Anda di halaman 1dari 12

Ihdina Sabili, 08111850020001

PENGARUH AKULTURASI ISLAM TERHADAP MAKNA TATA LETAK KERATON


SURAKARTA HADININGRAT

Ihdina Sabili, 08111850020001*


*) Master Student Department of Architecture, Institute of Technology Sepuluh Nopember,
Indonesia

LATAR BELAKANG
Korelasi antara sebuah rancangan dengan fenomena sejarah seringkali hanya sebatas
rujukan bentuk. Sedangkan lebih dari itu, sebuah arsitektur nantinya juga merupakan pelaku
sejarah, saksi hidup sekaligus tokoh utama dinamika budaya dalam wilayah tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia tentu
memiliki kekayaan budaya dan adat istiadat yang beragam. Maka akulturasi budaya dan
agama dalam sebuah masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Keraton Surakarta merupakan
salah satu pusat kebudayaan nasional, khususnya kebudayaan Jawa. Keraton sebagai tempat
tinggal raja dan keluarganya memiliki konsep dan makna filosofi dari setiap elemen
pembentuknya. Sebagai salah satu kerajaan di Indonesia yang membawa perkembangan
agama Islam, tentu terdapat filosofi agama Islam yang tertanam dalam makna arsitektur
keraton Surakarta.
Pemilihan objek Keraton Surakarta Hadiningrat ini dengan landasan faktor sejarah
yang begitu kuat dimiliki sebagai bukti perkembangan agama Islam di Pulau Jawa. Keraton
ini merupakan bagian penting dari sejarah kerajaan Mataram Islam. Di samping sebagai
fungsinya sebagai tempat tinggal Raja dan segenap keluarga dan abdinya, namun juga sebagai
pusat pemerintahan dan politik kerajaan hingga saat ini. Hal inilah tentu memberikan
sumbangsih pengaruh cukup kuat sebagai faktor pertimbangan desain dan pola tata letak yang
menghadirkan akulturasi budaya, antara nilai islam dan falsafah Jawa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam bagaimanakah makna
arsitektur Keraton Surakarta Hadiningrat. Hal ini menunjukkan pentingnya mengamati
perjalanan sejarah di balik berdirinya sebuah arsitektur keraton. Harapannya setelah
mengetahui makna arsitektur Keraton Surakarta Hadiningrat, maka dapat lebih dipahami
seberapa kuat keterkaitan antara akulturasi Islam dan budaya Jawa, khususnya di kota
Surakarta.

PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
Keraton Surakarta Hadiningrat. Fokus utama penelitian ini adalah bentuk akulturasi Islam
dalam arsitektur Keraton Surakarta Hadiningrat, khususnya pada makna tata letaknya.
Adapun rumusan masalah yang ingin dijawab adalah sebagai berikut:
Apa saja faktor yang mempengaruhi akulturasi Islam pada tata letak keraton Surakarta
Hadiningrat?

TINJAUAN PUSTAKA
Keraton Surakarta yang merupakan turunan dari Kerajaan Mataram memiliki sejarah
yang panjang pada bentuk maupun gaya arsitektur bangunan. Konsep dan filosofi dari setiap
1
Ihdina Sabili, 08111850020001

