Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ETIKA KRISTEN KONTEMPORER


PERJUMPAAN INJIL DENGAN ALUK SEBAGAI PANDANGAN HIDUP YANG
HOLISTIK

Nama : Lirawati
NIRM : 220203132
Dosen Pengampuh : Dr. Rosyelin Tinggi

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI KIBAID


MAKALE
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan atas penyertaan yang luar biasa bagi kehidupan

penulis, sehingga penulisan makalah ini bisa selesai.Walaupun di tengah-tengah

penulisan makalah ini ada banyak permasalahan dan tantangan yang menghambat

penulisan ini, namun penulis bersyukur kepada Tuhan Yesus, karena Tuhan sudah

memimpin dan menyelesaikan setiap tantangan yang ada. Penulis juga menyadarai

banyak kekurangan dalam penulisan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini, ada banyak

pihak telah mendukung baik secara materil maupun moril.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

A. Pengertian Injil, Budaya dan Adat .............................................................. 3

B. Aluk Sebagai Pandangan Hidup ................................................................... 4

C. Adat dan Kebudayaan ................................................................................ 7

D. Pemahaman Teologis Tentang Aluk Sebagai Pandangan Dunia


Yang Holistik .............................................................................................. 8

BAB III REFLEKSI TEOLOGIS .......................................................... 10

BAB IV KESIMPULAN...................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................…. 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Bisakah injil bertemu dengan budaya lokal? Seperti apa jadinya pertemuan itu? Bagi

banyak orang, keyakinan/budaya lokal dianggap tidak sesuai dengan injil bahkan dianggap

berdosa. Akan tetapi benarkah injil tidak bisa bertemu dan berjalan bersamaan dengan

kebudayaan?

Di dalam makalah ini akan berbicara tentang pertemuan antara kebudayaan atau

keyakinan orang toraja dengan kekristenan (injil). Kebudayaan atau keyakinan itu

ditransformasi menjadi pola hidup yang dikehendaki Allah atas manusia dan mesti terus

menerus dikembangkan dan diamalkan dalam relasi dengan Allah.

Orang toraja tidak bisa hidup tanpa kebudayaannya, keyakinannya bahkan aluknya.

Akan tetapi, orang toraja itu juga bisa hidup dengan injil sebagai kabar baik yang mereka

terima sehingga injil dan aluk tersebut menjadi pandangan hidup yang holistik. Tana Toraja

adalah contoh yang sangat mengagumkan bahwa manusia bisa hidup dalam budayanya

sekaligus dalam keyakinan iman kristianinya. Theodorus Kobong mengatakan bahwa

kebudayaan yang ditransformasikan adalah pola hidup manusia yang telah diangkat ke

tingkat pola hidup yang dikehendaki Allah bagi manusia dan terus menerus dikembangkan

dan diamalkan dalam hubungan dengan Allah. 1

Juga berpendapat bahwa transformasi budaya merupakan masalah antropologi, sebab

disini bukan hanya menyangkut budaya tetapi manusia itu sendiri. Manusia menciptakan

kebudayaan berdasarkan kesegambarannya dengan Allah. Transformasi budaya ini sudah ada

sejak masa silam, seperti pada umat Israel di zaman Perjanjian Lama. Theodorus mengakui

1
Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan, BPK Gunung Mulia, 2008.

1
2

bahwa proses transformasi di Tana Toraja itu tidak semudah dengan membalik telapak tangan

dan prose situ masih terus berkelanjutan sampai hari ini dan di hari-hari mendatang. Tetapi

dalam dinamika Hermeunetika Pneumatologis ketegangan yang timbul karena perjumpaan

injil dan budaya toraja ini akan menemukan perpaduannya yang menarik untuk diamati lebih

lanjut.

Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti dengan judul “Perjumpaan Injil Dengan

Aluk Sebagai Pandangan Hidup Yang Holistik”.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Injil, Budaya dan Adat

Injil berasal dari bahasa Yunani yaitu euanggelion yang berarti “kabar

gembira”. Warta bahwa kerajaan Allah sudah dekat (Markus 1:14-15) dan bahwa

Yesus dinyatakan sebagai Anak Allah dan Tuhan karena kebangkitan-Nya dari mati

(Roma 1:3-4). Kabar gembira atau injil ini mendatangkan keselamatan bagi siapa saja

yang percaya (Roma 1:16).2 Jadi, injil yang dimaksudkan di sini adalah warta yang

disampaikan oleh umat Kristen tentang apa yang mereka imani yaitu Yesus Kristus

sebagai Juruselamat dunia.

Kebudayaan menurut Koentjaraningrat mempunyai tiga wujud yaitu pertama:

wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-

norma, peraturan dan sebagainya. Yang kedua: wujud kebudayaan sebagai kompleks

aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, sedangkan yang ketiga

adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.3 Kebudayaan

yang ideal biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur,

mengendalikan dan member arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam

masyarakat. Jadi, bisa disimpulkan bahwa kebudayaan itu adalah kebiasaan-kebiasaan

yang turun temurun yang terdapat di suatu tempat atau daerah atau kelompok

masyarakat tertentu yang dipatuhi secara bersama oleh masyarakatnya.

Kebiasaan yang turun temurun dan dipatuhi itu biasa disebut adat. Menurut

Eka Darmaputera bahwa secara sosiologis adat itu memberikan suatu identitas kepada

2
Gerald O Collins, Edward G. Farrugi, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996, 117.
3
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama,
1992, 5.

3
4

seseorang dan rasa aman.4 Identitas ini maksudnya bahwa manusia itu bukan saja

mahluk individual tetapi juga mahluk sosial, tidak ada seorangpun yang tahan

sepenuhnya berdiri di luar kelompoknya.

B. Aluk Sebagai Pandangan Hidup

Aluk adalah kata bagi orang Toraja mengandung makna dan pengertian yang

sangat luas. Ketika mendengar kata aluk maka perhatian akan segera terarah kepada

berbagai kehidupan masyarakat toraja karena aluk tidak akan terpisahkan dari

masyarakat toraja. Aluk menurut mitologi Toraja berasal dari alam atas, dari langit,

dari alam dewa-dewa karena ia memang sudah tersusun di langit. Aluk berfungsi

sebagai tata cara yang memimpin kepada terang.

Hubungan antara aluk, adat dan kebudayaan dalam pandangan dunia dan

falsafah hidup orang Toraja mestinya dipahami sesuai dengan kutipan di bawah ini:

“Pandangan dunia dan falsafah hidup pada asasnya sama yaitu keyakinan murni tentang

keberadaan (Religion des Seins). Memang keduanya berbeda tetapi perbedaan itu bersifat

sekunder: Pandangan dunia sudah puas dengan memikirkan dunia ini di bawah kategori

kenyataan (keharusan berpikir, berada dan berperilaku) secara metafisis, sedangkan falsafah

hidup biasanya lebih banyak mempersoalkan kategori keberadaan (kelakuan eksistensial,

makna) dan kehidupan bersama (etos:keharusan, sollen)”. 5

Aluk dan adat pada mulanya sama. Aluk adalah keyakinan mengenai

keberadaan yang mencoba memahami dunia ini secara mitologis transcendental dan

meletakkan dasar antologis keadaan (So-sein) kenyataan ini. Sedangkan adat dan

kebudayaan merupakan manifestasi konkret aluk transcendental. Pada mulanya yang

di langit hanyalah aluk, tata hidup yang holistik. Aluk adalah tata hidup yang berlaku

di semua bidang kehidupan yang mencakup adat dan kebudayaan.

