Anda di halaman 1dari 34

DRAFT PROPOSAL

Nama : Aldi Saputra

Nim : 30500116078

Jurusan : Studi Agama-agama

Fakultas : Ushuluddin dan Filsafat

Judul :”Ritual Ammaca Kitta Dalam Tradisi Upacara Kematian

Masyarakat Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto”

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kematian di dalam kebudayaan apapun hampir pasti disertai acara ritual.

Ada berbagai alasan mengapa kematian harus disikapi dengan acara ritual.

Masyarakat memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang

yang mati. Segala status yang disandang semasa hidup ditelanjangi digantikan

dengan citra kehidupan luhur. Kematian selalu dilakukan acara ritual oleh yang

ditinggal mati. Setelah orang meninggal biasanya dilakukan upacara doa, sesaji,

selamatan, pembagian waris, pelunasan hutang dan sebagainya.1

Kematian dipandang sebagai keterpisahan seseorang dari komunitas di

mana ia hidup dan adanya penghormatan yang mendalam pada orang yang telah

meninggal tersebut melalui beragam upacara (ritual) dan beragam bentuk karya

budaya yang merepresentasikan kesakralan kematian dan ritual pemakaman.2

1
Abdul Karim,“Makna ritual kematian dalam tradisi Islam jawa”, Jurnal
Pendidikan,Vol.12 No.2, (Desember 2017, h, 1 (Diakses tanggal 2 Oktober 2021).
2
Romi, ”Ritus Kematian Etnis Bugis di Karangantu Banten”, Skripsi (Banten:UIN
Banten,2019, h. 1.

1
Kematian selain dipandang dari segi antropologi-sosiologi, juga menarik manusia

untuk memandang kematian dari segi religiositas yang transenden dan melampaui

dirinya. Sejak dulu manusia berupaya untuk mencari jawaban atas apa yang

terjadi setelah seseorang meninggal. Kepercayaan-kepercayaan kuno mengatakan

adanya perjalanan yang ditempuh oleh orang yang telah meninggal setelah

peristiwa kematian. Di dalam agama-agama Abraham (Ibrahim)—Yahudi,

Kristen, dan Islam— kematian dipercaya sebagai awal mula kehidupan

selanjutnya setelah adanya kebangkitan tubuh jasmani.

Tradisi, dalam hal ini, terkait juga dengan interpretasi sebuah masyarakat

dalam melihat realitas untuk disikapi dengan keyakinan dan kepercayaan.Tradisi

terbentuk dari mitos, legenda, epos, sejarah nyata yang pernah terjadi, maupun

refleksi seorang tokoh atas kehidupan yang saat itu sedang menjadi persoalan.

Wujud tradisi itu sendiri sangat bermacam-macam. Mulai dari upacara

keagamaan, upacara pernikahan, upacara kematian, upacara kelahiran,perayaan

hari-hari tertentu, maupun tradisi dalam wujud kesenian. Biasanya, aneka macam

tradisi tersebut antara daerah yang satu dengan daerah lainnya memiliki pola yang

mirip, tetapi ada sedikit perbedaannya. Hal itu juga terkait dengan pengetahuan

yang ada di masyarakat tersebut dan memiliki dasar makna dan filosofi tersendiri.

Tradisi dalam suatu masyarakat untuk dilihat nilainya bisa ditinjau dari

peran dan fungsi dengan pendekatan antropologi. Beberapa nilai seperti nilai

religius, nilai moral, nilai edukatif, dan nilai spiritual yang ada di dalam tradisi

hanya bisa dilihat dan dikaji dalam bentuk manifestasi, yang kemudian

diinterpretasikan. Dalam pandangan se-macam ini, tradisi menjadi akses yang

terus ditempuh dari waktu ke waktu untuk menjaga keseimbangan dimensi

kosmos alam semesta.3

3
Suwito,Agus Sriyanto,Arif Hidayat,”Tradisi dan Ritual Kematian Wong Islam Jawa”,
Jurnal Pendidikan, vol. 13, no 2, Juli-Desember 2015, h.3.

2
Ritual, jika diamati dan dianalisis, tidak hanya bersifat psikologis dan

mistis. Ritual melibatkan simbol-simbol tertentu baik dari sisi bahasa, gerak,

maupun perilaku ritual lainnya. Ritual memiliki makna yang hanya dapat

dipahami oleh orang yang mengerti akan maksud dan tujuan dari apa yang mereka

lakukan sekaligus juga memahami makna dan arti dari apa yang mereka lakukan.

Dalam hal ini, ritual merupaan ungkapan yang lebih bersifat logis daripada hanya

bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atau simbol-simbol yang

diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta

membentuk disposisi pribadi dari para pemuja mengikuti modelnya masing-

masing. Pengobjekkan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam

kelompok keagamaan.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa perilaku atau tindakan ritual

merupakan sebuah elemen paling penting dalam kehidupan kultural masyarakat.

Bahkan, sebenarnya hampir tidak mungkin berpikir tentang sebuah kebudayaan

dimana tidak ada ritual di dalamnya. Dalam hal ini, Malory Nye berpendapat

bahwa sebagian besar perilaku ritual dilakukan secara tidak disadari

(direnungkan), keluar dari kebiasaan, bahkan tanpa memikirkan tentang apakah

ada makna dan tujuan dibalik tindakan ritual tersebut.4

Salah satu adat yang mendapat pengaruh Islam adalah adat kematian.

Kematian adalah suatu peristiwa yang tidak dapat diramalkan dan berada di luar

jangkauan pikiran manusia dalam Islam dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa

pasti akan mengalami yang namanya kematian. Hal tersebut terdapat dalam QS

Al– Anbiya : 35

ِ ۗ ْ‫قَةُ ْال َمو‬bِ‫س َذ ۤا ِٕٕى‬


َ‫ت َونَ ْبلُوْ ُك ْم بِال َّش ِّر َو ْالخَ ي ِْر فِ ْتنَةً َۗواِلَ ْينَا تُرْ َجعُوْ ن‬ ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬
Terjemahnya:

4
R.romi,Skripsi:”Ritus Kematian Etnis Bugis di Karangantu Banten”,(Banten:UIN
Banten,2019), h. .23-24.

3
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya).dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.

Berdasarkan penjelasan dalam surat Al Anbiya ayat 35 tersebut, maka umat


muslim dapat memaknai bahwasanya waktu hidup manusia dan makhluk hidup
lainnya di dunia hanyalah sementara, sebab setiap yang bernyawa kelak akan
menemui kematian. Oleh karena itu, sebagai manusia yang masih diberi
kesempatan untuk hidup, maka kita haruslah memanfaatkan waktu hidup tersebut
sebaik mungkin sebelum Allah SWT menarik nikmat kehidupan di dunia tersebut.

