Anda di halaman 1dari 4

KONSEP OPEN-AIR MUSEUM KAWASAN CAGAR BUDAYA

TROWULAN
Hanna Aanisah Juliant Puteri
NIM 2001551019

Berdasarkan dari arti dari katanya, museum bertujuan sebagai media hiburan. Hal ini
berdasar pada kata Bahasa Latin “mouseion” yang merupakan kuil untuk menghibur
sembilan Dewa Muze. Pengertian dari museum secara spesifik memang berbeda dengan arti
harfiahnya, tetapi hakikat pengertian secara umumnya tetaplah sama. ICOM (International
Council Of Museum) sebagai lembaga internasional di bidang permuseuman mengatakan
bahwa museum merupakan lembaga nirlaba yang bersifat tetap dan terbuka untuk umum
dalam melayani masyarakat, menghubungkan masyarakat dengan memamerkan koleksi
untuk tujuan studi, pendidikan, dan kesenangan. Di Indonesia juga terdapat undang-undang
yang mengatur tentang permuseuman yakni Peraturan Pemerintah no. 19 Tahun 1995 yang
menyatakan bahwa museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan
dan pemanfaatan benda bukti materil hasil budaya manusia, alam dan lingkungannya guna
menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Berdasarkan
penjelasan museum menurut kedua sumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa di dalam
museum wajib menjalankan kegiatan penyimpanan, perawatan, dan pengamanan benda
koleksi yang nantinya juga akan dipamerkan sebagai bentuk pelayanan ilmu pengetahuan
sekaligus hiburan kepada masyarakat luas (Asmara, 2019: 14).
Terdapat berbagai jenis museum yang kemudian juga dapat dibagi lagi ke dalam
beberapa jenis klasifikasi. Setiap museum memiliki keunikannya tersendiri sesuai jenisnya
sehingga konsep dan parameter tiap museum juga berbeda. Beberapa contoh jenis museum
diantaranya museum berdasarkan koleksi, museum berdasarkan kedudukan, dan museum
berdasarkan kepemilikan (Subhiksu & Utama, 2018: 45). Sesuai namanya museum
berdasarkan koleksi dikelompokkan berdasarkan koleksi yang disimpan di dalam museum
tersebut, contohnya museum geologi menyimpan koleksi yang berkaitan dengan kebumian,
museum seni menyimpan koleksi yang berkaitan dengan kesenian atau lukisan, dan museum
bahari menyimpan koleksi yang berkaitan dengan kelautan. Di Indonesia sendiri museum
berdasarkan kedudukan dapat dibagi menjadi tiga, yakni museum nasional, museum provinsi,
dan museum lokal atau kabupaten/kota. Ketiga jenis museum tersebut dibagi atas lingkup
koleksi yang dimilikinya, museum nasional memiliki koleksi yang mewakili seluruh wilayah
Indonesia, museum provinsi memiliki koleksi yang mewakili suatu provinsi, dan museum
lokal memiliki koleksi yang mewakili suatu kabupaten atau kota tertentu. Museum
berdasarkan kepemilikan dibagi berdasarkan pemilik dari museum tersebut yakni antara
museum negeri dan museum swasta. Kepemilikan museum negeri berada di tangan
pemerintah sedangkan museum swasta berada di tangan individu atau suatu lembaga tertentu.
Museum cagar budaya merupakan salah satu contoh museum berdasarkan jenis
koleksinya. Museum tersebut menawarkan koleksi benda-benda yang telah memenuhi kriteria
cagar budaya berdasarkan Undang-Undang no. 11 Tahun 2010. Benda-benda yang
dipamerkan dapat menceritakan kisah secara diakronis maupun sinkronis, sesuai konsep yang
diusung museum tersebut. Apabila mengusung konsep diakronis, koleksi yang ditawarkan
berupa benda cagar budaya dari satu wilayah tertentu saja tetapi meliputi beberapa kurun
waktu yang panjang. Apabila suatu museum menggunakan konsep sinkronis maka koleksinya
berasal beberapa wilayah secara luas tetapi hanya berasal dari satu kurun waktu tertentu saja.
