakilan anggota keluarga mengambil
abu jenazah. Abu jenazah dikumpulkan lalu dipercikkan air agar mudah
membentuknya. Percikkan air tidak boleh banyak (tidak boleh di guyur) hanya
sekedarnya saja agar bisa dibentuk menjadi manusia. Setelah abu diperciki air lalu
diambil mnggunakan spit (untuk mengambil tulang) dan sendok untuk mengambil
abu. Abu jenazah ini diletakkan dalam kelapa gading sebagai wadah jenazah
beralaskan kain putih sebagai tumpukan abu yang akan dibentuk kembali. f.
Ngerake
Tahapan selanjutnya adalah ngerake yakni membentuk abu jenazah
layaknya seperti manusia. Abu jenazah dikumpulkan diserahkan kepada pihak
petugas yang di pandu oleh pandita. Pertama tulang jenazah diambil dulu
kemudian disusun menurut kerangka manusia. Setelah itu, abu jenazah menutupi
kerangka tulang-tulang tersebut. Ketika telah lengkap menjadi manusia sebagian
kerangkakerangka tulang diambil mulai dari kepala, tangan, kaki, bokong
diletakkan dalam wadah kemudian uyeg sampai menjadi rata atau menjadi abu.
Selesai di uyeg abunya dimasukkan ke dalam kelapa gading kemudian di bungkus
kain putih. Selanjutnya abu jenazah dibawa ke sungai untuk dihanyutkan. Sebelum
dihanyutkan terlebih di bacakan doa oleh pandita, agar dilepaskan ikatan sehingga
roh bisa pergi secara bebas.13 g. Ngeroras
13 Dewa Dede Suteja (45 tahun), Pandita, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
Prosesi terakhir yakni ngeroras yang dipandu oleh pandita, dengan cara
pembersihan di setiap sudut rumah, supaya jiwa atau atma yang meninggal bisa
dibersihkan kembali dan mendapatkan tempat yang layak di alam sana. Di
samping itu akan dilakukan kegiatan wayang sidokaryo/topeng sidokaryo dengan
tujuan untuk membersihkan orang yang meninggal dan mendapatkan tempat yang
bahkan lebih sempurna.14

2. Makna Simbolik Upakara Ngaben


Bentuk upakara ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu upakara peralatan dan
upakara bebanten:
a. Upakara Peralatan
Upakara peralatan memiliki banyak bagian, di antaranya sebagai berikut:
1) Pepaga bale yang dipakai untuk memandikan sawa yang baru meninggal
dan terbuat dari bamboo, kawat emas, perak, dan tembaga.
2) Penggulungan, dibuat dari tikar dan kain putih dengan bertuliskan aksara
walung kepala (aksara kuliat manusia) dan dijadikan sebagai simbolik dari
kulit itu sendiri.
3) Selepa (jenis peti mati tahap pertama), terbuat dari pohon enau, dimana
pada pusarnya (bagian tengahnya) dibuatkan peloncor yang masuk ke
dalam tanah sebagai tempat pembuangan air-air pembusukan sawa.
4) Bandusa (jenis peti mati tahap kedua), menyerupai perahu bercadik
simbolnya sebagai kendaraan penyeberangan dari alam nyata ke alam tidak
nyata.
5) Tumpang salu, tempat dimana sawa yang ada dalam peti bandusa
mendapatkan samskara (penyucian) oleh pandita.
6) Tartindih (penutup bandusa), terbuat dari kain sutra putih yang
dikerudungkan pada sawa dan merupakan simbolik dari selimut.
7) Wukur, dibuat dari uang kepeng diletakkan pada dada sawa simbolnya
sebagai tempat tidurnya roh.
8) Pangrekan, yakni kumpulan kwangen sebagai simbol Padma dan bumi.
Terdiri dari 22 kwangen dengan masing-masing berisi uang kepeng.
9) Kreb sinom, artinya krudung muda atau krudung bunga dibuat dari ulatan
daun rental, berfungsi sebagai krudung
10) Kajang, artinya selimut. Terbuat dari kain putih yang bertuliskan Sad Dasa
Aksara, kajang adalah simbol dari pada kulit. Semua aksara menandai
bagian tubuh manusia, yang tertulis di sana. Di samping Kajang Gede
yang merupakan selimut sawa juga ada dinamakan Kajang Alit yang
ditutupkan bagian-bagian sawa yaitu patrang ditutupkan pada kelapa,
angkeb rai adalah penutup muka, don byu ikik adalah penutup bagian
dada, plasa adalah pembungkus punggung, kakumul adalah penutup badan
bagian bawah, kekuyang adalah penutup bagian kaki. Di atas Kajang Gede

14 Dewa Dede Suteja (45 tahun), Pandita, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
maupun Kajang Alit ditulis dengan aksara kalepasan, yaitu akasara yang
digunakan untuk melepaskan Sang hyang Atma dari kurungannya.