Dari sini penjelasan ini, manusia tak pantas untuk menyombongkan diri
dengan segala kelebihan yang ia miliki karena pada hakikatnya semuanya milik
Allah serta akan kembali kepada-Nya dan manusia akan diminta
pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang ia lakukan.5

Tradisi upacara kematian terkhusus di daerah Kabupaten Jeneponto


memperlihatkan suatu bentuk keunikan dan perbedaannya dengan daerah-daerah
yang lain didalam melaksanakan atau memperingati tiap orang yang meninggal.
Ada tradisi yang secara turun-temurun yang masih dipertahankan karena dianggap
adalah sesuatu yang sangat signifikan memberikan nilai yang bermakna bagi
semua orang dalam menyadari perjalanan spritualnya menuju kematian.
Tradisi yang dimaknai sebagai bentuk praktik kepercayaan nenek moyang
yang secara permulaan lahir sebelum Islam hadir sebagai ruang ultimatum bahwa
Islam merupakan Agama yang sangat universal dan holistik sehingga
memungkinkan bagi masyarakat untuk lebih mudah memahami Islam melalui
proses akulturasi Budaya dan Agama sebagai ruang menemu kenali substansi dari
tradisi tersebut.

Tradisi “Ammaca Kitta” (Membaca Kitab) di desa Jombe, Kecamatan

Turatea, Kabupaten Jeneponto adalah sebuah ritual yang sudah ada sejak zaman

nenek moyang sebagai implementasi ajaran Islam dalam memperingati tiap orang

5
Muhammad Afif Sholeh, “Tafsir Surat Al-Anbiya Ayat 35 Tentang Ujian Hidup”,
(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah,2019),hal.1

4
yang mati dan menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an kepada semua manusia

yang masih hidup tekhusus pada masyarakat yang ada disekitarnya.

Ammaca Kitta biasanya dibacakan oleh seorang Imam atau tupanritayya

(Orang pintar) pada daerah tersebut selama beberapa malam dalam memperingati

orang yang berpulang sekaligus sebagai pengingat kepada yang masih hidup.

Kitab yang dibacakan pun adalah manuskrip dalam bentuk tulisan arab yang

berbahasa daerah seperti apa yang menjadi Bahasa keseharian di Desa Jombe,

Kecamatan Turatea, Kabupaten Jeneponto.

Tetapi di era globalisasi seperti hari ini muncul berbagai bentuk

kekhawatiran terhadap generasi baru yang hari ini yang kadang tak mampu untuk

kita pahami makna dari setiap Tradisi kearifan lokal yang ada dan pada akhirnya

sudah dianggap sebagai sesuatu yang tidak lagi relevan dengan hari ini.

Dari penjelasan di atas peneliti tertarik untuk menelaah lebih spesifik lagi

tentang tradisi Ammaca Kitta’ yang merupakan tradisi yang sangat jarang ditemui

pada daerah-daerah lain sehingga memungkinkan titik fokus yang lebih dalam

proses penelitiannya nanti.

B. Fokus Penelitian Dan Deskripsi Fokus

1. Fokus Penelitian

Penelitian ini berjudul “Ritual Ammaca Kitta’ Dalam Tradisi Upacara

Kematian Masyarakat Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten Jeneponto”.

Peneliti hanya memfokuskan pada telaah kritis tentang pengaruh signifikan

terhadap masyarakat pada tradisi upacara kematian di Desa Jombe Kecamatan

Turatea Kabupaten Jeneponto.

2. Deskripsi Fokus

Deskripsi fokus merupakan penegasan untuk menjabarkan variabel fokus

penelitian terkait batasan masalah yang akan diteliti, untuk menghindari terjadinya

5
penafsiran yang keliru maka perlu dijelaskan tentang variabel dari fokus

penelitian ini, yaitu:

a. Ritual

Ritual merupakan teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan

menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan

agama, karena ritual merupakan agama dalam tindakan.6 Ritual bisa pribadi atau

berkelompok, serta membentuk disposisi pribadi dari pelaku ritual sesuai dengan

adat dan budaya masing-masing. Sebagai kata sifat, ritual adalah dari segala yang

dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti upacara

kelahiran, kematian, pernikahan dan juga ritual sehari-hari untuk menunjukan diri

kepada kesakralan suatu menuntut diperlakukan secara khusus.7

b. Ammaca Kitta’

Ammaca Kitta (Membaca Kitab) adalah sebuah ritual yang sudah ada

sejak zaman nenek moyang sebagai implementasi ajaran Islam dalam

memperingati tiap orang yang mati dan menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an

kepada semua manusia yang masih hidup tekhusus pada masyarakat yang ada

disekitarnya.

Dengan membaca kalam ilahi dalam bentuk Bahasa yang disesuaikan

dengan Bahasa sehari-hari yang ada didalam masyarakat dianggap sebagai sesuatu

yang lebih signifikan memberikan pengaruh dan jauh lebih menyentuh wilayah

kesadaran dalam memahami perjalanan spritualnya menuju sang Khaliq dan

senantiasa mengingat kematian.

6
Mariasusai Dhavamony, Fenomologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h.167.
7
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 95.

6
c. Tradisi

Tradisi dalam kamus antropologi sama dengan adat istiadat, yakni

kebiasaan-kebiasaan yang bersifat magis-religius dari kehidupan suatu penduduk

asli yang meliputi mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan

aturanaturan yang saling berkaitan, dan kemudian menjadi suatu sistem atau

peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya dari

suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial.8 Sedangkan dalam kamus

sosiologi, diartikan sebagai adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun

temurun dapat dipelihara.9

d. Upacara Kematian

Upacara atau ritual secara umum dipahami sebagai ekspresi keagamaan

dalam wujud perilaku yang dijadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan

hal-hal yang gaib. Dalam tataran implementasi atau praktek ritual tersebut, tampil

beragam berdasarkan kepercayaan masing-masing sekaligus merupakan

karakteristik budaya komunitas tertentu. Sehubungan dengan upacara atau

perayaan keagamaan, Hiviland menjelaskan bahwa upacara merupakan sarana

untuk menghubungkan antara manusia dengan hal-hal keramat yang diwujudkan

dalam praktik (in action), karena itu, menurutnya upacara bukan hanya sarana

untuk memperkuat ingatan social kolompok dan mengurangi ketegangan, tetapi

juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting.10

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa

sub-sub masalah sebagai berikut:

8
Ariyono dan Siregar, Aminuddi. Kamus Antropologi, (Jakarta:Akademik Pressindo,
1985), h. 4.
9
Soekanto, Kamus Sosiologi. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1993), h. 459.
10
Andi Nasrullah, Skripsi ”Tradisi Upacara Adat Mappogau Hanua Karampuang di
Kabupaten Sinjai (Studi Kebudayaan Islam)”,(Makassar,Juni,2016), h. 30.

7
1. Apa saja makna yang terkandung di dalam Ritual Ammaca Kitta’ dalam

tradisi upacara kematian di Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto?

2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap Ritual Ammaca Kitta dalam

tradisi upacara kematian di Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto?