Suatu museum juga dapat mengusung konsep diakronis dan sinkronis secara bersamaan tetapi
biasanya terdapat pembagian ruang tersendiri untuk memisahkan koleksi benda sesuai dengan
kategori yang telah ditentukan.
Tidak hanya berupa koleksi benda, museum cagar budaya juga dapat berupa situs atau
kawasan yang diubah menjadi sebuah museum. Salah satu contoh museum yang berupa situs
ialah Kawasan Cagar Budaya Trowulan. Berbeda dari kebanyakan museum yang dipahami
oleh masyarakat awam, Kawasan Cagar Budaya Trowulan menggunakan konsep open-air
museum. Menurut Kostarigka (2009), open-air museum ialah museum yang terdiri bangunan
yang ditampilkan secara sistematik dan bagian terbuka yang menghadirkan kehidupan
masyarakat dan lingkungannya. Selain itu Winaya (2012) juga menyatakan bahwa museum
tersebut menawarkan koleksi berupa kawasan dan bangunan bersejarah dalam ruang terbuka
yang didirikan kembali dan dirancang sesuai keadaan masa lalu. ICOM selaku organisasi di
bidang permuseuman pertama kali merumuskan konsep tersebut di tahun 1956 yakni museum
yang mengumpulkan, membongkar, mengangkut, merekonstruksi, memelihara situs aslinya,
dan dapat memperlihatkan ciri aktivitas kebudayaan yang mulai punah (Wahyudi &
Kuswanto, 2014: 66).
Meski terdapat Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang merupakan museum
benda-benda peninggalan dari kawasan Trowulan, pengembangan open-air museum dapat
memberi pengunjung pengalaman yang jauh lebih menarik dan mengesankan, mengingat
daerah tersebut terkenal akan kekayaan temuan tinggalan cagar budayanya. Kawasan Cagar
Budaya Trowulan telah berupa open-air museum dengan berbagai candi dan struktur di
sekitarnya yang telah direkonstruksi dan dikelola, tetapi masih terdapat banyak hal yang
dapat dikembangkan lagi terutama dalam penyajian kebudayaan selayaknya definisi open-air
museum yang dinyatakan oleh ICOM. Penyajian kebudayaan ini tidak hanya berupa
penampilan seperti tari-tarian tetapi juga berupa keberadaan industri kerajinan, kuliner, dan
kesenian tradisional di masa lampau. Contoh dari industri kerajinan yang dapat dipamerkan
ialah pembuatan kerajinan terakota seperti arca dan miniatur candi yang dapat dilakukan di
wilayah desa Trowulan. Kuliner tradisional sebagai salah satu bentuk hasil kebudayaan
setempat juga dapat disajikan di sekitar wilayah desa terutama bila cara pembuatannya juga
menjadi salah satu aktivitas yang dapat dilihat dan dipraktikan langsung oleh para
pengunjung. Sedangkan untuk penjualan kuliner sendiri dapat memanfaatkan kios pertokoan,
warung makan, atau pasar yang terdapat di desa Trowulan. Selain itu kesenian tradisional
seperti jaranan, bantengan, macapat, dan wayang kulit dapat memanfaatkan tanah lapang atau
suatu balai desa dalam menyajikannya. Untuk mewujudkan pengembangan open-air museum
ini tentu memerlukan kontribusi masyarakat setempat yang sangat besar. Namun, benefit
yang akan didapat oleh masyarakat sekaligus pihak instansi desa bahkan kabupaten juga akan
setimpal.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, E. P., Alexander, M., & Decker, J. (2017). Museums in motion: An introduction to
the history and functions of museums. Rowman & Littlefield.
Asmara, D. (2019). Peran Museum dalam pembelajaran sejarah. Kaganga: Jurnal Pendidikan
Sejarah dan Riset Sosial Humaniora, 2(1), 10-20.
Subhiksu, I. B. K., & Utama, G. B. R. (2018). Daya Tarik Wisata Museum Sejarah dan
Perkembangannya di Ubud Bali. Deepublish.
Wahyudi, W. R., & Kuswanto, K. (2014). KAJIAN KONSEP OPEN-AIR MUSEUM: STUDI
KASUS KAWASAN CAGAR BUDAYA TROWULAN. Berkala Arkeologi, 34(1),
65-84.

Anda mungkin juga menyukai