0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
403 tayangan6 halaman
Jemaat Marante didirikan pada tahun 1958 setelah bermula sebagai cabang kebaktian dari Jemaat Madandan sejak 1955. Pembangunan gedung gereja pertama dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat dengan bahan yang dikumpulkan secara swadaya. Gedung gereja permanen selesai dibangun pada 1959 berkat bantuan dana dan tenaga kerja dari berbagai pihak. Jemaat Marante terus berkembang hingga kini
Jemaat Marante didirikan pada tahun 1958 setelah bermula sebagai cabang kebaktian dari Jemaat Madandan sejak 1955. Pembangunan gedung gereja pertama dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat dengan bahan yang dikumpulkan secara swadaya. Gedung gereja permanen selesai dibangun pada 1959 berkat bantuan dana dan tenaga kerja dari berbagai pihak. Jemaat Marante terus berkembang hingga kini
Jemaat Marante didirikan pada tahun 1958 setelah bermula sebagai cabang kebaktian dari Jemaat Madandan sejak 1955. Pembangunan gedung gereja pertama dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat dengan bahan yang dikumpulkan secara swadaya. Gedung gereja permanen selesai dibangun pada 1959 berkat bantuan dana dan tenaga kerja dari berbagai pihak. Jemaat Marante terus berkembang hingga kini
- Restu Susanti - Elsyani Kelas : B/ Teologi Kristen MK : Sejarah Gereja Toraja
SEJARAH GEREJA TORAJA JEMAAT MARANTE
KLASIS MADANDAN, TORAJA UTARA
A. Cikal Bakal (1955-1958)
Cikal bakal berdirinya jemaat Marante bermula ketika masyarakat Marante yang merupakan anggota dari jemaat Madandan mulai merasa terbebani untuk menempuh jarak yang sangat jauh ke Madandan. Berhubung karena beberapa dari antara masyarakat itu merupakan majelis gereja pada saat itu. Akhirnya bapak Daniel L. Lande’ dan bapak D. Kendek sepakat untuk bermusyawarah dengan bapak M. Lande’, bapak Pena Padang, bapak Allun B. Tonapo, bapak Lewi Sesa, bapak Sesa, bapak Sesa, bapak Silas Barung, bapak Mesak Alik dalam hal untuk mengupayakan pembangunan gedung gereja di Marante. Karena semangat kerinduan terhadap Injil yang memang menguatkan dan juga disertai kepedulian kepada anggota masyarakat lainnya yang suda 28 tahun masyarakat Marante menuju Madandan dan Langda untuk ibadah hari Minggu, Majelis Gereja dalam hal ini yang berdomisili di Marante mengusulkan kepada Pdt. M. Karamang agar diijinkan mendirikan Cabang Kebaktian di Marante. Dengan alasan jarak yang harus ditempuh dari Marante ke Madandan menjadi tolak ukur Pdt. M. Karamang untuk segera menyikapi akan kebutuhan tersebut dan langsung merealisasikannya dengan syarat lokasi yang memadai. Setelah Pdt. M. Karamang memberikan persetujuan untuk mendirikan cabang kebaktian, berkat perjuangan pergumulan serta dukungan doa karena kekuatan Injil, tergeraklah hati nurani Indo’ Tangke (ibunda bapak M. Lande’) memberikan tanah yang letaknya di Pangrampa’ Pare sebagai tempat mendirikan bangunan gedung gereja. Majelis gereja dan anggota jemaat secara aklamasi menunjuk bapak M. Lande’ selaku coordinator pembangunan. Pada tahun 1954 perencanaan pun dimulai dari pengadaan material (pattung, tallang tariuan, buangin, dan pepori bulu-bulu) merupakan bahan utama dari bangunan gedung gereja. Di samping masyarakat mempersiapkan bahan utama tersebut pengerjaan mangrampa’i juga dilaksanakan. Pada tahun 1955 didirikan bangunan darurat ukuran 6 x 9 m. Semangat beribadah oleh 20 kepala keluarga saat yang mengawali pembangunan gedung darurat, semakin tertanam dalam hati setiap anggota jemaat bahkan semakin termotivasi untuk melaksanakan peribadatan. Jiwa pelayanan pun dari majelis Gereja dituntut harus mengimbangi dan mampu diatur untuk selanjutnya dilayankan di masing-masing anggota keluarga jemaat. Dengan cara seperti itulah nampak jelas pertumbuhan dan perkembangan Injil di Marante. Dengan didirikannya gedung darurat atau tersedianya sarana ibadah di Marante waktu itu, bapak M. Sumbung