elemen keraton memiliki pengaruh dari setiap fase yang dilewati. Hal ini berakibat pada
bentuk dan corak bangunan Keraton Surakarta. Pada gaya bangunan maupun corak yang
digunakan keraton terdapat pengaruh dari gaya arsitektur barat yang dibawa oleh Belanda
seperti bentuk pilar, arsitektur Cina yang dibawa oleh para pedagang Cina maupun bergaya
Arab yang masuk karena keberadaan bangsa Arab di Solo. Namun, gaya arsitektur tradisional
Jawa merupakan hal yang menjadi dasar bentuk dan filosofi bangunan di Keraton Surakarta.
Bangunan tempat tinggal dengan konsep bangunan rumah adat Jawa/ tradisional Jawa
hanya dimiliki oleh beberapa kalangan saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya
proses globalisasi, maka banyak masyarakat yang tidak menggunakan konsep bangunan
seperti ini lagi. Hal ini dikarenakan faktor ekonomi dan juga lahan yang tersedia sudah sangat
terbatas, karena bangunan dengan konsep rumah adat memerlukan lahan yang cukup luas.
Terjadinya akulturasi bisa secara paksaan ataupun sukarela. Secara paksaan bisa dilihat
contoh pada negara-negara yang menjadi jajahan kolonialisme bangsa Eropa terhadap bangsa
Timur. Bangsa Eropa memaksakan hal-hal baru pada wilayah jajahannya untuk memeluk
agama mereka (Kristenisasi), menggunakan bahasa dan hukum peradilannya, memaksakan
berpakaian dengan cara modern, mencontoh gaya hidup hedonis, padahal jajahannya adalah
bangsa yang terbelakang. Bila ditinjau dari sejarah kebudayaan Indonesia, dapat dikatakan
akulturasi kebudayaan Hindu dan Islam lebih bersifat sukarela, tanpa paksaan.
Model akulturasi dapat termasuk dalam kategori akulturasi imperialisme (imperialism
acculturation) ataupun model akultusai yang berjalan saling mempengaruhi antara satu
budaya dengan budaya yang lain (accommodated acculturation). Bila dilihat dari dua model
akulturasi tersebut, maka akulturasi Islam dan Jawa yang terjadi di Keraton Surakarta
Hadiningrat adalah kategori accommodated acculturation. Yaitu akulturasi yang terjadi secara
sukarela bukan dipaksakan, saling menyesuaikan, saling mempengaruhi dan mengalami
proses, seleksi dan integrasi antara unsur Islam dan tradisi lokal sehingga bisa dikatakan
minim konflik. Hal tersebut bisa terjadi karena persentuhan antara keduanya berjalan mulus
dan bisa diterima oleh dua kebudayaan yang saling berbeda. Kontak antara dua kebudayaan
sebenarnya dapat menimbulkan reaksi yang berbeda, tetapi sikap toleransi terhadap
kebudayaan asing sangat membantu suksesnya proses akulturasi. Sehingga yang terjadi
kemudian adalah adaptasi akulturasi budaya.

METODA PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui
studi literatur. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma Post
Positivism jika merujuk pada buku Architectural Research Method karya Groat and Wang.
Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa kenyataan-kenyataan empiris terjadi dalam
suatu konteks sosio-kultural yang saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu setiap
fenomena sosial diungkapkan secara holistik. Selain itu juga mempertimbangkan pendapat
dan asumsi tokoh masyarakat setempat, yang tiada lain merupakan saksi bahkan pelaku
sejarah objek berikut kawasannya.
Dalam penelitian ini, metode yang dipakai menggunakan Historical dan Qualitative
Research. Hal ini dikarenakan dalam proses penelitian ini menitikberatkan objek di masa
lampau. Selain itu penelitian ini bermaksud menguji dan menganalisis secara kritis terhadap
rekaman dan peninggalan sebuah peristiwa yang di masa lalu.

2
Ihdina Sabili, 08111850020001

METODA ANALISA DATA


Pada penelitian ini, menggunakan data sekunder yakni dokumentasi dan studi pustaka
dari hasil penelitian-penelitian terdahulu. Sebagai landasan analisa data dalam penelitian ini
menggunakan metode analisa deskriptif-naratif yang bersifat kualitatif. Menurut Miles dan
Huberman, setelah data-data yang dibutuhkan telah terkumpul, dilakukan pengolahan atau
analisis data yang mencakup reduksi data, model data, dan penarikan/verifikasi kesimpulan.
Mula-mula reduksi data yang merupakan bagian dari analisis data, mengacu pada bentuk
analisis pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, dan transformasi data mentah. Dalam
reduksi data terdapat berbagai tahap, seperti membuat rangkuman, membuat tema, membuat
pemisah-pemisah, pemberian kode, menulis memo-memo dan pengembangan.
Setelah semua data terkumpul, berikutnya akan dilakukan penyajian data yaitu bentuk
penyajian data kualitatif meliputi teks naratif yang berbentuk catatan di lapangan. Penyajian
data tersebut mencakup berbagai jaringan kerja, grafik, jenis matrik dan bagan. Semua hasil
tersebut disusun sebagai kumpulan dari berbagai informasi untuk mendeskripsikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Agar penyajian data dari hasil reduksi data lebih
tertata dan semakin mudah dipahami.
Tahap selanjutnya adalah penarikan kesimpulan berdasarkan temuan dan melakukan
verifikasi data. Pada dasarnya kesimpulan awal yang sudah diperoleh masih bersifat
sementara dan kesimpulan tersebut akan berubah jika ditemukannya bukti-bukti yang
mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Proses untuk memperoleh bukti-bukti inilah
yang dimaksud dengan verifikasi data. Proses ini sebagaimana dicetuskan oleh Miles and
Huberman (1984).