D. Tinjauan Pustaka

Yang dimaksud tinjauan pustaka adalah usaha untuk menemukan tulisan

yang berkaitan dengan judul skripsi ini, dan juga merupakan tahap pengumpulan

data yang tidak lain tujuannya adalah untuk memeriksa apakah sudah ada

penelitian tentang masalah yang dipilih dan juga untuk membantu penulisan

dalam menemukan data sebagai bahan perbandingan agar supaya data yang dikaji

itu lebih jelas. Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa

literature sebagai bahan acuan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Diantara

litertur yang penulis pergunakan dalam menyusun skripsi ini, antara lain;

1. Zulkarnain dalam tesisnya “Tradisi Upacara Kematian: Suatu Studi

Antropologis Pada Masyarakat Jawa diTebing Tinggi (2017).”

menjelaskan bahwa upacara kematian adalah salah satu tradisi yang

masih sering dilakukan oleh masyarakat jawa, selain dari upacara lain

seperti menyambut kelahiran dan perkawinan. upacara kematian

merupakan ritual yang telah dilaksanakan secara turun temurun oleh

masyarakat jawa sebagai wujud dari penghormatan kepada para arwah,

juga sebagai wujud bantuan dari keluarga yang hidup agar arwah tenang

dan dapat diterima Tuhan YME. upacara adat kematian dapat bertahan

ditengah masyarakat jawa tidak terlepas dari faktor pemahaman

keagamaan yang dianut sebagian besar masyarakat jawa yaitu paham

8
kaum tua. keyakinan bahwa doa dan pahala yang disampaikan oleh orang

yang masih hidup kepada yang sudah meninggal akan sampai kepada si

mayit membuat tradisi upacara kematia tetap bertahan meskipun dengan

berbagai macam perbedaan. paham kaum tua membuka diri terhadap

norma adat sehingga dalam pelaksanaan sunatan, mengayunkan dan

perkawinan selalu diiringi tepung tawar.11

2. Lisa Zuana menjelaskan dalam skripsinya dengan judul “Tradisi Reuhab

dalam masyarakat Gampong Kota Aceh (Studi kasus kecamatan

Seunangan Kabupaten Nagan Raya)”, menjelaskan diantara tradisi yang

telah mengakar ditengah-tengah masyarakat seunangan adalah upacara

kematian, dimana terdapapat suatu tata cara yang sering dilakukan oleh

masyarakat yaitu, jika seseorang meninggaldunia maka dilakukan

upacara-upacara mulai dari hari pertama, proses pemakaman, sehingga

selesai pemakaman. 12

3. Skripsi Saenal Abidin yang berjudul upacara adat kematian di

Kecamatan Salomekko Kabupaten Bone. Penelitian tersebut membahas

mengenai adat kematian di Salomekko sebelum Islam dan setelah Islam

masuk san dianut oleh masyarakat Salomekko. Penelitian ini berfokus

pada sejarah adat kematian di Salomekko dan meninjau upacara adat

kematian dari segi adat, budaya dana agama. Penduduk di Kecamatan

Salomekko beragama Islam, tapi hanya sebagian saja yang taat

melaksanakan ajaran Islam, pengaruh Islam dalam adat kematian masih

cukup terasa dikalangan masyarakaat Salomekko, pelaksanaan upacara

11
Zulkarnain, “Tradisi Upacara Kematian: Suatu Studi Antropologis Pada Masyarakat
Jawa di Tebing Tinggi”. Tesis (Medan: Program Studi Antropologi Sosial, Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Medan, 2017), h. 12.
Lisa Zuana, “Tradisi Reuhab dalam masyarakat Gampong Kota Aceh (Studi kasus
12

kecamatan Seunangan Kabupaten Nagan Raya)”Skripsi(Banda Aceh:UINAr-Raniry, 2018),h.3.

9
kematian di Salomekko masih dirangkaian dengan kebiasaan lama

mereka yang sulit untuk dihilangkan oleh masyarakat Salomekko. Dalam

penelitian ini tidak menjelaskan secara detail pelaksanaan upacara adat

kematian terutama pada peringatan hari kematian. Hal tersebut yang akan

membedakan dengan penelitian ini nantinya yang akaan membahas lebih

mendalam terutama pada peringatan hari kematian. 13

4. Ari Abi Aufa dalam Jurnalnya dengan judul “Memaknai kematian dalam

upacara adat kematian dijawa”. Menjelaskan ritual kematian, dalam

tradisi jawa, merupakan bentuk penghormatan yang diberikan oleh yang

hidup terhadap yang mati, diiringi dengan doa-doa untuk kebaikan sang

jenazah sekaligus pengingat bagi yang hidup bahwa suatu saat akan

mengikuti jejaknya. ritual ini biasanya berlangsung selama beberapa hari

dan terus dilakukan dalam durasi beberapa tahun setelahnya.14

Penelitian-penelitian tersebut telah banyak menambah wawasan

pengetahuan khususnya kepada peneliti mengenai upacara adat kematian

dibeberapa daerah dan sangat membantu dalam penelitian ini nantinya. Akan

tetapi penelitian kali tidak hanya mengkaji tentang upacara kematian secara umum

saja tetapi penelitian kali ini akan lebih mencoba menganalisis lebih spesifik

terhadap Ritual Ammaca Kitta’ di dalam Upacara kematian yang ada di daerah

Kabupaten Jeneponto yang sama sekali tidak pernah dibahas oleh para peneliti

sebelumnya.

Penelitian ini juga bertujuan untuk menghormati Sang Pencipta Tuhan

yang Esa dan para leluhurnya, sekaligus juga sebagai wujud dalam melestarikan

13
Saenal Abidin,”Upacara Adat Kematian di Kecamatan Salomekko Kabupaten Bone”,
Skripsi (Makassar,15 Desember 2010).
Ali Abi Auf, "Memaknai Kematian Dalam Upacara Kematian di Jawa”, Jurnal
14

Humaniora,vol.2 No.1 (Diakses pada tanggal 12 Oktober 2021).

10
budaya dari generasi ke generasi yang lain. Selain itu, sebagai bentuk keselamatan

keluarga serta dirinya sendiri dalam ruang lingkup sosial.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan

Dengan rumusan masalah tersebut maka dapat ditetapkan tujuan

penulisannya sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam Tradisi “Ammaca Kitta”

dalam upacara kematian di Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto.

b. Untuk mengetahui pandangan masyarakat dalam Tradisi “Ammaca Kitta”

pada upacara adat kematian di Desa Jombe Kecamatan Turatea Kabupaten

Jeneponto.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian dalam penulisan draft ini adalah sebagai

berikut:

a. Kegunaan Ilmiah

Penelitian diharapkan dapat berguna dalam pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang kajian budaya dan tradisi dan dapat menjadi

bahan rujukan bagi kepentingan ilmiah dan praktis lainnya, serta dapaat menjadi

langkah awal bagi penelitian serupa didaerah-daerah lain.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat mengajak masyarakat

khususnya di Desa Jombe untuk lebih menjaga dan melestarikan budaya yang

dimiliki sehingga dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya.

11
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII

Pada masa awal beberapa kerajaan besar Sulawesi Selatan terbentuk

melalui konsep tomanurung untuk melebur bentuk konfederasi menjadi satu

kesatuan pemerintahan berbentuk kerajaan dengan mengangkat dan menobatkan

tokoh awal yang diberi predikat tomanurung (secara harfiah berarti “orang yang

diturunkan”) itu sebagai raja pertama. Hal itu terjadi bagi kerajaan-kerajaan

seperti Gowa, Bone, Soppeng, Marusu, Bantaeng, Sinjai dan lainnya. Sementara

yang lainnya merupakan proses dari kedudukan sebagai ketua konfederasi yang

kemudian menjadi jabatan pewarisan sebagai kelompok memegang kendali politik

utama konfederasi itu sehingga meleburnya menjadi bentuk kerajaan. Model ini

berlaku untuk Jeneponto dan Kerajaan Wajo.

