Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH JEMAAT GPM RUMDAI

A. Sekilas Gambaran Tentang Sejarah Penginjilan Di Maluku

menelusuri sejarah penginjilan di Maluku maka idealnya dimulai dari


sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimana kondisi bangsa Indonesia
pada saat itu berada dalam jajahan bangsa Belanda. Seiring dengan itu
kedatangan Belanda juga membawa misi pekabaran injil atau penyebaran
agama di Indonesia terutama di Maluku. Dengan demikian kedatangan
Belanda Untuk di Indonesia juga menyebar agama Kristen. Oleh sebab
Gereja sangat erat dengan pemerintah pada saat itu maka kebijakan
pemerintah terhadap Gereja yang kurang mengakibatkan tenaga pekabar
injil sangat minimjumlahnya bahkan hampir tidak ada usaha-usaha untuk
mendidik orang-orang Indonesia menjadi pimpinan-pimpinan rohani.
Kekurangan pekabar injil seperti ini berakibat fatal bagi pembinaan
jemaat, sehingga agama Kristen saat itu hanya merupakan simbol,
sementara agama yang lama terus hidup. Kerena kepentingan pemerintah
pada saat itu maka Gereja terpaksa harus mengalah, maka pekabaran injil
tidak lagi berkembang sehingga pada akhir abad 18 Gereja di Indonesia
seumpama tanaman yang hampir mati.

Menyadari kondisi demikian, maka Gereja Protestan Indonesia (GPI)


mengadakan kerja sama dengan lembaga Nederlans Zending Genootshap
(NZG). Dari hasil kerja sama ini maka pada tahun 1769-1833 Josep Kam
dinobatkan menjadi Pendeta Kota Ambon serta seluruh wilayah Indonesia
Timur. Pada 1815 Josep kam tiba di Ambon dan memulai tugas
penginjilannya dan dimulai dari Kota Ambon dan sekitarnya. Dalam tugas
pelayanannya ia mengikuti jadwal tertentu sesuai dengan musim, pada
bulan September sampai Desember ia berkunjung ke Seram serta pulau-
pulau Lease setelah itu ia kembali ke Ambo untuk mengadakan Perjamuan
Kudus, Sidi, Pembaptisan sekaligus meraakan hari natal. Pada tahun 1816
Josep Kam berkunjung ke Banda. Kondisi pelayanan di Banda pada saat
itu sangat memprihatinkan dan untuk memulihkan keadaan itu ia lalu
mengajar sekaligus mengajak jemaat serta memberi pengertian kepada
guru-guru supaya mereka melaksanankan penginjilan ke Maluku Utara.
Pada tahun 1819 ia mendirikan sekolah jemaat di Maluku, kemudian ia
merintis SPG termasyur pada 1835. Pekerjaan Josep Kam bagi gereja di
Maluku bahkan seluruh Indonesia Timur selama 18 tahun sangat luar biasa
sehingga ia mendapat julukan RASUL MALUKU.

Perlu diketahui bahwa walaupun kedatangan Josep Kam telah


membawa angin segar bagi proses pekabaran injil di Maluku, namun tidak
dapat disangkali bahwa jemaat-jemaat di Maluku pada saat itu tidak
memiliki pelayan khusus selain guru-guru sekolah/ guru jemaat. Melihat
kondisi ini Gereja Protestan Indonesia menetapkan suatu pangkat yaitu
pangkat pendeta pribumi. Mereka ini diberi tugas untuk melayani jemaat-
jemaat dalam suatu distrik. Status pendeta pribumi ini tidak begitu tinggi
dan pada umumnya mereka tidak boleh melayani sakramen, namun
mereka dianggap perlu mengikuti sekolah khusus ini. Maka pada tahun
1885 didirikan sekolah khusus Stovi; di Kota Ambon.

Dengan demikian proses pekabaran injil di Maluku berlangsung terus


dan pada pendeta pribumi ini tersebar sampai ke pelosok Maluku termasuk
di pulau-pulau sebelah Timur Klasis Kisar yaitu pulau Damer, bahkan di
pulau Damer telah didirikan pos Evanglisasi atau pos penginjilan.
Walaupun demikian masih banyak kendala yang dihadapi dalam tugas
pekabaran injil. Hal ini disebabkan karena provinsi Maluku terdiri dari
pulau-pulau yang cukup sulit dijankau, namun jiwa dan semangat
pekabaran injil terus dikumandangkan laksana api yang terus menyala dan
merambat keseluruh pelosok untuk memberitakan kabar bagi semua insan.

