Anda di halaman 1dari 107

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk terdiri dari

berbagai macam suku, budaya, ras dan agama. Setiap suku tersebut memiliki

kebudayaan-kebudayaan asli yang menjadi ciri khasnya dan terus dipertahankan.

Salah satu aspek yang menarik dari kebudayaan di Indonesia adalah keaslian budaya

beberapa daerah yang masih tetap dipertahankan. Budaya tersebut sangat

berpengaruh pada suku tertentu dalam berinteraksi dengan suku lainnya. Hal ini

sangat jelas sebab kita pun berasal dari daerah dan suku yang berbeda dan

membutuhkan waktu untuk memahami budaya dan adat setempat.

Pemahaman tentang kebudayaan adalah suatu persoalan yang sangat dalam

dan luas, bidang cakupannya meliputi seluruh pikiran, rasa,karsa, dan hasil karya

manusia. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut tingkatan

hidup dan penghidupan manusia. Pada dasarnya budaya adalah suatu konsep yang

membangkitkan minat, yang berkenaan dengan cara hidup. Budaya yang

menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan bentuk kegiatan dan perilaku yang

befungsi sebagai model-model dalam tindakan-tindakan penyesuaian diri dalam

segala gaya komunikasi yang memungkinkan orang-rang tinggal dalam suatu

masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan

teknis tertentu pada suatu saat tertentu, budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari

1
obyek-obyek materi yang berupa bentuk rumah, alat-alat pertanian dan jenis-jenis alat

transportasi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Manusia sebagai makhluk budaya mengandung pengertian bahwa manusia

menciptakan budaya dan kemudian budaya memberika arah dalam hidup dan tingkah

laku manusia. Kebudayaan merupakan hasil dari adanya ide-ide dan gagasan-gagasan

yang kemudian mengakibatkan terjadinya aktivitas dan menghasilkan suatu karya

(kebudayaan fisik). Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep

kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan

kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti adat atau cara hidup masyarakat.

Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat dan penghidupan manusia. Dengan

menciptakan adat, budaya serta lingkungan sosial yang berbeda-beda dapat

ditumbuhkembangkan dan diwariskan kepada generasi ke generasi.

Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, karena pada hakikatnya

seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat brgantung pada budaya tempat kita

dibesarkan. Cara kita berkomunikasi sangat bergantung pada budaya kita: bahasa,

aturan-aturan dan norma-norma kita masing-masing. Budaya dan komunikasi

mempunyai hubungan yang timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya

yang menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi itu

turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, dapat

ditekankan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya.

Terdapat hubungan yang mutlak antara manusia dengan kebudayaannya

sehingga pada hakikatnya dapat disebut sebagai makhluk budaya. “Kebudayaan

2
sendiri adalah merupakan kesatuan dari gagasan simbol-simbol dan nilai-nilai yang

mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga tidaklah berlebihan apabila

dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dan simbol-simbol yang diciptakan

oleh manusia sehingga manusia disebut sebagai Homo Simbolicum”. (Said. 2004:3)

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa karya budaya manusia

penuh dengan simbolisme, sesuai dengan tata pemikiran atau paham yang

mengarahkan pola-pola kehidupan sosialnya. Seperti pada budaya suku Toraja di

Sulawesi Selatan, suku ini memiliki banyak hal yang dapat diungkapakan secara

simbolik, baik dari segi ritual upacaranya yaitu Rambu Tuka’dan Rambu Solo’ dan

juga dalam unsur visual seperti arsitektur rumah adat yang dipenuhi berbagai macam

corak ukiran. Semuanya berpatokan pada nilai tradisonal yang terkandung dalam

kepercayaan asli Toraja yaitu Aluk Todolo.

Tongkonan berasal dari kata Tongkon yang bermakna menduduki atau tempat

duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkumpulnya

bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini

mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Awalnya

merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan

sosial budaya masyarakat Toraja.

Ada beberapa jenis rumah adat tongkonan, antara lain Tongkonan layuk

(pesio'aluk), yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.

Tongkonanpekaindoran (pekamberan atau kaparengngesan), yaitu berfungsi sebagai

tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat.Ada juga batu a'riri yang berfungsi

3
sebagai Tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta

membina warisan.

Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang awam, yaitu

pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan

beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur

mirip batang tanaman. Menurut cerita masyarakat setempat bahwa Tongkonan

pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dulu hanya

bangsawan yang berhak membangun Tongkonan. Selain itu, rumah adat Tongkonan

tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga

suku Toraja. Rumah Tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh

pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya.

Setiap bagian Tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja.

Tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu

bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari

kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara

rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara

pemakaman.

Ukiran Toraja bukan hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja untuk

menghiasi suatu bentuk atau benda ataupun Tongkonan tetapi seluruh macam ukiran

itu lahir dari pengertian masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan

masyarakat, makanya seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam.

Menurut sejarah ukiran pada mulanya hanya dikenal 4 (empat) bentuk dasar gambar

4
(lambang) yaitu lambang dari 4 (empat) pokok kehidupan manusia, dan kemudiaan

diaplikasikan pada Tongkonan dengan maksud akan tetap menjadi perhatian dan

selalu diingat oleh masyarakat. Oleh karena itu pemasangan ukiran tidak diletakkan

sembarangan tempat pada rumah adat, tetapi dipasang menurut pandangan dan

falsafah hidup Toraja. Ukiran-ukiran yang ada di rumah adat Toraja melambangkan

status sosial masyarakat Toraja.

Ukiran Toraja terinspirasi dari beragam hal seperti cerita rakyat, benda langit,

binatang yang disakralkan, peralatan rumah tangga, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain

yang oleh orang Toraja memang disakralkan (Sitonda, 2007). Ukiran Toraja

merupakan bentuk seni ukir yang dicetak menggunakan alat ukir khusus di atas

sebuah papan kayu, tiang rumah adat, jendela atau pintu (Kadang, 1960). Ditinjau

dari segi fungsinya, ukiran Toraja selain sabagai elemen estetis, juga berfungsi

sebagai media ekspresi simbolik untuk melampiaskan hasrat, pengabdian,

persembahan, dan kebaktian terhadap nenek moyang atau dewa yang dihormati,

terutama dalam hubungannya dengan kepercayaan Aluk Todolo. (Tangdilintin,

1985:23-25)

Ornamen ukiran rumah Tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna

dasar yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja

(Aluk To Dolo). Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang

umumnya, yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang

halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta

diselang-seling sulur mirip batang tanaman.

5
Simbol dalam suatu masyarakat merupakan salah satu pedoman penunjuk

arah untuk bertingkah laku secara mantap dan pasti. Ukiran yang ada pada

Tongkonan dapat digunakan untuk melihat dan mengetahui simbol status sosial

pemilik Tongkonan. Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian

dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa,

dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia

Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi

perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan

dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan

berikutnya. Sikap merendahkan dari bangsawan terhadap rakyat jelata masih

dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Kaum bangsawan,

yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat

jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua).

Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat Tongkonan milik tuan

mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya

melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka.

Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun

didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial

yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah

kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki. Budak dalam

masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja

menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak.

6
Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa

membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak.

Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang

sama dengan tuan mereka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Diperlukan peran aktif dan pastisipasi dari masyarakat dalam melestarikan

budaya, karena bila tidak dilakukan maka budaya asli akan hilang karena akulturasi

denga budaya lain atau berubah oleh pola pikir masyarakatnya. Kebudayaan yang ada

pada suatu kelompok masyarakat atau etnis tertentu tidak akan hilang begitu saja

semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi kebudayaan dapat berubah atau

berakulturasi dengan kebudayaan lain seiring dengan perkembangan pola pikir dari

masyarakat (Koentjaraningrat, 2002:248).

Kebudayaan juga mencakup aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan

kepercayaan yang terpelihara rapi yang secara turun temurun diwariskan kepada

generasi ke generasi, ini juga dapat dilihat dalam masyarakat Toraja, kebudayaan

yang ada dan dikembangkan serta diketahui dan diakui pihak lain, menunjukkan

adanya pewarisan budaya dari leluhur masyarakat Toraja.

Berdasarkan pengamatan sementara, dari beberapa generasi muda Toraja yang

ditanya tentang nama dan arti dari ukiran Toraja, ternyata mereka kurang

memahaminya, bahkan ada juga dari kalangan orang tua yang juga tidak memahami

akan kebudayaan mereka tersebut. Dari hasil pengamatan sementara tersebut, dapat

dilihat bahwa, budaya lokal Toraja di kalangan generasi muda Toraja kini mulai

terkikis. Seharusnya kebudayaan tersebut dilestarikan tetapi malah diabaikan.

7
Menurut mereka, ukiran-ukiran tersebut tidak diajarkan di sekolah, sehingga

merekapu tidak memahaminya. Makna ukiran pada rumah adat Toraja hanya

sebagian dari masyarakat Toraja yang memahaminya. Banyak rumah adat yang

dibangun harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada sejak dahulu kala.

Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian

dengan judul :“Makna Pesan Pada Corak Ukiran Tongkonan Sebagai Simbol

Status Sosial Masyarakat Toraja’’.

B. Rumusan Masalah

Tongkonan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di Indonesia yang

mengagumkan. Rumah adat ini dipenuhi berbagai macam corak ukiran yang memiliki

makna masing-masing. Berbagai variasi gambar dan simbol yang diukir menghiasi

hampir semua bagian dari Tongkonan. Ukiran-ukiran tersebut untuk menunjukkan

konsep keagamaan dan sosial suku Toraja yang disebut Passura’ (tulisan).

Ukiran tersebut bukan hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja

untuk menghiasi Tongkonan tetapi seluruh corak ukiran tersebut lahir dari pengertian

masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat Toraja serta

berpatokan pada nilai tradisi yang terkandung dalam kepercayaan asli di Toraja yaitu

Aluk Todolo. Pola yang terukir memiliki makna dengan persentase simbol tertentu

dari pemilik ataupun rumpun keluarga dan merupakan simbol status sosial dari

pemilik rumah adat tersebut.

8
Berdasarkan uraian di atas beberapa permasalahan dapat diidentifikasi adalah sebagai

berikut :

1. Corak ukiran apa saja yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan

status sosial masyarakat Toraja?

2. Pesan-pesan apa yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status

sosial masyarakat Toraja?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui corak ukiran pada Tongkonan yang melambangkan simbol

status sosial masyarakat Toraja.

2. Untuk mengetahui pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai

simbol status sosial masyarakat Toraja.

Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

- Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa yang melakukan penelitian di

bidang komunikasi antarbudaya.

- Sebagai sumber data ilmiah bagi pihak-pihak tertentu yang

membutuhkannya sebagai bahan kajian.

9
b. Kegunaan Praktis

- Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di jurusan Ilmu

Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Hasanuddin.

- Penambah wawasan tentang budaya Toraja bagi masyarakat dalam

memahami makna ukiran Toraja.

D. Kerangka Konseptual

Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data yang dapat dikategorikan

kedalam lima jenis, yaitu,artifak, perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia,

perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu tuturan yang terdiri

atas bunyi bahasa danteks yang terdiri atas tanda-tanda visual. Semua obyek dari

kajian teori kebudayaan memperlihatkan tata susunan atau pola keteraturan tertentu

yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna,

karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang terikat pada

kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu.

Kebudayaan merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari

perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan

adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun

waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam

kumpulan masyarakat.

10
Menurut Said (2004:3) kebudayaan itu adalah satuan dari gagasan, simbol-

simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga

tidak berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dengan

simbol-simbol yang diciptakan manusia sehingga manusia dapat disebut sebagai

Homo Symbolicum. Untuk mengerti simbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat

tradisional yang mungkin berkaitan dengan mitos dan spirit religius maka dibutuhkan

pengetahuan mengenai sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat itu, termasuk

pengalaman hidupnya. Demikian halnya dengan makna corak ukiran pada rumah adat

Toraja hanya apat dipahami bila terlebih dahulu mengerti sistem budaya

masyarakatnya. Menurut Van Romondt ( Said, 2004:7), rumah adalah suatu shelter

atau tempat berlindung manusia dalam menghadapi cuaca panas, dingin, hujan dan

angin. Dahulu pengertian rumah tinggal adalah sebagai tempat berlindung dari

panasnya matahari dan serangan binatang binatang buas yang menjdi musuh manusia.

Namun, sekarang selain hal tersebut di atas, juga berarti sebagai tempat beristirahat,

membina keluarga, tempat bekerja sekaligus sebagai lambang sosial. Masyarakat

Toraja menganggap rumah Tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung

padi) sebagai bapak. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial,

upacara adat, serta membina kekerabatan. Ragam hias rumah adat Toraja memiliki

ciri khas tersendiri, bentuk dan fungsinya juga demikian. Corak ukiran yang ada pada

Tongkonan memiliki makna pesan masing-masing. Corak yang dipasang merupakan

lambang atau tanda status sosial dari pemilik rumah adat tersebut.

11
Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan

bentuk simbolik itu sendiri. Simbol juga dapat semacam tanda, lukisan, perkataan,

lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud

tertentu. Misalnya, warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi lambang

kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satutanda pengenal bagi warga Negara

Republik Indonesia. Dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai tanda yang

mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri.

Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.

Simbol adalah objek atau peristiwa apa pun yang merujuk pada sesuatu. Semua

simbol melibatkan tiga unsur, yaitu symbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan

hubungan antara symbol dengan rujukan. Ketiga hal ini mrupakan dasar bagi semua

makna simbolik ( Spradley 2007:134).

Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign). Dalam

wawasan Pierce, tanda (sign) terdiri atas ikon (icon), indeks (index), dan simbol

(symbol). Pada dasarnya ikon merupakan tanda yang bisa menggambarkan ciri utama

sesuatu, meskipun sesuatu yang lazim disebut sebagai objek acuan tersebut tidak

hadir. Misalnya, gambar Amin Rais adalah ikon Amin Rais. Indeks adalah tanda yang

hadir secara asosiatif akibat terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya tetap.

Kata rokok, misalnya, memiliki indeks asap. Banyak orang yang selalu mengartikan

simbol sama dengan tanda. Sebetulnya tanda berkaitan langsung dengan objek,

sedangkan simbol memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah

menghubungkan dia dengan objek. Dengan kata lain, simbol lebih substantive

12
daripada tanda. Dalam hal ini yang simbol dari rumah adat Toraja adalah Tongkonan,

dan makna yang terkandung dalam setiap corak ukiran yang ada pada rumah adat

tersebut yang mewakili eksistensi dari daerah Toraja.

Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti yang dikatakan Susanne K.

Langer adalah kebutuhan sosialisasi atau pengguna lambang. Ernest Cassier

menyatakan bahwa keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah mereka sebagai

animal symbolicum (Mulyana, 2000:84). Simbol merupakan salah satu unsur

komunikasi sehingga seperti halnya komunikasi, simbol tidak muncul dalam ruang

hampa social melainkan dalam suatu konteks (fisik, waktu, historis, psikologis, social

dan budaya) atau situasi tertentu.

Dalam “bahasa” komunkasi, simbol seringkali disitilahkan sebagai lambang.

Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk merujuk sesuatu

berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Dimensi simbolik dapat ditemukan dalam

berbagai bentuk, baik yang konkrit maupun yang abstrak sebagai tanda dari adanya

suatu nilai yang ditunjukkan dalam sebuah adat dari budaya simbol yang

diekspresikan. Budaya terdiri dari simbol-simbol, dimiliki bersama oleh anggota

masyarakat, tergantung pada persepsi seseorang dapat mengartikan makna dari

simbol

Ketika semua bentuk komunikasi adalah tanda, maka dunia ini penuh dengan

tanda. Ketika kita berkomunikasi, kita menciptakan tanda sekaligus makna. Dalam

perspektif semiologi atau semiotika, pada akhirnya komunikasi akan menjadi suatu

ilmu untuk mengungkapkan pemaknaan dari tanda yang diciptakan oleh proses

13
komunikasi itu sendiri. Teori relasional makna didasarkan pada premis bahwa makna

symbol apapun merupakan hubungan simbol itu dengan symbol lain (Spradley

2007:137).

Pada penyusunan kerangka teori dalam penelitian ini, peneliti juga

menggunakan pragmatisme Charles Sanders Peirce. Simbol yang diartikan Pierce

sebagai tanda yang mengacu pada objek itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar

dalam teori segi tiga makna : simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan

antara simbol dengan rujukan (Sobur, 2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa

hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda)

sifatnya konvensional. Berdasarkan konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156)

memaparkan, masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol

dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Tanda dalam Peirce,

(Sobur:17) adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultifated), ia hadir dalam proses

interpretasi (semiosis) yang mengalir.

14
Berikut bagan konseptual dari penelitian ini :
Tongkonan

Ukiran

Interpretasi Makna Pesan


Simbol

Status Soisal

Bagan: Kerangka Konseptual

E. Metode Penelitian

1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan kurang lebih 3 bulan, mulai dari bulan Juni-Agustus

2012. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang akan digunakan adalah deskripstif kualitatif yaitu penulis

memberikan gambaran dan penjelasan tentang makna corak ukiran yang terdapat

15
pada rumah adat Toraja agar dapat dipahami oleh masyarakat lain yang belum

mengetahuinya.

3. Informan

Informan dalam penelitian ini adalah dua orang tokoh adat Toraja, ahli ukir Toraja

dan masyarakat biasa yang mempunyai wawasan dan paham tentang makna ukiran

Toraja.

4. Jenis danSumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan berdasarkan

pengamatan langsung, dialog dan wawancara mendalam dengan informan

yang telah ditentukan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh penulis melalui kajian kepustakaan,

yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai data yang berhubungan

dengan berupa buku-buku, data dari perpustakaan dan literatur-literatur lain

yang berhubungan dengan penelitian tersebut.

5. Teknik pengumpulan data

1. Observasi

Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan

langsung di lokasi penelitian.

16
2. Wawancara

Pengumpulan data ini dilakukan melalui wawancara terhadap informan

dan membaca literatur-literatur menyangkut hal-hal yang berhubungan

dengan masalah yang akan diteliti.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah analisis data

kualitatif, yaitu dengan melakukan interpretasi terhadap makna corak ukiran yang

terdapat pada Tongkonan.

17
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunikasi
Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”),secara

etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan

perkataan ini bersumber pada kata communis. Dalam kata communis ini memiliki

makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu suatu usaha yang memiliki

tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna.

Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian

suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang

terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Karena itu merujuk pada pengertian

Ruben dan Steward(1998:16) mengenai komunikasi manusia yaitu :

Human communication is the process through which individuals –in

relationships, group, organizations and societies—respond to and create messages to

adapt to the environment and one another. Bahwa komunikasi manusia adalah proses

yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan

masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan

lingkungan satu sama lain.

Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan

secara efektif dalam Effendy(1994:10) bahwa para peminat komunikasi seringkali

mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The

18
Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa

cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab

pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What

Effect?

Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima

unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:

1. Komunikator (siapa yang mengatakan?)

2. Pesan (mengatakan apa?)

3. Media (melalui saluran/ channel/media apa?)

4. Komunikan (kepada siapa?)

5. Efek (dengan dampak/efek apa?).

Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses

komunikasi adalah pihak komunikator membentuk (encode) pesan dan

menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang

menimbulkan efek tertentu.

Beberapa definisi Komunikasi menurut para ahli :


Onong Cahyana Effendi :
“Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang
lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan
(langsung) ataupun tidak langsung (melalui media)”.

Harold Laswell :
“Komunikasi adalah gambaran mengenai siapa, mengatakan apa, melalui
media apa, kepada siapa, dan apa efeknya."

19
Raymond Ross :

“Komunikasi adalah proses menyortir, memilih, dan pengiriman simbol-


simbol sedemikian rupa agar membantu pendengar membangkitkan respons/ makna
dari pemikiran yang serupa dengan yang dimaksudkan oleh komunikator”.

Gerald R. Miller :

“Komunikasi terjadi saat satu sumber menyampaikan pesan kepada penerima


dengan niat sadar untuk mempengaruhi perilaku mereka”.

Everett M. Rogers :

“Komunikasi adalah proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu
atau banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”.

Carl I. Hovland :

“Komunikasi adalah suatu proses yang memungkinkan seseorang


menyampaikan rangsangan (biasanya dengan menggunakan lambang verbal) untuk
mengubah perilaku orang lain”.

New Comb :

“Komunikasi adalah transmisi informasi yang terdiri dari rangsangan


diskriminatif dari sumber kepada penerima”.

Bernard Barelson & Garry A. Steiner :

“Komunikasi adalah proses transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan


dan sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, grafis,
angka, dsb”.

Colin Cherry :

“Komunikasi adalah proses dimana pihak-pihak saling menggunakan


informasi dengan untuk mencapai tujuan bersama dan komunikasi merupakan kaitan
hubungan yang ditimbulkan oleh penerus rangsangan dan pembangkitan balasannya”.

20
Hovland, Janis dan Kelley :

“Komunikasi merupakan proses individu mengirim rangsangan (stimulus)


yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain. Pada
definisi ini mereka menganggap komunikasi sebagai suatu proses”.
Louis Forsdale :

“Menurut Forsdale (1981), ahli komunikasi dan pendidikan “communication


is the process by which a system is established, maintained and altered by means of
shared signals that operate according to rules”. Komunikasi adalah suatu proses
dimana suatu 21ystem dibentuk, dipelihara, dan diubah dengan tujuan bahwa sinyal-
sinyal yang dikirimkan dan diterima dilakukan sesuai dengan aturan”.

William J. Seller :

“William J.Seller mengatakan bahwa komunikasi adalah proses dimana


simbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima dan diberi arti”.

1. Unsur - Unsur Komunikasi


Proses komunikasi yang efektifakan berlangsung apabila terdapat unsur-unsur

komunikasi yaitu :

1. Sumber (source)

Komunikator atau sumber adalah orang yang menciptakan tindakan

komunikasi. Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang

mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu

komunikasi,bisa seorang individu,kelompok,organisasi sebagai komunikator.

2. Penerima

Orang yang menerima pesan sebagai akibatnya menjadi terhubungkan dengan

sumber pesan. Penerima bias dikehendaki atau mungkin yang tidak

dikehendaki sumber.

21
3. Penyandian (encoding)

Kegiatan internal seseorang untuk memilih dan merangsang perilaku verbal

dan nonverbal yang sesuai dengan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis

guna menciptakan suatu pesan.

4. Pesan (message)

Hasil dari perilaku menyandi adalah pesan (message) baik pesan verbal

maupun nonoverbal.

5. Saluran (channel), yang menjadi penghubung antara sumber dan penerima.

6. Penyandian balik (decoding)

Proses internal penerima pemberian makna kepada perilaku sumber yang

mewakili perasaan dan pikiran sumber.

7. Respons penerima (receiver respons)

Menyangkut apa yang penerima lakukan setelah ia menerima pesan. Respon

bisa beraneka ragam bisa minimum hingga maksimum. Respon minimum

keputusan penerima mengabaikan pesan, sebaliknya yang maksimum

tindakan penerima segera, terbuka dan mungkin mengandung kekerasan.

Komunikasi dianggap berhasil bila respons berhasil penerima mendekati apa

yag dikehendaki oleh sumber.

22
8. Umpan balik (feed back)

Informasi yang tersedia bagi sumber yang memungkinkannya meneilai

keefektifan komunikasi yang dilakukannya. Porter dan Samovar (Mulyana

dan Rahmat, 2006) dalam Sihabudin, 2011:16).

2. Karakteristik Komunikasi

Ada beberapa karakteristik komunikasi yang dapat membantu dalam

memahami bagaimana komunikasi berlangsung yaitu :

1. Komunikasi bersifat dinamaik

Komunikasi adalah suatu aktivitas yang terus berlangsung dan selalu berubah.

2. Komunikasi itu interaktif

Komunikasi terjadi anataraa sumber dan penerima.

3. Komunikasi itu tak dapat dibalik (irreversible)

Maksudnya adalah sekali kita mengatakan sesuatu dan sesorang telah

menerima dan menyandi pesan, kita tidak dapat menarik kembali pesan itu

dan sama sekali meniadakan pengaruhnya.

4. Komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan konteks sosial

Ketika berinteraksi dengan seseorang, interaksi itu tidak terisolasi tetapi ada

dalam lingkungan fisik dinamika sosial tertentu. Lingkungan fisik meliputi

objek-objek fisik seperti tumbuh-tumbuhan, kenyamanan atau ketidak

nyamanan atau suasana ruanga di mana komunikasi itu berlangsung. Konteks

sosial mementukan hubungan sosial antara sumber dan penerima.

23
3. Fungsi Komunikasi

Dalam kajian ilmu komunikasi banyak ahli mengemukakan pendapatnya

tentang fungsi-fungsi komunikasi. Nurudin (2008:15) mengambil pendapat Harold D.

Lasswel tentang fungsi-fungsi komunikasi yaitu:

1. Penjagaan/pengawasan lingkungan (surveillance of the environment), fungsi

ini dijalankan oleh para diplomat, etase dan koresponen luar negeri sebagai

usaha menjaga lingkungan.

2. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisahkan dari masyrakat untuk

menanggapi lingkungannya (correlation of the part of sosiety in responding to

the environment), fungsi ini diperankan oleh para editor, wartawan dan juru

bicara sebagai penghubung respon internal.

3. Menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi (transmission of the

social heritage), fungsi ini adalah para pendidik di dalam pendidikan formal

atau informal karena terlibat mewariskan adat kebiasaan, nilai dari generasi ke

generasi.

Selain fungsi di atas, Charles R. Wright menambahkan fungsi lain yaitu

entertainment (hiburan) yang menunjukkan pada tindakan-tindakan komunikatif yang

terutama dimaksudkan untuk menghibur dengan tindakan efek-efek instrumental

yang dimilikinya.

24
4. Komunikasi sebagai proses simbolik
Manusia merupakan satu-satunya hewan yang menggunakan lambang, seperti

kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau kebutuhan penggunaan

lambang, dan hal itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan untuk kepentingan

dirinya, maupun untuk kepentingan orang lain, dinyatakan dalam bentuk simbol.

Hubungan antara pihak yang ikut serta dalam proses komunikasi banyak ditentukan

oleh simbol atau lambang-lambang yang digunakan dalam berkomunikasi (Cangara,

2011:52).

Kebutuhan dasar yang memang hanya ada pada manusia, adalah kebutuhan

akan simbolisasi. Fungsi pembentukan simbol ini adalah satu di antara kegiatan-

kegiatan dasar manusia, seperti makan, melihat, dan bergerak. Ini adalah proses

fundamental bergantung pada penggunaan simbol-simbol menurut Susanne K.Langer

(Sihabudin, 2011:64).

Menurut Hayakawa (1990:102) kemampuan kita berpaling, melihat proses

simbolik yang sedang berlangsung. Proses simbolik menembus kehidupan manusia

dalam tingkat paling primitif dan tingkat paling beradab. Pada manusia kegiatan

secara arbitrer menjadikan hal-hal tertentu untuk mewakili hal-hal lainnya bisa

disebut proses simbolik.

Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu

lainnya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata

(verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama.

25
Ada beberapa sifat lambang yang perlu kita ketahui anatara lain adalah,

lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Segala sesuatu yang

ada di sekeliling kita bisa dijadikan lambang, hal ini tergantubg kesepakatan bersama.

Lambang hadir di mana-mana di sekeliling kita, namun alam tidak memberikan

penjelasan kepada kita mengapa menggunakan lambang-lambang tertentu untuk

menunjukkan pada hal-hal tertentu, baik yang bersifat konkrit maupun yang bersifat

abstrak.

Sifat yang kedua dari lambang adalah pada dasarnya lambang itu tidak

memiliki makna, kitalah yang memberi makna pada lambang. Makna sebenarnya ada

dalam kepala kita, bukan terletak apda lambang itu sendiri. Sifat yang ketiga dari

lambang adalah lambang itu bervariasi dari satu budaya ke budaya yang lain, dari

satu tempat ke tempat lain dan dari satu konteks waktu ke konteks waktu yang lain.

Makna yang diberikan terhadap suatu lambang boleh jadi berubah seiring dengan

waktu, meskipun perubahannya berjalan lambat.

B. Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Komunikasi verbal dan nonverbal merupakan dua bentuk yang dari tindak

komunikasi yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan guna

tercapainya komunikasi yang efektif, masing- masing bekerja bersama-sama untuk

menciptakan suatu makna. Walaupun antara keduanya memiliki sifat holistik, namun

keberadaannya meurut Donn Stacks dan kawan-kawannya dapat dibedakan menjadi

tiga bagian, yaitu kesengajaan atau intensionalitas, perbedaan-perbedaan simbolik

dan pemrosesan informasi.

26
Komunikasi nonverbal dapat didefinisikan: Non berarti tidak, Verbal

bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi nonverbal dimaknai sebagai

komunikasi tanpa kata-kata. Batasan lain mengenai komunikasi nonverbal yang

dekemukakan oleh beberapa para ahli, yaitu:

Frank E.X. Dance dan Carl E. Larson:

”Komunikasi nonverbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung

pada isi simbolik untuk memaknainya”.

Edward Sapir:

”Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis

tidak di mana pun jiga, diketahui oleh tidak seorang pun dan

dimengerti oleh semua”.

Malandro dan Berker:

- Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.

- Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa

menggunakan suara.

- Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh sesorang

yang diberi makna oleh orang lain.

- Komunikasi nonverbal adalah suatu studi mengenai ekspresi wajah,

sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain.

Perbedaan antara Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Menurut Don Stacks dan kawan-kawan, ada tiga perbedaan utama diantara

keduanya yaitu:

27
1. Kesengajaan pesan (the intentionality of the message), komunikasi nonverbal

tidak banyak dibatasi oleh niat atau intent tersebut. Persepsi sederhana

mengenai niat ini oleh seorang penerima sudah cukup dipertimbangkan

menjadi komunikasi nonverbal. Sebab, komunikasi nonverbal cenderung

kurang dilakukan dengan sengaja dan kurang halus apabila dibandingkan

dengan komunikasi verbal. Selain itu komunikasi nonverbal juga mengaraha

pada norma-norma yang berlaku, sementara niat atau intent tidak

terdefinisikan dengan jelas.

2. Tingkat simbolisme dalam tindakan atau pesan (the degree of symbolism in

the act or message),

3. Pemrosesan mekanisme (processing mechanism).

Perbedaan lainnya dapat terlihat dari segi kulaitatifnya. Menurut Knapp (1980),

perbedaan secara kulaitatif antara komunikasi verbal dan nonverbal, terutama bila

dilihat dari tiga segi :

1. Ciri pesan

Komunikasi verbal memepunyai pesan yang terpisah-pisah, sedangkan

komunikasi nonverbal memiliki ciri yang bersifat berkesinambungan.

