Anda di halaman 1dari 10

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Indonesia mempunyai keragaman budaya dan daya tarik yang berbeda-beda
dari setiap provinsinya. Salah satunya pada provinsi Sulawesi Selatan. Penduduk
provinsi Sulawesi Selatan terdiri atas 4 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa
mempunyai keragaman kebudayaan dan nilai-nilai masyarakat yang berbeda-beda.
Empat suku besar tersebut antara lain : Bugis, Makassar(Gowa), Mandar, Toraja
( Koentjaraningrat.Kebudayaan 266).
Setiap kebudayaan yang terbentuk merupakan konsep abstrak dari pola pikir
masyarakat setempat yang mempunyai ruang lingkup yang luas. Menurut
Koentjaraningrat (Manusia 190), nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman
hidup manusia dalam masyarakat, tetapi hanya sebagai konsep. Karena nilai ini
bersifat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Tetapi konsep-konsep
ini diresapi sejak lama dan berakar dalam jiwa mereka sehingga, tidak dapat
diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat. Pola pikir ini yang
hidup dan menjadi pedoman serta mempunyai nilai yang berharga. Pemahaman
mengenai nilai dan pembentukan budaya ini karena pemaknaan ruang dan waktu.
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari suatu adat.
Menganut konsepi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran, mengenai hal-hal
yang mereka anggap bernilai, karena itu nilai ini biasanya berfungsi sebagai
hukum-hukum, norma-norma dan aturan-aturan dalam bertindak.
(Koentjaraningrat. Pengantar 25). Setiap Kebudayaan juga terdiri dario pola-pola
nyata maupun tersembunyi, dan manusia mewujudkannya dalam bentuk simbol-
simbol yang menjadi pengarah tegas bagi kelompoknya termasuk perwujudannya
dalam barang-barang buatan (Said 2).
Keperecayaan awal masyarakat Sulawesi Selatan khususnya masyarakat
Gowa menganut Animisme, atau kepercayaan terhadap arwah-arwah. Menurut
Abdul Hamid, kepercayaan tersebut dapat dilihat dari 3 bentuk, yaitu :
kepercayaan terhadap arwah nenek moyang, kepercayaan terhadap dewa-dewa
patuntung, kepercayaan pada pesona-pesona jahat (Sewang 45). Sejak akhir abad
XV, pedagang-pedagang muslim mulai berdatangan ke daerah Sulawesi Selatan

1
Universitas Kristen Petra
untuk berdagang dan mulai menyebar. Pedagang ini dikenal dengan pedagang
Melayu, hubungan baik perdagangan ini menyebapkan mereka mendapat tempat
istimewa dihati raja. Sehingga mereka diberikan fasilitas tempat ibadah.Untuk
memperkuat kepercayaan islam di Sulawesi Selatan didatangkannya tiga mubalig
atau tiga nabi besar. Penyebaran islam yang terjadi di Sulawesi Selatan memiliki
pola top down, yang berarti kerajaan islam masuk melalui kalangan elite penguasa
kerajaan, kemudian baru di sosialisasikan kepada masyarakat bawah (Sewang 86).
Karena ini agama Islam diakui sebagai agama kepercayaan yang dimana nilai-
nilai Islam ikut mempengaruhi nilai-nilai masyarakat Sulawesi Selatan.
Sejak awal abad ke-18 saat Belanda mulai memasuki Indonesia, dengan niat
yang sama pada awalnya ingin berdagang dan melihat potensi alam indonesia
sehingga muncul hasrat ingin menguasai beberapa tempat penghasil atau pusat
perdagangan di Indonesia. Salah satunya adalah Sulawesi Selatan, khusunya pada
kerajaan Gowa.
Menurut Sartono, et al. :“Pentingnya kerajaan Gowa baru mereka ketahui
setelah berhasil merampas sebuah kapal Portugis di dekat perairan Malaka yang
mempunyai awak dari Makassar. Dari orang Makassar ini mereka mendapat
informasi mengenai keadaan pelabuhan kerajaan Gowa yang merupakan suatu
pelabuhan tarnsito bagi kapal-kapal yang berlayar ke Maluku atau dari Maluku.
(371).”.
Setelah penandatanganan perjanjian Bungaya oleh pihak Gowa, aktifitas
perdagangan di Sulawesi Selatan dikuasai penuh oleh Belanda. Pada saat masa
penjajahan di Sulawesi Selatan, Belanda memaksakan budaya Eropa kedalam
budaya lokal setempat. Hal ini menyebapkan “geger budaya” karena budaya eropa
yang sangat agresif. Disebapkan Kebudayaan Eropa pada posisi “superior” dan
kebudayaan lokal pada posisi “inferior”. Dengan demikian terjadi proses
pemaksaan dari budaya yang progresif terhadap kebudayaan yang lebih lemah
(Sachari 6). Hal ini lebih terlihat pada bentukan arsitektur rumah, karena
kerinduan akan negara asal mereka sehingga mereka menciptakan suasana yang
mirip dengan negara asal mereka. (Pile 154). Hal ini mempengaruh pandangan
budaya masyarakat setempat.