Ajaran Islam mulai dikenal secara resmi di wilayah Makassar sekitar tahun

1500- an, pada masa Raja Gowa ke IX bernama Daeng Mantanra Karaeng

Manguntungi Tumapa’risika Kallonna. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan

adanya Masjid yang dibangun pertama kali di daerah Manggalekanna tahun 1538

M.15

Dalam sejumlah literatur sejarah sebagaimana yang diutarakan, didapatkan

informasi bahwa secara khusus Islamisasi di Sulawesi Selatan tidak dapat

dipisahkan dari peran utama tiga mubalig yang ditugaskan untuk menyebarkan

agama Islam, yaitu dari Minangkabau Sumatera Barat yang terkenal di kalangan

masyarakat Bugis “Datu Tellue”. Mereka ini adalah: Abdul Kadir Datuk Tunggal

dengan panggilan Datuk ri Bandang, Sulung Sulaeman yang digelar Datuk

15
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol.9 No.1 (Diakses
Januari 2020), 2

12
Patimang, dan Khatib Bungsu yang digelar Datuk ri Tiro. Ketiga ulama ini

berbagi tugas wilayah dalam melakukan kegiatan penyebaran Islam. Datuk ri

Bandang bertugas di kerajaan kembar Gowa-Tallo, Datuk Patimang bertugas di

Kerajaan Luwu, dan Datuk ri Tiro bertugas di daerah Tiro Bulukumba. Islamisasi

di Sulawesi Selatan dilakukan dengan strategi mengislamkan penguasa kerajaan,

dan sangat terlihat strategi ini berhasil dan masif. Jika agama sebelumnya seperti

Hindu dan Budha di Sulawesi Selatan tidak berkembang sebesar Islam, salah satu

faktornya bisa karena bentuk penyebaran agama dilakukan. Namun menariknya,

kedatangan Islam di daerah Gowa, selanjutnya menjadi agama resmi kerajaan

tersebut, ternyata telah diawali oleh beberapa penguasa lokal yang disebut sebagai

konfederasi Turatea yang menjadikan Islam sebagai agama yang dianut.16

Konfederasi Turatea sendiri merupakan perhimpunan tiga kerajaan di

Sulawesi Selatan yang meliputi Kerajaan Binamu, Kerajaan Bangkala dan

Kerajaan Laikang (Takalar sekarang). Ketiga kerajaan tersebut mempunyai sistem

pemerintahan sendiri dan menjalin hubungan dengan kerajaan besar yakni

Kerajaan Gowa- Tallo juga Kerajaan Bone.

Kerajaan Gowa- Tallo menjadikan Islam agama kerajaan, penguasa

(bangsawan) dan rakyat Konfederasi Turatea telah menganut Islam. Dikisahkan

bahwa Sayid Jalaluddin Al Aidid yang mengawali perjalanan syiar Islamnya dari

Aceh singgah di Kutai. Ketika itu ia berjumpa dengan seorang bangsawan Binamu

yang berhasil diajak untuk menganut ajaran Islam, ia kemudian melamar putri

bangsawan itu dan menikahinya.

Kedatangan Islam di Sulawesi Selatan tentunya bukan hanya membawa

ajaran ideologi semata tetapi juga adat kebiasaan, kesenian, bahasa, tulisan dan

16
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, vol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), 3

13
unsur budaya lainnya, yang disebut dengan kebudayaan Islam. Pada proses

Islamisasi tersebut, terdapat percampuran kebudayaan. Sebagaimana diketahui

sebelum datangnya budaya Islam di Sulawesi Selatan sudah ada kebudayaan

prasejarah, termasuk juga kepercayaan animisme dan dinamisme. Pengaruh

Hindu-Budha juga turut berakulturasi dengan kepercayaan sebelumnya, beberapa

kepercayaan tercampur dalam bentuk sinkretisme.17

Hanya sedikit yang diketahui tentang sejarah kerajaan Bangkala atau

Binamu karena belum banyak yang telah diteliti dengan baik oleh para arkeolog.

Meskipun demikian proses rekonstruksi sudah dimungkinkan, setidaknya pada

bagian tertentu yaitu asal usul dan perkembangan awal melalui sumber-sumber

diantaranya tulisan lontara yaitu sebuah naskah tradisional yang ditulis

menggunakan bahasa Bugis dan Makassar juga tradisi lisan terkini masyarakat

Jeneponto.

Salah satu sumber primer yang digunakan untuk membantu

mengungkapkan eksistensi Islam di konfederasi Turatea abad XVII serta

memperlihatkan bentuk sinkretisme yang terjadi misalnya pada daerah Binamu

dan Bangkala saat ini menjadi kecamatan di kabupaten Jeneponto yakni

mempunyai beberapa titik situs kompleks makam raja. Diantaranya Kompleks

Makam Kalimporo, Makam Karaeng Labbua Tali Bannanna, kompleks Makam I

Maddi Daeng Rimakka, Kompleks Makam Bataliung, Kompleks Makam

Manjang Loe, Kompleks Makam Joko, Kompleks Makam Sapanang, Makam

Patima Daeng Ti’no. Temuan arkeologis dimulai dari bentuk makam dan susunan

17
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, vol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), 4

14
batu makam yang bersusun keatas, yang menjelaskan semakin tinggi tingkatannya

menunjukkan derajat kepemimpinannya.18

Catatan mengenai pertemuan tokoh agama dengan petinggi kerajaan

Binamu yaitu Paddewakkang Daeng Rangka, menujukkan masyarakat Turatea

senantiasa memandang penguasanya sebagai elit lokal atau figur panutan. Apa

yang dipandang baik dan benar pasti akan diterima juga oleh rakyatnya. Hal ini

yang mendasari sehingga proses syiar Islam di daerah ini diawali dengan

mengajukan kepada penguasa, jika penguasa menerima ajakan untuk menjadi

penganut Islam maka rakyatnya pasti dengan senang hati ikut menganut ajaran itu.

Itulah sebabnya proses syiar Islam di daerah ini dinyatakan sebagai proses

Islamisasi, penguasa ikut berperan mendorong penganjur ajaran agama Islam

untuk menyiarkan kepada rakyatnya. Menurut penulis pola distribusi kekuasaan

yang berpusat pada figur sebagai penguasa lokal merupakan sarana paling ampuh

menyebarkan ajaran agama.

Penerimaan ajaran Islam dibeberapa tempat di Nusantara secara umum

memiliki pola yang serupa, yakni: (1) Islam diterima lebih dahulu oleh

masyarakat lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima oleh lapisan atas

atau elit penguasa kerajaan dan (2) Islam diterima langsung oleh elit penguasa

kerajaan kemudian disosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah.

Keberhasilan syiar Islam memperlihatkan adanya pola top down, yaitu: Islam

awalnya diterima langsung oleh Raja, kemudian turun ke bawah yaitu rakyat.