B. Uraian Singkat Tentang Keadaan Masyarakat Rumdai Sebelum


Masuknya Injil.

Untuk menelusuri serta memahami lebih jauh tentang masuknya injil


di Rumdai maka terl ebih dahulu dimulai dengan suatu tinjauan
sosiologis tentang keadaan masyarakat Rumdai dalam hal ini masyarakat
desa Usliapan, Kuralele, Kokroman dan Ameth.
Sebagai upaya mempertahankan hidup dari kondisi kehidupan maka
masyarakat dari keempat desa ini membangun tempat-tempat pemukiman
di daerah-daerah pegunungan seperti di dusun Sparna, Usliapan Rasta dan
di Wulwona dengan ketinggian kira-kira 1000-2000 meter dari
pemukiman laut. Adapun alasan mereka tinggal di daerah pegunungan
adalah untuk menghindar dari ancaman bajak laut yang sering merampok
harta milik penduduk, namun setelah mereka menetap sekian lama di
daerah pegunungan, mereka kembali membangun pemukiman di daerah
pesisir pantai, hal ini menandakan bahwa kehidupan masyarakat pada saat
itu sangat bergantung dari daratan dan lautan. Pesisir, laut dan daratan
merupakan sistim yang saling berhubungan. Masyarakat Rumdai dalam
hal ini masyarakat Usliapan, Kuralele, Kokroman dan Ameth memiliki
mata pencarian yang bergerak dari satu titik ke titik yang lain, merupakan
siklus kehidupan yang bergantung pada musim dan hal ini dapat dilihat
dari aktivitas yang berlangsung secara turun temurun dan berlatarbelakang
sejarah. Melalui pendekatan ini maka secara umum sistim mata pencarian
masyarakat pada saat itu adalah:

 Bercocok Tanam: Kegiatan ini dilakukan dengan sistim pertanian


yang sangat tradisional, dan jenis tanaman meliputi umbi-umbian,
buah-buahan dan tanaman umur panjang lainnya seperti kelapa,
cenkih dan pala.
 Nelayan: Selain bercocok tanam, masyarakat keempat desa ini juga
mengupayakan kehidupan mereka di laut walaupun hal ini
dilakukan dengan alat-alat yang sangat tradisional namun hasilnya
dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Selain mata pencarian masyarakat dari keempat desa di atas juga terkenal
sebagai pelaut-pelaut ulung dan hal ini merupakan warisan dari leluhur
mereka dimana mereka mengarungi lautan mencari daerah-daerah untuk
menetap.

Sistim Religi (sistim kepercayaan). Sistim kepercayaan masyarakat


Usliapan, Kuralele, Kokroman, dan Ameth adalah menganut sistim
kepercayaan Animisme yaitu kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang
atau leluhur, yang menurut anggapan mereka, roh-roh leluhur dapat menjamin
keselamatan mereka.

