Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebuah peradaban tidak akan terlepas dari masa lampau yang mengandung
banyak sejarah serta peninggalan-peninggalan berharga yang mengidentifikasikan tinggi
rendahnya sebuah peradaban. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat berupa prasastiprasasti, naskah-naskah kuno, maupun peninggalan-peninggalan lain yang tidak dapat
diabaikan begitu saja. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan khazanah
budaya peningagalan masa lampau. Salah satu diantaranya adalah peninggalan dalam
bentuk naskah-naskah lama dengan tulisan tangan. Naskah peniggalan masa lampau
tersebut dapat dijumpai hampir di setiap daerah dalam bentuk jumlah yang tidak sedikit
dan jenisnya sangat bervarisai. Keselurahan naskah-naskah lama yang terkenal dari
daerah di wilayah Nusantara itu dikenal dengan sebutan naskah kuno nusantara. Namun,
naskah-naskah kuno milik Indonesia banyak diincar oleh asing.
Naskah kuno merupakan hasil kebudayaan suatu bangsa yang tak ternilai
harganya. Naskah kuno mengandung berbagai informasi penting yang harus diungkap
dan disampaikan kepada masyarakat. Tetapi, naskah-naskah kuno yang ada di Nusantara
biasanya ditulis dalam aksara non-Latin dan bahasa daerah. Hal ini menjadi kesulitan
tersendiri dalam memahami naskah. Di dalam naskah terdapat nilai-nilai luhur yang
ingin disampaikan oleh nenek moyang kita secara turun temurun, dari generasi ke
generasi, hingga pada akhirnya nilai tersebut akan tetap abadi.
Salah satu naskah Nusantara yang banyak ditemui terdapat di pulau Bali. Pulau
Bali merupakan pulau yang terkenal sebagai gudang sastra Jawa Kuna karena sastra
Jawa yang ditulis di berbagai kerajaan beragama Hindu-Budha di Jawa Tengah dan
Jawa Timur antara abad ke-10 dan ke-15, dan yang hampir punah setelah kedatangan
Islam, masih berlanjut di Bali, bahkan hidup sampai kini. Sekitar tahun 1940, C.
Hooykaas yang bekerja selama dua setengah tahun di yayasan Kirtya Liefrinck-van der
Tuuk, Singaraja, sempat menyaksikan bahwa pakar Barat yang mengunjungi
perpustakaan itu sangat jarang, sedangkan ribuan orang Bali datang untuk membaca
naskah. Kini aktivitas membaca, menyalin, dan memelihara naskah masih pesat
sehingga pulau Bali merupakan juga satu-satunya tempat yang naskahnya lebih banyak

terdapat di tempat asalnya daripada dalam perpustakaan di luar. Oleh karena itu, di Bali
terdapat teks dalam jumlah yang banyak, baik karangan orang Bali maupun yang
berasal dari Jawa, masih terdapat dalam lontar-lontar Bali dan sekarang tersimpan
dalam berbagai koleksi, perorangan dan umum terutama di pulau Bali sendiri.
Seperti yang telah disampaikan di atas, naskah kuno di Bali hingga kini dapat
ditemukan di museum tertua Bali yaitu Museum Gedong Kirtya yang terletak di Kota
Singaraja, Kabupaten Buleleng. Museum ini sudah diakui secara internasional sebagai
salah satu museum naskah kuno. Museum ini mengumpulkan, menduplikasi, dan
menyimpan banyak naskah-naskah dalam berbagai bentuk seperti tulisan pada
lempengan logam, book dan lontar. Isi dari naskah-naskah tersebut bervariasi dari yang
paling umum dan biasa sampai yang paling sakral. Peraturan dan perundangan desa adat
juga dapat ditemukan diantara naskah-naskah yang beberapa diantaranya sudah disusun
sejak berabad-abad yang lalu. Kebanyakan naskah disimpan di Museum Gedong Kirtya
berbentuk lontar. Salah satunya lontar Tutur Parakriya.
Lontar Tutur Parakriya ini menguraikan tentang terjadinya alam semesta, Panca
Aksara, Tri Aksara, Eka Aksara, Kamoksaan, Catur Pramitha, Tri Guna, mengenai
Utpti, Sthiti, Pralina, yaitu bahwa semua yang ada di alam Nirwana. Nirwana
dilukiskan suatu alam yang tidak jauh, tidak dekat, tidak di atas, tidak di bawah, tidak
diluar dan juga tidak di dalam. Selain itu juga menjelaskan tentang Sapta Loka, Sapta
Patala, Sapta Dwipa, Panca Bayu dan dewa-dewa yang ada dalam tubuh manusia.
Masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu dikenal sebagai masyarakat
yang taat dan patuh melaksanakan ajaran agamanya, segala aktivitas dalam berbagai
corak dan ragam selalu dilandasi oleh ajaran Agama Hindu, sehingga dikenal sebagai
masyarakat yang religius. Hal ini terlihat jelas dalam segala aktivitas atau kegiatan dan
usahanya untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan rokhani serta mencapai
kebahagiaan yang abadi. Tujuan hidup umat Hindu adalah mendapatkan kebahagiaan
lahir dan bathin atau disebut Moksartham Jagadhita (Punyatmadja, 1984: 83).
Kebahagiaan bathin yang terdalam adalah bersatunya tman dengan Brahman, yang
disebut moksa artinya kebebasan atau kemerdekaan. Merdeka atau terlepas dari ikatan
karma, kelahiran, kematian dan belenggu maya atau penderitaan duniawi. Untuk
mencapai tujuan tersebut manusia tidak lepas dari dua hal yang saling bertentangan,
yaitu rwa bhineda: baik-buruk, siang-malam, benar-salah, selalu terjadi tiada kuasa
manusia melawannya.