Artinya, Setelah raja menerima agama Islam dan menjadikannya sebagai agama

18
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, vol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), h.7

15
Negara, maka otomatis seluruh rakyat kerajaan akan mengikuti raja yang

memeluk agama tersebut.19

1. Transformasi kebudayaan era Islam pada Masyarakat Turatea

Setelah masuknya ajaran Islam di Turatea turut mempengaruhi sistem

norma dan aturan-aturan adatnya. Hal ini terlihat pada unsur

pangadereng/pangadakkang sebuah tata nilai tradisi yang sudah lama ada,

bertambah satu yakni adanya unsur sara' yang dikaitkan dengan syariat Islam di

tatanan sosial-budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Penambahan nilai baru dalam

sebuah kebudayaan berpotensi adanya akulturasi dan memungkinkan terjadinya

sinkretisme pada masyarakat. Hal ini disebabkan karena unsur kebudayaan yang

ada tidak dihilangkan sampai habis tetapi berusaha disinkronkan dengan

kebudayaan asing yang datang.

Budaya, tradisi, dan adat istiadat bersifat relatif karena ia merupakan

produk manusia melalui proses alami yang tidak mesti selaras dengan ajaran

Ilahiah. Terjadinya akulturasi budaya dalam lingkungan masyarakat bahwasanya

proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan

tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing dengan sedemikian

rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah

ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian

kebudayaan itu sendiri. Adanya unsur religi baru masuk yakni Islam,

memungkinkan terjadinya sinkretisme dalam kehidupan sosial budaya masyarakat

Bugis-Makassar. Hal ini disebabkan karena sebelum datangnya Islam, masyarakat

telah menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme juga terpengaruh dengan

hindu-budha yang sulit dihilangkan. Sinkretisme menciptakan suatu yang baru

19
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, nol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), h. 12

16
dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa

kepercayaan untuk dijadikan bagian integral dari kepercayaan baru tersebut.

Percampuran kepercayaan tersebut dapat ditelusuri melalui wujud budaya

yang bersifat artefaktual dan non artefaktual. Percampuran budaya dan

perkembangannya, dapat dilihat dari peninggalan arkeologisnya seperti pada

makam, masjid dan naskah kuno berupa aksara serang, (Aksara serang adalah

aksara yang menggunakan aksara Arab, namun bahasa yang dipergunakan adalah

bahasa Bugis-Makassar.) hal yang paling menonjol adalah peninggalan makam.

Hal ini disebabkan karena makam merupakan bagian dari proses ritual dan

tingkah laku sosial sebagai bagian dalam siklus kehidupan manusia. Selain itu,

makam juga sebagai media untuk pengungkapan ekspresi manusia terhadap hal-

hal yang dipahaminya yang berkaitan dengan penghormatan leluhur.

Proses transformasi kebudayaan dari pra-Islam menuju Islam telah

mengambil porsi pada pembuatan makam Islam dengan beragam atributnya,

termasuk yang terdapat di kompleks makam-makam raja Binamu.20

Tranformasi kebudayaan tidak lantas mengubah semua tatanan lama.

Islamisasi pada Konfederasi Turatea dan di wilayah Indonesia pada umumnya

dimungkinkan memperlihatkan corak yang serupa. Konsep alkurturasi

memperlihatkan adanya ikatan yang kuat antara kebudayaan pra Islam dan

kebudayaan Islam. Bertemunya nilai kebudayaan lama dengan kebudayaan baru

selayaknya dipandang sebagai kekayaan budaya yang berpotensi untuk dirawat

dan dilestarikan sebagai keragaman dan harmoni budaya nusantara.

20
Eka Yuliana Rahman, “Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad XVII
(Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan Sejarah, vol.9 no.1 (Diakses
Januari 2020), h. 19

17
B. Ritual

Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat

yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan adanya

berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat

dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orangorang yang

menjalankan upacara.21

Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama

dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu,

ditempat tertentu dan memakai pakaian tertentu pula. 22 Begitu halnya dalam ritual

upacara kematian, banyak perlengkapan, benda-benda yang harus dipersiapkan

dan dipakai.

Ritual merupakan teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan

menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan

agama, karena ritual merupakan agama dalam tindakan.23 Ritual bisa pribadi atau

berkelompok, serta membentuk disposisi pribadi dari pelaku ritual sesuai dengan

adat dan budaya masing-masing. Sebagai kata sifat, ritual adalah dari segala yang

dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti upacara

kelahiran, kematian, pernikahan dan juga ritual sehari-hari untuk menunjukan diri

kepada kesakralan suatu menuntut diperlakukan secara khusus.24

Ritual dibedakan menjadi empat macam, yaitu :

21
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), h.
56
22
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001), h. 41
23
Mariasusai Dhavamony, Fenomologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 167.
24
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 95.

18
a. Tindakan magis, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang

bekerja karena daya-daya mistis.

b. Tindaka religius, kultur para leluhur juga bekerja dengan cara ini.

c. Ritual konstitutif, yang mengugkapkan atau mengubah hubungan sosial

dengan merujuk pada pengertian mistis, dengan cara ini upacaraupacara

kehidupan menjadi khas.

d. Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan pemurnian

dan perlindungan atau dengan cara meningkatkan kesejahteraan materi suatu

kelompok.

Tujuan Ritual dalam antropologi, dimaknai sebagai aktifitas untuk

mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, agar mendapatkan berkah atau rizki

yang banyak dari suatu pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun

kesawah, ada yang untuk menolak bahaya yang telah atau diperkirakan akan

datang, ritual untuk meminta perlindungan juga pengampunan dari dosa ada ritual

untuk mengobati penyakit, ritual karena perubahan atau siklus dalam kehidupan

manusia. Seperti pernikahan, mulai dari kehamilah, kelahiran, kematian dan ada

pula upacara berupa kebalikan dari kebiasaan kehidupan harian, seperti puasa

pada bulan atau hari tertentu, kebalikan dari hari lain yang mereka makan dan

minum pada hari tersebut. Memakai pakaian tidak berjahit ketika berihram haji

atau umrah adalah kebalikan dari ketika tidak berihram25.

Dalam setiap ritual penerimaan, ada tiga tahap, yaitu perpisahan, peralihan

dan penggabungan. Pada tahap persiapan, individu dipisahkan dari suatu tempat

atau kelompok atau status. Dalam setiap peralihan, ia disucikan dan menjadi

subjek bagi prosedur-prosedur perubahan. Sedangakan prosedur pada masa

penggabungan ia secara resmi ditempatkanpada suatu tempat, kelompok atau

25
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia ( Raja Grafindo Persada, 2006), h.
96-97.

19
status yang baru. Ritual penrimaan cenderung dikaitkan dengan krisis-krisis

hidup individu - individu, mereka mengajukan pendapat untuk menambahkan

suatu katagori baru, namun mirip secara fundamental, yakni ritual intensifikasi.

Ini merupakan lebih dari pada individu yang terpusat meliputi upacaupacara

seperti tahun baru, yang mengantisipasi akhir musim dingin dan permulaan

musim semi, serta ritual-ritual perburuan dan pertanian, serta ketersediaan buruan

dan panenan.26.

Ritual dipraksiskan di dalam masyarakat didasarkan kepada kepercayaan

dan agama yang dianutnya. Dalam agama dan kepercayaan berkembang

serangkaian ritual yang “harus” dan “wajib” untuk dilakukan oleh para

penganutnya.