11) Adegan (pisang jati), artinya perwujudan dari manusia itu sendiri. Adegan
ini terdiri dari ortenan daun rontal dengan dihiasi dengan kertas
sedemikian rupa, lengkap sampai dengan rambutnya. Pisang jati ini ditaruh
pada bagian hulu (luanan) dari pada sawa, sebagai perwujudan manusia
utama.
12) Angenan, artinya simbol jantung manusia. Dibuat dari kelapa yang
dihaluskan kulitnya ditancapkan bingkai yang dilingkari benang tridatu.
Didalamnya dibuatkan damar (suluh) minyak kelapa dari kulit telur ayam.
Siginya terbuat dari kapas. Angenan ini ditaruh diatas hulu hati sawa.
13) Sok bekel, merupakan peralatan bekal bagi orang yang akan kembali pada
asalnya. Terdiri dari sanggar surya, cermin, jinah 200, isi ceraken lengkap,
berisi tiuk atau pengutik. Sok bekel ini dihiasi kain putih.
14) Iber-iber, berupa ayam atau burung. Setelah jenazah dibakar hewan ini
dilepas sebagai perginya roh dari badan kembali untuk kembali ke asalnya.
15) Gender, artinya gamelan yang memakai laras salendra. Berfungsi untuk
mengiringi kepergian atma.
16) Penuntun, berfungsi untuk menuntun roh orang yang sudah meninggal
agar kembali keasalnya. Penuntun ini berupa kain putih yang diikatkan
pada peti sawa.
17) Sanggah Cucuk dan Damar Kurung, jenis sanggah ini yang dipakai untuk
mempersembahkan kepada bhutakala. Sangsah ini ditancapkan pada pintu
keluar perkarangan. Sanggah ini mempersembahkan upakara bebanten
kepada bhutakala yaitu energy dari benda-benda material badan manusia
yang sekarang ini telah menjadi sawa, guna segera kembali kepada panca
maha bhuta. Dibawah sanggah cucuk digantung Damar Kurung yang
dibuat dari kelapa yang dibagi dia, yang dipakai dibawah, lalu dikurung
dengan bingkai bambu dan upih. Damar kurung berfungsi menyinari jalan
Sembilan yakni jalan yang akan dilalui Atma menuju sorga.
18) Tragtag, adalah tangga untuk menaikkan sawa ke wadah. Tangga ini
melambangkan undangan yang menuju ke sorga. Tragtag ini dibuat dari
bamboo. Besar kecil dan tinggi rendahnya, tergantung tinggi rendahnya
wadah.
19) Ubes-ubes, merupakan bulu merak pada ujungnya berfungsi sebagai
mengarahkan jalannya roh dalam perjalanan.
20) Pemanjangan, artinya bunga kwangen bercampur uang kepeng, yang
ditaburkan sepanjang jalan simboliknya sebagai persembahan kepada siapa
saja terutama Bhutakala agar tidak menghalangi perjalanan roh.
21) Cegceg, berupa butir padi yang dimasuki uang kepeng yang akan
diletakkan di pinggir jalan yang berfungsi sebagai oleh-oleh bagi roh untuk
kembali ke asalnya.
22) Bale gumi (bale pamuhun/bale pembasmian), tempat sawa yang akan
dibakar.
23) Bale lunjuk, ini bertiang 4 dan beratap ditancapkan pada bale gumi. Pada
atapnya dihiasi dengan warna. Bale ini artinya keindahan dan keasrian. Di
bawah bale inilah sawa itu dibakar.
24) Petulangan, artinya tempat untuk membakar sawa. Tempat ini
bermacammacam jenisnya, ada yang mempergunakan table atau peti. Ada
juga yang mempergunakan binatang seperti singa atau lembu. Jenis
petulangan ini tergantung masing-masing warga dan kondisi ekonomi
pihak keluarga.
25) Bale Pering, tempat untuk menghaluskan abu tulang yang telah dibakar.