ANALISA DATA
Dari sekian konsep tata letak Ruang Keraton Surakarta Hadiningrat, telah tereduksi
terdapat beberapa konsep yang cukup penting sebagai patokan utama filosofi budaya keraton.
Sebagai kerajaan Islam, keraton Surakarta Hadiningrat tentunya mengandung nilai-nilai Islam
yang terlihat pada konsep-konsep arsitektur ataupun elemen-elemennya.
No Keterangan konsep Makna
1 Konsep Philosophie

2 Konsep Kosmologi

3 Konsep Dualisme

3
Ihdina Sabili, 08111850020001

4 Konsep Supit Urang

4 Konsep Papat Kalima


Pancer/Sadulur Papat Kalima
Pancer

5 Konsep Hirarki

6 Konsep Radya Laksana - Makna Simbolisme: Sejarah asal-usul


Surakarta Hadiningrat (PB I – PB XII…)
- Makna Philosophie: Sebagai Tuntunan
hidup (Tuntaning Ngagesang) yaitu
kenegaraan dan kehidupan.
7 Konsep Simbolisme Keraton Tuntunan perjalanan hidup/jiwa ke arah
Surakarta Hadiningrat kesempurnaan (Kasampurnaning Ngaurip)
Di antaranya Konsep Kosmologi dan Filosofi, Konsep Dualisme, Konsep Kiblat Papat
Kalima Pancer dan Konsep Supit Urang. Masing-masing konsep disajikan dengan uraian
deskripsi dan grafik yang menggambarkan sketsa tata letak pada masing-masing konsep.
a. Konsep Kosmologi dan Konsep Filosofi
Penataan lanskap Keraton Surakarta menerapkan konsep kosmologi yang
dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha. Dumadi (2011) menyatakan bahwa
masyarakat Jawa merumuskan kehidupan manusia berada pada dua kosmos (alam) yaitu
makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos memiliki pemahaman bahwa alam
semesta merupakan sebuah wadah yang tetap besarannya dan memiliki kekuatan besar.
Sedangkan konsep mikrokosmos memiliki pemahaman bahwa raja merupakan perwujudan
Tuhan di dunia sehingga dalam diri raja terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam.
Dalam konsep mikrokosmos, raja merupakan pusat kehidupan di dunia dan keraton
sebagai tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan

4
Ihdina Sabili, 08111850020001

bersemayamnya raja, karena raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang


mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan. Sehingga, keraton
menjadi pusat dari segala aktifitas masyarakat dan menjadi kiblat dari segala macam
aktifitas.
Keraton Surakarta memiliki karakteristik pola kosmologi yang terbagi menjadi
empat lapisan yaitu kuthanegara, negara gung, mancanegara, dan pesisiran. Keraton
memiliki sistem tata ruang kota menurut kaidah-kaidah masyarakat tradisional yang masih
dipengaruhi oleh tingkat kebangsawanan. Tempat tinggal raja dan kedudukannya disebut
kuthanegara atau negari atau negara. Kuthanegara dikelilingi oleh tembok guna melindungi
raja dari dari gangguan luar. Tembok ini memiliki nama yaitu tembok baluwerti. Di luar
tembok kuthanegara merupakan tempat tinggal bagi para kerabat dekat raja dan juga abdi
dalem yang berturut-turut berada di lingkar luar kerajaan, yaitu negara agung,
mancanegara dan pesisir.
Konsep kewilayahan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang bertempat
tinggal dekat dengan keraton adalah masyarakat yang memiliki jabatan penting dan tingkat
sosial yang tinggi, atau dikenal dengan istilah bangsawan. Sedangkan yang bertempat
tinggal jauh dari keraton dianggap berkedudukan lebih rendah. Konsep wilayah seperti ini
menciptakan perkampungan-perkampungan baru yang menjadi tempat tinggal para abdi
dalem maupun prajurit-prajurit keraton.
Tata ruang bangunan di Keraton Surakarta menganut konsep kosmologi yang
tercermin dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading (Gambar 2). Lapisan-lapisan ini
berdasarkan pola konsentrik yang pembaginya menyangkut fungsi dan tingkat
keselarasannya. Pola kosmologi menjadi panutan dalam mendirikan bangunan di Keraton
Surakarta, sehingga terbentuk hirarki dalam susunan bangunan keraton dari utara hingga
selatan. Terdapat kepercayaan bahwa pada setiap fase bangunan yang dilewati akan
menuju ke arah kesempurnaan.