C. Tradisi

Masuknya Islam di Sulsel tidak menjumpai ruang yang kosong dari

kebudayaan. Masyarakat Sulsel sebelumnya sudah memiliki apa yang disebut

kebudayaan dan kepercayaan yang telah diamalkan secara turun temurun dari

zaman nenek moyang. Budaya Sulsel bersifat unik dan khas, karena berbeda

dengan budaya di daerah jawa dan Sumatera yang cukup kental dengan pengaruh

Sansekerta (India) maupun budaya Cina (untuk Sumatera) serta agama Hindu dan

Buddha. Budaya Sulsel masih menampakkan keoriginalannya sebagai budaya

yang lahir dari masyarakat pribumi yang tidak terlalu mendapatkan pengaruh dari

budaya luar. Diterimanya Islam pada masyarakat Sulsel, maka beberapa sendi

kehidupan masyarakat mengalami warna baru. Hal ini dapat dilihat dalam pola-

pola sosial, sistem budaya, dan bahkan birokrasi kepemimpinan yang mengalami

perubahan. Kedatangan Islam memunculkan pemahaman baru bahwa Islam

datang untuk menguatkan adat yang baik dan merombak adat yang tercela.

26
Bustanul Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 120.

20
Seluruh sendi kehidupan pribadi dan sosial masyarakat, sedikit-banyaknya

mengalami persentuhan dan pengaruh ajaran Islam.

Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan dari suatu generasi kegenerasi

berikutnya secara turun-temurun, mencakup berbagai nilai budaya yang meliputi

adat istiadat, sistem kepercayaan, dan sebagainya, kata tradisi berasal dari bahasa

Latin “tradition” yang berarti diteruskan. Dalam pengertian yang paling

sederhana, tradisi diartikan sebagai sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama

dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. 27 Dalam

pengertian tradisi ini, hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya

informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering

kali) lisan oleh karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Tradisi merupakan sebuah persoalan dan yang lebih penting lagi adalah

bagaimana tradisi tersebut terbentuk. Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang

dikutip oleh Muhaimin tentang istilah tradisi di maknai sebagai pengatahuan,

doktrin, kebisaaan, praktek dan lain-lain yang dipahami sebagai pengatahuan

yang telah diwariskan secara turun-temurun termasuk cara penyampaian doktrin

dan praktek tersebut.28

Dari penjelasan di atas secara implisit menjabarkan bahwa ada nilai yang

sangat fundamental yang dapat dipetik dalam menelaah makna yang terkandung

disetiap bentuk kebiasaan yang dilakukan yang bernuansa kebudayaan yang erat

kaitannya dengan Agama.

Perkembangan budaya Islam tidak menggantikan atau memusnahkan

kebudayaan yang sudah ada di Idnonesia. Karena kebudayaan yang berkembang

27
Nur Syam, Islam pesisir, Yogjakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2005, h.16-18.
28
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
2001), h. 11.

21
di nusantara sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat. sehingga terjadi

akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada.

D. Upacara Kematian

Upacara adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang masih

memiliki nilai yang cukup relevan bagi kebutuhan masyarakat pendukungnya.

Upaacara yang dilakukan sebagai bentuk perwujudan kemampuan manuasia

untuk menyesuaikan diri dengan alam lingkungan. Hubungan antara alam dan

manusia adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditolak, karena hubungan

tersebut memiliki nilai nilai sakral yang dianggap memiliki nilai yang sangat

tinggi. Hal ini diungkapkan dalam personifikasi mistik kekuatan alam, yakni

kepercayaan pada makhluk gaib, kepercayaan pada arwah leluhur, atau dengan

mengkonseptualisasikan hubungan antara berbagai kelompok sosial sebagai

hubungan antara binatang-binatang, burung-burung, atau kekuatan-kekuatan

alam.29

Upacara erat kaitannya dengan ritual-ritual keagamaan atau disebut juga

dengan ritus. Ritus adalah alat manusia religius untuk melakukan perubahan. Ia

juga dikatakan sebagai simbol agama, atau ritual itu merupakan “agama dan

tindakan”.30 Ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan

kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya, kepercayaan seperti inilah yang

mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan atau tindakan yang

bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib penguasa alam melalui ritual-

ritual, baik ritual keagamaan (religious ceremonies) maupun ritual-ritual adat

lainnya yang dirasakan oleh masyarakat sebagai saat-saat genting, yang bias

Zayadi Hamzah, Islam dalam Perspektif Budaya Lokal (Yogyakarta: Madani Press,
29

1992), h.131.
Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-Orang NU (Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi
30

Aksara, 2006), h. 267.

22
membawa bahaya gaib, kesengsaraan dan penyakit kepada manusia maupun

tanaman.31

Kepercayaan ini telah menjadi tradisi dan menjadi bagian dari kehidupan

sehari-hari sebagian besar masyarakat karena telah diwariskan secara turun-

temurun oleh nenek moyang mereka kepada generasi berikutnya.32

Ritual dan sistem kepercayaan merupakan salah satu unsur kebudayaan

yang bisa dihampiri dalam setiap kelompok masyarakat di dunia. Ritual

keagamaan merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang

keramat, inilah agama dalam praktek ritual bukan hanya sarana yang memperkuat

ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk

merayakan peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis seperti

kematian, tidak begitu mengganggu bagi masyarakat, dan bagi orang-orang yang

bersangkutan lebih ringan untuk diderita.33

Kematian adalah keniscayaan yang tidak terelakkan, bisa dirasakan oleh

manusia kapan saja di sepanjang kehidupannya. Kematian merupakan sesuatu

yang penuh misteri sehingga banyak tinjauannya apabila dilihat dari pendekatan

ilmiah, salah satu kajiannya adalah melalui tinjauan psikologi qur’ani. Sebagai

suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada pengalaman duniawi,

justru jika dikaitkan dengan ilmu agama berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits

maka ilmu pengetahuan itu menjadi bermakna atau bermanfaat bagi kehidupan di

dunia dan di akhirat kelak. Dalam pendekatan psikologi qur’ani, kematian

dipandang sebagai peristiwa yang ghaib dialami oleh setiap insan yang hidup

pasti mengalami kematian ataupun wajib merasakan peristiwa kematian.

