Anda di halaman 1dari 21

Mata Kuliah : Etika Kristen

Dosen : Riani Sitanggang,M.Th

Oleh/NIM : Rahel Wahyuni Br Pandia/1710000, Andre Manumpak/1810014, Yogi


Togatorop/1810053

ETIKA BUDAYA

Studi Etika Kristen terhadap Kasus Perkawinan Sedarah di Dusun Deleng Payung
Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat Hulu

I. Latar Belakang
I.1 Pendahuluan

Menurut Richard Nieburl, kebudayaan adalah warisan social, prestasi manusia yang
bernilai diterima dari kehidupan social seperti Bahasa, Ide, Keyakinan, Organisasi Social,
Pendidikan, Tradisi, Mitos, Seni, Filsafat, Pemerintah, Hukum, Ritual, Kepercayaan, dan
Teknologi.1 Budaya merupakan suatu system peradaban masyarakat, yang mencerminkan tata
kehidupan dan nilai-nilai yang dianut suatu kelompok masyarakat tertentu. 2 Bagi
Koentijaranigrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi unsure-unsur kebudayaan terdiri
dari 7 unsur yaitu Sistem Pengetahuan, Sistem Mata Pencarian, Organisional, Sistem Peralatan
hidup dan Teknologi, Bahasa, Kesenian, Sistem Religi. Dari ketujuh unsure ini merupakan suatu
kesatuan aktivitas manusia.3

Dalam Negara Indonesia, Sitem Perkawinan diatur oleh Undang-Undang, yakni UU


Nomor 1 Tahun 1974 mengungkapkan bahwa perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk suatu keluarga/rumah
tangga yang berbahagia dan kekal yang sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan dalam
perkawinan tersebut adanya ikatan lahir batin antara suami-isteri dalam membentuk keluarga. 4
Dan system perkawinan yang berdasarkan UU tersebut memiliki ketentuan, syarat-syarat,
hokum-hukum tertentu. Perkawinan yang dikatakan sah, apabila dapat menghadirkan saksi kedua
1
H.Richard Niebuhr, cris and culture, (New York : Harper Torchbook, 1956), hal.32-35
2
Masri Singarimbun,Kinship, Descent And Alince Amang The Karo Batak, (London: Calipornia Press, 1975), hal.3
3
Koentjaranigrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hal.218
4
T.A Yuwana dan W.F.Maramis, Dinamika Perkawinan Masa Kini,(Surabaya: DIOMA,1990), hal.3

1
belah pihak. Dalam hal dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan suatu tradisi
masyarakat yang mengikat batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berdasarkan Tuhan
Yang Maha Esa. Selain itu perkawinan juga mengikat keseluruhan keluarga pihak pria dan
keluarga pihak wanita.

Demikian halnya dengan system perkawinan dalam suku karo. Suku karo sebagaimana
dengan suku lainnya mempunyai tata cara perkawinan yang khas. Perkawinan masyarakat Karo
adalah bersifat religious dengan menganut system Exogami, yakni seseorang harus kawin
dengan orang dari luar marga (clan)-nya, kecuali pada marga perangin-angin dan sembiring.
Sifat religious pada masyarakat karo juga terlihat dengan adanya perkawinan. Karena itu
perkawinan bagi suku karo tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang melangsungkan
perkawinan saja, tetapi juga mengikat keseluruhan kerabat keluarga termasuk arwah-arwah
leluhur mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir
dan batin anatara seorang pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para
leluhur. Pada masyarakat Karo, suatu proses perkawinan ada dua cara yang dikenal dengan;

a. Proses perkawinan arah adat (Menurut adat)


b. Arah ture(dengan persetujuan kedua mempelai saja)

Namun semakin lama Suku Karo semakin bertambah banyak kependudukannya,


sehingga semakin bertambah pula pengetahuannya dalam hal yang baik maupun dalam hal yang
tidak baik. Melalui perkembangan kependudukan dan pengetahuan semakin pesat, maka
timbullah berbagai macam tingkah laku yang semena-mena misalnya dalam hal melanggar adat-
istiadat yang berlaku dalam Suku Karo. Salah satu fenomena pelanggaran adat yang sering
terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat Suku Karo yakni pelanggaran adat perkawinan
yang disebut dengan Perkawinan Sedarah.

Melihat permasalahan diatas, perkawinan sedarah memiliki dampak, baik terhadap adat
istiadat, sosial masyarakat dan juga komunitas. Sedangkan gereja belum mempunyai pandangan
yang sama tentang perkawinan sedarah. Bahkan tidak mempunyai peraturan yang jelas tentang
siapa yang boleh dinikahi dan siapa yang tidak boleh dinikahi.

I.2 Deskripsi Masalah

2
Perkawinan menurut adat Suku Karo biasanya peran orang tua yang dominan, artinya
bahwa pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan berlangsung mulai dari
perkenalan sampai kepada upacara adatnya.5 Melalui hal tersebut, dalam adat istiadat Kuno Suku
Karo seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodohnya, karena perkawinan yang ideal/ yang
dianjurkan ialah perkawinan antara orang-orang yang memiliki hubungan kerabat rimpal (Cross
Cousins). Rimpal (Cross Cousins) yakni perkawinan seorang laki-laki dengan anak perempuan
saudara laki-laki ibu atau pernikahan seorang perempuan dengan anak laki-laki dari saudara
perempuan ayah.6 Denagan demikian maka seorang laki-laki dalam Suku Karo sangat pantang
kawin dengan seorang wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak perempuan dari
saudara perempuan ayahnya. Namun pada sekarang ini sudah banyak pemuda yang tidak lagi
menuruti adat kuno tersebut sehingga banyak sekali terjadi/melakukan perkawinan yang tidak
sesuai dengan adat yakni perkawinan Sedarah. Sedangkan perkawinan arah ture, disini orang tua
tidak berperan dari awal, karena perkawinan yang dilangsungkan adalah kehendak keduabelah
pihak calon mempelai. Tetapi untuk mengikat pembicaraan mereka, orang tua jugalah yang akan
menyelesaikannya.

