Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara Multietnik dengan masyarakatnya yang majemuk.
Kemajemukan tersebut menimbulkan banyaknya ragam kebudayaan yang tercermin pada
arsitektur bangunan yang menjadi ciri khas di suatu wilayah. Singkatnya, Indonesia
memiliki ragam kebudayaan yang saling berintegrasi karena sama-sama memiliki unsur
yang selaras satu sama lainnya. Ragam wujud arsitektur yang tercipta tersebut mengalami
banyak persinggungan juga dengan budaya luar dan kadangkala terjadi pinjam-meminjam
antar kebudayaan atau biasa dikenal dengan akulturasi. Menurut Nardy (2012) menjelaskan
“Akulturasi (acculturation atau culture contact) adalah proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu
kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan
hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri”.
Sobokartti merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang memadukan
arsitektur tradisional Jawa dengan arsitektur kolonial yaitu penggunaan konsep yang
memadukan konsep seni pertunjukan Jawa yang biasa dipentaskan di pendhapa dengan
konsep pementasan teater barat/amphitheater yang merupakan hal baru pada zaman
tersebut. Sobokartti berlokasi di di Jl. Cipto no 31-32, Semarang, Jawa Tengah. Sobokartti
dirancang oleh arsitek asal Belanda yaitu Herman Thomas Karsten pada tahun 1930 yang
aslinya bernama Volkstheater Sobokartti yang memiliki arti tempat berkarya. Gedung ini
didirikan sebagai cagar budaya di Kota Semarang, yang menghadirkan kesenian rakyat
antara lain wayang dan seni tari Jawa klasik. Seni tari Jawa klasik ini memiliki kaitan
dengan seni pertunjukkan wayang orang yang pertama kali di Semarang, yaitu Wayang
Orang (WO) Sri Wanito.
Sebuah gedung pertunjukan seni di Jawa umumnya berupa pendhapa. Dimana
pendhapa merupaka ruang terbuka tanpa banyak sekat yang mana antara penonton dan
pelakon tidak mengenal pemisahan ruang khusus. Berbeda halnya dengan gedung
pertunjukan seni barat yang berusaha memisakan antara penonton dengan pelakon.
Sehingga pembangunan teater seni Sobokartti tersebut tetap berupa pendhapa Jawa yang
difungsikan sebagai teater juga. Karsten berpendapat panggung prosenium bukan tempat
yang cocok untuk pementasan teater Jawa seperti wayang orang. Seperti juga dikatakan
Jessup (1985:153) “Anyone who has watched Javanese or Balinese dance-drama both in
its traditional setting and on a westernized stage can testify that the latter inevitably
imposes spurious feelings of pantomime and irrelevance of the art.” Meski demikian,
sebagai teater pendhapa konvensional di istana dan rumah bangsawan juga mempunyai
kelemahan mendasar yaitu diabaikannya kenyamanan penonton. Ini antara lain disebabkan
karena tempat pertunjukan sering multi fungsi. Pendhapa selain tempat mempertunjukan
tari dan teater serta tempat memainkan gamelan juga adalah tempat mengadakan
pertemuan, menyambut tamu dan menyelenggarakan upacara. Karena itu di mana penonton
hendak duduk atau berdiri, apakah mereka bisa melihat panggung dengan jelas atau tidak,
sama sekali tidak dipikirkan dalam rancangan pendhapa konvensional. Bagi seorang
sosialis seperti Karsten ini sama sekali tidak bisa diterima (”unacceptable in growing
equality”) (Jessup, 1985).
Dalam upaya pembangunan perkotaan yang mempunyai identitas, salah satu aspek
yang terlupakan adalah pelestarian objek/bangunan maupun kawasan bersejarah, dewasa
ini perhatian terlalu banyak dicurahkan untuk bangunan baru yang modern, akibatnya pada
beberapa tahun terakhir ini banyak bangunan dan kawasan bersejarah yang mengalami
penurunan kualitas seperti terdegradasi secara alami atau maupun oleh masyarakat
setempat yang belum mengenal nilai historis dari objek atau bangunan sebagai cagar
budaya yang ada di lingkungannya. Pengembangan Sobokartti sebagai Heritage Center
yang dapat menampung dan mendukung segala aktivitas yang telah berlangsung di Gedung
Kesenian Rakyat Sobokartti, baik dalam segi kuantitas dan kualitas bangunan, termasuk di
dalamnya penataan beberapa massa bangunan serta lingkungan dalam kategori objek
wisata, dengan mengacu pada proses konservasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana proses akulturasi budaya pada bangunan Sobokartti?