26) Jempana, wahana untuk menghanyut atau melarung sekah atau tulang yang
telah dihaluskan. Jemapana menyerupai tumpang salu, berfungsi sebagai
kendaraan.
27) Bale Pawedaan, tempat pandita untuk memuja.
b. Upakara Bebanten
Upakara bebanten memiliki banyak bagian, di antaranya sebagai berikut:
1) Banten yang berfungsi sebagai pebersihan/pesucian. Terdiri dari: pabwatan
(tepung tawar, lis buu, sesarik, tatebus), eteh-eteh panglukatan dengan lis
janurnya. Upakara bebanten diatas merupakan tempat untuk
membersihkan pengaruh buruknya Bhutakala, serta memberikan labaan
kepada mereka. Kemudian Dyus Kamaligi berfungsi sebagai pensucian
bagi sang pitra, sarananya adalah beras catur warna, pangresikan, periuk,
caratan, coblong, masing-masing berisi air, serta jejahitan padma periuk,
bebuu pada coblong klungah gading dikasturi 1 buah dan dilengkapi
dengan alat-alat berhias seperti sisir, cermin, petat, subeng masing-masing
5 buah yang dibuat dari janur.
2) Banten upakara sebagai oleh-oleh, dalam perjalanan sang pitra, guna
mendapatkan keselamatan. Memerlukan beberapa jenis bekal sebagai
oleholeh. Terdiri dari saji kayu curiga (telur ayam 9, pucak nasi kukus,
olahan babi), saji semu marengus (gula kelapa, nasi mabebeh, kacang
komak, kelapa sisir, bunga tuwung, nasi bunga mandori, nasi kepel, twak
cuka, nasi bercampur lawar), saji wat padangan (beras 1 tapis, dagingnya
nyalian danu), saji sang wipada (nasi dengan daging kretek, kakul, nasi
dengan sayur padang dawusa), saji bloh mata (nasi mawadah kau bulu,
dagingnya urutan puyung, baking gagending, dengdeng hati, daging
mentah, getih. Lauknya bawang, jahe, lengis mawadah cambeng matabeng
tebu cemeng, buah piling-piling), saji marga sanga (nasi sagulung,
dagingnya jatah calon, balung gagending), saji nila paksi (telur 2 butir,
daging mentah, beras catur warna, gula separo, kelapa sakrek dan gabah),
saji sang wilmana (kiping bunga temu 54), saji kawah tahi (angkeb nasi,
bubuh pirata, wija catur warna), saji bhatara kala (bubur sasuruh, dyus
kamaligi), saji wadukala (lengawangi, burat wangi, kembang wangi) saji
danapunia (cegceg, sekarura). Saji-saji ini merupakan bekal Sang Atma
yang nantinya dipersembahkan kepada siapa saja yang menghadang dalam
perjalanan serta kepada para penguasa tempat hukuman bagi Sang Atma
yang berdosa.
Dengan bekal oleh-oleh ini diharapkan sang pitra dengan selamat menuju
ke sorga.
3) Upakara simbol dari bagian-bagian badan, badan kasar manusia sudah
mati dan tidak berfungsi lagi. Agar atma dapat disthanakan untuk dijaya-
jaya, maka diperlukan badan ksanika atau sementara, baik berujud
peralatan (telah diuraikan dimuka) maupun berbentuk upakacra bebanten.
Yang berbentuk bebanten antara lain: a) panjang Hang adalah simbol dari
lidah upakara ini terdiri dari bubuh sacengkang, kamben putih misi, bulun
merak, bulun angsa, patola, sutra, jaum keeling, podi, kembaon, metatakan
malem, matakep jebug arum, nasi mapulung dengan dagingnya bawang
jahe, sra barak, balung gagending, b) nasi angkeb sebagai mulut, c) bubuh
perata sebagai suara, d) asep pinaka sebagai mata, e) padang leps sebagai
dubur, f) cawan sebagai dahi, g) kayu sugi sebagai hidung, h) kusa sebagai
bulu mata, i) jawa sebagai bulu alis, k) andong sebagai bibir, l) kikihan
sebagai punggung m) asem sebagai gusi, n) basan ubat sebagai sari, o)
panyujung sebagai jalan.