2
Universitas Kristen Petra
Pemikiran mengenai karya budaya yaitu bangunan arsitektur atau bangunan
lokal masyarakat setempat mengandung nilai-nilai kepercayaan dan aturan-aturan
mulai bermunculan dan dijadikan sebagai ilmu, baik ilmu seni atau ilmu teknologi
yang mempunyai makna, manfaat dan kepentingan. Sebagai bangunan masa lalu
dimana makna bangunan lebih menekankan terhadap ketepatgunaan. Bangunan
juga merupakan salah satu abstraksi pemikiran kebudayaan yang diwujudkan
dalam kebudayaan fisik yang merupakan wujud ketiga dari 3 wujud kebudayaan
dimana berupa seluruh total fisik dari aktivitas , perbuataan dan karya pemikiran
dari sekelompok masyarakat (Koentjaraningrat. Pengantar 188). Sehingga
pemaknaannya tidak lepas dari wujud simbolnya walaupun secara teori terpisah.
Bangunan menjadi suatu sarana ekspresi budaya yang mengandung pesan-
pesan tertentu yang diturunkan dari gernerasi ke generasi. Bangunan tersebut
salah satunya adalah Museum Karaeng Pattingalloang. Museum ini didirikan
diatas istana Karaeng Pattingalloang setelah dihancurkan oleh Belanda. Museum
ini didirikan untuk mengingat Karaeng Pattingaloang sebagai pemersatu kerajaan
Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan. Karaeng Pattingalloang sendiri adalah Raja
Tallo dan mangkubumi Gowa (Tika 3). Pendirian museum ini, mengikuti nilai-
nilai budaya Sulawesi Selatan karena jasa dari Karaeng Pattingalloang dengan
mengabungkan arsitektur Bugis-Gowa, ini terlihat dari bentuk bangunan yang
mendapat banyak pengaruh nilai-nilai budaya akibat pengaruh kepercayaan,
masuknya budaya asing dan nilai-nilai budaya dari suku-suku Sulawesi selatan
dalam hal ini, nilai-nilai pengabungan budaya Gowa dan Bugis.
Peneliti tertarik meneliti budaya Sulawesi Selatan ini karena budaya ini
jarang diketahui oleh orang banyak dan banyaknya keragaman yang terdapat pada
museum ini. Menganalisa makna sebuah budaya perlu melihat berdasarkan sikap
hidup, perilaku manusia, dan pola pikir mereka dimana tempat bangunan itu
didirikan. Sebuah bangunan tidak dapat dianggap sebagai benda mati saja, karena
bentuk yang direalisasikan menjadi bentuk dan simbol-simbol bahasa rupa budaya.
Karena selama ini Sulawesi Selatan hanya terkenal dengan Tongkonannya jadi
penulis ingin mengangkat sisi lain dari keragaman budaya lainnya, mengingat
Gowa dan Bugis merupakan salah satu suku besar dan suku asli dari Sulawesi
Selatan sendiri. Pencampuran nilai-nilai budaya ini menghasilkan pola penikiran

