Anda di halaman 1dari 8

Makna Ritual Mangrara Tongkonan dan Kaitannya dalam

Kitab Keluaran 12:22-23 Ditinjau dari Model Terjemahan

Abstract

In general, customs, aluk and culture, are things that cannot be separated from society. Why? Because
Customs and culture were born and originated from the community, it was the Society that created
the culture. Likewise with the Toraja Community. Toraja is famous as a region rich in customs and
culture, apart from its tourist destinations Toraja is also known as a region that upholds customs and
culture that have been given for generations by their ancestors. One of the customs that we will
discuss today is "Mangrara Tongkonan". Mangrara tongkonan is an activity that is carried out before
we enter the house or the newly made tongkonan. Mangrara tongkonan is usually done if Tongkonan
or Toraja traditional house is completed and will be officially used as a place of residence or residence.
It is from this Custom that the author wants to conduct research by approaching² with the Historical
Dramatic method which is extracted from the perspective of the translation model in the contextual
theological model.
Keywords: Contextual model, translation, Mangrara Tongkonan, Gospel, tradition.

Abstrak

Secara umum Adat, aluk dan budaya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Mengapa? Karena Adat dan kebudayaan lahir dan bersumber dari masyarakat,
Masyarakatlah yang menciptakan kebudayaan itu. Begitupun dengan Masyarakat Toraja.
Toraja terkenal sebagai wilayah yang kaya akan Adat dan kebudayaan, selain dari Destinasi
wisata nya Toraja juga dikenal sebagai wilayah yang menjunjung tinggi Adat dan
Kebudayaan yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Salah
satu Adat yang akan kita bahas saat ini yaitu "Mangrara Tongkonan". Mangrara tongkonan
merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum kita memasuki rumah atau tongkonan yang
baru dibuat. Mangrara tongkonan biasanya dilakukan jika Tongkonan atau rumah adat
Toraja selesai dibuat dan akan resmikan sebagai tempat kediaman atau tempat tinggal. Dari
Adat inilah penulis ingin melakukan penelitian dengan melakukan pendekatan² dengan
metode Dramatikal Historis yang di tonjau dari sedut pandang model terjemahan dalam
model² teologi kontekstual.
Kata kunci: Model Kontekstual, terjemahan, Mangrara Tongkonan, injil, tradisi.

PENDAHULUAN
Toraja dikenal sebagai daerah yang memiliki ragam kebudayaan dan tradisi.

Keragaman budaya dan tradisi Toraja bahkan sudah terkenal sampai di kancah
internasional. Salah satu budaya yang sangat terkenal adalah Rumah adat

Tongkonan. Namun sebelum ditinggali, rumah ini terlebih dahulu harus

dithabiskan atau yang biasa disebut sebagai mangrara Tongkonan, budaya ini sangat

dinantikan bagi masyarakat karena kemeriahannya setiap kali dilaksanakan yang

mengundang banyak orang untuk ikut serta di dalam pelaksanaannya. Banua

Tongkonan sendiri selain digunakan sebagai tempat untuk menginap, juga berfungsi

dan berperan begitu penting di dalam kehidupan masyarakat Toraja.1

Rumah/Banua Tongkonan merupakan suatu dasar kehidupan masyarakat

orang Toraja. Kata Tongkonan secara etimologi berasal dari kata tongkon atau juga

disebut ma’tongkon yang dapat diartikan sebagai duduk. Dikutip oleh Susia Kartika

Imanuella dari Tammu dan Van der Ven bahwa kata tongkon di sini tidak hanya

merujuk secara harafiah tetapi yang dimaksudkan adalah duduk bersama-sama

untuk bermusyawarah, berunding, dan berdiskusi dengan tujuan untuk mencapai

suatu sasaran yang telah ditetapkan. Selain itu juga dapat berarti duduk bersama-

sama untuk merancang dan menetapkan peraturan-peraturan yang akan dilakukan

oleh masyarakat.2

Mangrara Tongkonan merupakan suatu ritus kebudayaan dan kepercayaan

orang Toraja masuk ke dalam ajaran Aluk Todolo. Kepercayaan akan Aluk Todolo

sudah diwariskan secara turun temurun dalam konteks orang Toraja sebelum

Kekristenan dibawa oleh para misionaris masuk ke Toraja salah satunya adalah Van

den End. Setelah Kekristenan masuk ke Toraja maka ajaran Aluk Todolo mengalami

perjumpaan dengan Kekristenan dan ajaran Kekristenan ini berusaha diterjemahkan

dan dicarikan makna di dalam suatu kebudayaan yakni ajaran Aluk Todolo ini.

Dalam hal ini bagaimana suatu usaha mencari makna Injil dalam suatu kebudayaan.