4
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PGI, Peninjau, Jakarta 1989, 114.
5
W. Philip, “Weltanschauung”, V. Evangelisches Kirchenlexikon III, lajur 1767.
5

Adat dan kebudayaan bukanlah istilah asli Toraja, namun isi adat dan

kebudayaan itu memang hadir dalam dunia orang Toraja. Kata-kata aluk, adat dan

kebudayaan sering digunakan dengan arti dan isi yang sama walaupun menurut

pengertian modern aluk dipakai dalam arti agama, adat dalam arti kebiasaan-

kebiasaan sedangkan kebudayaan berarti kebudayaan material.

Makna kehidupan ialah menjalani siklus kehidupan itu sendiri, artinya kembali

kepada kehidupan semula yang nyata dan kehidupan seberang sana. Unruk mencapai

hal itu kita harus hidup sesuai dengan ketentuan-ketentuan hidup yang holistik. Jelas

bahwa dalam kerangka sistem pandangan hidup yang holistik, nilai-nilai ditentukan

oleh tujuan dan makna hidup. Dalam masyarakat tradisional selalu ada kecenderungan

untuk menomorduakan kepentingan perorangan terhadap kepentingan persekutuan

dan perorangan itu hanya dapat hidup dalam kerangka kehidupan persekutuan.

Dalam satu studi yang diterbitkan oleh “Institut Theologi Gereja Toraja” pada

tahun 1983, ada beberapa nilai yang menetukan kehidupan persekutuan itu dan

tingkah laku manusia dalam kerangka kehidupan bersama, yaitu:

Kebahagiaan, kekayaan

Kedamaian

Persekutuan

Harga diri

Perhargaan terhadap tamu

Kesopanan

Kerajinan

Disukai semua orang

Nikah

Kesetiaan
6

Kejujuran

Penonjolan diri (harga diri)

Kriteria yang menentukan skala prioritas nilai-nilai adalah nilai-nilai dasar itu

sendiri akan tetapi rupanya nilai kedamaian demi persekutuan itulah yang

menentukan. 6 Makna kehidupan persekutuan ialah hidup dalam kedamaian dan

keharmonisan, dalam benturan nilai-nilai, ada saja nilai yang perlu dikorbankan

demi persekutuan. Apabila pemecahan berdasarkan kedamaian dan keharmonisan

demi persekutuan itu tidak dapat diterima dalam mempertahankan keadilan dan

kebenaran, maka tersedia dua jalan yang terakhir yaitu sipokko atau siukkunan.

Nilai-nilai kehidupan tersebut pertama-tama berorientasi kepada persekutuan,

lambang persekutuan orang toraja adalah tongkonan berdasarkan hubungan darah.

Prinsip dasar setiap tongkonan adalah setiap keluarga berhak membangun

rumah kemudian menjadi tongkonan tidak hanya bagi anak atau cucu tetapi bgai

setiap keturunan dari yang mendirikan tongokonan itu. 7 Orang toraja dapat

menelusuri asal-usul geneologinya melalui tongkonannya dan semua orang

berasal dari tongkonan yang sama yang membentuk persekutuan tongkonan itu.

Ikatan-ikatan persekutuan akan ditampakkan melalui:

Gotong royong dengan motif saling tolong menolong

Kehadiran dan partisipasi pada ritus-ritus adat

Kehidupan bertetangga yang baik tampak dalam peristiwa-peristiwa

darurat

Kehadiran pada suatu ritus adat baik rambu solo maupun rambu tuka’

Pembayaran utang pada Aluk Rambu Solo

6
Th. Kobong, Manusia Toraja, hlm. 36.
7
Keturunan = to ma’parapu, pa’rapuan. Bnd. A. Rumpa, “Tongkonan dan Peranannya dalam
Masyarakat Toraja”, ceramah, Makalae, 24 April 1981.
7

Semboyan orang toraja “Misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate 8

Tengko situr’, batakan siolanan yang menyangkut kesepakatan dan

persekutuan dalam pendirian dan perbuatan.