2. Saluran

Komunikasi verbal merupakan komunikasi bersaluran tunggal,

sedangkan komunikasi nonverbal meemiliki saluran yang banyak.

3. Pengawasan

28
Komunikasi verbal selalu berada di bawah pengawasan setiap

manusia secara sadar maupun sukarela, sedangkan komunikasi

nonverbal tidak dapat diawasi dengan baik apa lagi sempurna.

Fungsi Komunikasi Verbal dan Nonverbal

1. Perilaku nonverbal memeberi aksen atau penekanan pada pesan verbal.

Misalnya menyatakan terima kasih dengan tersenyum.

2. Perilaku nonverbal sebagai pengulangan dari bahasa verbal.

3. Tindak komunikasi nonverbal melengkapai pernyataan verbal.

4. Perilaku nonverbal sebagai pengganti dari komunikasi verbal.

Komunikasi nonverbal digunakan untuk memastikan bahwa makna yang

sebenarnya dari pesan-pesan verbal dan nonverbal, kurang dapat beroperasi secara

terpisah, satu sama lain saling membutuhkan guna mencapai komunikasi yang efektif.

Menurut Knapp dan Tubss (1987) seperti yang dikutip oleh Alo Liliweri,

pemahaman terhadap pesan nonverbal hendaknya dilihat sebagai suatu kesatuan

dengan pesan yang bersifat verbal, karena pada dasarnya pemaknaan terhadap pesan

komunikasi akan lebih lengkap jika pesan verbal ataupun nonverbal dipahami secara

bersamaan. Jadi secara umum, komunikasi nonverbal mempunyai fungsi pendukung

dalam pemberian makna yang disamapaikan secara verbal. Knapp dan Tubss juga

menyebtukan beberapa fungsi pesan-pesan nonverbal dalam kaitannya dengan

pemahaman terhadap pesan verbal, yaitu:

1. Repetisi atau Pengulangan

29
Perilaku nonverbal dapat mengulangi apa yang telah disampaikan

dalam pesan verbal. Perilaku nonverbal disini berfungsi untuk

memperkuat pemaknaan dari pesan verbal.

2. Kontradiksi atau berlawanan

Adakalanya seseorang mengatakan suatu pesan verbal tertentu, tetapi

tidak diikuti oleh perilaku non-verbal yang mendukung pesan

verbalnya.

3. Subtitusi atau pengganti

Perilaku nonverbal juga berfungsi sebagai pengganti pesan verbal

yang seharusnya disampaikan.

4. Regulasi atau pengatur

Perilaku nonverbal juga dapat berfungsi sebagai pengatur pada

komunikasi verbal. Mungkin anda sering melihat seseorang berbicara

sambil menggerakkan anggota badannya sebagai peneguhan terhadap

pesan verbal yang disampaikanyya.

5. Aksentuasi atau penekanan

Perilaku nonverbal dapat juga memberi tekanan pada pesan verbal

yang disampaikan oleh seseoarang.

6. Kompleman atau pelengkap

Perilaku nonverbal dapat juga berfungsi sebagai pelengkap tehadap

pesan verbal.

30
Karakteristik Komunikasi Nonverbal

Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki

4 karakteristik yaitu keberadaanya, kemampuannya ,menyampaikan pesan tanpa

bahasa verbal, sifat ambiguitasnya dan keterikatannya dalam suatu kultur tertentu.

Keberadaan komunikasi nonverbal akan dapat diamati ketika kita melakukan tindak

komunikasi secara verbal, maupun pada saat bahasa verbal tidak digunakan, atau

dengan kata lain, komunikasi nonverbal akan selalu muncul dalam setiap tindakan

komunikasi, disadari atau tidak disadari.

Keberadaan komunikasi nonverbal ini pada gilirannya akan membawa kepada

cirinya yang lain, yaitu bahawa kita dapat berkomunikasi secara nonverbal, karena

setiap orang mampu mengirim pesan secara nonverbal kepada orang lain, tanpa

menggunakan tanda-tanda verbal.

Sifat ambiguitas dari komunikasi nonverbal, dalam arti ada banyak

kemungkinan penafsiran terhadap setiap perilaku. Sifat ambigu atau mendua ini

sangat penting bagi penerima (receiver) untuk menguji setiap interpretasi sebelum

sampai pada kesimpulan tentang makna dari suatu pesan nonverbal. Karakteristik

terakhir adalah bahwa komunikasi nonverbal terikat dalam suatu kultur atau budaya

tertentu, maksudnya, perilaku-perilaku yang memiliki makna khusus dalam suatu

budaya, akan mengekspresikan pesan-pesan yang berbeda dalam ikatan kultur.

Sebagai komponen budaya, pesan nonverbal mempunyai persamaan dengan

pesan verbal. Keduanya dianggap sebagai proses pemberian makna (penyandian)

terhadap suatu pesan yang diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Karena

31
budaya sangat mempengaruhi pesan nonverba ini, makan tidaklah mengherankan jika

pesan-pesan yang ingin disampaikan merupakan sesuatu yang telah budaya sebarkan

dan wariskan pada anggota dari budaya tersebut.

Jelaslah bahwa budaya sangat mempengaruhi pembentukan dan pemberian

makna tehadap lambang-lambang atau perilaku-perilaku nonverbal serta respons-

respons yang ditimbulakan oleh lambang-lambang tersbut pada suatu

bangsa/masyarakat. Selanjutnya jika lambang-lambang nonverbal tersbut telah diakui

sebagai lambang yang bersifat umum, maka lambang-lambang tersebut kemudian

diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan anggota-anggota dari suatu

masyarakat/bangsa di mana yang menyangkut cara-cara orang tersebut

berkomunikasi, dari mulai bagaimana mengirim, menerima dan merespons pesan-

pesan nonverbal tersebut.

Pada kehidupan sehari-hari perilaku nonverbal yang diperlihatkan oleh orang-

orang yang berkomunikasi itu merupakan bentuk gerakan yang normal. Beberapa hal

penting yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal, yaitu:

1. Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna yang

berbeda jika diperlihatkan pada situasi dan kondisi yang berlainan.

2. Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang

berbeda pada suatu masyarakat/bangsa yang satu dengan

masyarakat/bangsa lain

32
3. Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan

verbal yang menyertainya. Jadi, adakalanya suatu perilaku yang sama

akan berbeda jika pesan verbal yang dikatakannya berbeda.

4. Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal

harus dilihat sebagai kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan

verbal yang disampaikannya.

5. Pesan nonverbal dapat bermakna ganda dan biasanya bersifat

bertentangan. Hal ini terjadi jika dalam pesan komunikasi ditemui

adanya ketidaksesuaian antara pesan verbal dan nonverbal.

6. Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan nilai

atau norma yang berlaku pada suatu kelompok atau masyarakat

tertentu. Oleh karenanya, pemaknaan dan aturan terhadap suatu

perilaku nonverbal sangat bervariasi.

C. Budaya

Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data yang dapat dikategorikan

kedalam lima jenis, yaitu, (a) artifak, (b) perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot

manusia, (c) perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu (d)

tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa dan (e) teks yang terdiri atas tanda-tanda visual.

Semua obyek dari kajian Teori Kebudayaan memperlihatkan tata susunan atau pola

keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai

data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang

33
terikat pada kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan

kebermaknaan itu.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Menurut

Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari

bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi”

atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang

berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan

rasa itu.

Koentjaraningrat juga menerangkan bahwa pada dasarnya banyak sarjana

yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan

perkembangan majemuk budi daya, yang berati daya dari budi. Namun, pada kajian

Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan, tidak ada

perbedaan dari definsi.

Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut Koentjaraningrat

merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

belajar.”Lalu, dilain pihak Clifford Geertz mengatakan bahwa kebudayaan

merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk

simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan

mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. (Abdullah, 2006:1)

Lebih sepesifik lagi, E. B Taylor, dalam bukunya “Primitive Cultures”,

mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya

34
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,

kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota

masyarakat.” (Setiadi, 2007:27)

Dari berbagai definisi di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa

kebudayaan atau budaya merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari

perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan

adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun

waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam

kumpulan masyarakat.

Pemahaman tentang kebudayaan adalah suatu persoalan yang sangat dalam

dan luas, bidang cakupannya meliputi seluruh pikiran, rasa,karsa, dan hasil karya

manusia. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut tingkatan

hidup dan penghidupan manusia. Pada dasarnya budaya adalah suatu konsep yang

membangkitkan minat, yang berkenaan dengan cara hidup.

Budaya yang menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan bentuk kegiatan

dan perilaku yang befungsi sebagai model-model dalam tindakan-tindakan

penyesuaian diri dalam segala gaya komunikasi yang memungkinkan orang-rang

tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu

tingkat perkembangan teknis tertentu pada suatu saat tertentu, budaya juga berkenaan

dengan sifat-sifat dari obyek-obyek materi yang berupa bentuk rumah, alat-alat

pertanian dan jenis-jenis alat transportasi yang mamainkan peranan penting dalam

kehidupan sehari-hari.

35
J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya tiga

‘gejala kebudayaan’ : yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini

diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud

kebudayaan :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.Wujud

kebudayaan dalam konteks ini adalah wujud idiil dari kebudayaan yang

bersifat abstrak. Kebudayaan dalam arti ini berfungsi sebagai adat-istiadat

yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arahan pola perilaku dan

perbuatan dari masyarakat yang hidup dalam lingkup kebudayaan tersebut.

Contoh wujud kebudayaan ini adalah sistem nilai budaya, norma, hukum,

dan peraturan-peraturan semacam sopan santun dan lain sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat.Wujud kebudayaan dalam konteks

ini disebut sebagai sistem sosial yang terdiri dari aktivitas manusia yang

berinteraksi, berhubungan, bergaul berdasarkan pola tata perilaku tertentu.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.Wujud

ketiga kebudayaan ini merupakan kebudayaan fisik dan merupakan

kebudayaan yang paling konkret, misalnya bangunan, artefak, candi-candi,

gedung bertingkat, rumah, dan lain-lain.

Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku Ilmu Sosial dan

Budaya Dasar (2007:29-30) memberikan penjelasannya sebagai berikut :

36
1. Wujud Ide , wujud ini menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya

abstrak, tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran

warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.Budaya ideal

mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan,

kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.

Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.

2. Wujud perilaku, wujud ini dinamakan sistem sosial, karena menyangkut

tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi,

difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem ssosial ini terdapat aktivitas-

aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan

lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa.

3. Wujud Artefak, wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana

seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan

didokumentasikan. Contohnya : bangunan.

Menurut Said (2004:3) kebudayaan itu adalah satuan dari gagasan, simbol-

simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga

tidak berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dengan

simbol-simbol yang diciptakan manusia sehingga manusia dapat disebut sebagai

Homo Symbolicum.

Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1)

suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan

simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan

37
persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-

makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk

simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi,

memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap

terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-

sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu

sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan

diinterpretasi. Bahasa simbolik dari kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu

peneliti tidak boleh berpura-pura telah memperoleh pengetahuan yang mendalam

mengenai sudut-sudut gelam dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal,

dan manusia tidak dapat memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini,

yang bekerja di sepanjang kode genetik itu sendiri. (Geertz 1973).

Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1)

suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbo, yang dengan makna dan

simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan

persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-

makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk

simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi,

memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap

terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-

sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu

sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan

38
diinterpretasi. Bahasa simbolik dari kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu

peneliti tidak boleh berpura-pura telah memperoleh pengetahuan yang mendalam

mengenai sudut-sudut gelam dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal,

dan manusia tidak dapat memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini,

yang bekerja di sepanjang kode genetik itu sendiri. (Geertz 1973). Jadi, menjadi

manusia berarti berkebudayaan.

Selain itu, kebudayaan bersifat kontekstual dan mengandung makna publik -

sebab diterima oleh semua pelaku kebudayaan- karena sesuai, berkembang, dan

dikembangkan oleh pelaku kebudayaan di dan di sekitar lingkungan sosialisasi

mereka. Oleh sebab itu, menurut Geertz, untuk mendekati, memahami, suatu

peristiwa sosial di tengah kelompok masyarakat yang mempraktekkan kebudayaan -

dan unsur-unsur kebudayaan yang ada di dalamnya- harus dicari melalui hubungan

sebab akibat; dan memahami makna yang dihayati pada lingkungan peristiwa sosial

itu terjadi.

D. Memahami Makna

Makna adalah hubungan antara subjek dengan lambangnya. Makna pada

dasarnya terbentuk berdasarkan hubungan antara lambang komunikasi (simbol), akal

budi manusia penggunanya (objek). (Verdiansyah, 2004:70-71)

Brown dalam Sobur 2006:256, mendefinisikan makna sebagai kecenderungan

(disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa.

Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan kata atau suatu kalimat.

Dalam Mulyana 2006:256, Brown mengatakan “seseorang mungkin dapat

39
menghabiskan tahun-tahunnya yang produktif untuk menguraikan makna atau

kalimat tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas tersebut.

Beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata makna ketika mereka

merumuskan defenisi komunikasi. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, 2006:6)

“Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih”.

Judy C. Pearson dan paul E. Nelson mengatakan bahwa “Komunikasi adalah proses

memahami dari berbagai makna”. Tedapat banyak komponen makna yang

dibangkitkan suatu kata atau kalimat (Sobur, 2004:255).

Makna adalah balasan terhadap pesan. Suatu pesan terdiri dari tanda-tanda

dan symbol-simbol yang sebenarnya tidak mengandung makna. Makna baru akan

timbul ketika ada sesorang yang menafsirkan tanda dan simbol yang bersangkutan

dan berusaha memahami artinya. Dari segi psikologis, tanda dan simbol bertindak

selaku perangsang untuk membangkitkan balasan di pihak penerima pesan.

Oleh kaena itu, makna akan terlihat merupakan bagian dari dua hal, yakni

bagian dari penafsiran terhadap informasi yang terkandung dalam simbol-simbol,

bagian dari proses pertanyaan. Proses ini membawa tahap pemahaman terhadap

lapisan yang lebih mendalam serta lebih luas.

Makna dari sebuah wahana tanda adalah satuan cultural yang diperagakan

oleh wahana-wahana tand yang lainnya serta dengan begitu secara semantic

mempertunjukkan pula ketidak tergantungannya pada wahana tanda yang

sebelumnya. Makna menuntut kemampuan integrative manusia, yakni inderawinya,

daya pikirnya, dan akal budinya. Materi yang tersajikan, dilihat tidak lebih dari tanda-

40
tanda atau indicator bagi sesuatu yabg lebih jauh dalam pemaknaan dapat terjangkau

menjangkau yang etik ataupun yang transendental.

Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu melihat teori

yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu setiap tanda linguistic terdiri

dari atas dua unsure, yakni :

1. Yang diartikan (signified= unsur makna) merupakan konsep atau makna dari

sesuatu tanda-bunyi.

2. Yang mengartikan (signifier= unsure bunyi) yaitu bunyi-bunyi itu yang

terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan.

Dengan kata lain setiap tanda linguistic terdiri dari unsur bunyi dan unsur

makna. Kedua unsur tersebut dalam – bahasa (intralingual) yang biasanya

merujuk atau mengacu pada kepada suatu referen yang merupakan unsur luar –

bahasa (ekstralingual).

Brodbeck (Sobur, 2009:262) menyajikan teori makna dengan cara yang cukup

sederhana. Ia menjernihkan pembicaraan makna dengan membagi makna tersebut

menjadi tiga corak, yaitu:

1. Makna yang pertama adalah makna inferensial, yakni makna satu kata

(lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata

tersbut.

2. Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) suatu istilah sejauh

dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain.

41
3. Makna ketiga adalah makna intensional, yakni makna yang dipakai oleh

seorang pemakai lambang.

E. Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif / lugas (referensial) ialah makna yang menunjukkan langsung

pada acuan dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata. Contoh kata

melati berarti “sejenis bunga”. Makna konotatif ialah makna denotatif yang

ditambahkan dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh

kata melati itu.

Makna denotasi adalah makna yang sebenarnya, makna ini dapat digunakan

untuk menyampaikan hal-hal factual. Makna denotasi disebut juga makna lugas

seperti yang ditemukan di kamus. Kata itu tidak mengalami penambahan-

penambahan makna, karena itu makna denotative lebih bersifat publik. Denotasi

adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang

secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran.

Denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Misalnya kata “melati” berarti

“sejenis bunga” , ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam

tanda, akan tetapi pada saat yng bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda.

Makna denotative pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna

denotative ini lazim diberi penjelasa sebagai makna yang sesuai dengan ahasil

observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman

lainnya.

42
Jika denotasi sebuah kata adalah definisi kata tersebut, maka makna konotasi

sebuah kata adalah makna subtantif atau emosionalnya (De Vito dalam Sobur,

2009:263). Hal ini berarti bahwa kata konotasi melibatkan simbol-simbol, historis,

dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Dikatakan objektif, sebab makna

denotatif ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subjektif dalam

pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) hamper bias

dimengerti oleh semua orang, maka makna konotatif hanya bisa dimengerti oleh

sejumlah orang tertentu dalam jumlah yang relatif lebih kecil.

Sebuah kata mempunyai konotatif apabila kata itu mempunyai kata itu

mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa

maka tidak mempunyai konotasi, tetapi bias juga disebut berkonotasi netral.

Kata-kata yang bermakna denotative tepat digunakan dalam karya ilmiah,

sedangkan kata-kata yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra.

Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi sebagai

berikut:

43
Tabel 2.1

KONOTASI DENOTASI

Pemakaian figure Literatur

Petanda Penanda

Kesimpulan Jelas

Member kesan tentang makna Menjabarkan

Dunia mitos Dunia keberadaan/eksistensi

Sumber, Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT.Remaja

Rosdakarya.

F. Teori

Simbol

Secara etimologi, simbol berasal dari kata kerja Yunani, Sumballo

(sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan,

bertemu, melemparkan jadi satu, menyatukan. Jadi simbol adalah penyatuan oleh

subyek atas dua hal menjadi satu. Sedangkan Reede menyebutkan bahwa simbol

berasal dan kata Greek yaitu suni-balloo yang berarti “saya bersatu bersamanya”,

“penyatuan bersama”. Pemahaman yang diberikan oleh Reede ini tidak jauh berbeda

dengan pemahaman sebelumnya. Pada hakekatnya, simbol adalah suatu penyatuan

apakah itu berupa bentuk dan nilai harfiahnya, wujud dan maknanya, kesadaran dan

ketidaksadaran dan lain-lain. Penyatuan ini merupakan nilai tambah terhadap

44
kehidupan manusia sehingga perjalanan kehidupannya lebih bermakna. Pemahaman

kita tentang simbol ini harus kita bedakan dengan pemahaman terhadap tanda (sign).

Tanda adalah formula fisik yang cenderung sebagai operator, sedangkan simbol

adalah formula makna yang berfungsi sebagai designator sebagaimana yang

diungkapkan oleh Cassier berikut, “simbol —bila diartikan tepat— tidak dapat

dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak

pada dua bidang permasalahan yang berlainan: tanda adalab bagian dan dunia fisik;

simbol adalah bagian dan dunia makna manusia. Tanda adalah “operator”, simbol

adalah “designator”. Tanda, bahkan pun bila dipahami dan digunakan seperti itu,

bagaimanapun merupakan sesuatu yang fisik dan substansial; simbol hanya memiliki

nilai fungsional. Sependapat dengan Cassier, Carl Gustav Jung yang Psikiater Swiss

(1875 - 1961) juga membedakan antara tanda (zeichen) dan simbol. Jung mengatakan

bahwa antara pemakaian sesuatu sebagai tanda (semiotic) dan pemakaian sesuatu

sebagai simbol (symbolic). Simbol mengandaikan bahwa ekspresi yang terpilih

adalah formulasi yang paling baik akan sesuatu yang relatif tidak terkenal, namun hal

itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada.

Selama suatu simbol hidup, simbol itu adalah ekspresi suatu hal yang tidak

dapat ditandai dengan tanda yang lebih tepat. Simbol hanya hidup selama simbol

mengandung makna bagi kelompok besar manusia, sebagai sesuatu yang

mengandung milik bersama sehingga simbol menjadi sosial yang hidup dan

pengaruhnya menghidupkan. Manakala makna telah lahir dan suatu simbol, yakni

45
ketika diperoleh ekspresi yang dapat merumuskan hal yang dicari dengan lebih tepat

dan lebih baik, matilah simbol itu dan simbol hanya mempunyai makna historis.

Simbol yang hidup mengungkapkan hal yang tidak terkatakan dalam cara

yang tidak teratasi. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-

simbol. Simbol itu sendiri meliputi apapun yang kita rasakan atau kita alami. Di

dalam bukunya Hartoko dan Rahmanto, 1998:133, Pada dasarnya simbol dapat

dibedakan menjadi:

1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya

tidur sebagai lambang kematian

2. Simbol cultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan

tertentu misalnya keris dalam kebudayaan Jawa.

3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks

keseluruhan karya seorang pengarang.

Ketika masyarakat majemuk berinteraksi dengan masyarakat lain yang berbeda

budaya, maka tatkala proses komunikasi dilakukan, simbol-simbol verbal atau

nonverbal secara tidak langsung dipergunakan dalam proses tersebut. Penggunaan

simbol-simbol ini acapkali menghasilkan makna-makna yang berbeda dari pelaku

komunikasi, walau tak jarang pemaknaan atas simbol akan menghasilkan arti yang

sama, sesuai harapan pelaku komunikasi tersebut.

Maka, simbol yang diartikan Pierce sebagai tanda yang mengacu pada objek

itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar dalam teori segi tiga makna : simbol itu

sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan (Sobur,

46
2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa hubungan antara simbol sebagai penanda

dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konfensional. Berdasarkan

konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156) memaparkan, masyarakat pemakainya

menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan

maknanya.

Simbol tidak dapat hanya disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan

asosiatifnya dengan simbol lainnya. Simbol berbeda dengan bunyi, simbol telah

memiliki kesatuan bentuk dan juga makna. Maka, pada dasarnya simbol dapat

dibedakan menjadi simbol-simbol universal, simbol kultural yang dilatarbelakangi

oleh kebudayaan tertentu, dan simbol individual (Hartoko-Rahmanto, 1998 : 133).

Sedangkan dalam “bahasa” komunikasi, simbol ini seringkali diistilahkan

sebagai lambang. Di mana simbol atau lambang dapat diartikan sebagai sesuatu yang

digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan

kelompok/masyarakat (Sobur, 2003 : 157). Lambang ini meliputi kata-kata (berupa

pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama.

Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal dan nonverbal memungkinkan

perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (fisik,

abstrak dan sosial) tanpa kehadrian manusia dan objek tersebut.

Walaupun simbol/lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign), dan

Pierce pun menyatakan bahwa tanda (signs) terdiri atas ikon, indeks dan simbol, akan

tetapi simbol dan tanda adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan itu terletak pada

pemaknaan keduanya terhadap objek-objek yang ada di sekelilingnya. Tanda

47
berkaitan langsung dengan objek dan tanda dapat berupa benda-benda serta tanda-

tanda yang merupakan keadaan. Sedangkan simbol, seperti yang dikutip Sobur (2003

: 160-62), memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan

simbol dengan objek, simbol pun lebih sustensif daripada tanda.

Di dalam lingkup Peirce seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum

tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Bagi Peirce, tanda “is something

which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang

digunakan agar tanda bias berfungsi, oleh Peirce disebut ground.

G. Teori Simbol: Susanne Langer

Teori Langer menegaskan beberapa konsep dan istilah yang bisa digunakan

dalam bidang komunikasi. Teori ini memeberikan sejenis standarisasi untuk tradisi

semiotik dalam dalam kajian komunikasi. Langer, seorang filsuf, memikirkan

simbolisme mendasari pengetahuan dan pemahaman semua manusia. Menurut

Langer, semua binatang yang hidup didominasi oleh perasaan, tetapi perasaan

manusia dimediasikan oleh konsepsi, simbol, dan bahasa. Binatang merespons tanda,

tetapi manusia menggunakan lebih dari sekedar tanda sederhana dengan

mempergunakan simbol. Tanda adalah stimulus yang menandakan kehadiran dari

suatu hal. Sebagai contoh, jika seseorang melatih anjingnya untuk berguling, maka

orang tersebut memberikan perintah yang tepat, maka kata guling adalah sebuah

tanda untuk anjing supaya berguling. Dengan demikian, sebuah tanda berhubungan

erat dengan makna dari kejadian sebenarnya. Awan dapat menjadi tanda untuk hujan,

tertawa tanda untuk kebahagiaan, dan sebuah tanda jingga tua atau oranye “kawasan

48
pekerja” merupakan petunjuk untuk konstruksi selanjutnya. Hubungan sederhana ini

disebut pemaknaan(signification). Anda aka berjalan pelan ketika melihat sebuah

tanda kostruksi oranye karena adanya pemaknaan.

Sebaliknya, simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan

membuat sesoarang yang lebih untuk berpikir tentang sesuatu yang terpisah dari

kehadirannya. Sebuah simbol adalah sebuah instrumen pemikiran. Simbol adalah

konspetualisasi manusia tentang suatu hal; sebuah simbol ada untuk sesuatu.

Sementara tertawa adalah sebuah tanda kebahagiaan, kita dapat mengubah efek gelak

tawa menjadi sebuah simbol dan membuat maknanya berbeda dalam banyak hal

terpisah dari acuannya secara langsung. Dapat berarti kesenangan, kelucuan, ejekan.

Cemoohan, pelepaskan tekanan, di antara banyak hal. Kemudain, simbol merupakan

inti dari kehidupan manusia dan proses simbolisasi penting juga untuk manusia

seperti halnya makan dan tidur. Kita arahkan ke dunia fisik dan social kita melalui

simbol-simbol dan maknanya serta makana memebuat hal sering menjadi jauh lebih

penting daripada objek sesungguhnya atau keterangan mereka.

Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja menghubungkan sebuah

konsep, ide umum, pola atau bentuk. Menurut Langer konsep adalah makna yang

disepakati bersama di antara pelaku komunikasi. Bersama, makna yang disetujui

adalah makna denotatif, sebaliknya makna, gambaran atau makna pribadi adalah

makna konotatif. Sebagai contoh, jika kita melihat lukisan Van Goh, kita akan

memberikan makna bersama-sama dengan orang yang melihat lukisan tersebut secara

nyata− sebuah makna denotatif. Bagaimanapun, pelukis sendiri mempunyai makna

49
pribadi sendiri atau konotasi untuk arti dari lukisan itu. Langer memandang makna

sebagai sebuah hubungan kompleks di antara simbol, objekn dan manusia yang

melibatkan denotasi (makna bersama) dan konotasi (makna pribadi).

H. Interaksi Simbolik

Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school).

Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan

tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa

studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi

terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan

kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi

Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala

situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan

pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl

Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi,

walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan

bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang

digunakan oleh Blumer.

Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang

komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal

mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:

1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman.

Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.

50
2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul

dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.

3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara

orang-orang.

4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian

pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.

5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang

telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.

6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses

interaksi.

7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati

tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai

hal harus diketahui pula secara pasti.

Teori Interaksi Simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna

melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun.

Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan

makna. Interaksi bertujuan untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting

karena tanapa makna yang sama berkomunikasi menjadi sanagat sulit atau

bahakan tidak mungkin. Menurut LaRossa dan Reitzes, tema ini mendukung tiga

asumsi Interaksi Simbolik yang diambil dari karya Herbert Blummer (1969),

yaitu:

51
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna

yang diberikan orang lain pada mereka.

Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari

interaksi sosial dan menggambarka kesepakatan kita untuk

menerapkan makna tertentu pada simbol tetentu pula.

2. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia.

Mead menekankan dasar intersubjektif dari makna . makna dapat

ada, menurut Mead, hanya ada ketika orang-orang memiliki

interpretasi ya g sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan

dalam interaksi. Blummer (1969) menjelaskan bahwa terdapat tiga

cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Satu pendekatan

mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinsik

dari suatu benda atau makna yang ada dalam diri benda tersebut.

Pendekatan kedua terhadap asal-usul makna melihat makna itu

“dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu

bermakna” (Blummer,1969:4). Posisi ini mendukung pemikiran

yang terkenal bahwa makna terdapat di dalam orang, bukan di

dalam benda. Pendekatan ketiga terhadapa makna, melihat makna

sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah

“produk sosial” atau ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui

pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi

(Blummer, 1969:5).

52
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Blummer menyatakan bahwa proses interpretative ini memiliki

dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang

mempunyai makna. Langkah kedua, melibatkan sipelaku untuk

memilih dan mengecek, dan melakukan transformasi makna di

dalam konteks di mana mereka berada.

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas

manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.

Interaksionisme simbolik juga telah mengilhami perspektif-perspektif lain, seperti

“teori penjulukan” (labeling theory) dalam studi tentang penyimpangan perilaku

(deviance), perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, dan etnometodologi dari

Harold Garfinkel. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia

dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus

dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur

perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi

mitra mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan

bahkan diri mereka sendirilah menentukan perilaku mereka.

Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan

impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan

definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak

mengherankan bila frase-frase “definisi situasi”, “realitas terletak pada mata yang

53
melihat”, dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil

dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik.

Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses

sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan

kelompok. Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya

adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik

pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang

mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang

ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang

terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku

manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling

mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan,

sebagaimana dianut oleh teori behavioristik atau teori struktural.

Alih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara

individu mendefinisikan situasi yang ada.

1. Premis Interaksi Simbolik

1. Individu merespons suatu situasi simbolik.

Individu dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka

sendiri.

2. Makna adalah produk interaksi sosial.

Oleh karena itu, makna tidak melekat pada objek, melainkan

dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.

54
3. Makna yang diiterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke

waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam

interaksi sosial.

Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat

melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya.

2. Prinsip-prinsip Interaksi Simbolik

1. Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan

kemampuan berfikir.

2. Kemampuan berfikir itu dibentuk oleh interaksi sosial.

3. Dalam interaksi sosial, orang belajar makna dan simbol yang

memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka

sebagai manusia, yakni berfikir.

4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan

dan interaksi yang khas manusia.

5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol

yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan

interpretasi mereka atas situasi.

6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena

kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang

memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan,

menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih

salah satunya.

55
7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini

membentuk kelompok dan masyarakat.

56
BAB 3

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Keadaan Geografis
Kabupaten Toraja Utara merupakan sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi

Selatan dengan ibukkota Rantepao. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari

kabupaten Tana Toraja, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2008.