Hal ini yang dikenal sebagai Teologi kontekstual yakni model Terjemahan.

Model terjemahan menurut Stephen B. Bevans, tidak merujuk pada pengertian

harafiah, kata demi kata, tetapi menerjemahkan atau mencari makna injil atau
1
L.T. Tangdilintin, Toraja Dan Kebudayaannya (Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan, 1981).
2
Susia Kartika Imanuella, “Mangrara Banua Merawat Memori Orang Toraja (Upacara Penahbisan
Tongkonan Di Toraja Sulawesi Selatan),” Jurnal Ilmu Budaya Vol 5, no. 1 (2017).
pewartaan dilihat dari sudut pandang kebudayaan (injil dicekokkan ke dalam

konteks lain yakni kebudayaan lokal).3

Nah, saat menulis karya ilmiah ini, penulis mencoba melakukan penelitian.

konsep mangrara Tongkonan ini jika dikaitkan dengan Kekristenan khususnya dalam

Kitab Keluaran 12:22-23. untuk itu penulis akan meninjau dalam perspektif model

kontekstual yakni model Terjemahan.

Adapun tujuan penulisan dari jurnal ini adalah untuk menerjemahkan Firman

Allah/ Injil ke dalam kebudayaan Toraja yakni Mangrara Tongkonan. Selain itu, juga

bertujuan untuk memaknai kebenaran firman Allah melalui konteks lokal Toraja

yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat sosial Toraja.

METODE

Penulisan Jurnal ini, menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode

kualitatif dapat diartikan sebagai studi yang hasil penelitiannya tidak diperoleh

dengan cara statistik/penjabaran atau metode kuantifikasi lainnya, tetapi peneliti

biasanya menggunakan pendekatan pengungkapan kejadian yang nyata atau biasa

disebut sebagai pendekatan naturalistik dengan tujuan mengerti dan memahami

suatu kejadian-kejadian dan gejala- gejala tertentu. Penelitian kualitatif ini berusaha

untuk mendapatkan pengetahuan, memahami kejadian-kejadian atau gejala-gejala,

dan memprediksikan data di luar data-data yang diperoleh dalam situasi serupa.

Metode pengumpulan data didasarkan pada penelitian dan analisis literatur.4

PEMBAHASAN

Teologi Kontekstual

Robert J. Schreiter dalam bukunya menyatakan bahwa teologi ini adalah

istilah yang sangat luas dipakai dalam memberikan pergesaran dalam perspektif ini,

3
Bevans.B Stephen, Model-Model Teologi Kontekstual (Surabaya, 2002).
4
Albi Anggito & Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif, 2018.
dengan memusatkan perhatian khusus pada peranan kebudayaan/konteks dalam

teologi jenis ini, dan hal ini merupakan sesuatu yang dapat dipakai untuk

terjemahan dalam keanekaragaman bahasa.5

Asumsi yang menjadi dasar teologi kontekstual adalah perpaduan antara

Kekristenan dengan macam-macam pengajaran dan bermacam filsafat serta praktek

keagamaan yang berakar di dalam kebudayaan tertentu. Hal yang mendasari hal ini

adalah pertanyaan; Kalau orang-orang Kristen yang ada di bagian Barat bisa

mengambil dari kebudayaan tradisi Yahudi, dari filsafat Yunani, dari hukum Roma,

dan eksistensialisme Perancis dan Jerman, mengapa orang-orang Kristen di bagian

Timur tidak meminjam dari Kong Hu Tse Buddhisme, Taoisme dan ajaran-ajaran

lainnya yang ada di Asia?.6

Model Terjemahan

Menurut Charles Kraft bahwa gagasan terjemahan sebagai korespondensi

formal, seperti misalnya menerjemahkan kata table dalam bahasa Inggris menjadi

Mensa dalam bahasa Latin, atau tavola dalam bahasa Italia atau Mesa dalam bahasa

Spanyol, atau Tisch di dalam bahasa Jerman, atau lamisaan dalam bahasa Ilocano atau

kalau dalam bahasa Indonesia artinya meja. Dalam bukunya Bevans juga

menyatakan bahwa setiap terjemahan atas makna bukan hanya pada tata bahasa

atau kata. Model terjemahan digambarkan sebagai bernas dan sekam yang mana

bernas adalah injil itu sendiri sedangkan sekam adalah suatu kebudayaan. Nah cara

pertama yang dilakukan dalam berkonteks dalam model ini adalah membuka

bungkusan budaya atau sekam tadi dan menemukan makna injil di dalamnya. Jika

kita sudah menemukan makna injil di dalamnya baru kemudian mencari tindakan

atau cerita yang cocok untuk dihubungkan dengan budaya yang menerimanya yang

kemudian dikemas menjadi satu kembali.7

Mangrara Tongkonan

5
Robert J Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991).
6
Daniel J Adams, Teologi Lintas Budaya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).
7
Bevans.B Stephen, Model-Model Teologi Kontekstual.
Setelah acara pembangunan rumah Tongkonan selesai, maka rumah