C. Adat Dan Kebudayaan

Pada tahun 1984, Institut Theologi Gereja Toraja melakukan studi tentang

adat, dengan kesimpulan bahwa aluk dan adat merupakan satu kesatuan; keduanya

saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, dan perlu ditekankan bahwa aluk adalah

sumber bagi adat.9 Adat adalah padanan aluk, dalam praktiknya adat bertumpang tindi

dengan aluk sebab adatlah yang mengatur kehidupan. 10 Oleh karena itu adat tidak lain

merupakan pelaksanaan aluk, adat menyangkut perilaku ekstensial “dalam kehidupan

dan kebersamaan” (im Da-und Mit-sein).11 Adat tidak hanya kebiasaan tetapi

sekaligus aluk, hal ini dapat disimpulkan dari istilah:

 Alukna (Ada’na) mellolo tau : ketentuan-ketentuan adat yang mengatur

hubungan antar manusia

 Aluk pare (Ada’ pare) : Ketentuan-ketentuan adat tentang padi

 Aluk banua (Ada’ banua) : Ketentuan-ketentuan adat tentang

pembangunan rumah

 Aluk tananan pasa’ : Ketentuan-ketentuan adat untuk

kebaikan/kesejahteraan persekutuan bua

 Aluk rambu solo’ : Ketentuan-ketentuan adat yang mengatur upacara

kematian

8
“Bersatu kita kuat, bercerai kita runtuh”. Latar belakang historisnya ialah perang melawan Bone
(Perang Bone = untulak Buntuna Bone) di abad ke-17, ketika tondok-tondok (desa-desa otonon) di Toraja
bersatu dalam perjanjian “Basse Lepongan Bulan”. Dalam sejarah Toraja “Basse Lepongan Bulan” ini dilihat
sebagai motivasi untuk kesatuan menghadapi dunia luar.
9
Staf ITGT, Aluk, Adat dan Kebudayaan, hlm. 10-11
10
K. Rennstich, Mission und wirtschaftliche Entwicklung, Muchen: Kaiser Verlag, Mainz: Mathias
Grunewald-Verlag, 1978, hlm. 45.
11
W. Philipp, “Weltbild, Weltanschauung”, pasal V, Evangelisches Kirchenlexikon, III, 1767.
8

 Aluk Rambu Tuka’ : Ketentuan-ketentuan adat yang mengatur upacara

syukuran

Salah satu contoh perpaduan antara aluk dan adat adalah perpaduan antara

Aluk Rambu Solo’ dan Aluk Rambu Tuka’. Aluk Rambu Solo’ sering disebut ada’

toraya yakni cara orang toraja menguburkan orang mati. Akan tetapi aluk dan adat

adalah satu kesatuan yang terpadu dan tidak mungkin dipisahkan.

D. Pemahaman Teologis Tentang Aluk Sebagai Pandangan Dunia Yang Holistik

Selama gereja menjadi gereja maka selama itu juga pembinaan jemaat

dibutuhkan, akan tetapi akibat-akibat situasi kacau di tahun 1950-an masih terasa

hingga saat ini. Dewasa ini, Gereja Toraja menghadapi banyak masalah salah satunya

ialah masalah aluk, adat dan kebudayaan. Pertmbuhan kuantitatif yang pesat

mengakibatka tingkat pengetahuan agama menjadi sangat rendah. Sering warga gereja

tidak tahu apa artinya menjadi orang Kristen, bagi banyak orang menjadi seorang

Kristen hanya perubahan sosiologis. Iman bukanlah hal yang primer tentang soal

pribadi, orang percaya sebagai perorangan adalah anggota persekutuan. Persekutuan

keluarga secara istimewa memainkan peranan penting dalam mengambil keputusan

apakah seorang menjadi Kristen atau tidak. Situasi politik di tahun-tahun 1950-an

telah mendorong proses pengambilan keputusan.

Sejak permulaan pekerjaan zending sampai sekarang ini kebudayaan tetap

merupakan masalah dan keadaannya akan tetap demikian karena masalah tersebut

merupakan enduring problem karena kebudayaan merupakan desain hidup, design for

living yang dinamis. Manusianya dinamis karena itu kebudayaannya pun dinamis.