4) Unit banten pemlaspas, semua peralatan tersebut dimuka, sebelum
dipergunakan mesti diplaspas lebih dahulu. Banten pamlaspas terhadap
peralatan umumnya mempergunakan sorohan lengkap, ditambah dengan
suci sasantun, serta bayuan dan tulung urip. Sedangkan pamlaspas
peralatan besar seperti wadah, bale ghumi, dan lain-lainnya
mempergunakan sorohan bebangkit lengkap dengan pengiringnya.
Peralatan lainnya yang juga mempergunakan bebangkit yang berupa Singa
atau Lembu, Bale Ghumi dan Bale Lunjuk. Sedangkan peralatan lainnya
cukup dengan sorohan lengkap suci dan sesantun. Pemlaspas bertujuan
untuk membersihkan peralatan yang dipergunakan.
5) Banten Pamrasan dan Pengampin, banten ini terdiri dari satu unit
bebangkit dan pakaian lengkap. Banten ini berfungsi sebagai “memeras”
cucucucunya dari mereka yang diabenkan dan juga “ngampin” bagi
mereka yang telah memiliki kumpi. Memeras disini mengandung arti
mengangkat cucunya sebagai penyelamat kakek atau neneknya. Ngampin
para kumpitnya dimaksudkan adalah bagi mereka yang akan pergi
diberikan kesempatan untuk menimang-nimang sebagai tanda perpisahan.
6) Bebanten yang sangat penting adalah bebangkit pengiriman. Bebangkit ini
berfungsi untuk “ngirim” Sang Pitra dan sisa-sisa tulangnya
kelaut/sungai.15

15 I Kadek Jojon Wiyantara (40 tahun), Ketua PHDI, Wawancara, Karambua, 28 April
2022.
3. Pandangan Masyarakat Terkait Adanya Ritual Ngaben
Berdasarkan hasil wawancara narasumber mengatakan bahwa, ada dua
faktor yang terjadi dalam ritual kematian agama Hindu (ngaben) yakni faktor
pendorong dan faktor penghambat.
a. Faktor Pendorong Ritual Kematian dalam Agama Hindu (Ngaben)
Dalam agama Hindu itu wajib melakukan ngaben. Sebab hal ini dimaknai
mampu menghormati nenek moyang atau leluhurnya agar jiwa atau atma bisa
tenang di alam sana.16
Adapun faktor yang mendorong lebih khusus dilakukannya proses ritual ini
sebagai berikut:
1) Cinta yang mendalam
Sangat besar hutang budi manusia terhadap leluhurnya, dia ada karena jasa
leluhurnya. Jasa ini sangat begitu besar, rasa-rasanya tidak bisa terlunasi, kecuali
dengan jasa pula. Dia berusaha bagaimana dia mampu untuk mengupayakan agar
leluhurnya mendapatkan keselamatan. Sebagai bukti rasa cinta kasih, dia akan
mempersembahkan segala-galanya yang megah dan indah. Sebagai simbol dari
rasa cinta ini, dia akan memenuhi semua sarana yang diperlukan. Dia tidak
memperhitungkan mahalnya sarana yang penting dapat mempersembahkannya.
2) Pembebasan Dosa
Manusia bekerja sesuai atas dorongan, manah (perasaan), indira
(keinginan) dan ahamkara (nafsu). Kalau indira dan ahamkara ini yang
mendominasi, kecenderungannya karena berakibat buruk, ini yang akan menjadi
dosa. Manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosanya. Tapi antara manusia satu
dengan manusia lainnya akan berbeda kualitas dosanya sesuai dengan lingkungan
kerjanya. Dari dasar pemikiran inilah adanya upacara ngaben terhadap mereka
yang hidupnya bergelimang dalam hal duniawi. Jadi, usaha pembebasan atas dosa-
dosa memang sangat dibutuhkan dalam upacara ngaben itu sendiri.17
b. Faktor Penghambat Ritual Kematian dalam Agama Hindu (Ngaben)
Menurut agama Hindu melaksanakan upacara ngaben untuk para leluhur
adalah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Hindu. Namun tidak
semua masyarakat bisa menjalankan kewajiban tersebut karena ada beberapa
faktor yang menghambatnya, antara lain sebagai berikut:
1) Biaya
Upacara ngaben memerlukan biaya yang cukup besar. Akan tetapi, adanya
hegemoni yang dilakukan golongan masyarakat dalam melakukan sebuah

16 I Kadek Jojon Wiyantara (40 tahun), Ketua PHDI, Wawancara, Karambua, 28 April
2022.