Tongkonan terlebih dahulu ditahbiskan/ mangrara Tongkonan, hal tersebut

merupakan syarat mutlak bagi masyarakat Toraja penulisan tersebut dilakukan

sesuai dengan tingkatannya, Tongkonan masing-masing memiliki tujuan dan

peranan yang sama yaitu:

1) Sebagai rasa syukur karena selesainya pembangunan Tongkonan.

2) Sebagai salah satu tempat berkenalan seluruh anggota keluarga yang lahir dari

keturunan yang memiliki Tongkonan tersebut. Hal tersebut membuktikan

kesetiaannya serta kerukunan di antara keluarga mereka. Selain itu mangrara

Tongkonan ini juga dapat diartikan sebagai ma’ Toding rara atau dengan

memberikan tanda darah pada dahi masing-masing keluarga sehingga

meskipun tidak saling mengenal, mereka bisa mengetahui bahwa orang itu

berketurunan atau berdarah dari keturunan Tongkonan tersebut.

3) Keluarga yang merupakan anggota keluarga dari pemilik Tongkonan

mengadakan kurban /pemotongan babi sesuai dengan kemampuan masing-

masing keluarga.

Upacara Mangrara Banua Di tallung Alloi dilakukan dalam tiga hari

berturut-turut yaitu hari pertama namanya Ma’ Tarampak (pemasangan atap

kecil), hari kedua namanya Ma’ Papa, hari ketiga namanya Ma’ Bubung.

Dalam rumah adat Tongkonan dikenal namanya ukiran yang merupakan

lambang kehidupan masyarakat Toraja. Adapun ukiran-ukiran tersebut adalah

sebagai berikut:

 Passura’ Pa’ Barre Allo yakni ukiran berbentuk matahari yang diletakkan di

bagian depan Tongkonan.

 Passura’ Pa’ Manuk Londong yakni ukiran ayam jantan yang juga diletakkan di

depan rumah Tongkonan dan diletakkan di atas ukiran Pa’ Barre Allo.

 Passura’ Pa’ Tedong/ Pa’ Tikke’ yakni ukiran yang diletakkan pada kayu tempat

memasang dinding.
 Passura’ Pa’ Sussuk yakni ukiran seperti garis lurus yang diletakkan pada

dinding samping.

Bagi orang Toraja Tongkonan merupakan landasan pertumbuhan

kebudayaan dan kepribadian suku Toraja yakni kesatuan kekeluargaan dan

kegotongroyongan. Bagi orang Toraja Tongkonan merupakan:

1) Tongkonan Layuk sebagai lambang dan tempat sumber kekuasaan adat dan

pusat pemerintahan adat.

2) Sebuah simbol dan tempat untuk menciptakan persatuan dan kekeluargaan

yang erat bagi seluruh keluarga keturunan Tongkonan.

3) Tempat berkumpulnya keluarga dan masyarakat bagi mereka yang lahir dan

keturunan Tongkonan.

4) Tempat segala kegiatan adat/tradisi dan kebudayaan dilaksanakan bagi

keluarga keturunan Rumah Tongkonan.

5) Rasa relasi kekeluargaan di antara masyarakat setempat dapat tetap terjaga dan

tetap terbina yang juga merupakan sasaran serta tujuan yang kuat dari ciri sifat

kepribadian masyarakat suku Toraja.8

Konsep Mangrara dalam Keluaran 12:22-23

Dalam kitab Keluaran ini ditekankan tentang perayaan Paskah Yahudi yang

identik dengan darah kurban. Paskah sendiri berasal dari bahasa Ibrani pesah yang

dapat merujuk pada kata benda yang terbentuk dari kata kerja psh yang kemudian

memiliki banyak pengertian di dalam kitab suci, yakni dapat diartikan sebagai

melewati (bisa kita bandingkan dalam Keluaran 12:13); melindungi dan menyelamatkan

(Yes. 31:5). Di dalam Perjanjian Lama konsep kata pesah dapat diartikan sebagai

ritus/perayaan Paskah dan dapat juga diartikan sebagai hewan persembahan.