Demikian pula halnya dalam setiap perbuatan, selalu ada perbuatan baik dan
perbuatan buruk, yang dapat membedakan perbuatan ini hanya manusia, sebab manusia
adalah makhluk tertinggi ciptaan Tuhan. Tuhan memberikan pedoman hidup kepada
umat-Nya melalui ajaran agama, agar manusia dapat membedakan perbuatan yang baik
dan perbuatan yang buruk. Agama Hindu adalah agama yang tertua di dunia hingga kini
masih berkembang serta mempunyai pengaruh yang amat luas pada seluruh aspek
kehidupan manusia. Ini disebabkan karena ajaran Agama Hindu yang tertuang dalam
kitab sucinya mempunyai keluwesan dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan
zaman.
Demikianlah lontar yang merupakan hasil tulisan tangan yang dibuat oleh para
nenek moyang terdahulu sarat akan makna hidup. Terutama lontar Tutur Parakriya yang
mempunyai peranan penting dalam kehidupan beragama, agar dapat menuntun manusia
memaknai hidup dan mengetahui ajaran-ajaran yang harus dilakukan, sehingga tahu hal
yang baik dan buruk yang harus dilakukan dan yang tidak harus dilakukan untuk dapat
mencapai tujuan hidup yang kekal yang dipercayai umat Hindu yaitu moksa. Oleh
karena itu perlu untuk mengkaji isi dari lontar Tutur Parakriya sehingga patut untuk
tetap dilestarikan dengan jalan menggali isi dari lontar tersebut untuk segera
disampaikan kepada umat Hindu yang sesuai dengan perkembangan zaman dewasa ini.
Selanjutnya sebagai generasi penerus harus mampu mempertahankan apa yang telah
diwariskan oleh nenek moyang, agar tidak mengalami kepunahan dan agar ajeg
sepanjang jaman.
1.2 Fokus Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, adapun yang ingin
peneliti fokuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Kategori kesalahan tulis apa saja yang terdapat dalam teks lontar Tutur
Parakriya?
2. Bagaimana isi kandungan teks lontar Tutur Parakriya?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan kesalahan tulis yang terdapat dalam teks lontar Tutur
Parakriya.
2. Menjabarkan kandungan isi teks lontar Tutur Parakriya.
1.4 Manfat Penelitan

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Sebagai bentuk inventarisasi kebudayaan.
2. Menjadi bahan studi dokumentasi mengenai nilai-nilai budaya lama, sejarah dan
keagamaan khususnya agama Hindu.
3. Sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
4. Sebagai referensi dan sumbangsih pemikiran untuk Museum Gedong Kirtya
yang nantinya tulisan ini dapat dibaca oleh khalayak pengunjung museum.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Filologi
Secara etimologi, filologi (=philology) berasal dari bahasa Yunani, philos yang
artinya cinta dan logos yang artinya kata. Jadi filologi berarti cinta kata atau senang
bertutur. Pengertian ini kemudia berkembang menjadi senang belajar, senang ilmu,
senang kesastraan, dan senang kebudayaan. Pengertian ini sesuai dengan isi naskah
4

