Anda di halaman 1dari 6

Nama :

- Restu Susanti
- Elsyani
Kelas : B/ Teologi Kristen
MK : Sejarah Gereja Toraja

SEJARAH GEREJA TORAJA JEMAAT MARANTE

KLASIS MADANDAN, TORAJA UTARA

A. Cikal Bakal (1955-1958)


Cikal bakal berdirinya jemaat Marante bermula ketika masyarakat Marante yang
merupakan anggota dari jemaat Madandan mulai merasa terbebani untuk menempuh
jarak yang sangat jauh ke Madandan. Berhubung karena beberapa dari antara masyarakat
itu merupakan majelis gereja pada saat itu. Akhirnya bapak Daniel L. Lande’ dan bapak
D. Kendek sepakat untuk bermusyawarah dengan bapak M. Lande’, bapak Pena Padang,
bapak Allun B. Tonapo, bapak Lewi Sesa, bapak Sesa, bapak Sesa, bapak Silas Barung,
bapak Mesak Alik dalam hal untuk mengupayakan pembangunan gedung gereja di
Marante.
Karena semangat kerinduan terhadap Injil yang memang menguatkan dan juga
disertai kepedulian kepada anggota masyarakat lainnya yang suda 28 tahun masyarakat
Marante menuju Madandan dan Langda untuk ibadah hari Minggu, Majelis Gereja dalam
hal ini yang berdomisili di Marante mengusulkan kepada Pdt. M. Karamang agar
diijinkan mendirikan Cabang Kebaktian di Marante. Dengan alasan jarak yang harus
ditempuh dari Marante ke Madandan menjadi tolak ukur Pdt. M. Karamang untuk segera
menyikapi akan kebutuhan tersebut dan langsung merealisasikannya dengan syarat lokasi
yang memadai.
Setelah Pdt. M. Karamang memberikan persetujuan untuk mendirikan cabang
kebaktian, berkat perjuangan pergumulan serta dukungan doa karena kekuatan Injil,
tergeraklah hati nurani Indo’ Tangke (ibunda bapak M. Lande’) memberikan tanah yang
letaknya di Pangrampa’ Pare sebagai tempat mendirikan bangunan gedung gereja.
Majelis gereja dan anggota jemaat secara aklamasi menunjuk bapak M. Lande’
selaku coordinator pembangunan. Pada tahun 1954 perencanaan pun dimulai dari
pengadaan material (pattung, tallang tariuan, buangin, dan pepori bulu-bulu) merupakan
bahan utama dari bangunan gedung gereja. Di samping masyarakat mempersiapkan
bahan utama tersebut pengerjaan mangrampa’i juga dilaksanakan.
Pada tahun 1955 didirikan bangunan darurat ukuran 6 x 9 m. Semangat beribadah
oleh 20 kepala keluarga saat yang mengawali pembangunan gedung darurat, semakin
tertanam dalam hati setiap anggota jemaat bahkan semakin termotivasi untuk
melaksanakan peribadatan. Jiwa pelayanan pun dari majelis Gereja dituntut harus
mengimbangi dan mampu diatur untuk selanjutnya dilayankan di masing-masing anggota
keluarga jemaat. Dengan cara seperti itulah nampak jelas pertumbuhan dan
perkembangan Injil di Marante.
Dengan didirikannya gedung darurat atau tersedianya sarana ibadah di Marante
waktu itu, bapak M. Sumbung yang ditugaskan oleh sending menunjuk dan menetapkan
bapak Pnt. Pena Padang menjabat sebagai Guru Jemaat yang pertama di Cabang
Kebaktian Marante yang memang sudah menjabat sebagai majelis gereja di Jemaat
Madandan pada saat itu. Keadaan jemaat yang masih sangat terbaas pelayannya, namun
sudah berpikir jauh membayangkan ingin memiliki gedung gereja yang lebih baik. Di
samping berupaya penggantian gedung, majelis gereja tetap memprogramkan pelayanan
sakramen. Di gedung darurat itulah pada tahun 1955 dilaksanakan sakramen babtisan
juga pelayanan pernikahan kepada Indo’ Tangke, Ne’ Lassa, serta juga pelayanan
pelayanan pernikahan kepada H. Nari / M. Tambing dan Lapu’ / Lai’ Banne.
Waktu terus berlalu gedung gereja darurat yang ada waktu itu, selain tempat
ibadah, bidang pendidikan pun mendesak untuk adanya sarana tempat belajar bagi murid