Psikologi qur’ani dapat mempelajari bagaimana sikap dan pandangan manusia

31
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984),h.243-246.
32
M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011),h.16.
33
Soekadijo, Antropologi. Jilid 2.(Jakarta: Erlangga, 1993), h.207

23
terhadap masalah kematian, bagaimana psikis manusia disaat-saat menjelang

peristiwa kematian (sakratul maut). Kepercayaan manusia terhadap kematian

merupakan salah satu motivasi manusia beragama. Boleh dikatakan bahwa

adanya kematian atau mengingat mati merupakan dasar manusia untuk

beragama.34

Upacara kematian juga mengandung nilai-nilai budaya yang dapat

dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bersama dan bekal kehidupan di

kemudian hari. Nilai-nilai itu antara lain kegotong-royongan, kemanusiaan, dan

religius. Bahwa berkaitan dengan konsep kematian mengatakan bahwa kematian

adalah sebagai proses penyucian terhadap dosa-dosa yang tidak bisa kita

bersihkan sepanjang hidup kita.35

Maksudnya dengan adanya kematian tersebut manusia akan kembali lagi

pada proses pensucian. Dan hasilnya setelah kita meninggal dunia, masih banyak

dosa-dosa kita yang belum terputihkan ketika di dunia, baik oleh taubat maupun

musibah. Karena itu dari kasih sayang Allah Swt maka Tuhan melakukan lagi

proses pembersihan. Hanya saja proses pembersihan itu tidak lagi berasal dari

amal kita. Sebab setelah mati, putuslah segala amalnya. Menurut Ibn Qayyim,

pada waktu mati ada proses pembersihan terhadap diri kita. Ialah, sakitnya pada

saat sakaratul maut. Ia menjadi penebus dari beberapa dosa. Perbuatan dosa yang

paling besar pada sakitnya sakaratul maut adalah berbuat dzalim terhadap sesama

hamba Allah dan menyakiti hati orang lain.36

Kematian adalah sesuatu yang pasti, maka upacara sebagai bentuk

momentum dalam memahami dan menyadari makna perjalanan spritual agar tak

34
Miskahuddin,”Kematian dalam Persepektif Psikologi Qur’ani”, Jurnal Vol.16, No.1,
Januari 2019, h. 1.
35
K.H. Jalaluddin Rahmat, Memaknai Kematian (Bandung: Pustaka II Man, 2006),15.
36
K.H. Jalaluddin Rahmat, Memaknai Kematian, h. 22.

24
lalai oleh fana kehidupan dunia. Upacara kematian dilakukan untuk menghormati,

mendoakan, dan berkhidmat terhadap orang yang meninggal agar dalam proses

perjalanan spritualnya mendapatkan ridho sang pencipta berangkat dari harapan-

harapan yang dilantunkan oleh orang yang masih hidup melalui upacara tersebut.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penilitian yang digunakan penulis adalah penelitian kualitatif yang

lebih dikenal dengan istilah naturalisme inquiry (ingkuri alamiah). 37 penelitian

kualitatif adalah penelitian yang tidak mengadakan perhitungan dengan

angkaangka, karena penelitian kualitatif adalah penelitian yang memberikan

gambaran tentang kondisi secara faktual dan sitematis mengenai faktor-faktor,

sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang dimiliki untuk melakukan

akumulasi dasardasarnya saja.38 Pandangan lain menyatakan bahwa penelitian

kualitatif adalah penelitian untuk melakukan eksplorasi dan memperkuat prediksi

terhadap suatu gejala yang berlaku atas dasar data yang diperoleh di lapangan.

2. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian adalah bertempat di Desa Jombe Kecamatan

Turatea Kabupaten Jeneponto.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam

memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian

agama baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan

jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup

37
Lexy. J. Moleog, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 3.
38
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2001), h. 1.

26
bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang

menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup

bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan perserikatan

hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada

cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.

Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan

masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya

yang saling berkaitan. Dengan ilmu sosiologi suatu fenomena sosial dapat

dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas

sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.

Pendekatan penelitian sosiologis digunakan untuk menemukan solusi atau

kemungkinan terbaik dalam memecahkan masalah sosial. Digunakan untuk

menganalisis gejala sosial yang terjadi dimasyarakat. Di samping itu digunakan

untuk mendapatkan gambaran sebab-akibat suatu fenomena, kebijakan sosial,

perubahan sosial maupun dalam rana tradisi kebudayaan.39

2. Pendekatan Antropologis

Antropologi dalam bahasa Yunani terdapat dua kata yaitu, anthropos

berarti manusia dan logos berarti studi. Jadi, antropologi merupakan suatu studi

disiplin ilmu yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang

makhluk manusia. Antropologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu

yang mempelajari tentang masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri

adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia. Maka antropologi adalah ilmu

tentang manusia khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat

istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau.40

M. Arif Khoiruddin, “Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam”,Jurnal Pendidikan,


39

Volume 25 No.2 (September 2014), h.394


40
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h.83.

27
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji

masalah manusia dan budayanya. Ilmu ini bertujuan untuk memperoleh suatu

pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk hidup, baik di masa lampau

maupun masa sekarang. Antropologi itu tidak lebih dari suatu usaha untuk

memahami keseluruhan pengalaman sosialnya. juga menggambarkan suatu bagian

sejarah daerah manusia itu, lingkungan hidup, cara kehidupan keluarga, pola

pemukiman, sistem politik dan ekonomi, agama, gaya kesenian dan berpakaian,

segi-segi umum bahasa, dan sebagainya. Maka hasil maksimum yang diperoleh

dari antropologi adalah fenomena yang menunjukkan adanya Tuhan.41

Pendekatan penelitian antropologis digunakan untuk mencapai pengertian

dan pandangan di berbagai masyarakat tentang pola perilaku manusia dalam

kehidupan masyarakat secara universal dan memahami masyarakat dan

kebudayaannya.

C. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat diklasfikasi kedalam jenis

sebagai berikut:

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer yang dimaksud adalah catatan hasil wawancara yang

diperoleh langsung dari narasumber, yang terdiri dari beberapa informan yang

meliputi: Kepala Desa, suami atau istri yang bersangkutan, orang-orang sekitar

atau tetangga, Tokoh pemuda dan Tokoh Agama.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang dimaksud yaitu: pustaka yang memiliki

relavansi dalam menunjang penelitian ini, dapat berupa: buku, majalah, koran,

internet, serta sumber data lain yang dapat dijadikan sebagai data pelengkap.

Koentjaraningrat, Budi Santoso, Kamus Istilah Antropologi ( Jakarta : Balai Pustaka,


41

1978/1979), h. 10.

28
D. Metode Pengumpulan Data

Untuk menunjang pembahasan ini, diperlukan data yang cukup sebagai

bahan analisis. Pengumpulan data dan informasi data yang dipakai adalah data

primer, yang diperoleh dari hasil interview dan data sekunder, yang diambil dari

data-data, catatan-catatan dan laporan-laporan serta literatur.

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap

gejala yang diteliti. Penggunaan metode observasi dalam penelitian ini

pertimbangan bahwa data yang dikumpulkan secara efektif bila dilakukan secara

langsung mengamati objek yang diteliti. Tehnik penulis ini gunakan untuk

mengetahui kenyataan yang ada di lapangan. Alat pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat, menganalisis secara sistematis.

Analisis ini secara langsung akan bersentuhan dengan aktivitas ritual yang

akan di teliti secara implisit dengan cara mengamati atau meninjau secara cermat

dan langsung di lokasi penelitian untuk mengetahui kondisi yang terjadi atau

membuktikan kebenaran dari sebuah desain penelitian yang sedang dilakukan.42

2. Interview/Wawancara

Interview atau wawancara adalah sebuah percakapan antara peneliti dan

informan adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan

oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyan itu.43

Metode ini digunakan untuk mengetahui informasi yang lebih luas dari

orang lain atau informan. Dengan menggunakan metode interview guide yaitu

panduan wawancara untuk mengajukan pertanyaan yang telah disusun sesuai

42
Syafnidawaty, “Pengertian Observasi”, (Tangerang, Universitas Raharja, 2020), h.1.
43
Robert K.Yin,Studi Kasus: Metode dan Desain Penelitian, (Jakarta :PT Rajawali,.
2002), h. 108-109

29
dengan tema penelitian kepada informan. Panduan wawancara ini digunakan oleh

penyusun untuk menghindari meluasnya cara pembicaraan wawancara.