yang ada, yakni mengandung pengetahuan. Pengertian ini sekaligus menggambarkan


adanya perkembangan pengetahuan manusia dari kesastraan menuju kebudayaan, dan
kemudian menuju berbagai pengetahuan lain. Artinya, dari isi naskah tersebut manusia
banyak belajar berbagai ilmu kesastraan yang merupakan bagian dari kebudayaan.
Dengan kata lain, dari dalam naskah yang berupa teks kesastraan ataupun kebudayaan,
tercermin bermacam-macam pengetahuan manusia dari zaman ke zaman sampai
lahirnya kebudayaan zaman modern (Subandiyah, 2015: 7-8).
Beliau juga menambahkan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Teori dan
Metode Penelitian Filologi mengenai pengertian filologi sebagai istilah mengandung
beberapa pengertian, sebagai berikut.
Filologi sebagai istilah mengandung beberapa pengertian sebagaimana dijelaskan di
bawah ini;
1. Pada zaman dahulu Aleksandria telah melakukan salinan terhadap teks-teks lama
bangsa Yunani. Karena banyaknya naskah salinan maka dimungkinkan
terjadinya bacaan yang berbeda (varian) bahkan dikhawatirkan adanya
kesalahan-kesalahan teksnya (korup). Mengingat beragamnya isi teks klasik
yang diteliti maka filologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang segala
sesuatu yang pernah diketahui orang. Dengan kata lain, segala aspek kehidupan
masa lampau dapat diketahui secara eksplisit melalui naskah shingga filologi
dianggap sebagai gerbang penyikap khasanah masa lalu bahkan disebut juga
sebagai pameran pengetahuan (Petalage de savoir).
2. Filologi diartikan sebagai kajian sastra secara ilmiah. Hal ini terjadi ketika teksteks sastra yang dikaji berupa karya sastra terutama karya sastra yang bermutu
tinggi, seperti sajak-sajak Humeros..
3. Filologi diartikan sebagai ilmu bahasa (linguistik). Pengertian inidipicu karena
pentingnya peranan bahasa dalam pengkajian teks sehingga kajian utama teks
adalah bahasa (bahasa yag beraspek masa lalu).
4. Pengertian filologi yang terakhir, yakni filologi modern yang memandang
perbedaan yang ada dalam setiap teks sebagai suatu ciptaan. Penelitian ini
menitikberatkan kajian pada perbedaan dalam setiap teks merupakan ciptaan
yang kreatif sehingga harus dihargai sebagai karya yang berdiri sendiri.

Jadi dapat disimpulkan pengertian filologi adalah suatu ilmu objek penelitiannya berupa
naskah-naskah dan teks-teks klasik (kuna).
Selain pengertian, adapun tujuan dari penelitian filologi. Seperti kita ketahui,
setiap kegiatan yang terstruktur dan terarah haruslah memiliki tujuan yang jelas.
Filologi sebagai ilmu yang yang berkarakteristis praktis, yaitu melakukan kerja
penelitian terhadap teks memiliki tujuan yang bermacam-macam sesuai dengan tuntutan
pragmatisnya. Meskipun demikian, filologi juga memiliki tujuan yang secara inheren
merupakan tuntutan dari dalam ilmu itu sendiri. Tujuan tersebut berupa tujuan yang
bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus sebagai berikut (Subandiyah, 2015: 14).
a.

Tujuan Umum Filologi


1. Memahami kebudayaan suatu bangsa melalui hasil (sastranya).
2. Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya (misalnya
pendidikan, legtimasi, dan sebagainya).
3. Mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternative pengembangan

kebudayaan.
b. Tujuan Khusus Filologi
1.

Menyunting teks yang dianggap paling dekat dengan aslinya.

2.

Mengungkapkan sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya.

3.

Mengungkapkan resepsi pembaca pada kurun waktu tertentu.

2.2 Naskah
Naskah dalam bahasa latin disebut codex, yaitu bahan tulisan tangan. Dalam
bahasa Inggris disebut manuscript dan dalam bahasa Belanda disebut handschrift
(bahan tulisan tangan). Naskah adalah bentuk fisik/bentuk konkret yang dapat dilihat
dan dipegang yang di dalamnya berisi berita budaya masa lalu dari nenek moyang kita.
Bentuk fisik yang disebut naskah berupa lontar, daluwang atau dluwang, kulit kayu,
rotan dan sebagainya. Di Indonesia, bentuk fisik naskah atau bahan naskah untuk karya
sastra Jawa Kuna disebut karas, semacam papan atau batu tulis yang diduga oleh
Robson hanya dipakai untuk sementara (Subandiyah, 2015: 85-86). Jadi, dapat
disimpulkan bahwa yang menjadi objek utama kajian filologi adalah naskah yang ditulis
tangan dan bukan cetakan.