2. Bagaimana ragam wujud ruang pada bangunan Sobokartti?
3. Bagaimana eksistensi Sobokartti sebagai bangunan cagar budaya di Semarang?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ranah Arsitektur Jawa


Kebudayaan Jawa merupakan awal dari pola tata laku manusia dan masyarakat
Jawa yang terbentuk melalui sejarah panjang berdasarkan pendekatan kultur-historis
manusia Jawa. Konsep budaya Jawa sangat sarat dengan nilai-nilai kearifan local yang
dikenal dengan kearifan Jawa. Nilai-nilai yang dimaksud juga merupakan representasi dari
relasi dan sikap manusia Jawa dengan Tuhan, alam, masyarakat sosial dan pribadi/individu,
sehingga nilai-nilai inilah yang terus dikembangkan oleh masyarakat Jawa menjadi
pedoman dalam melakukan kehidupan sehari-hari (Endraswara, 2010).
Dalam pemahaman tentang ruang dalam masyarakat Jawa berkembang dari sosok
dan wujud yang sederhana sampai kompleks. Dualisme ruang menurut pandangan
masyarakat Jawa, seperti kanan – kiri depan-belakang, atas-bawah, utara-selatan dan
lainnya merupakan ekspresi dari sikap dan orientasi ruang. Teori pasangan ini juga
tercermin dalam arsitektur dalam wujud bentuk susunan ruang yang simetri berdasarkan
hirarki ruangnya (Adimihardjand Purnama, 2004).
Penerapan arsitektur Jawa diterapkan pada Tata ruang gedung Sobokartti terdiri dari
tiga bagian, yakni depan, tengah, dan belakang. Pada bagian depan merupakan pendopo.
Ruang tengah mempunyai luasan paling besar daripada ruang lainnya. Mengingat gedung
Sobokartti adalah sebagai gedung pertunjukan kesenian, ruang tengah merupakan pusat
kegiatan utama. Pada ruangan ini terdiri dari area pertunjukan untuk tari, tribun penonton
dengan bangku, tempat gamelan. Pada area pertunjukan merupakan area dengan elevasi
terendah, sehingga para penonton lebih nyaman dalam menyaksikan pertunjukan karena
pandangan tidak terganggu. Pada bangunan Sobokartti struktur utamanya menggunakan
tiang-tiang penyangga dari kayu. Pada bagian tengah terdapat 4 buah tiang penyangga yang
sering disebut dengan “soko guru”, sebagai struktur utama. Dengan atap yang bertingkat
dikelilingi juga dengan kolom kayu penyangga yang berjumlah 14 buah. Keseluruhan
struktur gedung Sobokartti dari tiang-tiang penyangga, balik, usuk, reng, dsb.
menggunakan kayu jati atau kayu kuat jenis lain. Pada struktur soko guru terdapat dua
tingkat balok yang terdapat pada gedung kesenian Sobokartti ini, balok-balok tersebut
memperkuat ikatan antar kolom-kolom (soko guru). Untuk kedua tingkatan balok tersebut
biasanya memiliki sebutan. Pada balok yang bawah memiliki sebutan Kolo dan pada balok
diatasnya memiliki sebutan Blandar. Bentuk atap bertingkat dengan 3 susun memberikan
keuntungan pada bangunan ini, yaitu memberikan sirkulasi udara yang maksimal. Sehingga
di dalam ruangan terasa nyaman, sejuk karena memanfaatkan penghawaan alami melalui
lubang yang terdapat pada sela-sela atap.