Berkaitan dengan sikap kritis dapat dikatakan bahwa ada aliran yang bersikap kritis

terhadap aluk tetapi kurang kritis terhadap adat. Orang membuat pemisahan yang

sebenarnya tidak mungkin dibuat, tetapi juga sikap kritis yang bersifat lain. Sikap ini
9

tidak mengadakan pemisahan bahkan menekankan kesatuan aluk, adat dan

kebudayaan. Oleh karena itu, aliran ini mengambil sikap positif terhadap aluk

sekaligus menempatkannya di bawah kritik Firman Allah. 12

Bagaimanakah masalah ini harus dipecahkan? Masalahnya merupakan

enduring problem sehingga tidak terpecahkan. Akan tetapi, orang dapat

mengusahakan untuk sedapat mungkin mendekati kebenaran. PGT sudah menekankan

ketidakterpisahan antara aluk, adat dan kebudayaan. Mereka menolak pemisahan

agama dari adat.13

12
Staf SITGT, Aluk, Adat, dan Kebudayaan, Seri ITGT, no. 3, hlm. 48 dyb. (kemudian diterbitkan oleh
Pusbang-BPS Gereja Toraja, 1992).
13
P.N. Holtrop, Vijf Jaren Ujung Pandang, een Terugblik, Tertulis Amsterdam, Februari 1983, arsip
pribadi Dr. Holtrop.
BAB III

REFLEKSI TEOLOGIS

Istilah perjumpaan dalam karya ini digunakan sebagai acuan ke kebersamaan

di antara dua atau lebih pihak atau prinsip yang menghasilkan sesuatu yang baru.

Dengan demikian, perjumpaan merupakan proses interaksi. Kata Jerman yang

digunakan dalam edisi asli karya ini adalah Auseinandersetzung yang dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a) Diskusi

b) Percakapan , pertemuan dan musyawarah

c) Kesepakatan

Perjumpaan injil dengan aluk dapat mencakup ketiga unsure diatas karena

dalam perjumpaan ini pasti ada penjelasan, ada diskusi, ada perdebatan, ada hak, ada

kewajiban, ada kesepakatan, ada pula semacam pembagian hak, wewenang,

kewajiban yang harus dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum atau adat.

Dalam perjumpaan injil dengan aluk pasti sudah terjadi diskusi-diskusi yang dapat

merupakan perdebatan-perdebatan, terjadi pemilahan antara apa yang boleh dan tidak

boleh. Orang Toraja yang menjadi Kristen tetaplah orang Toraja karena ia tidak dapat

meninggalkan jati dirinya sebagai orang Toraja, oleh karena itu mereka akan berusaha

memilah antara mana adat dan mana yang aluk namun pemilahan tersebut bersifat

semu karena aluk tidak dapat dipilah-pilah.

Memilah antara aspek kehidupan mana yang berada di bawah kuasa Kristus

dan mana yang tidak, karena tidak ada aspek kehidupan yang berada di luar kuasa

Kristus karena segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya sebab Dia adalah Tuhan atas

segala sesuatunya. Jadi, persoalan dalam perjumpaan antara injil dan aluk ialah

10
11

sebagaimanakah perjumpaan telah terjadi dan bagaimanakah ia harus dilakukan

selanjutnya. Bagaimanakah orang toraja Kristen hidup di dalam dan di tengah-tengah

adat dan kebudayaan toraja yang holistik. Karena jati diri orang toraja ditentukan

oleh aluk dan kebudayaanya, jati diri mereka bertemu dengan jati diri Kristen yang

ditentukan oleh Injil Yesus Kristus.

Sebagai salah satu jalan keluar yang diusahakan untuk membedakan dan

memisahkan adat dari aluk. Aluk adalah agama sedangkan adat adalah peraturan-

peraturan-peraturan kehidupan tradisional. Segala sesuatu yang menyangkut aluk

harus dihapus,14 akan tetapi adat dapat dipelihara karena tanpa adat kita tidak dapat

hidup. Adat adalah dasar jati diri orang Toraja sehingga dapat dipilah-pilah asalkan

sudah diketahui mana yang aluk dan mana adat.