2.2.1 Lontar
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Lontar: 1. pohon palem yang
daunnya dapat ditulisi; 2. daun pohon lontar yang digunakan orang untuk menulis cerita
dan sebagainya; 3. naskah kuno yang tertulis pada daun lontar (Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan, 2001: 45). Sedangkan dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, lontar
adalah daun palem yang disiapkan untuk ditulis (Zoetmulder, 1995: 608). Kamus
Bahasa Bali, lontar berasal dari kata rol-tal artinya don-ental (Simpen, 1985: 140).
Sedangkan dalam Kalangwan, kata lontar mengalami metathesis, adalah rontal, yaitu
ron daun, tal pohon. Dengan demikian istilah palma lontar berarti palm daun tal
(palma), tetapi kata Jawa Kuno tersebut tidak dipakai lagi (mungkin berasal dari bahasa
Sansekerta tala).
Pada zaman dahulu di Bali belum ada kertas, oleh karena itu, daun rontal inilah
yang digunakan sebagai alat tulis menulis. Umumnya rontal biasanya digunakan dalam
menulis kekawin, parwa, tutur, kidung, geguritan dan sebagainya. Alat yang digunakan
untuk menulis di atas lontar disebut pengutik atau pengrupak, yang dibuat dari besi baja,
Pada bagiannya yang runcing harus berbentuk segitiga agar dapat membuat tebal
tipisnya tulisan (goresan). Pengrupak lebarnya kurang lebih 1,5 cm dan panjangnya
sampai 15 cm.
Sehubungan dengan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan lontar
adalah naskah kuno dari daun lontar yang bertuliskan huruf Bali yang memuat ajaran
agama.
2.3 Tutur
Kamus Jawa Kuno-Indonesia menyebutkan bahwa kata tutur itu adalah: (daya)
ingatan, kesadaran, lubuk jiwa makhluk yang paling dalam budi yang dalam (tempat
persatuan dengan Yang Mutlak), tradisi suci, teks yang berisi doktrin religi, doktrin
religi (Zoetmulder, 1995: 1307). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat
disimpulkan tutur adalah pelajaran dogmatis yang diteruskan kepada murid atau
seseorang yang memenuhi syarat. Bila dipandang demikian maka sastra yang
dinamakan tutur perlu dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di Bali tutur tersebut dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu sekala dan
niskala. Tutur yang bersifat sekala yaitu menyangkut petuah dan nasehat yang wajar

dilaksanakan, agar manusia mendapatkan kesuksesan dalam menjalani kehidupan.


Sedangkan tutur yang bersifat niskala adalah nasehat yang menyangkut hal-hal yang
tidak nyata, seperti: ketaatan dalam bersembahyang, tentang penolak gaib dan lain
sebagainya.
2.4 Lontar Tutur Parakriya
2.4.1 Deskripsi Lontar Tutur Parakriya
Lontar Tutur Parakriya adalah karya sastra klasik turunan lontar asli Ida Pedanda
Keniten dari Tampaksiring (Gianyar), dan disalin ke dalam lontar sesuai aslinya oleh I
Ketut Kaler dari Banjar Paketan, Singaraja serta dikoleksi oleh Museum Gedong Kirtya,
Singaraja pada tanggal 14 Mei 1929 dengan jumlah lampiran terdiri dari dua puluh
lembar, panjang 50 cm dan lebar 3,5 cm dengan No. III B. 601/1, dimana III B
merupakan kode tempat, 601 adalah jenis lontar dan 1 adalah nomor keropak.
Keadaan lontar ini terpelihara dengan baik karena di Museum Gedong Kirtya
Singaraja ada pegawai khusus yang dipekerjakan untuk merawat lontar agar warisan
budaya tidak punah dimakan zaman. Tempat penyimpanan lontar disimpan pada rak
kaca agar ada sinar matahari sehingga lontar tidak lembab dan tidak cepat rusak. Lontar
Tutur Parakriya terdiri dua bahasa yaitu Sloka Sansekerta yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Kawi (Jawa Kuno). Lontar Tutur Parakriya kemudian ditranskrip ke dalam
naskah atau teks yang berjumlah tiga belas halaman oleh I Gde Sudira pada tanggal 25
November 1941 dan diperiksa kembali oleh I Gusti Bagus Jlantik. Keadaan naskah
inilah yang tidak begitu baik yaitu kertas sudah mulai agak rusak dan hanya diketik
memakai kertas yang tipis. Selain itu, hal ini juga dimungkinkan karena seringnya
naskah tersebut dipinjam untuk disalin atau difotocopi.
Lontar Tutur Parakriya ditulis mulai angka 1b sampai 20a. Dalam 1a biasanya
tidak ditulis karena ditinjau dari segi filosofis mempunyai makna bahwa manusia
berangkat dari kekosongan, kemudian isi dan akhirnya kembali ke kosong, sehingga
pada akhir lontar selalu diberi lembaran kosong. Lontar Tutur Parakriya dimulai dengan
kalimat Ong Nama Siwaya, Parakriya sastrakayajnyah, nistayoga nilasini, winayo
mohayopresni, saputra Siwa mangrawit dan diakhiri dengan kalimat Sumahur Dukuh
Wisesa: Wenten kuda ngerap neki ring panedengan mangko, Ana kayu atita punika,
gumuling ta sira ring pritiwi, dadi maletik ikang kaywan, ikang kayu neki aji Dukuh iku