Penetapan Paskah Yahudi dirinci dalam Keluaran 12, dan Keluaran 12 dapat

dikatakan sebagai sejarah berdirinya Paskah Yahudi. Di sana kita melihat dua hal

penting yang berkaitan dengan perayaan Paskah Yahudi. Pertama, Paskah Yahudi

8
Tangdilintin, Toraja Dan Kebudayaannya.
berfungsi sebagai ritual untuk menangkal wabah penyakit. Allah adalah pemeran

utama dari ritual tersebut. Menempatkan darah di ambang pintu rumah adalah

tanda bahwa Tuhan akan melewati rumah Israel. Dia tidak mengizinkan seorang

perusak masuk dan menyerang rumah mereka (Kel. 12:23b). Kedua, Paskah

ditempatkan dalam konteks sejarah agama dan bangsa Israel. Mereka menganggap

Paskah sebagai perayaan sejarah keselamatan. Bersamaan dengan Paskah, bangsa

Israel memperingati sejarah keselamatan Tuhan ketika Dia membebaskan mereka

dari perbudakan Mesir. Unsur-unsur kemeriahan Paskah ditempatkan dalam

konteks peristiwa penyelamatan ini. Percikan darah pada ambang pintu sebuah

rumah berhubungan dengan tindakan penyelamatan Allah, yang tidak mengizinkan

perusak masuk ke dalam rumah Israel (2 Kor. 12:27a).9

Pandangan model terjemahan terhadap kebudayaan Mangrara Tongkonan

Ajaran tentang simbol percikan darah dalam Keluaran 12:22-23 yang

berhubungan dengan Paskah berusaha diterjemahkan oleh model yang digunakan

yakni model terjemahan dan dikonteksan dalam kebudayaan mangrara Tongkonan.

Dalam konteks Aluk Todolo, mangrara Tongkonan dilaksanakan sebagai ucapan

syukur karena selesainya rumah tongkonan dibangun, selain itu juga bertujuan

sebagai penabhisan atau upacara selamatan atas selesainya rumah tersebut. Dalam

pelaksanaan ritual mangrara banua Tongkonan selalu diidentikkan dengan kurban

babi/ pemotongan babi/ayam. Dan darah dari kurban juga biasanya di pake oleh

anggota keluarga tongkonan di dahinya agar kekeluargaan mereka semakin erat.

Nah jika kita meninjau dari perspektif Model Terjemahan, Mangrara Tongkonan ini

tidak bertentangan dengan inti ajaran suci Alkitab yakni paskah bahkan dalam

tradisi ini Injil dapat dikembangkan bahkan bersamaan dengan kebudayaan dan

injil dapat dilestarikan karena di dalamnya juga membahas tentang konsep

keselamatan. Orang-orang yang mangrara tongkonan diyakini akan mendapat

keselamatan saat ia menempati rumah tersebut. Sedangkan dalam buku karya

Bevans mengatakan bahwa jika nilai-nilai kebudayaan dan tradisi injil saling
9
Johanis Ohoitimur dkk, Mysterium Crucis-Mysterium Paschale (Yogyakarta: Kanisius, 2020).
bertentangan, maka kebudayaan yang harus digeser bukan injil yang dihapus tetapi

injil haruslah dipertahankan.10

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan-penjelasan di atas adalah

bahwa Mangrara Tongkonan adalah tradisi kebudayaan orang Toraja yang

berkembang turun temurun, yang di dalamnya konsep darah pemotongan hewan

dan (karya keselamatan) juga ditekankan, meskipun memang dalam kitab suci dan

konteks Aluk Todolo hewan yang digunakan adalah hewan yang berbeda namun

yang perlu ditekankan adalah simbol-simbolnya, itulah sebabnya model terjemahan

ingin menerjemahkan simbol/mencari makna. Karena konsep mangrara Tongkonan

dan Injil yang diterjemahkan tidak bertentangan maka kedua hal tersebut bisa

dilestarikan dan bisa sejalan dengan pemahaman orang Toraja, masyarakat tidak

mengalami kerugian dari kedua konsep tersebut tetapi akan sangat membantu

masyarakat Toraja lebih memahami Injil lewat konteks mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, Daniel J. Teologi Lintas Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Bevans.B Stephen. Model-Model Teologi Kontekstual. Surabaya, 2002.
Imanuella, Susia Kartika. “Mangrara Banua Merawat Memori Orang Toraja
(Upacara Penahbisan Tongkonan Di Toraja Sulawesi Selatan).” Jurnal Ilmu
Budaya Vol 5, no. 1 (2017).
Ohoitimur dkk, Johanis. Mysterium Crucis-Mysterium Paschale. Yogyakarta: Kanisius,
2020.
Schreiter, Robert J. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.
Setiawan, Albi Anggito & Johan. Metodologi Penelitian Kualitatif, 2018.
Tangdilintin, L.T. Toraja Dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan,
1981.

10
Bevans.B Stephen, Model-Model Teologi Kontekstual.

Anda mungkin juga menyukai