Kabupaten Toraja Utara terletak anatara 2 – 3 Lintang Selatan dan 119-120

Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan kabupaten

Mamuju, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten

Pinrang, pada sebelah timur dan barat masing-masing berbatasan dengan kabupaten

Luwu dan Propinsi Sulawesi Barat. Kabupaten Toraja Utara dilewati oleh salah satu

sungai terpanjang yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu sungai Sa’dan.

Jarak ibukota Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan

mencapai 329 km yang melalui Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang,

Kabupaten Sidrap, Kota Parepare, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkep dan

Kabupaten Maros.

Luas wilayah Kabupaten Toraja adalah 1.151,47 km2. Kecamatan Baruppu

dan Kecamatan Buntu Pepasan merupakan 2 kecamatan terluas denga luas masing-

masing 162,17 km2 dan 131,72 km2 atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan

25,52 persen dari seluruh wilayah Toraja Utara.

57
B. Pemerintahan
Awal pemerintahan kabupaten ini, yaitu setelah terjadi pemekaran dari

Kabupaten Tana Toraja. Toraja Utara dipimpin oleh Careteker Bupati Toraja Utara

yakni Drs. Y.S. Dalipang yang dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 26

November 2008 di Lapangan Bhakti Rantepao. Pada tanggal 16 November 2010,

Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo melantik Careteker Bupati

Kabupaten Toraja Utara yang baru, yaitu Drs. Tautoto TR,S.H pada bulan Februari

2010 lalu.

Pada tanggal 31 Maret 2011, kabupaten Toraja Utara memiliki bupati dan

wakil bupati defenitif pertama yaitu Frederik Batti Sorring sebagai bupati dan

Frederik Buntang Rombelayuk sebagai wakil bupati periode 2011-2016.

Pemerintahan Daerah Kabupaten Toraja Utara memiliki 21 kecamatan . berdasarkan

data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Toraja Utara terdapat 111 desa/lembang

dan 40 kelurahan.

C. Penduduk
Berdasarkan hasil Susenas akhir tahun 2009, penduduk kabupaten Toraja

Utara berjumlah 229.090 jiwa yang tersebar di 21 kecamatan, dengan jumlah

penduduk terbesar yakni 25.805 jiwa mendiami Kecamatan Rantepao. Laju

pertumbuhan penduduk di Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2009 dibandingkan

mencapai 1.15 persen. Kepadatan penduduk di Kabupaten Toraja Utara telah

mencapai 199 jiwa/km2. Kecamatan terpadat terdapat di Kecamatan Rantepao,

dengan tingkat kepadatan mencapai 2.503 jiwa/km2, sedangkan kecamatan yang

58
tingkat kepadatannya paling rendah adalah kecamatan Baruppu dan Awan Rante

Karua, yaitu 41 dan 90 jiwa/km2. Secara keseluruhan, jumlah penduduk berjenis

kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang

masing-masing 119.620 jiwa penduduk laki-laki dan 109.470 jiwa penduduk

perempuan.

D. Agama dan Kepercayaan


Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme

politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum").

Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan

tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan

Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas

(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi

menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya.

Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi

panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan

surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja

lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi

gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi

pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik

dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa

(seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan

59
gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan

bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda

antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan

bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa

ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan

ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris

dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan

ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual

kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai

jarang dilaksanakan. Ditinjau dari jumlah pemeluk agama pada tahun 2009 di

Kabupaten Toraja Utara tercatat 164.803 umat Kristen Protestan, 53.355 umat

Katolik, 7.949 umat Islam dan 2.983 umat Hindu.

E. Pariwisata
Kabupaten Toraja Utara kaya akan objek wisata. Berikut ini adalah daftar

objek wisata yang ada di Kabupaten Toraja Utara.

Daftar Objek Wisata Kabupaten Toraja Utara


Tabel 3.2

No Daya Nama Objek Wisata Kecamatan Kelurahan/Lembang


Tarik
Utama
1 Panorama Singki' Tambolang Rantepao Laang Tanduk
Alam
Puncak Libane' Rantepao Mentiro Tiku
Tongka' Tallunglipu Tantanan
Buntu Barana' Tikala Barana'
Gunung Sopai Sopai Nonongan

60
Kongkang Butui Kesu' Ba'tan
Mamullu Kapala Pitu Benteng Mamullu
Kawasan Obyek Wisata Kapala Pitu Ka'do
Alam Kalimbuang
Pedamaran Sanggalangi Bokin
Buntu Susan Sanggalangi Tandung La'bo
Nanggala Nanggala Nanggala Sangpiak
Salu
To'barana' Sa'dan Sa'dan Malimbong
Tirotasik Sa'dan Sa'dan Tiroallo
Batu kianak Sa'dan Sa'dan Malimbong
Ko'lan Go'yang Sesean Buntu Lobo'
Ba'kan Ulu Sesean Sesean Matallo
Batutumonga Sesean Suloara' Sesean Suloara'
Gunung Napo Denpina Dende'
Siguntu' Sopai Nonongan
Busso dan Buntu Talinga Rantebua Pitung Penanian
Buntu Bokin dan Batu Rantebua Bokin
Mentanduk
Sikuku' Kapala Pitu Pamibak
2 Agrowisata Pasar Hewan Bolu Tallunglipu Bolu
Agrowisata Wisata Agro Ringgallo Rindingallo Rindingallo
Kopi
Agrowisata Pedamaran Sanggalangi Bokin
Kopi
Agrowisata Kawasan Obyek Wisata Kapala Pitu Ka'do
Sayur Alam Kalimbuang
Agrowisata Sapan Buntupepasan Sapan
Buah
3 Wisata Air Singki' Tambolang Rantepao Laang Tanduk
Kolam Alam Limbong Rantepao Limbong
Bombowai Rantepao Limbong
Tongka' Tallunglipu Tantanan
Kolam Limbong Piongan Denpina Piongan
Buntu Tagari Denpina Buntu Tagari
Sarambu Marendeng Baruppu' Baruppu' Utara
Sarambu Dua' Baruppu' Baruppu' Utara
Bululangkan Rindingallo Bululangkan
Mata kanan Rindingallo Pangala'
Kawasan Obyek Wisata Kapala Pitu Ka'do
Alam Kalimbuang

61
Sarambu Lili'kira' Nanggala Lili'kira'
Batu kianak Sa'dan Sa'dan Malimbong
To'barana' Sa'dan Sa'dan Malimbong
Ballo Pasange' Sa'dan Ulusalu
Gunung Napo Denpina Dende'
Sarambu Sikore Sopai Salu
Air Terjun Batang Palli Awan Rantekarua Londong Biang
Limbong Langi' Bangkelekila'
Liku Rombe Sesean Batu Limbong
Arung Jeram Dende' Denpina Paku
Sikuku' Kapala Pitu Pamibak
4 Situs Tambolang Rantepao Mentiro Tiku
Rumah
Adat
Puncak Libane' Rantepao Mentiro Tiku
Tongka' Tallunglipu Tantanan
Ranteallo Tallunglipu Tallunglipu
Buntu Remen Tikala Buntu Barana'
Pangala' Tondok Tikala Barana'
Ke'te' Kesu' Kesu' Panta'nakanlolo
Buntu Pune Kesu' Rindingbatu
Bululangkan Rindingallo Bululangkan
Tanete Rindingallo Pangala'
Kawasan Obyek Wisata Ka'do Kapala Pitu
Alam Kalimbuang
Marante Tondon Tondon
Penanian Nanggala Nanggala Nanggala
Galugu Dua Sa'dan Sa'dan Malimbong
Ba'ba Saratu' Sa'dan Ulusalu
Palawa' Sesean Palawa'
Ko'lan Go'yang Sesean Buntu Lobo'
Issong Kalua' Buntao' Issong Kalua'
Tongkonan Tondok Sopai Nonongan
Siguntu' Sopai Nonongan
Bambu Kawasik Balusu Awa' Kawasik
Ba'kan Ula' Sesean Sesean Matallo
Lingka Saile belo Raya Balusu Balusu
Rantewai Balusu Balusu
Kollo-kollo Balusu Balusu
To' sarira Balusu Balusu

62
Maruang Sopai Nonongan
Tongkonan Ne' Timban Balusu Balusu
Misa' Ba'bana Buntao' Misa' Ba'bana
Sikuku' Pamibak Kapala Pitu
Tanete Ke'pe' Kapalapitu Ke'pe'
Tangkeallo Sesean
5 Kuburan Tambolang Rantepao Mentiro Tiku
Alam/Gua
Tongka' Tallunglipu Tantanan
Tiroan Sesean Ula' Tikala Tikala
(Marimbunna)
Londa Kesu' Sangbua'
Alla' Taluntun Kesu' Bua Tallulolo
To' tarra' Balusu Balusu
Pongduo Tompu Balusu Balusu
Busso dan Buntu Talinga Rantebua Pitung Penanian
Simulluk Tondon Tondon Matallo
Ranteaa' Buntao' Tallang Sura'
Tunuan Baruppu' Baruppu'
Gunung Napo Denpina Dende'
Lo'ko' Sura' Kapalapitu Kapalapitu
Lombok Parinding Sesean Parinding
6 Benteng Puncak Libane' Rantepao Mentiro Tiku
Tongka' Tallunglipu Tantanan
Buntu Barana' Tikala Barana'
Benteng Pertahanan Tikala Benteng Ka'do
Mamullu Kapala Pitu Benteng Mamullu
Benteng batu Baruppu' Baruppu'
7 Erong Londa Kesu' Sangbua'
Ke'te' Kesu' Kesu' Panta'nakanlolo
Marante Tondon Tondon
Pala'tokke Sanggalangi' Pa'paelean
Katapiongan Denpina Piongan
Ko'lan Go'yang Sesean Buntu Lobo'
Lombok Parinding Sesean Parinding
Tondon Balusu Balusu
Pongtimban Baruppu' Baruppu'
8 Museum Museum Landorundun Tallunglipu Tallunglipu - Mataallo
Ke'te' Kesu' Kesu' Panta'nakanlolo
Bate Bambalu Sa'dan Sa'dan Matallo

63
Museum Dende' Dende' Piongan Dende
Napo
Museum Ne' Gandeng Balusu Malakiri
9 Rante Tongka' Tallunglipu Tantanan
Ke'te' Kesu' Kesu' Panta'nakanlolo
Rante Kandeapi Tikala Barana'
Rante Karassik Kesu' Rindingbatu
Kawasan Obyek Wisata Ka'do Kapala Pitu
Alam Kalimbuang
Rante Sirrin Palawa' Sesean
Penanian Nanggala Nanggala Nanggala
Ko'lan Go'yang Sesean Buntu Lobo'
Bori' Kalimbuang Sesean Bori'
Tangkeallo Sesean
Rante Tendan Balusu Balusu
10 Liang Paa' Singki' Tambolang Rantepao Laang Tanduk
Buntu Pune Kesu' Rindingbatu
Ta'pa Langkan Kesu' Tallulolo
Sullukan Sanggalangi' La'bo'
Marante Tondon Tondon
Pana' Sesean Suloara' Sesean Suloara'
Lo'ko'mata Sesean Suloara' Landorundun
Tondon Balusu Balusu
Bunian Bulawan Balusu Balusu
To' doyan Balusu Balusu
Buntu Tondon Balusu Balusu
Pongtimban Baruppu' Baruppu'
Benteng batu Baruppu' Baruppu'
Lo'ko' Tedong Sopai Salu Sarre
Pollodo Bangkelekila' Tampan Bonga
Issong Kalua' Buntao' Issong Kalua'
Misa' Ba'bana Buntao' Misa' Ba'bana
11 Passiliran Antolong dan Rapasan Rantepao Saloso
(Kuburan
Kayu) Tongka' Tallunglipu Tantanan
Bori' Kalimbuang Sesean Bori'
Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Toraja Utara 2012

64
F. Klasifikasi Sosial Masyarakat
Orang Toraja mengenal tiga tingkatan sosial dalam masyarakatnya

baik dalam aktivitas pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap, maupun

tutur bahasa masing-masing mempunyai disiplin sendiri.

Tingkatan pertama To Kapua. Tingkatan ini adalah golongan rulling class

dalam masyarakat Toraja. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat,

dan pemuka masyarakat. Banyak istilah dalam bahasa Toraja untuk menyebutkan

golongan ini. Istilah itu seperti: Anak Patalo, Kayu Kalandona Tondok, To Dibulle

Ulunna, dan lain sebagainya. Semua istilah tidak lazim dipergunakan dalam bahasa

sehari-hari tetapi dipakai dalam acara resmi atau pertemuan formal lainnya. Kata To

Kapua juga tidak dipakai dalam bahasa sehari-hari, biasa diganti dengan kata To

Sugi’ jika golongan bangsawan itu termasuk kaya. Bahasa sehari-hari untuk golongan

To Kapua ini berlainan di tiap tempat di Toraja. Di daerah bagian selatan yang

dikenal dengan nama Tallu Lembangna yang mencakup Makale, Sangalla dan

Mengkendek, golongan Tokapua disebut Puang misalnya Puang Makale, Puang

Sangalla, dan Puang Mengkendek.

Di daerah barat Toraja, golongan Tokapua disebut Ma’Dika seperti Ma’Dika

Ulu Salu. Di daerah bagian Tengah Toraja, golongan Tokapua disebut Siambe’ untuk

laki-laki dan Sindo’ untuk perempuan, misalnya Siambe’ do Buntupune, Siambe’ lan

Tandung La’bo’, Sindo’ lan Nanggala, Sindo’ dio Ke’Te’, dan lain-lain. Tempat-

tempat tersebut adalah pusat keluarga bangsawan. Di Daerah bagian Utara, golongan

Tokapua disebut Puang seperti Puang Sa’dan, Puang Balusu. Ada juga bagian

65
daerah yang menyebut golongan bangsawan ini dengan Pong, seperti Pong Tiku di

Pangala’, Pong Masangka di Bori’. Pada umumnya, golongan bangsawan ini

memegang peranan dalam masyarakat Toraja sejak dahulu dan mereka pula yang

menguasai tanah persawahan di Tana Toraja 10%.

Golongan menengah masyarakat Toraja disebut To Makaka. Golongan ini erat

hubungannya dengan golongan To Kapua. Mereka adalah golongan bebas, mereka

juga memiliki tanah persawahan namun tidak sebanyak yang dimiliki golongan

bangsawan. To Makaka yang tidak memiliki harta benda disebut To Makaka

Kandian. Persentase To Makaka dalam masyarakat sekitar 20%.

Golongan terbanyak yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja adalah

To buda. Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan sendiri. Mereka

adalah penggarap tanah bangsawan, kaum tani dan pekerja yang ulet, tekun dan hidup

sangat sederhana. Mereka adalah golongan termasuk golongan kaunan atau golongan

budak dahulu. Semua kaum bangsawan mempunyai lusinan budak. Golongan hamba

ini adalah yang paling dipercaya atasannya karena nenek mereka telah bersumpah

setia turun temurun, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban membantu

mereka dalam kesulitan hidupnya. Mereka ada sekitar 70% dari masyarakat.

Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi seperti To Kapua dan

To Makaka.

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan

kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak

(perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas

66
sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari

kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang

lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap

merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat

ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di

tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok

bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat

tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para

bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga

kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan

kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga

beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan

atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau

yang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-

kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan

cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum

dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap

mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas,

makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan

perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

67
BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian yang berupa hasil

wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti mengenai masalah yang

diteliti. Sebelumnya penulis akan membahas mengenai asal mula ukiran Toraja.