maletik ta mangko ikang kayu matemahan magerit dadi geni. Iti arsa timbangan. Ong
astutiya namah swaha.
2.4.2 Gambaran Ringkas Mengenai Isi Lontar Tutur Parakriya
Secara ringkas lontar Tutur Parakriya menguraikan tentang percakapan antara
Bhatara Iswara kepada Sang Hyang Kumara. Diawali permintaan dari Bhatari Uma
agar Sang Hyang Kumara berkenan menanyakan kepada Bhatara Iswara tentang ajaran
yang mengantarkan seseorang menuju moksa. Selanjutnya Sang Hyang Kumara
bertanya mengenai asal mula kejadian yang dinyatakan bahwa segala sesuatu yang ada
berasal dari Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang diistilahkan dengan
niskala. Dari keadaan niskala kemudian timbul sesuatu yang berwujud namun tanpa
ukuran sehingga disebut matra. Dari matra tersebut kemudian menyusul berturut-turut
nadha, windu dan ardhacandra yang kemudian menimbulkan pusat keadaan yang
disebut dengan wiswa. Selanjutnya dari wiswa muncul aksara yang meliputi konsepkonsep Triaksara, Pancabrahma dan Pancaksara. Aksara bersangkutan meliputi suara
dan wyanjana yang merupakan perwujudan dari para dewata. Dengan perwujudan
dewata seperti itu, maka kepada para pendeta dianjurkan agar dalam pemujaan
senantiasa dilengkapi dengan sarana kesucian yang terdiri dari bunga, biji, beras, dupa,
lampu dan air cendana. Penggunaan perlengkapan tersebut sejalan dengan pengertian
tentang kesucian wujud Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa yang
dinyatakan dalam berbagai media diantaranya adalah dalam ongkara. Perwujudan
Tuhan dalam hubungan lain terdapat dalam hubungan antara dewa dengan arah mata
angin.
Dikatakan bahwa sesungguhnya jalan menuju kebebasan abadi yang disebut
dengan marganing anemu kamoksan adalah pemutaran aksara yang utama sebagai
sasaran yoga dalam wujud Ongkara. Di samping itu disebutkan pula mantra-mantra
seperti mantra Pancawara, Sadwara, Saptawara. Hidup ini tidak kekal, lahir dan
tumbuh di tanah yang kembali kepada air, kemudian kepada sinar, selanjutnya kepada
angin, yang akhirnya kepada angkasa. Pernyataan tersebut dilandasi dengan pengertian
tentang adanya persatuan antara tubuh dengan dewa sebagai lambang persatuan kosmos,
antara lain: Saptaloka, Sapta Patala, Sapta Dwipa (bhumi), Saptaparwata, Sapta Tirtha.

Naskah Tutur Parakriya ditutup dengan sebuah mantra pamandiswara yang


mana Bhatara Siwa adalah sarinya dunia semua, sebagai penguasa dunia dan sebuah
percakapan tentang kewajiban seorang pendeta yang sejati, yang senantiasa
mengusahakan kesadaran diri.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Dalam penelitian yang berjudul Ajaran-ajaran Agama dalam Lontar Tutur
Parakriya ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu berusaha mengungkapkan
gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks melalui pengumpulan data dari
latar alami dengan pemanfaatan diri peneliti sebagai kunci (Redana. 2006: 249). Selain
itu, metode penelitian ini memilih metode dengan edisi naskah tunggal. Pemilihan edisi
naskah tunggal dikarenakan peneliti hanya menggunakan satu naskah dalam penelitian
ini yaitu lontar Tutur Parakriya.