2.2 Akulturasi Budaya Sobokartti


Proses akulturasi budaya tidak bisa dihindari, namun setiap kebudayaan selalu
mempunyai ‘filter/tirai’ untuk menyeleksi nilai-nilai/norma-norma yang dapat diserap dan
ditolak (Hall,1976). Sekalipun demikian kemampuan untuk menyaring terjadinya
akulturasi pada setiap kebudayaan tidaklah sama. Tradisi berarsitektur masyarakat arkhais
tidak berhenti hanya pada sekedar untuk memperoleh bentuk semata, tetapi juga pemberian
makna yang melekat pada bentuk tersebut sebagai implementasi nilai-nilai kultural
masyarakat yang hidup di dalamnya. Namun dengan berubahnya tatanan budaya yang
terjadi di dalam masyarakat saat ini, muncul berbagai kecenderungan terjadinya
pergeseran/perubahan bentuk arsitektur. Proses adaptasi budaya yang terwujud dalam pola
akulturasi terhadap kebudayaan ‘asing’ mempunyai dua pola, yakni (R.Linton dalam
Koentjaraningrat,1991): 1. Covert culture, bagian inti kebudayaan yang sulit berubah dan
kalaupun berubah membutuhkan waktu lama, seperti: Sistem nilai-nilai budaya. Akibat
persinggungan budaya lokal dengan budaya asing di bumi Nusantara selama ini serta proses
‘tawar-menawar’ dan ‘tukar-menukar’ elemen-elemen budaya yang dimiliki, terjadilah
akulturasi desain. Beberapa pola perubahan yang terjadi dalam proses akulturasi budaya
tersebut tercermin pada tampilan arsitekturnya yang cenderung mempunyai paradigma-
paradigma sebagai yaitu bentuk tetap dengan makna sama, bentuk tetap dengan makna
berbeda, bentuk berbeda dengan makna sama, dan juga bentuk dan makna berbeda.
Pada bangunan Sobbokarti dalam konsep rancangannya berupa gedung teater yang
sesuai bagi seni pentas Jawa, yang mana sebuah gedung teater erat kaitannya dengan
Kesenian Barat. Karsten berpendapat bahwa melalui proses yang telah berlangsung sangat
lamasetting pendhapa tidak bisa dipisahkan dari seni pertunjukan Jawa. Seni pertunjukan
Jawa (seperti umumnya seni pertunjukan di Nusantara) tidak mengenal pemisahan ketat
antara penonton dan pelakon. Sedangkan pada Seni pertunjukkan Barat yang antara
penonton dan pelakon terpisah.

2.3 Cagar Budaya Sobokartti


Cagar budaya tidak saja menjadi saksi sejarah pada masa silam. Cagar budaya
dapatdikatakan artefak yang memiliki nilai sebagau wujud infomasi bagi perkembangan
sebuah kota atau lingkungan terdekatnya cagar budaya dapat dianggap juga memiliki nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan . (M.Ridah, 2012).
Bangunan ini adalah suatu bangunan cagar budaya karena telah berusia lebih dari
50 tahun, namun bangunan itu juga bukan sekedar artefak. Di balik kesederhanaannya
bangunan teater Sobokartti selama proses perancanangan dan pembangunannya yang lama
banyak bersinggungan dengan isu-isu penting di masanya, antara lain perdebatan tentang
masa depan Indonesia. Senyatanya memang, gedung ini mewakili pandangan bahwa masa
depan Indonesia adalah mandiri dalam asosiasi yang setara dengan Belanda. Menurut
pandangan ini Indonesia Merdeka tidak perlu dicapai melalui revolusi yang justru akan
menyengsarakan rakyat tapi melalui pendidikan rakyat yang emansipatoris.
Gedung Sobokartti sering mengalami rob bila musim hujan. Hal tersebut
dikarenakan lantai bangunan Gedung Sobokartti lebih rendah dari halaman.sehingga
apabila terjadi hujan, aliran air dari luar juga mengarah ke Gedung dan mengakibatkan
vegetasi air di tanah Sobokartti meningkat. Penanganan sebelumnya berupa pengerasan di
sekitar gedung dan pembuatan penampungan air ternyata belum menyelesaikan masalah.
Kondisi demikian tentu saja menjadi kendala bagi kegiatan-kegiatan rutin yang berjalan di
Gedung Sobokartti dan berakibat buruk pada kayu dan dinding bangunan.
Keberadaan bangunan teater Sobokartti saat ini tidak banyak diketahui bahkan oleh
penduduk kota Semarang sendiri. Kondisi fisiknya juga belum menggembirakan, meski
sudah dilakukan beberapa upaya sederhana untuk memperbaikinya, karena masih sering
dilanda banjir yang mengganggu aktivitas yang berlangsung di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Jessup, Helen. (1985). “Dutch Architectural Visions of the Indonesian Tradition”. Muqarnas,
Vol. 3. Hal:138-161
Anonim (1931) Opening Javaansche Schouwburg Sabakartti, Karrenweg Semarang, 10 Oct
’31, Semarang, Indonesia: The Koei Liem
Koentjaraningrat, ‘Sejarah Teori AntropologiII‘,University of Indonesia Press, 1991.

Anda mungkin juga menyukai