sekolah. Disepakatilah gedung gereja digunakan sebagai sekolah kelas jauh. Karena
adanya murid sekolah dasar Kristen kelas jauh di Marante, Yayasan Perguruan Kristen
Toraja mendatangkan tenaga guru antara lain: bapak M. L. Lambe’ sebagai kepala
sekolah, bapak T. S. Lande’, bapak Y. T. Pareang, dua tahun kemudian menyusul tenaga
guru lainnya yaitu bapak Y. N. Rantererung, bapak Y. L Lande’, ibu . Pala’langa. Tenaga
guru inilah yang melengkapi tenaga pelayan sebab mereka langsung sebagai majelis
gereja. Beberapa tahun kemudian bapak Y. Siriwa yang pensiun guru di Madandan
menyusul dating di Marante sekaligus menambah tenaga majelis gereja.
Dengan kehadiran beberapa orang inilah, semakin memberi peluang pada
perkembangan serta pertumbuhan jemaat, sehingga semakin termotivasi pulalah bapak
M. Lande’ mengajak majelis gereja lainnya merencanakan pendewasaan Cabang
Kebaktian Marante menjadi jemaat Marante. Semangat majelis gereja dan warga jemaat
untuk pendewasaan, disambut baik oleh Pdt. M. Sumbung dan keberadaan gedung gereja
leh tim Vitasi. Oleh tim Vitasi menyatakan layak untuk segera mendewasakan Cabang
Kebaktian Marante menjadi salah satu jemaat di Klasis Nonongan Madandan pada tahun
1958.
B. Persiapan Pendewasaan (1958)
Berdasarkan laporan tim pemeriksa yang menyataka segala prasyarat bagi salah
satu calon jemaat jika sudah lengkap, maka semuanya itulah yang dipersiapkan oleh
majelis gereja. Kesepakatan majelis disertai dengan anggota Cabang Kebaktian Marante
dari Marante ke Sidang Klasis Nonongan Madandan pada tahun 1958. Usul tunggal
pendewasaan itu mendapat respon yang positif dari peserta siding. Sidang Klasis
Nonongan Madandan ke –IV tahun 1958 menetapkan dan memutuskan bahwa Cabang
Kebaktian dengan Status Jemaat Marante. Dengan demikian segala sesuatu yang
menyangkut kebutuhan pelayanan dalam satu jemaat, baik yang menyangkut kebutuhan
intern, maupun yang menyangkut kewajiban kebersamaan dalam Klasis Nonongan
Madandan, menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi Jemaat Marante.
Betapa tidak, dan akan menjadi kenangan tersendiri bahwa bagi para pendiri
Jemaat Marante (bapak M. Lande’ dkk), bahwa ketika Jemaat Marante di dewasakan,
bangunan darurat (tiang patting, dinding tallang pantatak, atap tallang dan pepori bulu-
bulu) yang hanya berukuran 6 x 9 m dan sudah didirikan di tempat gedung gereja
sekarang ini. Sekalipun kisah ini menjadi kenyataan, namun keadaan tidak menyurutkan
semangat perintis Jemaat, karena melihat dan meyakinkan bahwa Tuhan terus berkarya
dalam kehidupan persekutuan umat-Nya, sehingga pada tahun 1959, direncanakanlah
pembangunan gedung permanen. Bapak M. Lande’ dipercayakan sebagai coordinator
pembangunan.
a. Langkah-langkah strategis menjadi andalan seluruh warga jemaat yakni:
1. Pengadaan lokasi
Lokasi tempat pembangunan yakni tanah yang diberikan oleh Indo’ Tangke.
2. Pengadaan material
Jiwa kegotong-royongan sangat melekat pada setiap warga masyarakat kampung
Marante ketika perencanaan dimulai. Jiwa kebersamaan disertai dorongan ingin
memiliki gedung baru yang permanen menjadi andalan keberhasilan mereka. Semua
material seperti batu merah, kapur putih dan pasir diangkat dari jarak jauh dengan
berjalan kaki. Sekali dalam sehari masyarakat berbondong-bondong menuju
To’rompon Angin-angin mengambil material batu merah dan kapur putih. Laki-laki
menggunakan lampa patting sedangkan perempuan menggunakan baka direngnge’
untuk mengangkut material. Mereka setia berjalan kaki dengan jarak tempuh ± 15