10

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dalam penelitian ini pengkajian terhadap


lontar Tutur Parakriya sebagai sasaran (obyek) penelitian dilakukan dengan
menganalisis ajaran-ajaran agama Hindu yang terkandung di dalam naskah lontar secara
mendalam sehingga diperoleh hasil yang memadai.
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah berupa teks naskah lontar Tutur Parakriya dengan
jumlah lampiran terdiri dari dua puluh lembar, panjang 50 cm dan lebar 3,5 cm dengan
No. III B. 601/1. Keadaan lontar ini terpelihara dengan baik di Museum Gedong Kirtya
yang terletak di Kota Singaraja. Lontar Tutur Parakriya terdiri dua bahasa yaitu Sloka
Sansekerta yang diterjemahkan ke dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno). Lontar Tutur
Parakriya ditulis mulai angka 1b sampai 20a.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Penggunaan metode pengumpulan data adalah usaha pertama yang dilakukan
oleh seorang peneliti untuk mengumpulkan data-data yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang akan dibahas. Untuk mendukung jalannya penelitian, ada beberapa
hal yang dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan instrumen penelitian yang diartikan
sebagai alat bantu merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam benda. Menurut
Iqbal (2002: 83), pengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal
atau keterangan-keterangan atau karakteristik-karakteristik sebagian atau seluruh
elemen populasi yang akan menunjang atau mendukung penelitian. Senada dengan
pendapat Iqbal, Subandiyah (2015: 129) menjelaskan bahwa langkah yang dilakukan
dalam penelitian filologi adalah mengumpulkan dan mencatat data tentang naskah yang
akan diteliti. Kegiatan pengumpulan dan pencatatan ini disebut juga dengan
inventarisasi naskah dan hasilnya berupa daftar naskah.
Pengumpulan dan pencatatan data ini diantara tiga metode, digunakan satu
metode yaitu metode studi pustaka. Subandiyah, (2015: 130) menyatakan bahwa studi
pustaka adalah melaksanakan penelusuran atau pelacakan naskah tentang teks tertentu
berdasarkan berbagai sumber yang tersedia. Sumber data penelitian yang utama dalam
hal ini adalah katalogus naskah yang terdapat di berbagai perpustakaan, universitas,
dan museum. Dalam langkah pengumpulan dan pencatatan ini peneliti mencatat naskah

11

dan teks tertentu yang diteliti. Naskah dan teks yang dicatat adalah yang berjudul sama
atau berisi cerita yang sama, yang ada dalam katalogus yang dimiliki oleh perpustakaan
dan museum terutama di pusat-pusat studi Indonesia di seluruh dunia termasuk yang
berasal dari sumber berupa cetakan.
Jadi metode studi pustaka dilakukan dengan membaca dan mempelajari hasilhasil yang telah dipublikasikan menjadi buku-buku dengan cara membuat catatan,
menyusun dan memformulasikan dengan masalah dalam penelitian ini. Metode ini
peneliti gunakan untuk membantu mendapatkan informasi tentang hal-hal yang
berhubungan dengan Ajaran-ajaran agama dalam Lontar Tutur Parakriya.
3.4 Teknik Analisis Data
Data yang dikumpulkan dari penelitian harus diolah sehingga diperoleh
keterangan yang berguna. Selanjutnya data yang diolah tersebut, dianalisis dan
disajikan. Dengan demikian dapat digunakan oleh siapa saja terutama dalam mengambil
keputusan dan simpulan. Apabila data sudah dikumpulkan dan diolah kemudian dibuat
analisis-analisis, maka dapat ditarik simpulan yang berguna bagi peneliti sebagai dasar
untuk membuat keputusan.
Sedangkan proses analisis data yang berguna untuk menarik kesimpulan secara
sederhana dapat dijelaskan, bahwa data yang telah terkumpul, dikomparasikan dengan
konsep atau teori yang ada, kemudian disajikan di dalam bentuk karya ilmiah (Ndraha,
1987: 131). Dengan demikian dapat diketahui, bahwa peneliti mengkaji gejala-gejala
umum dari variabel penelitian, untuk diteliti kemudian ditarik kesimpulan yang
disajikan dalam karya ilmiah.
Sedangkan dalam melakukan analisis data, peneliti menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Deskriptif artinya suatu metode pengolahan data secara sistematis
(Djarwanto, 1984: 22). Sedangkan kualitatif adalah data yang tidak berupa angka.
Dengan demikian metode analisis data deskriptif kualitatif adalah suatu cara pengolahan
data yang bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian
berdasarkan data variabel yang diperoleh dari sekelompok subjek yang diteliti dan tidak
dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.
Metode pengolahan data analisis deskriptif ini, dilakukan dengan cara
menguraikan, menggambarkan atau melukiskan keadaan penelitian melalui keterangan-