Konon kabarnya ada sebuah rumah Tongkonan yang akan dibangun, maka

ditugaskanlah para tukang dan hamba-hamba masuk ke dalam hitan untuk

menebang kayu. Setelah samapai di hutan, mereka menunjuk ” kayu apa te? ”

(kayu apa ini ?) lalu kayu yang bersangkutan berbicara dan menjawab ” Akumo

kayu nangka’ sinangkangan ulle’ To matemu”. Artinya adalah, akulah kayu

Nangka, akan bergelimpangan orang meninggal. Kemudian dia pindah ke kayu

lain dan menunjuk ”kayu apa te? ” (kayu apa ini?), kayu tersebut juga berbicara

dan menjawabn ”akumo kayu uru, siurrukan to umbating, artinya, akulah kayu

uru, semua orang akan meratap.

Setelah mendengar kayu-kayu itu berbicara, meeka sangat ketakutan dan

meekapun kembali ke perkampungan dan menceritakan apa yang terjadi kepada

Ambe’ (To Parenge’) Tongkonan dan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi

di hutan.

Sesudah itu to ma’rapu dan masyarakat mengadakan kombongan. Berdasarkan

masukan-masukan dalam kombongan, peserta mengambil kesimpulan bahwa, hal

68
tersebut terjadi karena sebelumnya tidak dilaksanakan sajian terhadap ampunna

pangala’ (Umpamamata lalanna likaran biang) yaitu sajian untuk memohon izin

kepada Dewa penjaga hutan untuk masuk menebang pohon.

Kemudian diadakanlah pemala’ (sajian) Umpamamata lalanna likaran biang.

Sesudah memala’, maka para tukang dan para hamba kembali masuk hutan.

Sesampai di hutan, mereka kembali bertanya kayu apa ini, kayu tersebut

menjawab, akumo kayu nangka’, sianangkanan iananmu, yang artinya akulah

nangka, hartamu akan bertimbun. Sesudah itu kayu yang bersangkutan ditebang.

Kemudian pindah lagi ke kayu yang lain yaitu kayu Uru. Kayu Uru berbicara dan

menjawab Akumo kayu uru, siuruan bai tora yang artinya,akulah kayu uru,

babimu akan banyak, cepat besar dan bertaring kemudian kayu terebut langsung

ditebang. Begitulah seterusnya kayu-kayu yang lain ditebang sampai mencukupi

untuk ramuan satu rumah Tongkonan. Sesudah selesai menebang mereka kembali

kerumah.

Keesokan harinya, mereka masuk kembali ke hutan untuk mengerjakan kayu-

kayu yang sudah ditebang. Sesampai di sana ternyata kayu-kayu tersebut hampir

seluruhnya selesai dikerjakan dan itu dikerjakan oleh Pong Kalolok, dalam waktu

hanya satu hari. Pong Kalolok adalah seorang yang mempunyai kemampuan luar

biasa, sehingga dapat menjadikan kayu yang pendek menjadi panjang dan

sebaliknya. Ketiga tukang lainnya sangat iri terhadap dirinya dan menganggapnya

sebagai saingan dalam profesinya.

69
Akhrinya mereka membunuh Pong Kalolok. Setelah membunuhnya, mereka

melanjutkan mengerjakan kayu-kayu yang masih sisa. Sementara mereka

mengerjakan pekerjaannya, pada siang harinya datanglah seorang wanita

membawa makanan untuk para tukang. Sesampai di lokasi tempat mengerjakan

kayu, wanita tersebut duduk di atas kayu yang telah diratakan oleh tuknag sambil

menunggu para tukang selesai makan.

Setelah lama dududk di atas kayu yang sudah rata itu, tanpa ia rasa darah

haidnya meleleh di atas kayu yang didudukinya, bahkan tidak dilihatnya samapi ia

kembali ke rumah.

Setelah tukang melanjutkan pekerjaan, mereka melihat darah di atas kayu

membentuk goresan-goresan yang indah diihat. Dengan melihat goresan-goresan

yang indah itu, mereka memindahkan dengan ukiran pada papan yang lain sesuai

goresan darah haid sang wanita tadi.

Pada saat itu mulailah muncul inspirasi para tukang untuk mengukir kayu

ramuan rumah. Jadi ukiran pertama kali muncul dari inspirasi tukang, setelah

melihat goresan-goresan indah dari darah haid wanita yang membawa makanan ke

hutan.

Konon kabarnya, goresan darah haid wanita itu mirip dengan kepala kerbau.

Untuk itu yang pertama dilukis adalah Pa’Tedong atau mirip dengan kepala

kerbau. Kemudian dikembangkan pada apa yang ada di sekelilingnya, yaitu setela

melihat matahari, maka diukirlah Pa’Barre Allo. Dari perkembangan itu, maka

akhirnya ditetapkanlah empat Garonto’ Passura’ (Dasar ukiran), yaitu :

70
Pa’Tedong, Pa’ Barre’ Allo’, Pa’ Manuk Londong dan Pa’Sussu’ yang masing-

masing diberi makna spiritual. (Sumber : Palimbong, C.L, Mengenal Ragam Hias

Toraja).

Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan

kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "

tongkonan " berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang

berhubungan dengan Tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual

suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena

Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut

cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang.

Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan

menggelar upacara yang besar.

Pembangunan Tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya

dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis Tongkonan yaitu:

Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai

pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga

yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota

keluarga biasa tinggal di Tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas

tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari

71
pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh

cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik. Bahasa Toraja

hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep

keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya

Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan

budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan

tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air

dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan.

Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja,

selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan

sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan

geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan

tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun masyarakat Toraja

membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Masyarakat

Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.

1. Identitas Informan

Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 5 orang dengan karakteristik

tertentu, adapun informan yang dipilih adalah sebagai berikut:

72
1. Informan 01

Nama : P. Salu

Umur : 65 th

Pekerjaan : Tokoh adat dan ahli ukir

Alamat : Jl. Palangi’

2. Informan 02

Nama : Yosep T.

Umur : 53 th

Pekerjaan : Pemerhati Ukir

3. Informan 03

Nama : Sipau’

Umur :78 th

Pekerjaan : Pemerhati ukiran Toraja

Alamat : Buntu

4. Informan 04

Nama : M. Bungin

Umur : 38 th

Pekerjaan : Masyarakat

5. Informan 05

Nama : Pius P.

Umur : 57

Pekerjaan : Budayawan

73
2. Corak ukiran yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status

sosial masyarakat Toraja.

Gambar 4.1 Tongkonan Layuk Malakiri

Ada berbagai macam corak yang terdapat pada Tongkonan yang merupakan

simbol dari Tongkonan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Bp. P.Salu :

Kalau kita mau tahu tentang Tongkonan tersebut, maka yang diliat itu adalah
ukiran yang dipasang dan juga ada hiasan lain yang bukan ukiran, misalnya
jumlah tanduk kerbau, dan hiasan yang seperti kepala naga.

Beliau juga menambahkan bahwa dalam ukiran Toraja ada 4 warna yang

digunakan untuk memperindah ukiran tersebut. Bahan-bahan pewarna tersebut

diambil dari tanah liat, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:

74
ada 4 warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran, yaitu merah,hitam,
kuning dan putih. Warna tersebut diambil dari alam yaitu Litak (tanah liat)
yang disebut Litak Mararang, Litak mariri, Litak mabusa.

Dari setiap warna tersebut adalah memiliki arti, dan semuanya berhubungan dengan

manusia, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Yosep bahwa:

Litak Mararang melambangkan darah manusia, Litak Mariri melambangkan


kemuliaan. Litak Mabusa melambangkan tulang manusia, Litak Malotong
melambangkan kematian, kegelapan, dan kedukaan.

Ada juga yang diungkapkan oleh Bapak.M.Bungin bahwa :

Pada Tongkonan Pekaindoran dan Tongkonan Layuk, harus ada diukir


Garonto’Passura’, yaitu Pa’Tedong, Pa’Barre Allo, Pa’Manuk Londong dan
Pa’Sussu’.

Berikut ini adalah gambar dari corak ukiran tersebut:

1. Pa’ Tedong

Gambar 4.2 Pa’Tedong

75
2. Pa’ Barre’ Allo

Gambar 4.3 Pa’ Barre’ Allo

3. Pa’ Manuk Londong

Gambar 4.4 Pa’Manuk Londong

4. Pa’ Sussu’

Gambar 4.5 Pa’ Sussu’

76
Selain corak ukiran tersebut, masih ada corak lain yang digunakan pada setiap

Tongkonan dan dari ukiran tersebut kita dapat mengetahui keberadaan dan status dari

Tongkonan tersebut, yaitu:

1. Pa’Manuk Londong

2. Kabongo’

3. Pa’Garunggang

4. Passura’ Rangke

5. Pa’Barana’

Pa’Kabongo Pa’Barana’

Gambar 4.6 Pa’Kabongo Gambar 4.7 Pa’Barana’

77
3. Pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status

sosial masyarakat Toraja.

Gambar 4.8 Tongkonan

Setiap corak atau bentuk ukiran yang digunakan pada Tongkonan memiliki

nama dan juga makna pesan masing-masing. Ukiran tersebut tidak digunakan

sembarangan pada bangunan Tongkonan. Sebelum melihat tentang pesan-pesan yang

terkandung dalam pada ukiran Tongkonan, maka terlebih dahulu tentang kepemilikan

Tongkonan berdasarkan status sosial pemiliknya. Menurut Bp. P.Salu (65) salah satu

tokoh adat di desa yang terletak kecamatan Balusu sebagai berikut :

”Tongkonan milik bangsawan itu diukir penuh, dan Tongokonan dari kelas
yang bukan sebenarnya tidak boleh diukir, hanya boleh diukir jika ada dari
kelas bangsawan yang menyuruh mereka untuk mengukirnya, misalnya suami
dari kelas tersebut adalah berasal dari kelas bangsawan, jadi Tongkonannya
boleh diukir atas perintah dia.”

78
Saat ini terjadi pergeseran dalam masyarakat, ukiran digunakan begitu saja
tanpa memperhatikan apakah itu sudah tepat atau tidak, seperti yang ditambahkan
oleh Bapak P. Salu bahwa:
”Hal tersebut tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. Banyak orang yang
asal menempelkan saja bentuk ukiran tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
Tetapi dapat dilihat dari warna ukirannya, jika ukiran tersebut digunakan
tepat sasaran maka warnanya akan terang dan cerah, namun pada saat tidak
tepat sasaran maka warna dari ukiran tersebut akan terlihat redup.”

Dalam masyarakat Toraja mereka menggunakan kasta, seperti yang

dirunkapakan oleh salah satu informan bahwa Tongkonan dibangun berdasarkan latar

belakang mereka seperti yang diungkapkan oleh Bapak M. Bungin bahwa (47)

”Orang-orang bangsawan mempunyai Tongkonan yang memang dibangun


atas dasar latar belakang mereka atau darah mereka adalah bangsawan
tanpa ada percampuran darah dari kalangan bawah.”

Sebelum masyarakat Toraja membangun sebuah Tongkonan, mereka telah

memikirkannya terelebih dahulu mengenai hal-hal apa saja yang berhubungan dengan

Tongkonan berdasarkan jenis Tongkonan yang akan dibgangun, seperti yang

diungkapkan oleh Bapak Yosep (53)

”Pada saat Tongkonan akan dibangun dipikirkan dulu matang-matang,


bentuk ukiran apa saja yang cocok dan juga hiasan-hiasan lainnya yang akan
dipasang. Jangan sampai tidak sesuai dengan kelas kita. Ada beberapa jenis
tongkonan, itulah yang kita perhatikan ukiran-ukiran yang ditempelkan di
dindingnya, dengan itu kita akan tahu jenis dari tongkonan tersebut.”

Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Bapak Sipau (70),

”Sekarang ini ada banyak sekali Tongkonan yang dibangun tidak sesuai lagi
dengan tradisi dahulu kala, tidak menyesuaikan lagi dengan status pemilik
tersebut, ada Tongkonan yang terlihat seperti milik bangsawan, tapi ternyata
bukan.”

79
Tongkonan dipenuhi dengan ukiran, namun ternyata ada golongan tertentu

yang tidak boleh diukir, itu berarti bahwa orang teresebut melakukan pelanggaran

atau menyalahgunakan penggunaan ukiran, seperti yang diungkapkan oleh Bapak.

Pius bahwa:

”Semua Tongkonan sekarang diukirmi, padahal dulunya ada golongan


tertentu yang memang tidak boleh mengukir tongkonan. Pada saat kita
menyalahgunakan penggunaan ukiran, ada sanksi yang menimpa yaitu tula.”

B. Pembahasan

1. Corak Ukiran yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan

status sosial masyarakat Toraja

Ornamen rumah Tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna dasar yaitu:

hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja (Aluk To

Dolo). Tiap warna yang digunakan melambangkan hal-hal yang berbeda. Bahan

warna ukiran disebut Litak yang merupakan warna dasar bagi masyarakat Toraja

yaitu :

1. Warna merah (Litak Mararang)

2. Warna putih (Litak Mabusa)

3. Warna kuning (Litak Mariri)

4. Warna hitam (Litak Malotong)

80
Warna adalah simbol yang sangat dominan dalam proses komunikasi.

Warna merah dan putih merupakan warna darah dan tulang manusia yang

melambangkan kehidupan manusia. Warna tersebut dapat dipergunakan dimana saja

pada waktu ada upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Warna kuning

merupakan warna kemuliaan sebagai lambang ketuhanan yang dipergunakan pada

waktu upacara Rambu Tuka’ demi untuk keselamatan manusia, berbeda dengan umat

Hindu, kuning adalah warna keramat dalam agama Hindu. Sedang warna hitam

merupakan lambang dari kematian atau kegelapan dipakai pada waktu upacara

Rambu Solo’ (upacara kematian).

Arti warna hitam pada dasar setiap ukiran adalah bahwa kehidupan setiap

manusia diliputi oleh kematian karena menurut pandangan Aluk Todolo bahwa dunia

ini hanya sebagai tempat bermalam saja atau tempat menginap sementara. Semua

warna Passura’ seperti yang tersebut diatas merupakan warna alam karena bahannya

dari tanah, kecuali untuk warna hitam diambil dari arang belanga. Warna hitam

secara umum juga bisa berarti menunjukkan hal yang tegas, elegan, dan eksklusif.

Juga bisa mengandung makna rahasia.

Dari seluruh ragam hias yang terdapat pada rumah Tongkonan, ada 4 ukiran

dasar atau yang disebut Garonto’ Passura’, yaitu :

1. Pa’ Tedong

2. Pa’Barre Allo

3. Pa’Manuk Londong

4. Pa’Sussu’

81
Garonto’ Passura’ tersebut harus ada pada Tongkonan layuk dan Tongkonan

pekaindoran. Ukiran-ukiran Toraja merupakan simbol kearifan status dan keberadaan

dari pemilik Tongkonan yang bersangkutan. Jika kita ingin mengetahui tentang status

dan keberadaan suatu tongkonan di wilayah adat maka yang kita harus

memeperhatikan corak ukiran-ukiran khusus yang digunakan pada ragam hiasnya

dan bentuk Tongkonannya. Inilah ukiran khusus yang perlu diperhatikan :

1. Pa’ Manuk Londong (Ayam Jantan)

2. Kabongngo’ (Kepala Kerbau)

3. Pa’ Garunggang,

4. Passura’ Rangke

5. Pa’ Barana’

Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia

menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk

berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang

mengilhami perspektif dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu

eksponen interaksi simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-

pemikiran dramaturgisnya.