3
Universitas Kristen Petra
baru oleh masyarakat setempat yang melahirkan keragaman budaya serta
keunikan dan jarang diketahui.
Secara garis besar, pola pemikiran latar belakang terwujud seperti berikut :

Gambar 1.1 Bagan Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah
1. Bentuk apa sajakah yang diterapkan pada interior museum Karaeng
Pattingalloang?
2. Makna dan nilai-nilai masyarakat apa saja yang terkandung dalam bentuk
tersebut?

1.3. Ruang Lingkup Masalah


Penelitian akan dilakukan pada museum Karaeng Pattingalloang yang
bertempat di Benteng Somba Opu terletak di Jl Daeng Tata, Kelurahan Benteng
Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa.
Batasan batasan yang akan dikaji meliputi tatanan ruang melalui layout,
simbol-simbol dan kajian interior museum Karaeng Pattingalloang yang terdapat
pada elemen pembentuk ruang (lantai, dinding, plafon), elemen transisi (pintu,
jendela), dan elemen pendukung (perabot).

4
Universitas Kristen Petra
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dapat tercapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan bentukan yang diterapkan pada interior museum Karaeng
Pattingalloang sesuai dengan nilai-nilai yang dipercaya masyarakat
Sulawesi Selatan.
2. Mengetahui makna dan nilai-nilai yang diterapkan pada bentukan museum.

1.5. Manfaat Penelitian


Manfaat yang didapat dari penelitian ini ada 2, yaitu sebagai manfaat teoritis
adalah menambah wawasan tentang bentuk, simbol-simbol dan makna dari nilai-
nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat Sulawesi Selatan serta dapat
menembah pengetahuan yang bisa dijadikan acuan dalam pembelajaran.
Mengingat kurangnya sumber dan kurangnya kajian terhadap budaya ini.
Berikutnya sebagai manfaat aplikatif adalah, membantu sebagai acuan
dalam renovasi atau perawatan museum dimasa mendatang atau pembangunan
pusat kebudayaan, pusat informasi atau kawasan berbudaya baru terhadap acuan
nilai-nilai budaya yang ada. Sehingga nilai-nilai budaya tidak hilang begitu saja.
Serta membawa masyarakat untuk lebih menghargai museum Karaeng
Pattingalloang sebagai bangunan yang memiliki nilai historis yang patut dijadikan
sebagai cagar budaya.

1.6. Metode Penelitian


Penelitian (research) merupakan usaha memahami fakta secara rasional
empiris yang dilakukan sesuai prosedur kegiatan yang ditentukan peneliti. “fakta”
dalam kata ini lebih mengacu pada sesuatu yang terbentuk dari kesadaran
sesorang seiring pengalaman dan pemahaman sesorang terhadap sesuatu yang
dipikirkannya (Maryaeni 1). Pada penelitian kebudayaan, peneliti harus
melakukan proses berpikir secara reflektif yang berarti dalam menggambarkan
fakta, peneliti harus melakukan penggambaran ulang berdasarkan kenyataan
langsung yang bisa siindrakan (Maryaeni 2).

5
Universitas Kristen Petra
Dalam pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian dalam
kebudayaan yaitu usaha atau cara yang bersistem untuk mengumpulkan kenyataan
dilapangan, menguji, menganalisis, dan menguraikannya dalam bentuk hipotesa
atau hasil penelitian untuk menjawab dari permasalahan yang timbul sesuai
dengan pengalaman yang dirasakan oleh peneliti saat meneliti dan
mencocokannya dengan teori untuk memperkuat dugaan. Sistematis dalam
melakukan penelitian ini terbagi atas tiga tahap yaitu, metode pendekatan, metode
pengumpulan data, metode analisis.