12

keterangan yang didapat dari naskah dan informan yaitu pemandu museum. Setelah data
keseluruhan diolah, maka kegiatan selanjutnya adalah menganalisis data lebih lanjut dan
hasil analisis tersebut disusun berdasarkan sistematika secara terperinci, sehingga pada
akhirnya diperoleh kesimpulan yang bersifat umum.
Setelah mencari dan mengumpulkan data, maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis data atau mengolah data yang telah terkumpul itu. Metode pengolahan
data atau analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif
adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan cara menyusun secara
sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum. Metode ini dilakukan dengan
cara mengolah data yang telah terkumpul, menguraikan secara sistematis sesuai dengan
gambaran data yang diperoleh dalam penelitian terhadap naskah, sehingga maksud dan
artinya dapat dipahami dengan jelas. Sehubungan dengan penelitian ini, penulis
berusaha untuk mencari informasi yang sebanyak-banyaknya dan menjelaskan
mengenai Ajaran-ajaran agama dalam lontar Tutur Parakriya.
3.5 Nilai-nilai Budaya
Melalui penelitian filologi dapat diketahui isi yang terkandung dalam teks, dari
berbagai varian teks yang merupakan cerminan kebudayaan masyarakat Nusantara pada
masa lampau. Hal ini akan menjawab tujuan dari penelitian ini, seperti yang telah
dijelaskan pada rumusan masalah kedua sebelumnya, peneliti mendeskripsikan
kandungan isi yang terdapat dalam naskah lontar Tutur Parakriya. Dari penelitian ini
akan dijabarkan apa saja nilai-nilai budaya yang tercermin dalam isi lontar tersebut yang
dapat diambil dan digunakan dalam hidup bermasyarakat khususnya umat Hindu di Bali
tentang ajaran-ajaran agamanya. Dengan demikian, dari suntingan teks yang dihasilkan
oleh ahli filologi dapat diketahui bagaimana adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, pola
pikir dan nilai-nilai tentang berbagai aspek kehidupan yang berlaku pada masa itu.
3.6 Langkah-langkah Penelitian
Dari pemaparan di atas, berikut akan dijelaskan secara rinci mengenai langkahlangkah penelitian yang digunakan sebagai acuan dalam meneliti naskah lontar Tutur
Parakriya. Penelitian ini menggunaka metode edisi naskah tunggal dikarenakan peneliti
meneliti satu naskah yaitu naskah lontar Tutur Parakriya. Dalam bukunya, Subandiyah

13

(2015: 127) menyatakan bahwa jika melakukan penelitian naskah tunggal, maka
diharapkan dapat melaksanakan tahap-tahap penelitian sebagai berikut.
1. Menentukan naskah yang akan diteliti (objek/judul).
Langkah ini adalah paling awal dalam penelitian filologi yaitu menentukan
naskah sebagai objek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, penelti telah menentukan
naskah yang akan diteliti yaitu naskah lontar Tutur Parakriya yang peneliti dapatkan
saat mengunjungi museum Gedong Kirtya yang terletak di Kota Singaraja, BulelengBali.
2. Mengumpulkan dan mencatat data tentang naskah tersebut.
Langkah kedua yang dilakukan dalam penelitian filologi adalah mengumpulkan
dan mencatat data tentang naskah yang akan diteliti. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, peneliti mendapatkan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan Ajaranajaran agama dalam lontar Tutur Parakriya.
3. Membaca teks secara intensif.
Setelah data tentang naskah lontar Tutur Parakriya telah terkumpul dari
berbagai sumber, peneliti mempunyai gambaran yang jelas tentang keberadaan dan
kondisi naskah-naskah yang hendak ditelitinya. Membaca secara intensif teks-teks yang
ada di dalam naskah-naskah yang ditemukan. Langkah ini dapat membantu peneliti
menentukan genre teks (misalnya prosa atau puisi) dan bertujuan untuk memahami isi
teksnya.
4. Menyusun transliterasi teks.
Tranlisterasi teks adalah tahap yang sangat penting dalam penelitian filologi.
Setelah membaca teks naskah lontar Tutur Parakriya yang beraksara dan berbahasa
daerah, peneliti harus mengubah huruf-huruf daerah yang ada dalam teks ke huruf latin
(transliterasi). Hasil transliterasi akan digunakan peneliti dalam rangka penyuntingan
teks yang bertujuan menghadirkan teks yang bebas dari kesalahan.
5. Membuat deskripsi naskah dan teks.
Dari daftar naskah yang disusun berdasarkan hasil pengumpulan dan pencatatan
naskah yang diperoleh dari berbagai sumber selanjutnya peneliti melakukan pengolahan
data atau analisis data. Analisis data yang pertama berupa deskripsi naskah dan
deskripsi teks. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa metode
yang digunakan dalam deskripsi naskah lontar Tutur Parakriya ini adalah metode