yang ditugaskan oleh sending menunjuk dan menetapkan bapak Pnt. Pena Padang menjabat sebagai Guru Jemaat yang pertama di Cabang Kebaktian Marante yang memang sudah menjabat sebagai majelis gereja di Jemaat Madandan pada saat itu. Keadaan jemaat yang masih sangat terbaas pelayannya, namun sudah berpikir jauh membayangkan ingin memiliki gedung gereja yang lebih baik. Di samping berupaya penggantian gedung, majelis gereja tetap memprogramkan pelayanan sakramen. Di gedung darurat itulah pada tahun 1955 dilaksanakan sakramen babtisan juga pelayanan pernikahan kepada Indo’ Tangke, Ne’ Lassa, serta juga pelayanan pelayanan pernikahan kepada H. Nari / M. Tambing dan Lapu’ / Lai’ Banne. Waktu terus berlalu gedung gereja darurat yang ada waktu itu, selain tempat ibadah, bidang pendidikan pun mendesak untuk adanya sarana tempat belajar bagi murid sekolah. Disepakatilah gedung gereja digunakan sebagai sekolah kelas jauh. Karena adanya murid sekolah dasar Kristen kelas jauh di Marante, Yayasan Perguruan Kristen Toraja mendatangkan tenaga guru antara lain: bapak M. L. Lambe’ sebagai kepala sekolah, bapak T. S. Lande’, bapak Y. T. Pareang, dua tahun kemudian menyusul tenaga guru lainnya yaitu bapak Y. N. Rantererung, bapak Y. L Lande’, ibu . Pala’langa. Tenaga guru inilah yang melengkapi tenaga pelayan sebab mereka langsung sebagai majelis gereja. Beberapa tahun kemudian bapak Y. Siriwa yang pensiun guru di Madandan menyusul dating di Marante sekaligus menambah tenaga majelis gereja. Dengan kehadiran beberapa orang inilah, semakin memberi peluang pada perkembangan serta pertumbuhan jemaat, sehingga semakin termotivasi pulalah bapak M. Lande’ mengajak majelis gereja lainnya merencanakan pendewasaan Cabang Kebaktian Marante menjadi jemaat Marante. Semangat majelis gereja dan warga jemaat untuk pendewasaan, disambut baik oleh Pdt. M. Sumbung dan keberadaan gedung gereja leh tim Vitasi. Oleh tim Vitasi menyatakan layak untuk segera mendewasakan Cabang Kebaktian Marante menjadi salah satu jemaat di Klasis Nonongan Madandan pada tahun 1958. B. Persiapan Pendewasaan (1958) Berdasarkan laporan tim pemeriksa yang menyataka segala prasyarat bagi salah satu calon jemaat jika sudah lengkap, maka semuanya itulah yang dipersiapkan oleh majelis gereja. Kesepakatan majelis disertai dengan anggota Cabang Kebaktian Marante dari Marante ke Sidang Klasis Nonongan Madandan pada tahun 1958. Usul tunggal pendewasaan itu mendapat respon yang positif dari peserta siding. Sidang Klasis Nonongan Madandan ke –IV tahun 1958 menetapkan dan memutuskan bahwa Cabang Kebaktian dengan Status Jemaat Marante. Dengan demikian segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan pelayanan dalam satu jemaat, baik yang menyangkut kebutuhan intern, maupun yang menyangkut kewajiban kebersamaan dalam Klasis Nonongan Madandan, menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi Jemaat Marante. Betapa tidak, dan akan menjadi kenangan tersendiri bahwa bagi para pendiri Jemaat Marante (bapak M. Lande’ dkk), bahwa ketika Jemaat Marante di dewasakan, bangunan darurat (tiang patting, dinding tallang pantatak, atap tallang dan pepori bulu- bulu) yang hanya berukuran 6 x 9 m dan sudah didirikan di tempat gedung gereja sekarang ini. Sekalipun kisah ini menjadi kenyataan, namun keadaan tidak menyurutkan semangat perintis Jemaat, karena melihat dan meyakinkan bahwa Tuhan terus berkarya dalam kehidupan persekutuan umat-Nya, sehingga pada tahun 1959, direncanakanlah pembangunan gedung permanen. Bapak M. Lande’ dipercayakan sebagai coordinator pembangunan. a. Langkah-langkah strategis menjadi andalan seluruh warga jemaat yakni: 1. Pengadaan lokasi Lokasi tempat pembangunan yakni tanah yang diberikan oleh Indo’ Tangke. 