Secara umum, perkawinan sedarah yang telah terjadi ditengah-tengah kehidupan


masyarakarat Suku Karo adalah sebagai berikut:

 Perkawinan semarga (Satu Marga)7


 Perkawinan turang Impal (anak laki-laki dari saudara laki-laki ibu)
 Perkawinan turang sepemeren (anak dari saudara ibu)8

Adapun perkawinan sedarah yang telah terjadi di dusun Deleng Payung adalah
Perkawinan Turang Impal (anak laki-laki dari saudara laki-laki ibu), Turang Sepemeren(ibu
yang bersaudara). Selain itu, di Dusun ini juga telah terjadi perkawinan sedarah seorang laki-laki
dengan saudara perempuan ayahnya(bertutur bibi).9Dalam hal ini bapak Sentosa Sitepu
menagukapkan bahwa masyarakat dusun Deleng Payung-Langkat ini banyak yang melakukan

5
Derwan Prist, Sejarah dan Kebudyaan Karo (Yogjakarta:Yrama,1985),hal.106-107
6
Koenjaranigrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia,(Jakarta:Djambatan,1970), hal.102
7
Perkawinan semarga ini tidak sumbang bagi cabang marga sembiring simantangken biang (tidak memakan
anjing), dengan cabang marga perangin-angin.
8
M.Bukit, Sejarah Kerajaan dan Adat Istiadat Karo hasil kongres 1965 (Kabanjahe:Toko Bukit,1994), hal.104
9
Wawancara dengan bapak Sentosa Sitepu pada tanggal 23 Maret 2021 pukul 20.00 wib

3
perkawinan sedarah, sehingga banyak orang yang tidak berani menempati tempat duduknya
dalam upacara tertentu.

Salah satu contohnya masyarakat yang melakukan perkawinan sedarah ialah Iman Sitepu
dan Gita Br Tarigan (nama samaran). Jika dilihat dari marga/clannya bahwa mereka tidak
melakukan perkawinan sedarah karena marga mereka berbeda. Namun jika dilihat dari
kekerabatan rakut sitelu mereka adalah turang impal, yang tidak diperbolehkan untuk saling
mengawini oleh Adat Istiadat Karo. Karena ketidaktahuan dalam bertutur maka mereka
melakukan perkawinan sedarah, untuk dapat disahkan oleh adat Karo, maka bapak Iman Sitepu
dan Gita Br Tarigan ini mengambil jalan pintas yaitu baba nangkih (kawin lari), dengan begitu
maka mereka akan dinikahkan dengan cara si perempuan yang meminang laki-laki.10

I.3 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Perkawinan Sedarah dalam Suku Karo?
2. Apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya perkawinan sedarah dan Dampak dan
Akibat Perkawinan Sedarah dalam Adat Istiadat Suku Karo?
3. Bagaimana pandangan teologis II Samuel 13:1-22 terhadap Perkawinan Sedarah?

BATASAN MASALAH

Pembahasan pada paper ini kami kelompok mengakat secara Khusus mengenai Perkawinan
sedarah yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Dusun Deleng Payung Kecamatan
Salapian-Langkat. Dimana perkawinan sedarah ini ditentang oleh Adat Suku Karo, hal tersebut
sudah melakukan pelanggaran dan dianggap menghina para leluhur. Tindakan semacam ini
dikethui bahwa turang impal tidak diperbolehkan untuk saling mengawini, namun hal itu
dilakukan oleh masyarakat ini, dengan mengambil jalan pintas yaitu baba nangkih(kawin lari),
maka sanksi yang di terima ialah pihak perempuan yang meminang laki-laki. Kami kelompok
juga mengagap bahwa ini penting untuk dibahas dalam Etika Budaya, di mana manusia harus
bisa menghargai budaya yang ada, dan perlu dilestarikan kebudayaan Karo tentang perkawinan
yang sebenarnya, dan tindakan melakukan perkawinan sedarah harus di hindari atau tidak lagi
dilakukan, dalam hal ini untuk mengatasi perkawinan sedarah itu perlu kesadaran para pemuda/I
mengethui adat istiadat Karo.
10
Wawancara dengan bapak Iman Sitepu pelaku kawin sedarah pada tanggal 22 April 2021 jam 15.00 wib di
dusun deleng Payung Kecamatan Slapian Kabupaten Langkat

4
II. Pembahasan
II.1 Pengertian Etika Budaya
II.1.1 Pengertian Etika

Secara etimologi “etika” berasal dari kata bahasa Yunani ethos. Dalam bentuk tunggal, “ethos”
berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, perasaan,
cara berpikir. Dalam bentuk jamak, ta etha berarti adat kebiasaan. Dalam istilah filsafat, etika
berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam kamus
besar bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak. Etika dibedakan
dalam tiga pengertian pokok, yaitu ilmu tentang apa yang baik dan kewajiban moral, kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat. Maka etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai atau norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.11

Etika sering disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai
tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk
atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-
kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau
bertindak. Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia
untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia
mencapai kesadaran moral yang otonom.12 Yang berarti etika menyelidiki dasar semua norma
moral manusia supaya manusia dapat mengatur tingkah lakunya dalam bertindak.

Menurut Franz Magnis Suseno Manusia perlu mengembangkan etika, karena etika adalah
pemikiran sistematis tentang moralitas. Yang dihasilkannya secara langsung bukanlah kebaikan,
melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.13Karena perubahan zaman akan
mencoba menarik kita untuk ikut di dalamnya, kita bisa saja mengikuti zaman yang semakin
berkembang dengan setiap perubahannya, tetapi kita harus dapat membedakan antara apa yang
hakiki dan apa yang boleh saja berubah. Dalam situasi ini etika mau membantu kita agar kita
jangan kehilangan orientasi, dan kita dapat membedakan setiap situasi perkembangan zaman ini.
Dan kita harus dapat membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah.
11
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2009), h. 173
12
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, h. 174
13
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: KANISIUS, 1987), h. 15

5
Dalam situasi ini etika mau membantu kita agar kita jangan kehilangan orientasi, dan kita dapat
membedakan setiap situasi perkembangan zaman ini. Dan dengan demikian, kita tetap sanggup
mengambil sikap-sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan.