1.6.1. Metode Pendekatan


Pendekatan secara metodologis adalah pendekatan kualitatif pada strategi
penemuan naturalistik. Metode kualitatif berusaha memahami fakta yang ada
dibalik kenyataan yang dapat diamati atau diindrakan secara langsung (Maryaeni
3). Hal ini dipertegas oleh Moleong (6) yang menyatakan bahwa penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan mendiskripsikannya
dalam bentuk kata-kata dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan
deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar
fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Azwar 5). Unsur
terpenting dalam pendekatan ilmiah adalah data dari hasil observasi dan teori
yang merupakan konsep prediksi. Maksud dari berpikir deduktif adalah
pendekatan yang berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori)
dan menggeneralisasikannya pada data atau peristiwa dari fenomena yang
bersangkutan (prediksi) Sedangkan berpikir induktif adalah proses logika yang
berangkat dari data empirik hasil observasi menuju terhadap suatu teori. Dengan
kata lain deduksi berarti menyimpulkan hasil hubungan yang tadinya tidak tampak
dan induksi merupakan proses organisasi fakta-fakta yang terpisah pisah menjadi
suatu rangkaian hubungan (Azwar 40).
Strategi yang dipakai adalah Naturalistic Inquiry karena digunakan untuk
memahami bentuk-bentuk budaya berdasarkan ciri interaksi dan fakta yang
teramati secara natural. Datanya berupa partisipasi dan wawancara mendalam

6
Universitas Kristen Petra
(Maryaeni 26). Penemuan naturalistik menyikapi realitas penelitian sebagai gejala
yang bersifat ganda, terekonstruksikan dan bersifat holistik. Hubungan ataran
peneliti dan realitas penelitian bersifat interaktif dan tidak dapat dipisahkan
(Maryaeni 29).

1.6.2. Metode Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan cara untuk mengumpulkan data yang
berguna untuk penelitian,. Cara yang biasa dapat dilakukan bisa dalam bentuk
observasi, partisipasi, wawancara, dan sebagainya (Maryaeni 16). Tujuan utama
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif naturalis adalah untuk membangun
realitas yang ada (Kuntjara 91). Menurut sumbernya data penelitian yang harus
dikumpulkan terbagi atas dua golongan data yaitu, data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur seperti interviw atau
observasi langsung. Sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tidak
langsung, biasanya berupa data-data dokumentasi, arsip-arsip, teori-teori, dari
buku atau dari sumber internet lainnya (Azwar 36).
Data primer atau data tangan pertama adalah data yang di peroleh langsung
dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan
data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang di cari. Karena
diperoleh secara observasi langsung sehinggah akurasi datanya lebih tinggi
(Azwar 91). Pengumpulan data primer berupa :
1. Wawancara
Metode wawancara adalah proses memperoleh data atau keterangan dengan
cara tanya jawab sambil bertatap muka dengan penjawab (Nazir 234). Wawancara
kali ini akan dilakukan kepada 6 orang, yaitu Pertama pada bapak Daeng
Mappaewa selaku pengamat, pegawai dinas pariwisata sekaligus yang ikut dalam
proses membangun kawasan benteng sumba opu. Kedua pada bapak Prof.DR.
Tadjuddin Maknu, S.U selaku dosen antropologi budaya dan peneliti mengenai
rumah ada gowa. Ketiga pada Bapak Andi Djufri Tenribali selaku sejarahwan,
budayawan makassar, penanggung jawab Balla Lompoa, dan sarat akan nilai-nilai
budaya Bugis-Makassar karena diturunkan secara turun temurun dalam pertalian
keluarga. Keempat pada bapak M. Yusuf selaku pegawai budaya dan pariwisata