Studi tentang simbol tentunya menjadi penting karena simbol menjadi media

yang paling banyak digunakan dalam komunikasi manusia. Dalam menjalankan

proses komunikasi dan interaksi, manusia membutuhkan simbol untuk mentrsanfer

pesan kepada orang lain. Setiap simbol yang ada tidak bisa dimaknai sama, setiap

82
komunitas memberikan makna berbeda terhadap sebuah simbol walaupun simbol

tersebut berwujud sama. Artinya untuk memahami simbol yang harus dipahami

terlebih dahulu adalah lingkungan tempat simbol itu digunakan atau berasal.

Untuk memaknai simbol yang digunakan komunitas tertentu, tentunya hanya

dapat dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam komunitas baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah

satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat

”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana,perspektif ini sangat menonjolkan

keagungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama

ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi

kebudayaan,berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan

makna”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Pada akhirnya, dapat dikatakan

bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiapindividu, akan

mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satuciri dari perspektif

interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.Teori interaksi simbolik

menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan

pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Menurut Ralph Larossa dan

Donald C. Reitzes (1993 dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada

intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana

manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana

cara dunia membentuk perilaku manusia.

83
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang

berasal dari pikiran manusia ( Mind ) mengenai diri (Self ), dan hubungannya di

tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta

menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society ) dimana individu tersebut

menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas(1970) dalam Ardianto (2007: 136),

makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,

selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antaralain:

1. Pikiran (Mind ) adalah kemampuan untuk menggunakan

simbolyang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu

harusmengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan

individu lain,

2. Diri (Self ) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap

individu daripenilaian sudut pandang atau pendapat orang lain,

3. Masyarakat (Society ) adalah jejaring hubungan sosial yang

diciptakan,dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah

masyarakat, dantiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang

mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya

mengantarkan manusia dalam prosespengambilan peran di tengah

masyarakatnya.”

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi

simbolik antara lain:

84
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia

2. Pentingnya konsep mengenai diri,

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk

makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa

dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya,

sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses

interaksi, untuk menciptakan maknayang dapat disepakati secara bersama. Hal ini

sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dalam West-Turner

(2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:

1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnyaberdasarkan makna

yang diberikan orang lain kepadamereka,

2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,3.Makna

dimodifikasi melalui proses interpretif.Tema kedua pada interaksi

simbolik berfokus pada pentingnya”Konsep diri” atau ”Self-Concept

dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada

pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif,

didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini

memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993)

dalam West-Turner (2008: 101), antara lain:

1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui

interaksi dengan orang lain,

85
2. Konsep diri membentuk motif yang penting untukperilaku.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubunganantara

kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakuibahwa norma-

norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi padaakhirnya tiap individu-

lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosialkemasyarakatannya. Fokus dari

tema ini adalah untuk menjelaskanmengenai keteraturan dan perubahan dalam proses

sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: Orang dan kelompok

masyarakat dipengaruhi olehproses budaya dan sosial, dan struktur sosial dihasilkan

melalui interaksi sosial.

Tiga asumsi Mead dan Tujuh asumsi-asumsi karya Herbert Blumer (1969)

adalah sebagai berikut:

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,

2. Pentingnya konsep diri,

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tujuh asumsi karya Herbert Blumer

1. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna

yangdiberikan orang lain pada mereka,

2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,

3. Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,

4. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui

interaksidengan orang lain,

86
5. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk

berperilaku,

6. Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses

budayadan sosial,

7. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Ketika masyarakat majemuk berinteraksi dengan masyarakat lain yang

berbeda budaya, maka tatkala proses komunikasi dilakukan, simbol-simbol verbal

atau nonverbal secara tidak langsung dipergunakan dalam proses tersebut.

Penggunaan simbol-simbol ini acapkali menghasilkan makna-makna yang berbeda

dari pelaku komunikasi, walau tak jarang pemaknaan atas simbol akan menghasilkan

arti yang sama, sesuai harapan pelaku komunikasi tersebut.

Maka, simbol yang diartikan Pierce sebagai tanda yang mengacu pada objek

itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar dalam teori segi tiga makna : simbol itu

sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan (Sobur,

2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa hubungan antara simbol sebagai penanda

dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konfensional. Berdasarkan

konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156) memaparkan, masyarakat pemakainya

menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan

maknanya.

Simbol tidak dapat hanya disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan

asosiatifnya dengan simbol lainnya. Simbol berbeda dengan bunyi, simbol telah

memiliki kesatuan bentuk dan juga makna. Maka, pada dasarnya simbol dapat

87
dibedakan menjadi simbol-simbol universal, simbol kultural yang dilatarbelakangi

oleh kebudayaan tertentu, dan simbol individual (Hartoko-Rahmanto, 1998 : 133).

Sedangkan dalam “bahasa” komunikasi, simbol ini seringkali diistilahkan

sebagai lambang. Di mana simbol atau lambang dapat diartikan sebagai sesuatu yang

digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan

kelompok/masyarakat (Sobur, 2003 : 157). Lambang ini meliputi kata-kata (berupa

pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama.

Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal dan nonverbal memungkinkan

perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (fisik,

abstrak dan sosial) tanpa kehadrian manusia dan objek tersebut.

Inilah yang dilakukan masyarakat suku Toraja, di mana dalam kebudayaan

masyarakat tersebut, simbol-simbol/lambang digunakan untuk menunjuk objek fisik

dan objek abstrak dalam kehidupan mereka, yang telah mereka yakini secara turun-

temurun. Seperti rumah Tongkonan yang dsimbolkan sebagai ibu dan jug berbagai

macam corak ukiran yang menghiasinya, semuanya itu merupakan simbol-simbol

kehidupan bagi masyarakat Toraja. Corak Pa’Tedong, yang merupakan lambang

tulang punggung kehidupan atau kemakmuran bagi masyarakat Toraja, Kerbau

merupakan hewan yang berharaga bagi masyarakat Toraja. Selain itu corak Pa’ Barre

Allo, corak ini melambangkan sumber kehidupan yang brasal dari sang pencipta.

Selain itu Pa’Barana’ atau beringin, bagi masyarakat Toraja pohon beringin dalah

pohon yang rindang, dan dapat menaungi, sehingga yang berteduh dibaeah pohon

88
tersbut akan merasakan kesejukan. Dapat dikatakan, bahwa masyarakat tersebut telah

melakukan simbolisasi yang maknanya telah disepakati bersama.

Karena kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau

penggunaan lambang dan sifat dasar manusia adalah kemampuannya menggunakan

simbol, maka simbol adalah sesuatu yang berdiri/ada untuk sesuatu yang lain,

kebanyakan diantaranya bersembunyi atau tidaknya, tidak jelas. Pemberian makna

terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan nilai atau norma yang berlaku pada suatu

kelompok atau masyarakat tertentu. Oleh karenanya, pemaknaan dan aturan terhadap

suatu perilaku nonverbal sangat bervariasi.

Selain itu menurut Sussane Langer (dalam Johannesen, 1996 : 47), bahwa

dengan kebutuhan dasar akan simbolisasi yang mungkin tidak dimiliki makhluk lain

–selain manusia- maka simbolisasi akan berfungsi secara kontinu dan merupakan

proses yang fundamental pikiranmanusia.

Dengan keunikan ini, maka manusia sebagai pelaku komunikasi dapat segera

mengubah data tangkapan indra menjadi simbol-simbol, dan manusia dapat

menggunakan simbol-simbol untuk menunjuk kepada simbol lain dan untuk

mewariskan pengetahuan, wawasan, juga kebudayaan yang terpendam dari generasi

ke generasi (Sobur, 2003 : 164). Maka, simbol dapat berdiri untuk suatu institusi, cara

berpikir, ide, harapan dan banyak hal lainnya. Melalui simbolisasi ini pula, dapat

dikatakan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam

berkomunikasi, seperti adanya bunyi, isyarat sampai kepada simbol yang

89
dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya (Sobur,

2003 : 164).

2. Pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status

sosial masyarakat Toraja

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan observasi dan

wawancara dengan beberapa informan serta membaca literatus tentang ukiran Toraja,

maka dapat dipaparkan corak ukiran yang ada pada Tongkonan sebagai simbol status

sosial masyarakat Toraja, tidaklah sembarangan digunakan. Ukiran Toraja bukan

hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja untuk menghiasi suatu bentuk atau

benda ataupun Tongkonan tetapi seluruh macam ukiran itu lahir dari pengertian

masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat, makanya

seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam.

Setiap pola ukiran memiliki nama dan arti masing-masing yang sebenarnya hanya

dapat dimengerti oleh masyarakat pendukungnya. Motif ukiran Toraja, selain

memperindah bangunan juga mengandung makna yang intinya berupa nasihat dan

doa.

Ada beberapa jenis Tongkonan, antara lain Tongkonan layuk (pesio'aluk), yaitu

tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan. Tongkonan pekaindoran

(pekamberan atau kaparengngesan), yaitu berfungsi sebagai tempat pengurus atau

pengatur pemerintahan adat. Ada juga batu a'riri yang berfungsi sebagai tongkonan

penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta membina warisan.

90
Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu

pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan

beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur

mirip batang tanaman.

Menurut cerita masyarakat setempat bahwa Tongkonan pertama itu dibangun

oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dulu hanya bangsawan yang berhak

membangun tongkonan. Selain itu, rumah adat Tongkonan tidak dapat dimiliki secara

individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja. Bangsawan

Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang

biasanya. Perbedaan ini bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau

yang disusun rapi menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk

kerbau tersebut semakin menunjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik

rumah.

Rumah Tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh

pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya.

Setiap bagian tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja.

Berikut adalah makna dari setiap corak ukiran dari Tongkonan sebagai simbol

status sosial masyarakat Toraja.

1. Pa’ Tedong

Ukiran ini bentuknya mirip dengan kepala kerbau meskipun agak

tersamar. Motif ini didominasi dengan warna hitam, putih dan merah.

Pa’tedong biasa dilukiskan pada papan besar teratas dan pada dinding-dinding

91
penyanggah badan rumah. Bagi masyarakat Toraja, kerbau adalah hewan yang

paling tinggi nilai dan statusnya. Kerbau digunakan sebagai korban pada saat

upacara Rambu Solo’, alat pengolah sawah dan lain-lain. Ukiran Pa’tedong

bermakna sebagai lambang kesejahteraan dan kekayaan bagi masyarakat

Toraja dan juga melambangkan kebangsawanan.

2. Pa’ Barre’ Allo

Ukiran ini artinya ukiran yang menyerupai matahari. Bentuk motif ini

adalah terdiri atas empat lingkaran yang tersususun. Lingkaran pertama yang

merupakan pusat dari motif ini berwarna kuning, lingkaran kedua berwarna

merah dan lingkaran ketiga dan keempat berwarna putih. Antara lingkaran

ketiga dan keempat terdapat bentuk segitiga yang berwarna merah yang

disusun melingkar sehingga melahirkan bentuk lingkaran yang bersinar

seperti matahari. Jenis ukiran ini ditemukan pada bagian muka dan belakang

Tongkonan pada papan atas berbentuk segitiga.

Biasanya di atas ukiran Pa’Barre Allo, diletakkan ukiran Pa’Manuk

Londong. Pa’Barre Allo adalah simbol kesatuan dari Tondok Lepongan Bulan

Tana Matari’ Allo (Toraja) yang mendapat berkat dan bimbingan dari Tuhan

yang Maha Kuasa. Ukiran ini adalah lambang sumber kehidupan yang berasal

dari sang pencipta. Maknanya adalah percaya bahwa sumber kehidupan dan

segala sesuatu di dunia ini adalah dari Puang Matua (Tuhan yang Maha Esa)

dan pemilik Tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia. Ini

adalah gambar dari ukiran Pa’Barre Allo.

92
3. Pa’ Manuk Londong

Pa’Manuk Londong merupakan ukiran yang berupa ayam jantan,

terdapat pada muka dan belakang Tongkonan. Biasanya Pa’Manuk Londong

diukir di atas Pa’Barre Allo. Ukiran ini, bagi masyarakat Toraja, merupakan

simbol waktu, patriotisme, hukum dan pengorbanan.

4. Pa’ Sussu’

Pa’Sussu’ adalah ukiran yang berbentuk garis-garis sejajar tanpa

variasi dan tidak diberi warna. Pa’Sussu’ adalah ukiran yang sangat sederhana

tetapi maknanya sangat dalam. Pa’Sussu’ melambangkan Tongkonan yag

bersangkutan sangat berperan di dalam menentukan kebijakan dasar (dasar

kehidupan) dalam wilayah adat yag bersangkutan dan juga merupakan

lambang kesatuan masyarakat yang demokratis.

Ukiran khusus pada Tongkonan. Bagi masyarakat Toraja, memiliki

ukiran dengan motif tertentu adalah sebuah kebanggaan dan menyatakan

status sosial dalam kehidupan. Berikut adalah ukiran-ukiran khusus itu:

1. Pa’ Manuk Londong (Ayam Jantan) yang diukir di atas Pa’Barre Allo,

melambangkan tentang status, kepemimpinan,adanya hukum(adat),

keadilan dan kebenaran. Pada umumnya Tongkonan meggunakan dua

simbol ayam jantan yang diukir berhadapan di atas Pa’Barre Allo pada

papan atas (Para). Itu berarti bahwa para pemimpin dalam negeri

harus duduk bersama menyatukan pemahaman sikap dan komando

yang smaa ke arah perbaikan/peningkatan kehidupan rakyat banyak.

93
Ada juga yang mengukir hanya satu ayam jantan pada Para

Tongkonan. Hal tersebut melambangkan bahwa Tongkonan yang

bersangkutan dan pemiliknya mempunyai status tertinggi dalam

wilayah adat yang bersangkutan dan dalam setiap pengambilan

keputusan/kebijakan, tidak boleh dibantah oleh siapa pun.

2. Kabongngo’ (Kepala Kerbau), yang di atasnya terdapat Katik (naga),

dipasang pada bagian depan rumah. Naga adalah lambang kekuatan,

jadi Kabongngo’ yang diatasnya ada Katik, melambangkan status

yang tinggi dalam masyarakat dan melambangkan kemampuan untuk

memimpin yaitu pemimpin yang mampu berjalan di depan dan

menjadai panutan untuk diikuti oleh seluruh masyarakat. Untuk

Tongkonan Layuk, Kabongngo’ dan katik bisa juga dipasang di bagian

belakang Tongkonan.

3. Pa’ Garunggang, yaitu ukiran dengan menembus papan yang diukir

sesuai motif dasarnya. Biasanya ukiran dasar dari Pa’Garunggung

adalah Pa’Bulu Londong. Pa’Garunggang = Garunggang =

Runggang yang artinya, goncang. Garunggang adalah Passura’Tarru’

(Ukiran Tembus) artinya menembus segalanya. Ukiran ini

melambangkan status tertinggi, kewibawaan, kekayaan, kekuatan dan

keberanian, sehingga dapat membuat keadaan sedemikian rupa

sehingga dapat terjadi keadaan seperti yang dikehendaki (sesuai

kepentingannya).

94
4. Passura’ Rangke. Rangke = Kering. Ukiran ini tidak diberi pewarnaan.

Biasanya ukiran yang tidak deberi pewarnaan adalah Pa’Tangke

Lumu’. Passura’ Rangke melambangkan tidak pernah kekurangan,

baik material maupun ide-ide. Jadi merupakan tumpuan harapan orang

banyak. Peka dan mau berkorban untuk orang banyak atau keluarga.