II.1.2 Pengertian Budaya

Menurut Koentjaraningrat kata budaya atau kebudayaan berasal dari kata Sansekerta
buddhayah, istilah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-
budaya-an itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.” Kebudayaan
berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar,
beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Adapun istilah Inggrisnya berasal dari kata
Latin colere, yang berarti “mengolah, mengerjakan”, dari arti ini berkembang arti culture,
sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam.14

Pandangan Arnold, budaya baginya adalah budaya yang tinggi, yang merupakan pencapaian
tertinggi umat manusia, bukan suatu rata-rata atau kategori deskriptif yang diterapkan untuk
seluruh pemikiran dan produksi manusia. Pandangan ini mengacu pada puncak kebudayaan yang
sekaligus menyediakan aspirasi dan potensi. Dan bagi Arnold, budaya yang merupakan kajian
atas kesempurnaan, mengarahkan kita untuk membayangkan kebenaran kesempurnaan manusia
sebagai kesempurnaan yang harmonis, mengembangkan semua sisi kemanusiaan kita; dan
sebagai kesempurnaan yang umum, mengembangkan semua bagian dalam masyarakat.15

Clifford Geertz– seperti dikutip Adeney-menjelaskan bahwa kebudayaan itu sebagai suatu
sistem simbol dari makna-makna: kebudayaan adalah sesuatu yang dengannya kita memahami
dan memberi makna pada hidup kita. Geertz mengatakan bahwa kebudayaan, mengacu pada
suatu pola makna-makna yang diwujudkan dalam simbol-simbol yang diturunalihkan secara
historis, suatu sistem gagasan-gagasan yang diwarisi dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk
simbolik, yang dengannya manusia menyampaikan, melestarikan, dan mengembangkan
pengetahuan mereka mengenai, serta sikap dan pendirian mereka terhadap kehidupan.
Kebudayaan itu mempunyai arti yang luas, karena setiap orang lain adalah orang yang berasal
dari suatu kebudayaan lain. Kita masing-masing memiliki sistem simbol kita sendiri dan cara-

14
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 9
15
M. Arnold, Culture and Anarchy, (1869), h. 14

6
cara mendefinisikan makna hidup kita.16 Yang artinya bahwa setiap manusia itu harus belajar
untuk memahami dan memaknai setiap simbol-simbol dari kebudayaan tersebut yang sesuai
dengan pola hidup manusia itu sendiri.

Sosiolog dan antropolog telah banyak mempertimbangkan konsep kebudayaan dalam beragam
cara. Pengertian budaya yang paling umum dan mendalam, menuntun kita pada suatu
pertimbangan bahwa semua bersifat simbolik, yakni apa yang kita pelajari merupakan aspek
ideal kemanusiaan suatu masyarakat. Dalam pengertian awal, budaya merujuk pada ‘kata benda
kolektif’ yang digunakan untuk mendefinisikan dunia manusia yang ditandai dengan basis
ontologi dari ruang yang benar-benar alami. Bicara budaya pada konteks itu adalah untuk
meneguhkan kembali komitmen filosofis atas perbedaan dan kekhususan aspek kemanusiaan.17

Etika kebudayaan mengandung tuntutan bahwa budaya yang diciptakan harus mengandung
nilai-nilai etik yang bersifat universal. Meskipun demikian suatu budaya yang dihasilkan
memenuhi nilai-nilai etik atau tidak bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini oleh
masyarakat.18 Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, manusia yang beretika
pastinya menghasilkan budaya yang beretika juga. Setiap manusia harus memiliki tindakan
dalam melakukan budayanya, dan manusia itu harus belajar memaknai dan memahami
bagaimana setiap unsur-unsur yang terkandung dalam budaya tersebut.

II.1.3 Kebudayaan dalam Diskursus Etika Kristen

Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu


pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta
kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat tertentu. Di mana
kebudayaan merupakan sebagai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Ada lima tipologi yang paralel yang dikembangkan oleh Richard Niebuhr, mengenai
hubungan antara iman Kristen dan kebudayaan di sepanjang sejarah. Berikut adalah lima tipologi
yang dalam hubungan antara etika Kristen dengan etika yang terdapat dalam suatu kebudayaan.

16
Bernard T. Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 19-20
17
Chris Jenks, Culture, (Routledge, 1993), h. 2
18
https://docs.google.com/presentation defenisi etika budaya. Diakses pada tanggal 02 Oktober 2020, pukul 18.14
WIB

7
1. Sikap yang antagonistis, yang melihat adanya pertentangan antara etika Kristen dan etika yang
terdapat dalam kebudayaan;
2. Sikap akomodasi, yang menyesuaikan etika Kristen dengan etika yang terdapat dalam
kebudayaan;
3. Sikap dominasi, yang menempatkan etika Kristen di atas etika dalam kebudayaan;
4. Sikap dualistis, yang melihat etika Kristen dan etika dalam kebudayaan sebagai dua hal yang
terpisah;
5. Sikap transformasi, yang melihat etika Kristen sebagai faktor yang ikut mendorong etika
kebudayaan untuk mengadakan pembaruan secara terus-menerus, tidak untuk menjadikan etika
dalam kebudayaan itu menjadi etika Kristen, tetapi agar etika dalam kebudayaan itu menjadi
etika yang baik bagi semua orang. Etika yang baik bagi semua orang ialah etika yang menjamin
keadilan, kemanusiaan, perdamaian, kerukunan, dan kesejahteraan bagi semua orang.
Dalam hal ini apa yang harus kita lakukan? Yang mana yang harus kita pilih? Yang
pastinya kita memilih poin yang kelima, karena inilah yang dimaksud bahwa kita berbicara
mengenai gereja yang harus mendatangkan pengaruh yang baik bagi semua orang. 19Karena
respon manusia terhadap Allah juga dapat disampaikan melalui budaya.

Sahat Tobing mengatakan harus ada kesadaran sebagai upaya berteologi dalam konteks
sosial (adat). 1. Harus ada kesadaran bahwa kitab suci selalu terbungkus dalam bahasa yang
khusus, dalam kebiasaan, tradisi dan cara melakukan sesuatu secara khusus. Korelasi dengan
teologi adalah, ketika membaca kitab suci maka sadarilah bahwa kitab suci dikelilingi oleh
bahasa khusus yang bisa saja berbeda makna dengan bahasa saat ini (konteks, adat, tradisi
tersendiri). 2. Gereja harus berasumsi bahwa Injil bukanlah miliknya tetapi milik orang lain juga,
tidak boleh menginterpretasi seenaknya, harus meneliti kebudayaan asal atau sekitar kita. 3.
Adanya kesadaran bahwa konteks memiliki pengalaman religius baik pribadi maupun komunal,
berarti melalui pengalaman akan membentuk fondasi kepercayaan masyarakat. 20

II.2 Kebudayaan Batak Karo

Dalam hal tersebut kita perlu mengetahui unsure-unsur kebudayaan, adapun unsure
kebudayaan menurut Koenujaranigrat terdiri dari 7 unsur yaitu Bahasa, Sistem Pengetahuan,

19
Eka Darmaputera, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 36
20
Penjelasan Sahat M. Lumbantobing, pada mata kuliah Teologi Sosial, pertemuan ke-4