C. Masuknya Injil Di Rumdai.

Masuknya injil di Rumdai merupakan suatu proses integral yang tidak


dapat dipisahkan dari proses penginjilan di Maluku, bahkan diterimanya injil
oleh masyarakat Rumdai juga tidak terlepas dari keadaan masyarakat pada
saat itu. Dengan demikian untuk memahami seluk beluk masuknya injil di
Rumdai maka prosesnya dapat diuraikan sebagai berikut:
Masuknya injil di Rumdai prosesnya dimulai dari pulau Damer. Di sana
telah didirikan sebuah ppos penginjilan yang bertujuan untuk mengatur
strategi penginjilan guna menjangkau sasaran penginjilan bagi suku-suku
terasing yang belum mengenal injil. Dari sinilah proses pekabaran injil
dikumandangkan sampai ke dataran Teon Nila Serua. Pada tahun 1894,
Pendeta/ Guru Jemaat J. Polhaupessy ditugaskan ke pulau Nila khususnyay di
desa Usliapan, Kuralele, Kokroman dan Ameth. Perjalanannya ke pulau Nila
dilakukan dengan menumpang sebuah perahu layar, setibanya di pulau Nila,
desa pertama yang dikunjunginya adalah desa Usliapan yang saat itu telah
menetap di pesisir pantai, namun reaksi masyarakat terhadap misi pekabaran
injil dari Guru Jemaat J. Polhaupessy yaitu mereka tidak menerima dan
mengusir bahkan mengancam akan membunuh beliau. Adapun alasan mereka
tidak menerima injil adalah karena saat itu mereka telah menganut aliran
kepercayaan Animisme sehingga dengan hadirnya ajaran baru mereka merasa
terganggu dan tersaingi. Melihat reaksi masyarakat Usliapan yang demikian,
Guru Jemaat J. Polhaupessy terpaksa keluar meninggalkan desa Usliapan, dan
tibalah beliau di pantai bernama Fanan Litloru petuanan keluarga Sarioa. Di
pantai inilah beliau beristirahat dan berdoa mohon kekuatan serta petunjuk
Tuhan yang telah mengutusnya ke pulau Nila. Di tengah situasi sulit dan
melelahkan tersebut, datanglah beberapa orang dari desa Kuralele ke pantai
Fanan Litloru menemani hamba Tuhan, Guru Jemaat J. Polhaupessy, setelah
itu mereka mengajak beliau ke desa Kuralele dan untuk sementara beliau
dijamu di rumah bapak Toni Marantika yang sering di sebut Rumpapapna
artinya rumah yang terbuat dari papan. Sebagai hamba Tuhan dan pendatang
baru, ia kemudian melaporkan diri kepada kepala kampung sekaligus
menyampaikan maksud kedatangannya. Dengan budaya moritari, masyarakat
Kuralele menyambut hamba Tuhan dengan penug sukacita. Melihat perilaku
masyarakat Kuralele seperti itu menambah semangat Guru Jemaat J.
Polhaupessy untuk bersaksi tentang injil Yesus Kristus yang membawa damai
bagi semua orang.
Namun patut diakui bahwa didalam menyampaikan injil, beliau
membutuhkan suatu cara yang tepat sebab yang dihadapi adalah masyarakat
masih terikat dengann sistim kepercayaan lama yang tidak mudah mereka
tinggalkan begitu saja. Oleh sebab itu, untuk memenangkan tugas penginjilan
ini, ada dua cara yang dilakukan oleh Guru Jemaat J. Polhaupessy yaitu:
 Bersaksi di depan umum dalam bentuk ibadah.
 Penginjilan pribadi dari rumah ke rumah.

Metode penginjilan seperti inilah yang telah berhasil membentuk


persekutuan orang-orang percaya di desa Kuralele yang melibatkan seluruh
masyarakat Kuralele. Penggunaan nama Kuralele sebagai nama jemaat cukup
beralasan karena persekutuan ini dibentuk oleh masyarakat Kuralele dan
seluruh kegiatan pelayanan terlaksana di desa Kuralele bahkan sebagai bukti
sejarah Buku nyanyian thalil dan lain-lain milik Jemaat Kuralele, selain itu
bangunan-bangunan fisik Jemaat seperti pastori jemaat dan gedung Gereja
sejak masuknya injil sampai saat ini berada di desa Kuralele.

Berdasarkan alasan serta bukti sejarah di ataas maka tidak dapat diragukan
lagi bahwa jemaat kuralele merupakan jemaat pertama sebelum terbentuknya
jemaat Rumdai. Kegiatan persekutuan selanjutnya tetap dipusatkan di desa
Kuralele tepatnya di rumah/ halaman rumah bapak Tony Marantika/
Rumpapapna. Dengan demikian kehadiran persekutuan ini telah
mendatangkan pengaruh yang positif bagi masyarakat Kokroman, Usliapan
dan Ameth. Hal ini terbukti dengan diterimanya injil oleh masyarakat ketiga
desa tersebut.
Diterimanya injil oleh masyarakat Kuralele, Usliapan, Kokroman dan
Ameth merupakan dambaan dari Guru Jemaat J. Polhaupessy sebagai hamba
Tuhan yang dipercayakan untuk menyampaikan injil kepada umat Tuhan di
keempat desa diatas. Untuk itu bagi mereka yang telah menerima injil serta
percaya kepada Yesus hendaknya dimetraikan dalam suatu Baptisan Kudus
dengan demikian di halamn rumah bapak Tony Marantika yang saat itu
dijadikan tempat ibadah, didepan rumah itu ada sebuah batu yang biasanya
dijadikan tempat makan bersama oleh tua-tua pada malam hari setelah
mereka pulang mencari ikan, di atas batu itulah Baptisan pertama
dilaksanakan, selanjutnya menyangkut siapa yang melaksanakan Sakramen
Baptisan, tidak dapat diuraikan secara pasti karena ada berbagai pendapat dari
para narasumber yang sangat kontradiksi, untuk itu hanya dapat diuraikan
masalah ini menurut pendapat tiap-tiap narasumber yang intinya sebagai
berikut:

 Menurut bapak Pendeta O. Tanate, yang telah melaksanakan baptisan


pertama adalah Pendeta D. D. Tentua, I.L. alasannya karena Guru Jemaat
J. Polhaupessy tidak memiliki kewenangan untuk melakukan Sakramen
sebab sesuai aturan gereja Hindia Belanda seorang guru injil tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan sakramen baptisan.
 Menurut bapak Dirk I. Marantika dan bapak Pieter Kanipa serta bebrapa
narasumber lain mengatakan bahwa yang melaksanakan baptisan pertama
adalah Guru Jemaat, J. Polhaupessy, sebab menurut mereka pada saat itu
belum ada aturan gereja yang mengatur tentang kewenangan
melaksanakan sakramen baptisan, bahkan menurut mereka siapa saja yang
ditugaskan untuk melaksanakan tugas pekabaran injil dapat melaksanakan
baptisan. Pendapat ini juga diperkuat dengan bukti sejarah berupa catatan
baptisan yang ada pada buku agenda baptisan jemaat Rumdai dimana
tercatat 108 orang telah dibaptis pada tanggal 17 April 1894 dan ini
merupakan tahun kerja dari guru jemaat, J. Polhaupessy.

Berdasarkan para narasumber di atas tim penulis berkesimpulan bahwa


pendapat bapak Dirk I. Marantika dkk, cukup memiliki bukti sejarah yang
kuat untuk mengatakan bahwa baptisan pertama dilakukan oleh Guru Jemaat,
J. Polhaupessy. Walaupun begitu semua ini perlu dibuktikan lebih lanjut
sebagai upaya penelusuran sejarah penginjilam di Rumdai.

D. Terbentuknya Jemaat Rumdai.


Sebagaimana diketahui bahwa sebelum ada Jemaat Rumdai maka nama
Jemaat ini adalah Jemaat Kuralele, namun dalam perkembangannya
masyarakat dari desa-desa lainpun telah menerima injil sehingga jumlah
anggota yang menerima injil bukan masyarakat Kuralele saja. Dengan
demikia atas dasar inilah maka muncullah pemikiran untuk menggantikan
nama jemaat nantinya tidak menimbulkan kecemburuan social yang
mengakibatkan persekutuan yang telah dibentuk dengan susah payah kembali
mengalami perpecahan. dengan demikian berdasarkan usul dari bapak Niko
Marantika sesuai amanat bapak Jusuf Marantika maka telah disepakati lewat
pertemuan antara pendeta dengan tua-tua adat beserta pemerintah negeri dari
keempat desa maka nama Jemaat Kuralele dirubah menjadi Jemaat Rumdai.
Adapun alasan mendasar dilakukannya perubahan nama jemaat ini adalah
sebagai berikut:
 Bahwa pada saat itu yang menjadi anggota Jemaat bukan lagi orang
kuralele saja tetapi anggotanya telah meliputi masyarakat keempat desa
sehingga nama jemaat kuralele tidak lagi relevan.
 Dipakainya nama Rumdai sebagai nama Jemaat didasari pada kenyataan
bahwa marga Marantika yang mula-mula menerima injil berasal dari pulau
Dai sebuah pulau kecil di Maluku Tenggara.

Dengan disahkannya Rumdai sebagai nama Jemaat, maka sejak itu seluruh
kegiatan jemaat baik dalam jemaat maupun keluar jemaat menggunakan nama
Jemaat Rumdai dan berlangsung sampai saat ini. Selanjut dalam
perkembangannya Jemaat Rumdai mengalami kemajuan yang sangat pesan,
itu nampak dari jumlah anggota jemaat yang terus bertambah serta
dibangunnya berbagai sarana fisik seperti pastori jemaat, gedung gereja serta
sarana pendidikan dan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan Iman
dan kecerdasan serta kualitas kesehatan umat. Selain itu pertumbuhan jemaat
tercermin juga dari terjalinnya kerukunan yang harmonis antara kampung
dengan kampung maupun antara tetangga dengan tetangga, bahkan sampai
saat ini Jemaat Rumdai dapat disejajarkan dengan jemaat-jemaat lain bahkan
memiliki potensi yang cukup diperhitungkan baik ditingkat klasis maupun di
tingkat Sinode. Hal yang merupakan keunikan sekaligus kebanggaan warga
jemaat Rumdai adalah bahwa sejak terbentuknya Jemaat Kuralele yang
kemudian diubah menjadi Jemaat Rumdai sampai saat ini tetap untuk utuh.
Ini menandakan bahwa warga Jemaat Rumdai sangat memahami arti
pentingnya suatu persekutuan.

Anda mungkin juga menyukai