7
Universitas Kristen Petra
Museum Karaeng Pattingalloang. Kelima pada Bapak Abdul Kadir Bacololo, haji
selaku budayawan, pegawai arsip nasionla, pembicara dan penyusun buku
mengenai adat bugis-makassar. Keenam kepada bapak Drs. ABD Rahim M.Si
selaku wakil direktur pengelolah museum Karaeng Pattingalloang dan peneliti
rumah adat sulawesi selatan. Wawancara dilakukan dengan memberi pertanyaan
sekitar tradisi-tradisi pembangunan rumah ada Sulawesi Selatan, nilai-nilai dan
bentukan-bentukan yang hidup dalam masyrakat dulu, kepercayaan dan pamali
terhadap aturan maupun larangan terutama didalam rumah. sejarah dari museum
sendiri. Agar data yang didapatkan akurat dan dapat dianalisis.

2. Survey Lapangan
Metode survey adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta
dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual (Nazir 65). Survey
dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung di benteng Sumba Opu
pada museum Karaeng Pattingalloang, Gowa Sulawesi Selatan dan membuat
dokumentasi mengenai bentuk ruangan, elemen pembentu ruang, elemen
transisinya, dan elemen pendukungnya. Dokumentasi ini berupa foto dan gambar
yang akan dibahas dari objek yang akan diteliti.
Sekarang foto sudah lebih banyak dipakai sebagai alat untuk keperluan
penelitian kualitatif. Foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan
sering digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis
secara induktif. Ada dua kategori foto yang dapat dimanfaatkan pada penelitian
kualitatif, yaitu foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan oleh peneliti
sendiri (Moleong 162).

Data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang diperoleh dari pihak
lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya. Data
sekunder biasanya berbentuk data dokumentasi atau data lapangan yang telah
tersedia (Azwar 91). Data sekunder dapat berupa :
Studi Pustaka
Metode studi pustaka adalah pencarian data yang akan mendukung
penelitian, juga untuk mengetahui sampai kemana ilmu yang berhubungan dengan

8
Universitas Kristen Petra
penelitian telah berkembang sehingga terdapat kesimpulan (Nazir 112). Studi
pustaka diambil dari buku-buku teks dan berita internet, dimana bahan ini
dijadikan acuan dan perbandingan dalam penulisan karya ini.
Pada umumnya lebih dari limapuluh persen kegiatan dalam seluruh proses
penelitian itu adalah membaca, karena sumber bacaan merupakan penunjang
penelitian yang esensial (Suryabrata 72).
Metode studi pustaka kali ini akan mencari lebih khusus mengenai budaya
Sulawesi Selatan, arsitektur yang meliputinya serta nilai-nilai yang hidup dengan
masyarakat sekitar. Serta mendalami mengenai metode penelitian yang akan di
pakai, sejarah-sejarah budaya, dan juga sejarah terjadinya transformasi budaya di
Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan. Data-data ini dapat diperoleh dari
sumber acuan beberapa buku atau data dari internet.

1.6.3. Metode Analisis Data


Bila dilihat dari kedalaman analisisnya jenis penelitian ini masuk kedalam
analisis deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menganalisis dan
menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih muda dipahami atau
disimpulkan (Azwar 6).
Analisa deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek
penelitian berdasar data dari variabel yang diperoleh untuk pengujian hipotesis
(Azwar 126). Dalam hal ini memberikan deskripsi mengenai nilai-nilai pada
museum Karaeng Pattingalloang.
Dalam melakukan analisis, perlunya membandingkan data primer dan data
sekunder untuk proses analisis. Dalam hal ini perlunya teori yang sudah teruji
untuk memperkuat hasil dari pemikiran peneliti berdasarkan pengalaman peneliti
sendiri. Fungsi teori sendiri sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan
fenomena yang diamati.

9
Universitas Kristen Petra
1.7. Alur Berpikir

10
Universitas Kristen Petra

Anda mungkin juga menyukai