8
Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian,
Sistem Religi, dan Kesenian. Berdasarkan pandangan Koentjaranigrat, unsure kebudayaan Suku
Batak Karo dapat dilihat sebagai berikut;

1. Tatanan kehidupan masyarakat karo yang terikat di dalam suatu sitem, yaitu: Marga
Silima,Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu
2. Tulisan dan bahasa karo
3. Peralatan hidup yang lengkap
4. Pembinaan rohaniah/kepercayaan serta tata cara pelaksannya
5. Alat-alat kesenian karo yang beragam jenisnya
6. Ragam busana, baik untuk pria ataupun wanita, setiap acara yang dilakukan di adat yang
dilakukan dalam budaya karo memiliki busana yang berbeda-beda.
7. Penentuan hari untuk turun ke lading untuk menananm padi, menanam padi dilakukan
berdasarkan musim.
8. Nama-nama hari.21

Unsur-unsur kebudayaan Karo tersebut merupakan gambaran cara hidup masyarakat Karo
yang telah melekat pada kehidupan masyarakat Karo, sehingga unsure-unsur tersebut dapat
dikatakan sebagai ciri khas Kebudayaan Suku Karo.

Kata Adat berasal dari bahasa Arab. Bentuk kata kerjanya berarti “ada” berbalik
kembali,datang kembali. Jadi adat adalah berulang kembali atau secara teratur berulang
kembali.22 Pemaikaian kata adat dapat dipergunakan untuk menghaluskan perbuatan, pelakuan
yang membuat kebaikan dengan orang lain, yang adatnya dan tata cara pada umumnya yang
terdapat dalam suatu desa atau suatu Negara, seagama dan sama kebudayaan. Dengan demikian
jadilah manusia sederhana yang hidup dalam kesederhanaan, yang tidak akan merusak
kebudayaan dan adat kebudayaan pada umumnya.23 Karna itu adat-istiadat disebut sebgai
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh manusia, dan dalam adat-istiadat itu mencakup aturan-
aturan dan hokum, karena itu menurut Lother Scheiner adat berkonotasi dengan kebiasaan.24
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian adat tidak hanya sebatas kebiasaan, tetapi juga

21
Sarjani Tarigan, Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme (Desa Desgaji,2008)hal.59
22
Lother Scheiner, Adat dan Injil, (Jakarta:BPK-GM,1996), hal.18
23
R.H.Hasan Mustafa, Adat Istiadat Sunda, (Bandung: PT.ALUMNI,2002), hal.1
24
Lother Scheiner, Adat dan Injil,Ibid,Hal.18

9
mengandung wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hokum dan
aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu system.25

Perkawinan merupakan salah satu bagian daripada kebudayaan, karena kebudayaan sangat
berhubungan erat dan tidak dapat terpisahkan dari pada kehidupan manusia. Setiap kegiatan
ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh manusia disebut sebagai kebudayaan. Maka
kebudayaan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diciptakan oleh budi manusia. Secara
umum kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yakni “Buddhayah” kata jamak dari budi yang
artinya budi atau akal. Akal yang dimiliki manusialah yang dapat membayangkan dirinya serta
peristiwa-peristiwa yang dialami oleh manusia itu sendiri, sehingga manusia dapat untuk
menentukan pilihan dalam menjalani kehidupannya di alam sekelilingnya. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan pengerjaan (pengusaha,pengelolahan) yang
diciptakan oleh manusia itu sendiri, artinya bahwa segala sesuatu tindakan-tindakan ataupun
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh manusia dapat disebut sebagai kebudayaan.26

Pada dasarnya suatu perkawinan itu harus di dahului oleh keinginan hendak hidup bersama.
Kehendak ingin bersama ini serta prosos pelaksanaanya diatur dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam peraturan-peraturan perkawinan suatu masyarakat. Karena itu perkawinan
merupakan kodrat alam adanya daya saling menarik antara pria dan wanita untuk hidup bersama,
sehingga suatu pelaksanaan perkawinan dapat dikatakan sah apabila ada keputusan kedua belah
pihak yang bersangkutan.

II.3 Konsep Perkawinan

Adapun UU nomor 1 tahun 1974 mengukapkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk
satu keluarga /rumah tangga yang berbahagia dan kekal yang sesuai dengan Ketuhanan Yang
Maha Esa, dan dalam pernikahan tersebut adanya ikatan lahir batin antara suami-isteri dalam
membentuk keluarga.27 Di Indonesia masalah perkawinan, diatur dalam kitab undang-undang
hokum perdata dan undang-undang perkawinan yakni yang terdapat pasal 26 KUHP yang

25
Anto Moeliono (Peny), Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:Balai Pustaka), hal.6
26
J.Verkuyl,Etika Kristen Kebudyaan,(Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia,1982), hal.14
27
T.A.Yuwana dan W.F. Maramis, Dinamika Perkawinan Masa Kini,(Surabaya:DIOMA,1990)Hal. 3

10
memberikan bahwa suatu perkawinan itu sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ada
dalam hokum perdata yaitu menghadirkan dua orang saksi.28

II.4 Pengertian Perkawinan Sedarah

Hubungan sedarah atau hubungan sumbang atau Inses adalah hubungan seksual yang di
lakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga( Kekerabatan) yang dekat, biasanya antara
Ayah dengan anak Perempuannya, Ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara
kandung atau tiri. Pengertian istilah ini lebih bersifat sosio Antropologis daripada biologis
( bandingkan dengan kerabat-dalam untuk pengertian biologis) meskipun sebagian penjelasanya
bersifat biologis. Hubungan sumbang di ketahui berpotensi tinggi yang menghasilkan keturunan
yang secara Biologis Lemah, baik Fisik maupun Mental (cacat), atau bahkan Letal( Mematikan).
Fenomena ini juga di kenal dalam Dunia Hewan dan Tumbuhan karena meningkatnya Kofesian
kerabat-dalam pada anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa sifat lemah dari kedua tutua pada
suatu individu(anak) terekpresikan karena genotipe-Nya berada dalam kondisi homozigot. Secara
sosial hubungan sumbang di sebabkan antara lain oleh ruangan dalam rumah yang tidak
memungkinkan orang tua, anak, atau sesama saudara pisah kamar. Hubungan sumbang antara
orang tua dan anak dapat pula terjadi karena kondisi Psikososial yang kurang sehat pada individu
yang terlibat. Beberapa budaya juga mentoleransi hubungan sumbang untuk keperluaan tertentu,
seperti politik atau kemurnian ras. Akibat hal tadi hubngan sumbang tidak di kehendaki pada
hampir semua masyarakat dunia. Semua agama besar dunia melarang hubungan sumbang. Di
dalam aturan agama Islam (fikih), misalnya di kenal dengan konsep Mahram yang mengatur
hubungan sosial di antara individu-individu yang masih sekerabat. Bagi seseorang tidak di
perkenankan menjalin hubungan percintaan atau perkawinan dengan orang tua, kakek atau
nenek, saudara kandung, saudara tiri, ( bukan saudar angkat), saudara dari orang tua, keponakan
serta cucu.