2. Pengadaan material Jiwa kegotong-royongan sangat melekat pada setiap warga masyarakat kampung Marante ketika perencanaan dimulai. Jiwa kebersamaan disertai dorongan ingin memiliki gedung baru yang permanen menjadi andalan keberhasilan mereka. Semua material seperti batu merah, kapur putih dan pasir diangkat dari jarak jauh dengan berjalan kaki. Sekali dalam sehari masyarakat berbondong-bondong menuju To’rompon Angin-angin mengambil material batu merah dan kapur putih. Laki-laki menggunakan lampa patting sedangkan perempuan menggunakan baka direngnge’ untuk mengangkut material. Mereka setia berjalan kaki dengan jarak tempuh ± 15 Km setiap hari selama sembilan bulan. 3. Perolehan dana Majelis gereja mangajukan surat permohonan bantuan dana kepada Komisi Usaha Gereja Toraja (KUGT) sekarang menjadi BPS Gereja Toraja. Komisi Usaha Gereja Toraja menindak lanjuti permohonan tersebut ke Gereformeerde Zendingsbond (GZB) yang adalah negeri asal Injil masuk di Toraja. Organisasi GZB dalam misinya sangat mendukung pembangunan gedung gereja, sehingga pertengahan tahun 1956 bantuan GZB terealisasi untuk Jemaat Marante sebesar Rp. 520.000,00. Selain bantuan GZB juga ada bantuan keluarga dari Makassar sebesar Rp. 500.000,00. Kedua bantuan ini jika dinilai pada tahun 2012 dananya sekitar 1 M. Dana bantuan itulah yang digunakan untuk membayar gaji kepada tukang. 4. Tenaga Kerja Kembali penulis menggaris bawahi, bahwa jiwa gotong royong sangat melekat dalam kehidupan bermasyarakat dan berjemaat. Bapak M. Lande’ memanggil seorang tukang batu ahli dari Karunuan yaitu Ne’ Sesa. Dimulialah pengerjaan sesuai tekhnik kontruksi bantuan yang dianggap kontruksi kokoh pada saat itu. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pdt. M. Karamang. Selanjutnya pemasangan batu oleh tukang ahli yaitu Ne’ Sesa dibantu oleh warga masyarakat atau jemaat sebagai tenaga sukarela. Pemasangan pondasi menggunakan batu sungai dinding tinggi 1,40 m dan tebal 0,40 m. Kemudian pemasangan dinding selanjutnya menggunakan batu merah. Keunikan kontruksi bangunan ini adalah batu merah yang hancur dicampurkan dengan kapur putih dan pasir sebagai campuran perekat batu dengan batu lainnya. Sementara pemasangan batu juga dipanggil seorang tukang kayu dari Langda. Gaji yang layak ketika pengerjaan bangunan disepakati sebesar Rp. 62,00 untuk tukang batu, dan Rp. 55,00 untuk tukang kayu. Bahan bangunan dari kayu seluruhnya swadaya masyarakat atau anggota masyarakat. Pengerjaan berjalan hingga pemasangan atap menggunakan patting dipasilopak. Kondisi bangunan atap patting bertahan hingga tahun 1969. Atap pun semakin lapuk sehingga menuntut penggantian yang baru. Upaya pengadaan atap terjawab dengan adanya bantuan dana dari Makassar sebesar Rp. 500.000,00. Dana tersebut dibelikan atap seng pada tahun 1970. Segala sesuatu ditata dengan baik, namun perencanaan masih terfokus pada kebutuhan fisik. Perencanaan merobah model menara juga memeras pemikiran para desainer gedung, karena menara dianggap pelengkap gedung gereja. Kondisi bangunan yang belum sempurna tidak menghalangi pelaksanaan ibadah apalagi pelayanan yag bersifat sakramen. Dari tahun ke tahun program terus berlanjut. Menapaki tahun 1978 menara dapat direnovasi dari bantuan keluarga Alm. Musa Tambing (Kel. Rura) sebesar Rp. 800.000,00 terlepas dari bangunan fisik, kebutuhan lain yang adalah sarana ibadah seperti bangku sebanyak 20 unit dibiayai oleh sumbangan keluarga Alm. Ne’ Rirang (Tondok). Terurai seperti itulah Tuhan menyatakan berkat-Nya kepada Jemaat Marante tentang kebutuhan beribadah. Tahap demi tahap pengadaan sarana jemaat dibenahi, maka selama 24 tahun (1955-1979) majelis gereja atau anggota jemaat menabur dilahan tanah yang baik. Bangunan permanen pertama dianggap rampung, perencanaan pentahbisan menjadi perhatian utama. Akhirnya pada bulan Mei tahun 1980 dilaksanakan Pentahbisan gedung gereja yang pengguntingan pita dipercayakan kepada Indo’ Sarah Samaya (Ibunda bapak Y. B. Tulak bersaudara) dan ibadah dipimpin oleh Pdt. J. Lebang. LAMPIRAN 1. Foto bersama beberapa Majelis gereja dan Ibu Pdt. Anike Besso, S. Th.