17 Dewa Gede Raka Suteja (35 tahun), Tokoh Masyarakat, Wawancara, Karambua, 28
April 2022.
penggalangan dana terhadap pihak keluarga. Dalam upacara ngaben masyarakat
Karambua melakukan Ngaben perorangan sebagai alternatif untuk mempercepat
pelaksanaan ngaben karena yang di aben ini adalah pendeta/pandita.
Secara umum dalam pemikiran masyarakat yang awam, pelaksanaan
upacara ngaben sebagai salah satu upacara keagamaan yang memerlukan biaya
yang sangat besar pada masyarakat Karambua. Berdasarkan hasil wawancara
terutama besarnya dana ngaben yang diperlukan berkisaran Rp.55.000.000. akan
tetapi dalam versi lain ada yang dinamakan ngaben massal yang di mana jenazah
harus di pandem dulu untuk menunggu jenazah yang lain, tapi ini berlaku untuk
masyarakat biasa guna untuk mengurangi biaya pihak keluarga.18
Ada pembeda tiga tingkatan dalam melakukan upacara ngaben tergantung
tempat, tradisi, dan kemampuan. Dapat kita lihat dalam tabel ini dari besar dan
kecilnya dibagi menjadi tiga, yakni:
Tabel 6
Biaya Ngaben Dalam Beberapa Tingkatan
No Golongan Biaya
1 Nistha (Kecil) Rp.35.000.000 – Rp.50.000.000
2 Madya (Sedang) Rp.50.000.000 – Rp.100.000.000
3 Utama (Besar) Rp.100.000.000 – Rp.150.000.000
Sumber: I Kadek Jojon Wiyantara, 2022.
Hal ini dibenarkan dalam pernyataan Wayan Kari selaku ketua adat,
sebagai berikut:
Kalau kita mau melakukan upacara ngaben itu memakan biaya sekitar 100
juta sampai 150 juta tapi ini berlaku untuk kalangan atas saja, sedangkan
biaya yang paling rendah atau murah itu cuman 35 juta saja, tergantung
bagaimana ekonomi pihak keluarga ataupun sesuai dengan kemampuan dari
pihak keluarga tersebut.19
Dengan tabel seperti itu tentunya masyarakat yang secara ekonomi kurang
mampu, tidak akan pernah bisa melakukan kewajiban ngaben untuk para
leluhurnya. Karena biaya ngaben yang dilakukan cukup besar. Kalau misalnya,
masyarakat biasa bisa melakukannya tetapi harus mengorbankan dengan cara
menjual harta benda yang dimilikinya seperti tanah warisannya. Salah satu cara
melakukan Yadnya dengan cara seperti itu terutama bagi masyarakat yang kurang
berkecukupan secara ekonomi, dengan menjual tanah warisan hanya kepentingan
Yadnya, apa lagi sampai memiskinkan masyarakat biasa yang melakukannya
sebenarnya itu tidak sesuai menurut ajaran sastra Agama Hindu. Tapi dengan
adanya kekeluargaan terhadap wilayah desa Karambua maka bantuan
18 Wayan Suara (39 tahun), Tokoh Masyarakat, Wawancara, Karambua, 28
April 2022.
19 Wayan Kari (48 tahun), Ketua Adat, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
penggalangan dana terhadap masyarakat itu sangat mengurangi beban biaya pihak
keluarga yang di aben.
Solusi yang baik untuk meringankan beban biaya upacara ngaben tersebut
dengan melalui ngaben massal tapi kita menunggu selama 5 tahun sekali untuk
ngaben massal karena itu satu-satunya cara untuk meringankan beban biaya
keluarga bagi yang kurang mampu ini berlaku untuk masyarakat biasa, apabila
kalau pendeta/pandita harus di aben berapapun biayanya karena selama masa
hidupnya dia mengabdikan dirinya. Jadi harus cepat diaben seperti yang kita
lakukan saat ini.20
2) Menentukan Hari Baik
Hari baik biasanya ditentukan oleh pandita setelah melalui konsultasi yang
ada pada kalender Bali. Persiapan ini biasanya diambil jauh-jauh hari baik
ditetapkan. Hari baik tidak boleh lewat dari 7 hari setelah hari meninggalnya
seseorang. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan bade terbuat dari bamboo,
kayu dan kertas yang beraneka warna warni sesuai dengan golongan dan
kedudukan sosial ekonomi keluarga yang bersangkutan.