2.3.1 Penyebab Perkawinan Sedarah ( Incest)


Faktor Penyebab terjandinya perkawinan sedarah sbb:
1. Keadaaan terjepit, di mana anak perempuan menjadi figur perempuan utama yang
mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu.
2. Kesulitan seksual pada orang tua, Ayah tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya
28
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm

11
3. Ketidakmampuan Ayah untuk mencari pasangan seksual di luar Rumah karena kebutuhan
untuk mempertahankan Facade Ke stabilan dari sifat Patriatnya.
4. Ketakutan akan perpecahan keluarga yang memungkinkan beberapa anggota keluarga
untukl memilih disintegrasi struktur dari pada pecah sama sekali.
5. Sanksi masih terselubung terhadap ibu yang tidaj berpartisipasi dalam tuntutan peranan
seksual sebagai istri.
6. Pengawasan dan didikan orang tua yang kurang karena kesibukan orang bekerja mencari
nafka dapat melonggarkan pengawasan oleh orang tua bisa terjadi incest.
7. Anak remaja yang normal pada saat mereka remaja dorongan seksualnya begitu tinggi
karena pengaruh tayangan yang membangkitkan naluri birahi juga ikut berperan dalam
hal ini.29
2.3.2 Dampak Negatif dari Perkawinan Sedarah:
Berikut ini adalah beberapa risiko yang bisa terjadi dari anak hasil pernikahan sedarah:

 Menderita cacat lahir serius, seperti kelainan jantung bawaan, kaki bengkok, bibir
sumbing, hingga down syndrome. 
 Gangguan mental pada anak
 Kelainan resesif autosomal yang diakibatkan adanya penyatuan dua gen abnormal
 Cacat fisik
 Gangguan intelektualitas yang parah
 Tingkat pertumbuhan lambat
 Kanker
 Sistem kekebalan tubuh yang lemah, hingga rawan jatuh sakit
 Berisiko tinggi mewarisi penyakit yang diderita ibu atau ayahnya
 Badan kerdil
 Berat lahir rendah
 Kematian bayi30
 Masukan adapun dampak sosial yang di sebabkan oleh perkawinan sedarah itu ialah
mereka akan menjadi pribadi yang tertutup, selalu merasa bersalah atas dosa yang telah

29
https//id.scribd.com/doc/129092310 Incest-Makalah di akses tanggal 19 september 2019
30
https://id.theasianparent.com/dampak-pernikahan-sedarah di aksess tanggal 19 september 2019 Jam 18.00 Wib

12
mereka perbuat, kurang percaya diri, dan takut, hal ini akan mengakibatkania akan
merasa takut bertemu dengan orang lain, di kucilkan dan jadi omongan orang di sekitar,
atas apa yang telah mereka lakukan.

2.4 Pengertian Perkawinan Sedarah Dalam Adat Karo

Perkawinan menurut adat Suku Karo biasanya peran orang tua yang dominan, artinya bahwa
pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan berlangsung mulai dari perkenalan
sampai kepada upacara adatnya.31 Melalui hal tersebut, dalam adat istiadat Kuno Suku Karo
seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodohnya, karena perkawinan yang ideal/ yang
dianjurkan ialah perkawinan antara orang-orang yang memiliki hubungan kerabat rimpal (Cross
Cousins). Rimpal (Cross Cousins) yakni perkawinan seorang laki-laki dengan anak perempuan
saudara laki-laki ibu atau pernikahan seorang perempuan dengan anak laki-laki dari saudara
perempuan ayah.32 Denagan demikian maka seorang laki-laki dalam Suku Karo sangat pantang
kawin dengan seorang wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak perempuandari
saudara perempuan ayahnya. Namun pada sekarang ini sudah banyak pemuda yang tidak lagi
menuruti adat kuno tersebut sehingga banyak sekali terjadi/melakukan perkawinan yang tidak
sesuai dengan adat yakni perkawinan Sedarah. Sedangkan perkawinan arah ture, disini orang tua
tidak berperan dari awal, karena perkawinan yang dilangsungkan adalah kehendak keduabelah
pihak calon mempelai. Tetapi untuk mengikat pembicaraan mereka, orang tua jugalah yang akan
menyelesaikannya.

Namun semakin lama Suku Karo semakin bertambah banyak kependudukannya, sehingga
semakin bertambah pula pengetahuannya dalam hal yang baik maupun dalam hal yang tidak
baik. Melalui perkembangan kependudukan dan pengetahuan semakin pesat, maka timbullah
berbagai macam tingkah laku yang semena-mena misalnya dalam hal melanggar adat-istiadat
yang berlaku dalam Suku Karo. Salah satu fenomena pelanggaran adat yang sering terjadi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat Suku Karo yakni pelanggaran adat perkawinan yang
disebut dengan Perkawinan Sedarah.

Perkawinan sedarah merupakan suatu perkawinan yang tidak berada ditempatnya,


perkawinan yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya, perkawinan yang tidak sesuai dengan
31
Derwan Prist, Sejarah dan Kebudyaan Karo (Yogjakarta:Yrama,1985),hal.106-107
32
Koenjaranigrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia,(Jakarta:Djambatan,1970), hal.102

13
adat istiadat yang berlaku.33 Artinya bahwa Perkawinan Sedarah adalah perkawinan antara laki-
laki dan perempuan yang tidak sesuai dengan adat istiadat. Dalam perkawinan ini sebenarnya ada
sanksi adat, namun dalam kenyataan pada saat sekarang ini bahwa sanksi ini tidak lagi
dijalankan oleh ketua adat atau penghulu kuta. Karena itu perkawinan sedarah menjadi suatu
masalah yang biasa. Padahal pernikahan sedarah merupakan suatu pernikahan yang melanggar
peraturan adat-istiadat Suku Karo.34