Metode ini secara langsung akan berinteraksi dengan masyarakat pada

wilayah penelitian tersebut, dan terkhusus kepada seorang guru atau imam yang

merupakan orang yang memahami ritual tersebut.

3. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan

bendabenda tertulis seperti buku, majalah, dokumentasi, peraturan-peraturan,

notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya.44 Di samping itu, foto maupun

sumber tertulis lain yang mendukung juga digunakan untuk penelitian. Metode ini

digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang wilayah yang akan diteliti.

Pengumpulan data melalui metode ini akan mengumpulkan berbagai foto

dari aktivitas ritual tersebut.

E. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan gunakan oleh

penelitian dalam kegiatannya mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi

sistematis dan dipermudah olehnya.45 Jadi, instrumen penelitian adalah alat bantu

yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan informasi mengenai hal yang

sedang diteliti seperti catatan, handphone, dan pulpen.

Instrument penelitian yang akan digunakan peneliti yaitu, handphone

sebagai kamera dan perekam serta buku catatan.

F. Teknis Analisis Data

Teknik pengolahan data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang

dinyatakan dalam bentuk verbal yang diolah menja dijelas akurat dan sistematis.

44
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: UGM Press, 1999), h. 72.
45
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2000), h. 134.

30
Penelitian akan melakukan pencatatan dan berupaya mengumpulkan informasi

mengenai keadaan suatu gejala yang terjadi saat penelitian dilakukan.46

Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara

sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dokumentasi. Lainnya untuk

meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan dijadikannya

sebagai temuan bagi orang lain. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan

pengurutan data kedalam pola, kategori dan suatu uraian dasar. Tujuan analisis

data adalah untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca.

Metode yang digunakana dalam metode survey dengan pendekatan

kualitatif, yang artinya setiap data terhimpun dapat dijelaskan dengan berbagai

persepsi yang tidak menyimpan dan sesuai dengan judul penelitian. Teknik

pendekatan deskriptif kualitatif merupakan suatu proses menggambarkan keadaan

sasaran.47

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan (mendeskripsikan)

populasi yang sedang diteliti. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan

data yang diamati agar bermakna dan komunikatif.

Teknik yang digunakan dalam analisis data yaitu:

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu mengorganisasikan

data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil.

Peneliti mengolah data dengan bertolak dari teori untuk mendapatkan kejelasan

pada masalah, baik data yang terdapat dilapangan maupun yang terdapat pada

kepustakaan. Data dikumpulkan, dan dipilih secaras elektif dan sesuaikan dengan

46
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: PT. LKS Yogyakarta 2008), h.
89.
47
Noen Muhajirin, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2009), h. 138

31
permasalahan dirumuskan dalam penelitian dilakukan pengelolaan dengan

penelitian ulang.48

2. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data adalah penyajian data kedalam suatu bentuk tertentu

sehingga terlihat sosoknya secara utuh. Penyajian data dilakukan secara induktif,

yakni menyuraikan setiap permasalahan dalam penelitian dengan memamparkan

secara umum kemudian menjelaskan secaras peifik.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification)

Langkah selanjutnya dalam menganalisis data kualitatif adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi, setiap kesimpulan awal yang dikemukakan masih

bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat dan

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.

48
Asep Saeful Muhtadi, Metode Penelitian Dakwah (Bandung: PustakaSetia, 2003), h.
107.

32
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanul. Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi


Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Afif Sholeh, Muhammad. Tafsir Surat Al-Anbiya Ayat 35 Tentang Ujian Hidup. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2019.
Auf, Ali Abi. Memaknai Kematian Dalam Upacara Kematian di Jawa. Jurnal
Humaniora, vol. 2 no.1 (2016). (Diakses pada tanggal 12 Oktober 2021).
AG, Muhaimin. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal. Ciputat: Logos Wacana
Ilmu, 2001.
Ariyono dan Siregar Aminuddin. Kamus Antropologi. Jakarta: Akademik
Pressindo, 1985.
Abidin, Saenal. Upacara Adat Kematian di Kecamatan Salomekko Kabupaten
Bone, Skripsi (Makassar,15 Desember 2010). (Diakses tanggal 18 Oktober
2021).
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Fatah, Munawir Abdul. Tradisi Orang-Orang NU. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi
Aksara, 2006.
Hamzah, Zayadi. Islam dalam Perspektif Budaya Lokal. Yogyakarta: Madani
Press, 1992.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: UGM Press, 1999.
Karim, Abdul. Makna ritual kematian dalam tradisi Islam jawa. Jurnal
Pendidikan, vol. 12 no.2 (2017). (Diakses tanggal 2 Oktober 2021)
Koentjaraningrat dan Budi Santoso. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta : Balai
Pustaka, 1978/1979.
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat,
1985.
K.Yin,, Robert. Studi Kasus: Metode dan Desain Penelitian. Jakarta : PT
Rajawali,. 2002.
Khoiruddin, Arif. Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam. Jurnal Pendidikan,
vol. 25 no.2 (2014). (Diakses tanggal 18 November 2021).
Nasrullah, Andi, ”Tradisi Upacara Adat Mappogau Hanua Karampuang di
Kabupaten Sinjai (Studi Kebudayaan Islam)”. Skripsi (Makassar,
Juni,2016).
Muhajirin, Noen. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2009.
Muhtadi, Asep Saeful. Metode Penelitian Dakwah. Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Moleog, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif . Bandung: Rosdakarya, 2001.

33
Miskahuddin. Kematian dalam Persepektif Psikologi Qur’ani. Jurnal, vol. 16
no.1. (2019). (Diakses tanggal 10 Oktober 2021).
Pranowo, Bambang. Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011.
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif . Yogyakarta: PT. LKS Yogyakarta
2008.
Rahmat, Jalaluddin. Memaknai Kematian. Bandung: Pustaka II Man, 2006.
Rahman, Eka Yuliana.“Sejarah Penyebaran Islam di Konfederasi Turatea Abad
XVII (Tinjauan Sistem Pemerintahan dan Religi)”, Jurnal Pendidikan
Sejarah, vol.9 no.1 (Diakses Januari 2020).
Romi, ”Ritus Kematian Etnis Bugis di Karangantu Banten”. Skripsi (Banten, UIN
Banten, 2019).
Syam, Nur. Islam pesisir.Yogjakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2005.
Suwito, dkk. ”Tradisi dan Ritual Kematian Wong Islam Jawa”, Jurnal
Pendidikan, vol. 13 no. 2 (2015). (Diakses pada tanggal 15 Oktober 2021).
Soekanto. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2001.
Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001.
Syafnidawaty. Pengertian Observasi. Tangerang: Universitas Raharja, 2020.
Soekadijo. Antropologi. Jilid 2. Jakarta: Erlangga, 1993.

34

Anda mungkin juga menyukai