14

deskriptif. Dalam metode deskriptif ini semua naskah dan teks yang ditemukan
dideskripsikan dengan pola yang sama, yaitu: judul naskah, nomor naskah, tempat
penyimpanan naskah, asalh naskah, ukuran naskah dan teks, jumlah halaman, jumlah
baris per halaman, bahan naskah, aksara naskah/teks, bahasa naskah, waktu penulisan,
genre (bentuk teks), garis besar isi cerita, dan hal-hal lain yang diperoleh dari naskah
dan teks tersebut.
Deskripsi ini dilakukan untuk mempermudah tahap penelitian selanjutnya, yaitu
perbandingan naskah (collatio), pertimbangan naskah (recentio), dan pengguguran
naskah (elimination).
6. Menerapkan metode penyuntingan teks.
Pada umumnya satu teks diwakili oleh banyak naskah atau satu teks yang
dimungkinkan adanya variasi sehingga perlu dicari salah satu teks yang dianggap paling
baik. Untuk mengadakan pengelompokan naskah, proses awal yang harus dilakukan
adalah mengadakan penelitian mendalam sehingga dapat diketahui hubungan
antarvarian, perbedaan, persamaan, dan hubungan kekerabatan antara berbagai naskah.
7. Menerapkan teknik penyajian suntingan teks.
Salah satu tujuan penyuntingan teks adalah agar teks dapat dibaca dengan
mudah oleh pembaca dari kalangan yang lebih luas. Oleh karena itu harus diupayakan
susunannya atau sistematikanya yang mudah dibaca dan dipahami.
8. Menerjemahkan teks.
Langkah berikutnya melakukan terjemahan teks naskah lontar Tutur Parakriya
dengan memindahkan teks tertulis dalam satu bahasa ke bahasa lain atau disebut juga
dengan istilah alih bahasa dari bahasa aslinya Sloka Sansekerta dan ke bahasa
Indonesia. Berikut tabel yang digunakan dalam mengelompokkan bahasa teks dan
terjemahannya.
No

Bahasa Sansekerta dalam Lontar Tutur Parakriya

Terjemahan

9. Mengungkapkan nilai budaya yang terkandung dalam teks.


Melalui kajian filologi dapat diketahui isi yang terkandung dalam teks, dalam
tahap ini, peneliti mengungkapkan nilai budaya yang ada dalam naskah lontar Tutur

15

Parakriya. Dari suntingan teks yang dihasilkan oleh ahli filologi dapat diketahui
bagaimana adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, pola pikir dan nilai-nilai tentang
berbagai aspek kehidupan yang berlaku pada masa itu.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Djarwanto, Djamarah, 1984, Pokok-pokok Metode Reset dan Bimbingan Teknis
Penulisan Skripsi, Yogyakarta: Liberty.
Iqbal Hasan, M, 2002, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ndraha, Taliduhu, 1987, Research Teori Metodologi Administrasi. Jakarta: Bima Akasa.
Redana, Made, 2006, Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah Dan Proposal Riset
dilengkapi Contoh Proposal Riset. Denpasar: IHDN.
Simpen, AB W, 1985, Kamus Bahasa Bali. Denpasar: PT. Mabhakti.

16

Subandiyah, Heny. 2015. Filologi dan Metode Penelitiannya. Surabaya: Unesa


University Press.
Zoetmulder, PJ, 1995, Kamus Jawa

Kuno-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

17

Anda mungkin juga menyukai