2.5 Jenis-Jenis Perkawinan Sedarah

2.5.1. Perkawinan Semarga

Melihat model perkawinan yang dianut oleh masyarakat Karo yakni perkawinan Eksogami.
Maka perkawinan semarga merupakan perkawinan yang sedarah, dimana perkawinan sedarah
tidaklah diijinkan berdasarkan adat istiadat batak termasuk batak Karo. Hal ini dipahami, karena
satu keluarga itu berarti satu keturunan ataupun memiliki hubungan sedarah.35

2.5.2. Perkawinan Turang Impal

Turang impal adalah hubungan kerabat ibu seorang gadis bersaudara dengan ayah seorang
laki-laki. Hubungan turang impal dapat ditunjukkan melalui hubungan kerabat seorang
perempuan dengan seorang pria, dan pria itu merupakan anak laki-laki dari pada mama si
perempuan. Melihat kebudayaan karo yang berpanutan terhadap adat istiadat yang berlaku yakni
melakukan segala sesuatu dengan adat istiadat dan bahkan menjadikan rakut sitelu menjadi tiang
utama dalam hubungan kekerabatan, maka hubungan kekerabatan turang impal ini tidak
diperbolehkan/dipantangkan untuk saling mengawini. Artinya bahwa dalam adat istiadat Karo
perkawinan yang dikatakan sah adalah perkawinan yang exogami.36

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan turang impal adalah perkawinan
yang tidak sesuai dengan adat, dalam perkawinan ini telah terjadi penyimpangan nilai rakut
sitelu. Namun pada kenyataannya bahwa perkawinan ini telah banyak terjadi misalnya di adaerah
Langkat, khusunya di dusun Deleng Payung-Salapian. Menurut bapak Berani Sitepu

33
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya:Kartika Surabaya,1997), hal.507
34
Darwan Prist, Adat Karo (Bina Media Perintis:Medan,2004), hal.82
35
Ricard Sinaga, Silsilah-Silsilah Batak, (Jakarta:Dian Utama, 2000), hal. 292-293
36
Masri Singarimbun, Kinsip, Descent and Allience Among The Karo Batak, (London: University of California Press,
1975), Hal. 208

14
Hukuman/Dampak dari perkawinan sedarah turang impal tersebut kira-kira tahun 70-an adalah
terdiri dari dua dampak/hukuman yaitu hukuman adat dan hukuman kemanusiaan. Adapun
hukuman adat yang harus diterima oleh pelaku kawin sedarah turang impal ini adalah pihak
perempuan yang harus runjuk (membayar adat) atau dapat dikatakan bahwa perempuan yang
melanmar/meminang laki-laki, sedangkan dalam adat yang berlaku di Suku Karo bahwa pihak
laki-lakilah yang meminang seorang gadis atau laki-lakilah yang membayar adat. Dan hukuman
secara kemanusiaan yaitu menurut kepercayaan Suku Karo setiap orang yang melakukan kawin
sedarah tersebut akan diberi hukuman I Simbu (disiram dengan air hingga sipelanggar lemah dan
tidak berdaya), karena bagi mereka setiap orang yang melakukan pelanggaran adat akan
mengakibatkan bencana bagi kehidupan mereka.37

2.5.3. Perkawinan Turang Sipemeren

Kata “Sepemeren” diawali dengan kata “se”= satu (sama),sedangkan “Meren” berasal dari
kata bere-bere (beru/marga ibu). Jadi sepemeren adalah mereka yang bersaudara karena
mempunyai ibu yang bersaudara, dalam arti dua orang yang memiliki bere-bere (marga/clan ibu
yang sama).38 Sepemeren ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu; pertama, jika ada seorang
perempuan dengan perempuan lainnya yang memiliki clan/marga ibu yang sama disebut sebagai
senina sepemeren, artinya istilah senina sepemeren ini adalah hubungan kekerabatan yang
berjenis kelamin yang sama dan memiliki clan/marga ibu yang sama. Kedua, Turang
sepemeren,jika ada seorang perempuan dan seorang laki-laki yang memiliki clan/marga ibu
yang sama atau hubungan kerabat yang berjenis kelamin yang berbeda tetapi memiliki
clan/marga yang sama. Jadi hubungan kerabat Turang Sepemeren dalam adat Suku Karo tidak
diperbolehkan untuk saling mengawini. Jika terjadi perkawinan yang demikian maka perkawinan
tersebut di sebut perkawinan sedarah yakni perkawinan yang melanggar adat-istiadat yang
berlaku dalam Adat Perkawinan Suku Karo.39 Setiap orang yang melakukan perkawinan Turang
Sipemeren akan mendapat sangsi membayar Pengarusi kepada adat, bayaran pengarusi ini
dianggap sebagai tebusan atas pelanggaran adat yang telah dilakukan. Adapun yang membayar
Pengarusi ini adalah kedua belah pihak kerabat.

37
Wawancara dengan Bapak Berani Sitepu sebagai Penghulu Kuta Deleng Payung-Salapian pada tanggal 25 Maret
2021 Pukul 18.00 wib
38
Darwan Prinst,Sejarah Dan Kebudyaan Karo, (Yogyakarta:Yrama,1985), hal.62
39
Masri Singarimbun,Kinsip, Descent and Alliance Among The Karo Batak,Ibid, 208

15
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa,melihat keluhuran adat istiadat yang berlaku
dalam Batak Karo, tindakan perkawinan Sedarah tersebut merupakan suatu tindakan yang
mencela adat istiadat yang berlaku artinya bahwa adat istiadat yang berlaku tidak diindahkan
oleh masyarakat Karo karena ketidaktahuan masyarakat Karo bagaimana berharganya adat-
istiadat yang mereka miliki.40

2.6 Faktor-Faktor terjadinya Perkawinan Sedarah

Melihat perkawinan sedarah yang telah terjadi ditengah-tengah kehidupan Masyarakat


Suku Karo, Adapun Faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan sedarah ini yaitu sebagai
berikut;

a. Tidak memahami adat istiadat secara benar seperti tidak paham dengan ertutur, sehingga
perkawinan sedarah banyak yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat.41
b. Pergaulan Bebas

Pada umunya fenomena Pernikahan Sedarah disebabkan Ketidaktahuan tentang adat istiadat
dengan benar. Bagi Suku Karo adat istiadat rongga hidup, karena Adat sangat berharga dan
sangat dijunjung tinggi oleh Masyarakat Karo pada umumnya. Adat merupakan aturan yang
dipakai untuk menata tingkah laku masyarakat Suku Karo disepanjnang kehidupan mereka.
Adapun kegiatan-kegiatan adat Dalam Suku Karo yaitu erdemu bayu (upacara pernikahan),
mengket rumah (upacara masuk rumah baru), erpangir ku lau dan lain sebagainya. Oleh karena
itu aktivitas masyarakat Suku Karo dapat disebut sebagai adat istiadat. Dan adat istiadat juga
memiliki nilai-nilai tradisi sebagai mengajar, mendidik, dan lain sebagainya.42 Namun kenyataan
bahwa telah terjadi pelanggaran-pelanggaran adat istiadat yang berlaku dalam kebudyaan Suku
Karo. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ketidaktahuan mengenai adat istiadat merupakan
salah satu yang menyebabkan terjadinya perkawinan sedarah.