5. Pa’ Barana’. Barana’= Beringin, yaitu ukiran yang menyerupai

ranting dan daun beringin. Beringin adalah pohon yang besar dan

rindang dapat menaungi, sehingga semua yang ada di bawahnya,

merasakan kesejukan dan keamanan. Apabila Pa’Barana’ ditempatkan

pada papan atas (Indo’Para) pada Tongkoanan, melambangkan bahwa

Tongkonan tersebut mempunyai status tertinggi dan menjadi payung

dari semua pihak dalam negeri. Pa’Barana’ digunakan pada

Tongkonan Layuk, Pekaamberan/Kaparenggesan.

Manusia dikatakan sebagai animal simbolikum yang mempunyai dorongan

untuk mencipta simbol-simbol tersebut. Dalam hubungannya dengan manusia

dikatakan juga sebagai makhluk budaya maka manusia diartikan juga sebagai

makhluk yang dengan kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan dapat

menciptakan realitas melalui simbol-simbol atau system perlambangan. Contoh dari

sistem perlambangan di sini adalah corak ukiran Toraja, yang melambangkan sesuatu

berdasarkan sistem pola hubungan masyarakat Toraja, falsafah hidup mereka dan

status sosial mereka.

95
Masyarakat Toraja memiliki budaya sendiri dan merekapun mengerti dan

memahami sebagaimana mereka adalah pelaku budaya tersebut. Atas dasar berbagai

rujukan interaksionis simbolik, peneliti budaya memang harus cermat dalam

memperhatikan interaksi manusia dalam komunitas budaya. Interaksi manusia

tersebut, umumnya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai

momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya.

Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komunitas yang pasif, melainkan penuh

interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada saat ini peneliti

segera memasuki interaksi budaya pelaku.

Lambang atau simbol adalah sesuatu yang abstrak yang berawal dari adanya

proses interaksi sosial. Pengertian lambang tidak lepas dari tanda, tetapi harus

dibedakan antara tanda dan lambang(simbol). Kita hidup di dunia simbolik untuk

mereprentasikan dan mengekspresikan dunia nayata. Apa yang kita lihat dan rasakan

adalah tanda, sedangkan lambang merepresentasikan tanda melalui abstraksi. Jika kita

melihat Tongkonan dengan corak ukirannya dan visual-visual lainnya, makan tanda

dari Tongkonan adalah Tongkonan itu sendiri(rumah), lambang akan menjelaskan

pengertian sebuah Tongkonan secara abstraksi, sebagai tempat tinggal dan lambang

status sosial dari pemilik Tongkonan tersebut.

Dalam proses simbolik, unsur amat penting untuk diperhatikan adalah

kebebasan menciptakan simbol-simbol yang terkait dengan nilai-nilai tertentu. Seperti

masyarakat Toraja, mereka menciptakan corak ukiran yang mereka gunakan pada

rumah adat mereka, dan semua itu berdasarkan nilai-nilai dari adat Toraja.

96
Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada

saat itu, mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membeberkan stock of

culture yang luar biasa banyaknya.

Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang menjadi

fokus penelitian model interaksionis simbolik. Dari interaksi tersebut, akan muncul

sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non verbal yang unik.

Menurut pandangan model interaksionis simbolik perilaku budaya akan

berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi

komunitasnya. Jadi, bukan sebalilrnya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan

mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang

disepakati secara kolektif.

Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya

muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadang - kadang juga dalam

interaksi kecil antar individu. Dalam masyarakat Toraja, corak ukiran yang mereka

gunakan, semuanya berasal dari falsafah hidup mereka sendiri, dan merekapun

mengartikan dan memberikan makna dari setiap corak ukiran tersebut dan pesan-

pesan yang tidak lazim bagi orang awam.

Dengan’demikian, model interaksionis simbolik akan menganalisis berbagai

hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku

budaya menggunakan simbol-simbol, unik atau spesial yang hanya dapat dipahami

ketika mereka saling berinteraksi. Seperti halnya dalam budaya Toraja, Pa’Kabongo

sebelum dipasang pada rumah Tongkonan, itu akan belum menandakan keberadaan

97
dan satus dari Tongkonan tersebut, dan ketika Pa’Kabongo’ telah dipasang pada

Tongkonan maka akan kelihatanlah simbol keberadaan dan status Tongkonan tersebut

dengan adanya Pa’Kabongo’. Jika berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol

bermakna, sebab bagi orang lain diluar pelaku budaya Toraja, Pa’Kabongo’ hanya

sebuah kepala kerbau, namun, ketika benda tersebut berada dalam adat budaya

Toraja,barulah benda simbolik ‘ itu bermakna. Begitupun dengan corak ukiran-ukiran

yang lain yang digunakan oleh masyarakat Toraja.

Penggunaan lambang-lambang tersebut adalah memperkuat interpretasi pesan

dan dalam peoses verbal yang diwakili oleh lambang bahasa, prosen nonverbal dapat

memberikan tekanan, penting, perlu mendapat perhatian khusus. Pemahaman

terhadap proses verbal dan nonverbal adalah pemahaman terhadap budaya, budaya

adalah perilaku manusia yang dipengaruhi oleh lingkunagn pengalamannya, seperti

kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaannya.

Pesan verbal dari setiap corak ukiran Tongkonan Toraja adalah, makna yang

tekandung dalam setiap corak ukiran tersebut sedangkan pesan nonverbalnya adalah

corak ukiran atau motif-motif ukiran tersbut serta warna-warna yang digunakan pada

unkiran tersebut.

Itulah sebabnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi

peneliti interaksionis simbolik, yaitu:

1. simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif,

2. pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga

menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim,

98
3. pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan

tergantung permainan bahasa si pelaku,

4. makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu

tertentu.

Objek, orang, situasi, peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, tapi

pengertian diberikan untuk masing – masing tersebut. Pengertian yang diberikan

orang pada pengalaman dan proses penafsirannya adalah esensial serta menentukan

dan bukan bersifat kebetulan atau bersifat kurang penting terhadap pengalaman itu.

Untuk memahami perilaku, maka kita harus definisi dan proses

pendefinisiannya. Manusia tidak dapat bertindak atas dasar respons yang telah

ditentukan terlebih dahulu untuk mempradefinisikan objek, tetapi lebih sebagai

penafsiran, pendefinisian, “hewan simbolik” yang perilakunya hanya dapat dipahami

dengan jalan memasuki proses definisi melalui metode pendekatan pengamatan-

berperan serta.

Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan

menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’ yakni

tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal menjadi

perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus yang

hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan

perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para

interaksionis simbolik. Hal yang tidak kalah penting dalam interaksi simbolik adalah

99
pengonsepsian diri subyek. Bagaimana subyek melihat, memaknai dan

mendefinisikan dirinya berdasarkan definisi dan makna yang diberikan orang lain.

Mead menekankan dasar intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut

Mead, hanya ada ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai

simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Blummer (1969) menjelaskan

bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Satu pendekatan

mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinsik dari suatu benda atau

makna yang ada dalam diri benda tersebut. Pendekatan kedua terhadap asal-usul

makna melihat makna itu “dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu

bermakna” (Blummer,1969:4). Posisi ini mendukung pemikiran yang terkenal bahwa

makna terdapat di dalam orang, bukan di dalam benda. Pendekatan ketiga terhadapa

makna, melihat makna sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna

adalah “produk sosial” atau ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian

aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi.

Seperti halnya dengan masyarakat Toraja, mereka menciptakan berbagai

macam corak atau simbol ukiran untuk rumah adat mereka. Dari setiap corak

tersebut, masing –masing memeiliki makna tersendiri, begitu juga dengan Tongkonan

yang memiliki makna dalam Tongkonan itu sendiri. Masyarakat luar memiliki

pandangan berbeda terhadap pemaknaan dari Tongkonan dan ukirannya, itu

merupakan produk sosial dalam masyarakat Toraja mereka membentuknya dalam

interaksi mereka sendiri.

100
CORAK SIMBOL STATUS MAKNA FILOSOFI WARNA
UKIRAN
Kebangsawanan Lambang kesejahteraan Warna yang
dan kekayaan bagi digunakan di setiap
masyarakat Toraja ukiran ada 4 warna
yaitu merah, yang
Kedudukan tertinggi dan Kehidupan bersumber melambangkan
mulia. dari Puang Matua (Sang darah manusia,
Pencipta). warna putih
melambangkan
Patriotisme, Bermakna hukum, tulang manusia,
kepemimpinan pengorbanan, dan waktu. suci, warna kuning
melambangkan
Lambagn kesatuan yang kemuliaan,
Kebijakan demokratis. lambang
ketuhanan, dan
warna hitam yang
Melambangkan status merupakan warna
Pemimpin tertinggi dalam dasar dari setiap
masyarakat. ukiran, dan bahwa
Status tertinggi dan kehidupan setiap
menjadi payung dari Dapat menaungi, manusia diliputi
semua pihak dalam sehingga yang ada oleh kematian.
negeri. dibawahnya merasakan
kesejukan dan keamanan.

Pa’Garunggang Kewibawaan, kekayaan, Melambangkan status


keberanian, kekuatan. tertinggi, kewibawaan,
kekayaan, keberanian,
kekuatan sehingga dapat
membuat keadaan terjadi
seperti yang
dikehendaki(sesuai
kepentingannya).

Passura’rangke Peka, mau berkorban Tidak pernah


untuk orang banyak dan berkekurangan, baik
keluarga. material maupun ide-ide.

101
BAB 5

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Corak ukiran yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status sosial

masyarakat Toraja berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat

diambil kesimpulan bahwa ukiran yang ada pada Tongkonan melukiskan simbol-

simbol dari benda-benda di sekeliling kehidupan manusia. Corak ukiran

Pa’Tedong, Pa’Barre Allo, Pa’Manuk Londong dan Pa’Sussu’ merupakan dasar

ukiran Tongkonan dan corak Pa’Manuk Londong, Kabongo’, Pa’Garunggang,

Passura’Rangke dan Pa’ Barana’ merupakan lambang-lambang khusus yang

terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status dan keberadaan dari

Tongkonan itu. Ukiran tersebut dibuat berdasarkan taksiran mereka sendiri.

2. Pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status sosial

masyarakat Toraja merupakan falsafah hidup orang Toraja sendiri. Pesan yang

terkandung dalam Pa’Tedong adalah lambang kesejahteraan dan kekayaan serta

kebangsawanan, Pa’Barre Allo mengandung pesan bahwa sumber kehidupan

dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Tuhan dan merupakan

lambang kebesaran dan kebanggaan serta pemilik Tongkonan mempunyai

kedudukan yang tertinggi dan mulia, Pa’Manuk Londong melambangkan

pemimpin yang arif dan bijaksana, mampu menyatukan semua unsur golongan

dalam masyarakat, Pa’Sussu’ melambangkan bentuk kesatuan masyarakat yang

102
demokratis dan kebijakan untuk penentuan dasar-dasar kehidupan,

Pa’Garunggang melambangkan kewibawaan, kekayaan, kekuatan, keberanian

dan status tertinggi, sehingga dapat membuat keadaan yang sedemikian rupa

menjadi keadaan seperti yang dikehendaki, Passura’Rangke melambangkan tiak

pernah berkekurangan, baik material maupun ide-ide, merupakan tumpuan

harapan dan peka serta mau berkorban bagi orang banyak atau keluarga, dan

Pa’Barana’ melambangkan bahwa Tongkonan tersebut mempunyai status

tertinggi dan menjadi pelindung atau payung dari semua pihak dalam negeri.

103
B. Saran

Tongkonan dan ukirannya sebagai salah satu hasil kebudayaan bangsa

yang sarat akan nilai-nilainya hendaknya dilestarikan keasliannya. Oleh sebab

itu melalui skripsi ini diajukan beberapa saran yaitu :

1. Untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya Toraja,

maka diharapkan kepada masyarakat Toraja agar lebih memahami dan

mendalami budaya mereka sendiri dan tidak mudah terpengaruh

terhadap budaya luar dan mendominasi budaya Toraja yang

menyebabkan keaslian budaya perlahan terkikis dan tergeser.

2. Diharapkan kepada generasi muda agar mempelajari tentang ukiran

dan makna-maknanya, agar budaya warisan nenek moyang tersebut

tetap terjaga dan diperkenalkan kepada orang lain.

3. Hendaknya pemerintah menyediakan sarana yang membuat

wisatawan lebih mudah dan lebih nyaman melakukan perjalanan

wisata ke Toraja dengan waktu yang lebih singkat.

104
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta :Pustaka


Pelajar.

Cangara, Hafied. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

Hayakawa, S.I. 1990. Simbol-simbol. Komunikasi Antar Budaya. Penyunting: Dedy


Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Herimanto & Winarno. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: PT Bumi
Aksara.

Kadang, K. 1960. Ukiran Rumah Toraja. Jakarta: Balai Pustaka.

Kaplan, David dan Manners, Robert.Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Radar Jaya Offset.

Littlejohn, Stepehen W. dan Foss,Karen A. 2011. Teori Komunikasi. Jakarta:


Salemba Humanika.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu komunikasi :Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya.

Nurudin. 2008. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Palalunan. 2008. Pesan-pesan Simbolik Banua Layuk (Rumah Adat) Kabupaten


Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Palimbong, C.L. Mengenal Ragam Hias Toraja.

Said, W.Edward. 2004. Power, politics and culture: interviews with Edward
W.Said:Bloomsbury.

Samovar, Larry A, Porter, Richard E, McDaniel, Edwin R, 2010, Komunkasi Lintas


Budaya :Jakarta: Salemba Humanika.

Sande, JS. 1991. Toraja in Carvings. Ujung Pandang.

105
West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi:Analisis dan
Aplikasi: Jakarta: Salemba Humanika

Setiadi, Elly M, dkk. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana.

Sitonda, Mohammad Natsir. 2007.Toraja Warisan Dunia. Makassar: Pustaka


Refleksi.

Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antarbudaya, Jakarta: Bumi Aksara.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

. 2009 Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Spradley, James. 2007. Metode Etnografi, Jogjakarta : Tiara Wacana.

Sugyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:


ALFABETA.

Van, Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara kerjanya dan Apa yang Kita
Lakukan Dengannya 1993, Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Tangdilintin, LT. 1975.Tongkonan dengan Seni dan Koleksinya. Tana Toraja.


Yayasan Lepongan Bulan.

.1985. Tongkonan (Rumah adat Toraja). Tana Toraja: Yayasan


Lepongan Bulan.

Referensi Internet

2012. Konsep Simbol Dalam Perspektif.


( http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/05/konsep-simbol-dalam-
persfektif_31.html, Diakses 1 Nopember 2012 pukul 09:02 WITA)

2012. Semiotika Teori Komunikasi.


(http://www.scribd.com/doc/79718363/SEMIOTIKA-Teori-Komunikasi),
diakses 1 Nopember 2012 pukul 19:15 WITA)

106
Murtini, Indah. 2021. Semiotika Makna Dalam
Komunikasi.(http://ndahindah.wordpress.com/2012/05/17/semiotika-makna-
dalam-komunikasi/,diakses pada tanggal 1 November 2012, Pukul 19:07
WITA)

Iskandar. 2012.( http://the-linguist.webs.com/apps/blog/show/prev?from_id=371446


2012. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya 19:01, Diakses 28 Oktober 2012
Pukul 19:32 WITA.

Adi, Tri Nugroho. 2012. Interaksi Simbolik


(http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/08/20/interaksi-simbolik/ 9
november 2012 Pukul 10;02 WITA)

107

Anda mungkin juga menyukai