Km setiap hari selama sembilan bulan.
3. Perolehan dana
Majelis gereja mangajukan surat permohonan bantuan dana kepada Komisi Usaha
Gereja Toraja (KUGT) sekarang menjadi BPS Gereja Toraja. Komisi Usaha Gereja
Toraja menindak lanjuti permohonan tersebut ke Gereformeerde Zendingsbond
(GZB) yang adalah negeri asal Injil masuk di Toraja. Organisasi GZB dalam misinya
sangat mendukung pembangunan gedung gereja, sehingga pertengahan tahun 1956
bantuan GZB terealisasi untuk Jemaat Marante sebesar Rp. 520.000,00. Selain
bantuan GZB juga ada bantuan keluarga dari Makassar sebesar Rp. 500.000,00.
Kedua bantuan ini jika dinilai pada tahun 2012 dananya sekitar 1 M. Dana bantuan
itulah yang digunakan untuk membayar gaji kepada tukang.
4. Tenaga Kerja
Kembali penulis menggaris bawahi, bahwa jiwa gotong royong sangat melekat
dalam kehidupan bermasyarakat dan berjemaat. Bapak M. Lande’ memanggil seorang
tukang batu ahli dari Karunuan yaitu Ne’ Sesa. Dimulialah pengerjaan sesuai tekhnik
kontruksi bantuan yang dianggap kontruksi kokoh pada saat itu. Peletakan batu
pertama dilakukan oleh Pdt. M. Karamang. Selanjutnya pemasangan batu oleh tukang
ahli yaitu Ne’ Sesa dibantu oleh warga masyarakat atau jemaat sebagai tenaga
sukarela. Pemasangan pondasi menggunakan batu sungai dinding tinggi 1,40 m dan
tebal 0,40 m. Kemudian pemasangan dinding selanjutnya menggunakan batu merah.
Keunikan kontruksi bangunan ini adalah batu merah yang hancur dicampurkan
dengan kapur putih dan pasir sebagai campuran perekat batu dengan batu lainnya.
Sementara pemasangan batu juga dipanggil seorang tukang kayu dari Langda. Gaji
yang layak ketika pengerjaan bangunan disepakati sebesar Rp. 62,00 untuk tukang
batu, dan Rp. 55,00 untuk tukang kayu.
Bahan bangunan dari kayu seluruhnya swadaya masyarakat atau anggota
masyarakat. Pengerjaan berjalan hingga pemasangan atap menggunakan patting
dipasilopak. Kondisi bangunan atap patting bertahan hingga tahun 1969. Atap pun
semakin lapuk sehingga menuntut penggantian yang baru. Upaya pengadaan atap
terjawab dengan adanya bantuan dana dari Makassar sebesar Rp. 500.000,00. Dana
tersebut dibelikan atap seng pada tahun 1970.
Segala sesuatu ditata dengan baik, namun perencanaan masih terfokus pada
kebutuhan fisik. Perencanaan merobah model menara juga memeras pemikiran para
desainer gedung, karena menara dianggap pelengkap gedung gereja. Kondisi
bangunan yang belum sempurna tidak menghalangi pelaksanaan ibadah apalagi
pelayanan yag bersifat sakramen. Dari tahun ke tahun program terus berlanjut.
Menapaki tahun 1978 menara dapat direnovasi dari bantuan keluarga Alm. Musa
Tambing (Kel. Rura) sebesar Rp. 800.000,00 terlepas dari bangunan fisik, kebutuhan
lain yang adalah sarana ibadah seperti bangku sebanyak 20 unit dibiayai oleh
sumbangan keluarga Alm. Ne’ Rirang (Tondok). Terurai seperti itulah Tuhan
menyatakan berkat-Nya kepada Jemaat Marante tentang kebutuhan beribadah.
Tahap demi tahap pengadaan sarana jemaat dibenahi, maka selama 24 tahun
(1955-1979) majelis gereja atau anggota jemaat menabur dilahan tanah yang baik.
Bangunan permanen pertama dianggap rampung, perencanaan pentahbisan menjadi
perhatian utama. Akhirnya pada bulan Mei tahun 1980 dilaksanakan Pentahbisan
gedung gereja yang pengguntingan pita dipercayakan kepada Indo’ Sarah Samaya
(Ibunda bapak Y. B. Tulak bersaudara) dan ibadah dipimpin oleh Pdt. J. Lebang.
LAMPIRAN
1. Foto bersama beberapa Majelis gereja dan Ibu Pdt. Anike Besso, S. Th.

2. Surat pernyataan penelitian

Anda mungkin juga menyukai