2.7 Dampak dan Akibat Perkawinan Sedarah dalam Adat Istiadat Suku Karo

Dampak perkawinan sedarah berdasarkan keyakinan/kepercayaan Suku Karo dapat


mengakibatkan bencana bagi masyarakat Seperti kemarau panjang yang akan melandan

40
Rifka Lasmaria,Skripsi Perkawinan Sumbang,(Bandar Baru: STT GMI),Hal.49
41
Sarjani Tarigan, Dinamika Orang Karo;Budaya dan Modernisme,Op.Cit,65
42
Bujur Sitepu, Ola Lupa Taneh Karo Simalem Ras Pijer Podi Karo (Medan:1993), hal.4

16
kampong dari orang yang melakukan pelanggaran tersebut. Selain itu pelanggaran tersebut akan
mencoreng nama baik kampong sipelanggar sehingga setiap orang yang melakukan pelanggaran
adat perkawinan tersebut akan mendapat sangsi/hukuman masyarakat yang dipimpin oleh
penghulu kuta (kepala kampong) seperti I Cimbu (disiram hingga lemah). Cimbu ini
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh kepala kampong seperti dibawa ke
sungai dan cimbu juga dapat dilaksanakan dib alai desa sipelanggaar. Adapun tujuan dari pada
hukuman yang telah ditetapkan tersebut supaya tidak ada yang meniru perbuatan sedarah
tersebut.43

Akibat dari perkawinan sedarah terlihat dari posisi Rakut sitelu, dimana posisi rakut sitelu
tidak lagi pada tempatnya artinya dalam melakukan kegiatan adat seseorang itu memiliki 2 (dua)
golongan dalam kekerabatan Rakut sitelu, sedangkan berdasarkan adat suku Karo yang berlaku
mengukapkan bahwa setiap orang hanya memiliki satu golongan dalam kekerabatan rakut sitelu
yakni satu golongan sebagai Kalimbubu, dan satu golongan sebagai Anak Beru, satu golongan
lagi sebagai Sembuyak/Senina, Jadi setiap orang yang telak termasuk suku Karo, maka telah
memiliki golongan dalam rakut sitelu.44

2.8 Analisa Masalah

Pada umunya fenomena Pernikahan Sedarah disebabkan Ketidaktahuan tentang adat


istiadat dengan benar. Bagi Suku Karo adat istiadat rongga hidup, karena Adat sangat berharga
dan sangat dijunjung tinggi oleh Masyarakat Karo pada umumnya. Adat merupakan aturan yang
dipakai untuk menata tingkah laku masyarakat Suku Karo disepanjnang kehidupan mereka.
Adapun kegiatan-kegiatan adat Dalam Suku Karo yaitu erdemu bayu (upacara pernikahan),
mengket rumah (upacara masuk rumah baru), erpangir ku lau dan lain sebagainya. Oleh karena
itu aktivitas masyarakat Suku Karo dapat disebut sebagai adat istiadat. Dan adat istiadat juga
memiliki nilai-nilai tradisi sebagai mengajar, mendidik, dan lain sebagainya.45 Namun kenyataan
bahwa telah terjadi pelanggaran-pelanggaran adat istiadat yang berlaku dalam kebudyaan Suku
Karo. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ketidaktahuan mengenai adat istiadat merupakan
salah satu yang menyebabkan terjadinya perkawinan sedarah.

43
Henry Guntur Ginting, Percikan Budaya Karo, Op.Cit,93
44
Leo Jossten Ginting dan Kriswanto Ginting, Tanah Karo Selayang Pandang, Op.Cit ,20-22
45
Bujur Sitepu, Ola Lupa Taneh Karo Simalem Ras Pijer Podi Karo (Medan:1993), hal.4

17
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa,melihat keluhuran adat istiadat yang berlaku
dalam Batak Karo, tindakan perkawinan Sedarah tersebut merupakan suatu tindakan yang
mencela adat istiadat yang berlaku artinya bahwa adat istiadat yang berlaku tidak diindahkan
oleh masyarakat Karo karena ketidaktahuan masyarakat Karo bagaimana berharganya adat-
istiadat yang mereka miliki.46

Akibat dari perkawinan sedarah terlihat dari posisi Rakut sitelu, dimana posisi rakut
sitelu tidak lagi pada tempatnya artinya dalam melakukan kegiatan adat seseorang itu memiliki 2
(dua) golongan dalam kekerabatan Rakut sitelu, sedangkan berdasarkan adat suku Karo yang
berlaku mengukapkan bahwa setiap orang hanya memiliki satu golongan dalam kekerabatan
rakut sitelu yakni satu golongan sebagai Kalimbubu, dan satu golongan sebagai Anak Beru, satu
golongan lagi sebagai Sembuyak/Senina, Jadi setiap orang yang telak termasuk suku Karo,
maka telah memiliki golongan dalam rakut sitelu.47

2.9 Kajian Etis Teologis II Samuel 13:1-22

Konteks perkawinan sedarah disejajarkan dengan konteks II Samuel 13:1-22 yang berbicara
mengenai pelanggaran yang telah dilakukan oleh Amnon dan Tamar. Dalam II Samuel ini
berbicara mengenai tindakan yang melanggar aturan araupun adat Israel yakni mengenai
tindakan Amnon terhadap adiknya Tamar. 48 Dalam II Samuel 13 ini menceritakan bahwa apa
penyebabnya Amnon putra Mahkota tidak dapat mengantikan posisi Daud, karena Amnon (Putra
Mahkota) ini telah melakukan kesalahan yang besar melakukan pelanggaran terhadap adat/aturan
Israel yang berlaku. Adapun tidakan Amnon tersebut karena Dorongan Hawa Nafsu yang
membutakannya.