Perihal pula yang menjadi kendala pada saat melakukan upacara ngaben
yaitu adanya covid-19. Tahun kemarin desa Karambua ingin melakukan upacara
ngaben akan tetapi adanya larangan dan aturan terhadap untuk tetap berada di
rumah masing-masing. Jadi terpaksa jenazah yang diaben di pendem selama
setahun dan sambil menunggu jenazah lainnya. Bapak I Kadek Jojon Wiyantara
mengatakan:
Kemudian pihak keluarga hendak menyimpan jenazah di balai adat yang ada
di masing-masing rumah dengan memberikan ramuan tertentu sebagai
memperlambat pembusukan jenazah ramuan ini sering dialihkan dengan
penggunaan formalin.21
Ini yang menjadi kendala kami tahun kemarin dan sekarang semenjak
covid19 mulai berkurang masyarakat mulai mengadakan ngaben dengan nyaman
dan leluasa serta jenazah kemarin yang pendem langsung diabenkan dengan
ngaben massal karena ada beberapa jenazah yang juga di pendem karena covid-19.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian hasil penelitian mengenai makna dan ritual ngaben
dalam masyarakat penganut Hindu di Kecamatan Wotu Desa Karambua
Kabupaten Luwu Timur, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Prosesi upacara ngaben mempunyai rentetan yang sangat panjang. Secara
garis besar, langkah-langkah atau tahapan upacara ngaben bagi umat

20 Wayan Kari (48 tahun), Ketua Adat, Wawancara, Karambua, 28 April 2022.
21 I Kadek Jojon Wiyantara (40 tahun), Ketua PHDI, Wawancara, Karambua, 28 April
2022.
Hindu adalah pengumuman kematian jenazah, peti jenazah, melakukan
pembersihan jenazah, lalu jenazah di kremasi, setelah itu melakukan
ngerake dan terakhir ngeroras sambil melakukan kegiatan wayang
sidokaryo.
2. Makna simbolik upakara ngaben terdiri dari upakara peralatan dan upakara
bebanten. Upakara peralatan yakni pepage, penggulungan, selepa,
bandusa, tumpang salu, tartindih, wukur, pangrekan, kreb sinom, kajang,
adegan, angenan, tragtag, ubes-ubes, pemanjangan, cegceg, bale gumi,
bale lunjuk, petulangan, bale pering, jempana, dan bale pawedaan.
Sedangkan upakara bebanten yakni banten pembersihan, banten sebagai
oleh-oleh, banten sebagai simbol bagian-bagian badan, banten pemlaspas,
banten pamrasan dan pengampin, serta banten pengirim.
3. Pandangan masyarakat umat Hindu terhadap ngaben terdiri dari dua faktor
yaitu faktor pendorong sebagai cinta yang mendalam dan pembebasan
dosa, sedangkan faktor penghambatnya ialah biaya dan menentukan hari
baik.

DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006.
Bisri, Cik Hasan dan Eva Rufaidah. Model Penelitian Agama dan Dinamika
Himpunan Rencana Penelitian.Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002.
Cudamani. Pengantar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti, 1993.
Departemen Agama Republik Indonesia. Hasil Musyawarah Antar Umat
Beragama PPHAUB. Jakarta: TP, 1983-1984.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Durkheim, Emile. Sosiologi dan Filsafat. Alih Bahasa Soedjono Dirdjosisworo,
Jakarta: Erlangga, 1991.
Kader, I Gusti Ketut. Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?. Cet. I; Denpasar:
Yayasan Dharma Naradha, 1993.
Keene, Michael. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Koenjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011.
Kusuma, Sri Reshi Ananda. AUM Upacara Pitra Yadnya. Cet. II; Graha
Pengajaran: CV Kayumas Agung, 1985.
Manaf, Mujahid Abdul. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PT Prafindo Persada,
1996.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion Ter. Inyiak Ridwan Muzir dan M.
Syukri, Seven theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling
Berpengaruh Yogyakarta: IRCiSoD, 2018.
Santalia, Indo. Ilmu Perbandingan Agama. Makassar: Alauddin University Press,
2012.
Sekretaris Negara Rpublik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta:
GBHN P4, 1992.
Swami, Sri dan Siviananda. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita, 1996.
Wikarman, I Nyoman Singgin. Ngaben Sederhana. Surabaya: Paramita, 1999.
Winanggun, Y.W. Wartajaya. Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan
Komunitas Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Anda mungkin juga menyukai