14
P. Palinggi’, sanggahan terhadap ceramah Aluk dan Adat oleh J.A. Sarira pada seminar Adat Toraja,
1983.
BAB IV

KESIMPULAN

Aluk, Adat dan Kebudayaan merupakan satu kesatuan yang kait mengait dan

sulit untuk dipisahkan satu dengan yang lain. Keyakinan yang bersumber dari kaidah-

kaidah agama (aluk) minimal merupakan titik orientasi dari seluruh pandangan hidup

manusia yang manifestasikan diri dalam wujud adat istiadat dan kebudayaan. Tidak

ada bidang kehidupan yang boleh dianggap netral dalam arti lepas dari keyakinan dan

kaidah hidup apapun juga. Situasi yang dihadapi di Toraja dalam lingkungan adat dan

kebudayaan toraja merupakan satu medan di mana harus mengidentifikasi diri sebagai

persekutuan baru berdasarkan pandangan hidup baru di dalam ketaatan kepada Firman

Allah. Tidak ada hal lain kecuali kita hidup di tengah-tengah adat dan budaya yang

memerlukan pertobatan sebagaimana manusia lama memerlukan perobatan untuk

menjadi manusia yang baru.

Injil harus memasuki kehidupan manusia secara integral untuk

mentransformasikan kehidupan yang memuliakan Allah sebagaimana Yesus Kristus

telah memasuki kehidupan manusia dan mentransformasikannya di dalam

kehidupanNya dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Injil harus memasuki

konteksnya secara integral karena itulah kontekstualisasi yang tidak lain dari

transformasi yaitu pembaharuan dan pengudusan dalam ketaatan kepada kehendak

Allah. Dan pegangan orang Kristen tidak lain adalah Firman Allah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan, BPK Gunung Mulia, 2008.


Gerald O Collins, Edward G. Farrugi, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996,
117.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama, 1992, 5.
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PGI, Peninjau, Jakarta 1989, 114.
W. Philip, “Weltanschauung”, V. Evangelisches Kirchenlexikon III, lajur 1767.
Th. Kobong, Manusia Toraja, hlm. 36.
Keturunan = to ma’parapu, pa’rapuan. Bnd. A. Rumpa, “Tongkonan dan Peranannya
dalam Masyarakat Toraja”, ceramah, Makalae, 24 April 1981.
“Bersatu kita kuat, bercerai kita runtuh”. Latar belakang historisnya ialah perang
melawan Bone (Perang Bone = untulak Buntuna Bone) di abad ke-17, ketika tondok-tondok
(desa-desa otonon) di Toraja bersatu dalam perjanjian “Basse Lepongan Bulan”. Dalam
sejarah Toraja “Basse Lepongan Bulan” ini dilihat sebagai motivasi untuk kesatuan
menghadapi dunia luar.
Staf ITGT, Aluk, Adat dan Kebudayaan, hlm. 10-11
K. Rennstich, Mission und wirtschaftliche Entwicklung, Muchen: Kaiser Verlag,
Mainz: Mathias Grunewald-Verlag, 1978, hlm. 45.
W. Philipp, “Weltbild, Weltanschauung”, pasal V, Evangelisches Kirchenlexikon, III,
1767.
Staf SITGT, Aluk, Adat, dan Kebudayaan, Seri ITGT, no. 3, hlm. 48 dyb. (kemudian
diterbitkan oleh Pusbang-BPS Gereja Toraja, 1992).
P.N. Holtrop, Vijf Jaren Ujung Pandang, een Terugblik, Tertulis Amsterdam, Februari
1983, arsip pribadi Dr. Holtrop.
P. Palinggi’, sanggahan terhadap ceramah Aluk dan Adat oleh J.A. Sarira pada
seminar Adat Toraja, 1983.

13

Anda mungkin juga menyukai