Tindakan Amnon dapat dikatakan bahwa tindakan yang mencerminkan tindakan/perbuatan


Daud dan Bersyeba. Namun Daud memiliki kemampuan dari pada Tuhan untuk berubah/bertobat
dari kesalahannya. Pertobatan Daud dapat dilihat dari ketika Allah memakainya untuk
memimpin bangsa Israel, akan tetapi tindakan sedarah telah diperbuat berakibat juga terhadap

46
Rifka Lasmaria,Skripsi Perkawinan Sumbang,(Bandar Baru: STT GMI),Hal.49
47
Leo Jossten Ginting dan Kriswanto Ginting, Tanah Karo Selayang Pandang, Op.Cit ,20-22
48
Antony F.Campbell, The Forms of the Old Testment Literature Volume VIII,(Yogjakarta : I Gnatius College, 2005),
hal.129-130

18
keturannya.49 Dampak tindakan sedarah Daud terhadap keturunannya yaitu terjadi pertumpahan
darah antara keturunanyaa. Pertumpahan darah tersebut ketika Absalom membunuh Amnon.50

III. Kesimpulan

Dari permasalahan diatas kami kelompok menyimpulkan bahwa, tindakan perkawinan


sedarah akan berakibat tidak baik dalam kehidupan kita dan terhadap keturunan kita, artinya
bahwa tindakan perkawinan sedarah dapat berdampak terhadap diri sendiri dan juga terhadap
keluarga. Perkawinan sedarah merupakan suatu pengalaman pribadi yang melanggar ketentuan-
ketentuan, hokum-hukum yang telah di tetapkan. Perkawinan sedarah dapat juga disebut
perkawinan yang melanggar adat istiadat Karo. Melalui pengalaman pribadi manusia tersebut
dapat terlihat bahwa adat Istiadat Karo kurang diperhatikan dan tidak lagi di lestarikan. Beberapa
poin penting dapat kita lihat dan perhatikan bersama yaitu:

1. Bahwa perkawinan sedarah itu tidak baik dilakukan di dalam masyarakat, karena masih
ada nilai-nilai budaya yang harus dijunjung tinggi oleh kaum muda saat ini.
2. Kebudyaan harus dilestarikan dengan baik, permasalahan diatas sebagi contoh kepada
kita bahwa melakukan perkawinan sedarah itu tindakan yang tidak bermoral, bertentang
dengan adat Istiadat, dan hokum-hukum dalam budaya.
3. Dampak dan akibat dari perkawinan sedarah adalah kenyataan harus kita hadapi ketika
kita telah melakukan pelanggaran tersebut. Maka sanksi haruslah kita terima tanpa
bersungut-sungut.
4. Etika budaya pada dasarnya menyoroti tindakan, pola pikir dan sikap kita dalam
lingkungan masyarakat majemuk, maka perkawinan sedarah adalah perkawinan tidak
berada pada tempatnya, maka disini dibutuhkan kesadaran kita sebagai manusia yang
disebut bermoral harus mengerti system kekerabatan didalam budaya kita.

Daftar Pustaka

Adeney, Bernard T, 2000. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kanisius.

49
H.Rothlisberger, Tafsiran Alkitab II Samuel, (Jakarta: BPK, 1970), hal.93
50
Dalam teks ini Absalom saudara laki-laki Tamar, yakni saudara kandung dari pada Tamar.

19
Bukit, M. 1964. Sejarah Kerajaan dan Adat Istiadat Karo hasil kongres 1965. Kabanjahe:Toko
Bukit.

Campbell, Antony F, 2005. The Forms of the Old Testment Literature Volume VIII. Yogjakarta :
I Gnatius College.

Eka Darmaputera, Eka , 2004. Konteks Berteologi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

H.Rothlisberger, H, 1970. Tafsiran Alkitab II Samuel. Jakarta: BPK

J.Verkuyl, J, 1982. Etika Kristen Kebudyaan. Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia.

Kamisa, 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya:Kartika Surabaya.

Kinship, Masri Singarimbun. 1975. Descent And Alince Amang The Karo Batak. London:
Calipornia Press

Kriswanto Ginting, Leo Jossten Ginting, Tanah Karo Selayang Pandang.

Koentjaranigrat, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

Koenjaranigrat, 1970. manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta:Djambatan.

Koentjaraningrat, 2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

Lasmaria, Rifka, Skripsi Perkawinan Sumbang, Bandar Baru: STT GMI.

Mufid, Muhamad, 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.

Mustafa, R.H.Hasan, 2002. Adat Istiadat Sunda. Bandung: PT.ALUMNI.

Moeliono (Peny), Anto, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.

Niebuhr, H. Richard 1956. cris and culture. New York : Harper Torchbook

Prist, Derwan, 1985. Sejarah dan Kebudyaan Karo. Yogjakarta:Yrama.

Prist, Darwan, 2004. Adat Karo. Bina Media Perintis:Medan.

Scheiner, Lother, 1996. Adat dan Injil. Jakarta:BPK-GM.

Sinaga, Ricard, 2000. Silsilah-Silsilah Batak. Jakarta:Dian Utama.

Sitepu, Bujur, 1993. Ola Lupa Taneh Karo Simalem Ras Pijer Podi Karo. Medan

Suseno, Franz Magnis, 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
KANISIUS.

20
Tarigan, Sarjani, 2008. Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme. Desa Desgaji.

W.F.Maramis, T.A Yuwana, 1990. Dinamika Perkawinan Masa Kini. Surabaya: DIOMA.

Sumber Lain:

https://docs.google.com/presentation defenisi etika budaya. Diakses pada tanggal 02 Oktober


2020, pukul 18.14 WIB

Penjelasan Sahat M. Lumbantobing, pada mata kuliah Teologi Sosial, pertemuan ke-4

http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm

https//id.scribd.com/doc/129092310 Incest-Makalah di akses tanggal 19 september 2019

https://id.theasianparent.com/dampak-pernikahan-sedarah di aksess tanggal 19 september 2019


Jam 18.00 Wib

Wawancara dengan Bapak Berani Sitepu sebagai Penghulu Kuta Deleng Payung-Salapian pada
tanggal 25 Maret 2021 Pukul 18.00 wib

Wawancara dengan bapak Sentosa Sitepu pada tanggal 23 Maret 2021 pukul 20.00 wib

Wawancara dengan bapak Iman Sitepu pelaku kawin sedarah pada tanggal 22 April 2021 jam
15.00 wib di dusun deleng Payung Kecamatan Slapian Kabupaten Langkat

21

Anda mungkin juga menyukai