Gambar 1 Susunan Kosmologi Keraton Surakarta

b. Konsep Dualisme
Konsep Dualisme memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki hubungan
dan saling melengkapi sehingga didirikan secara berpasangan. Konsep ini terlihat pada
bangunan keraton yang sebagian besar berpasangan, seperti pada alun-alun Lor-Kidul,

5
Ihdina Sabili, 08111850020001

Setinggil Lor-Kidul, dan bangunan lainnya. Konsep dualism memiliki pemahaman


kesatuan yang tunggal dan melambangkan kehidupan di dunia.

c. Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer


Pembangunan Keraton Surakarta dilakukan dengan mempertimbangkan
arah/orientasi dengan menggunakan konsep kiblat papat kalima pancer, yaitu suatu
konsep yang memiliki arti hidup menuju empat arah mata angin namun berpusat pada
satu kiblat di tengahnya. Konsep kiblat papat kalima pancer dapat dilihat pada Gambar
3. Dimana penentuan arah mata angin yang saling berpapasan yaitu lor-kidul (utara-
selatan), kulon-wetan (barat-timur) yang merupakan pemahaman dualism yaitu kesatuan
tunggal yang hakiki (Setiawan, 2000). Keraton Surakarta dikenal sebagai kerajaan
Islam, kepercayaan secara spiritual ini memberi pengaruh pada konsep kiblat papat
kalima pancer.
Arah lor merupakan kekuatan ilmu spiritual yang berkaitan dengan kepentingan
lahiriah atau kepandaiain ilmu dalam usaha mencapai cita-cita masa depan. Arah kidul
(selatan) merupakan bersatunya hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan raja
dengan rakyat, sedangkan arah wetan-kulon (timur-barat) merupakan asal segala
sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa arah lor-kidul (utara-selatan) merupakan arah
hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal dengan hablu minallah. Sedangkan arah
kulon-wetan (timur-barat) merupakan hubungan sosial antara manusia dengan manusia
yang dikenal dengan hablu minannaas.
Letak Keraton Surakarta yang menganut konsep kiblat papat kalima pancer
dianalogikan sebagai berikut, Keraton Surakarta sebagai pancer atau atau pusat kiblat
dan dikelilingi oleh Hutan Krendhawahana di sebelah utara, Gunung Lawu di sebelah
timur, Gunung Merapi/Merbabu di sebelah barat dan Pantai Selatan di sebelah selatan.
Setiawan (2000) menyatakan bahwa arah timur (wetan) merupakan asal mula segala
sesuatu. Sehingga bangunan keraton disesuaikan dengan arah menghadap pandhapa
besar yaitu Sasana Saweka yang berada di timur. Konsep lanskap keraton berpedoman
pada keempat mata angin dan terdapat dua poros besar yang saling memotong tegak
lurus yang pada umumnya menghasilkan susunan pancer berupa istana sebagai intinya.

Gambar 2 Konsep Kiblat Papat Kalima Pancer

Terdapat sebuah sumbu imajiner yang sejajar dengan garis lor-kidul. Sketsa
sumbu imajiner pada Kota Surakarta disajikan pada gambar 4. Terdapat Tugu yang
sekarang ini berada di depan Balaikota Kota Surakarta dan memiliki garis sejajar

6
Ihdina Sabili, 08111850020001

dengan keraton. Saat raja duduk di Bangsal Sewayana maka pandangannya akan tertuju
pada puncak tugu. Tugu ini merupakan simbol dari Tuhan Yang Maha Esa, yang
merupakan Maha Pencipta alam beserta segala isinya.
Oleh karenanya segala pusat perhatian dan orientasi manusia dalam bertingkah
laku dalam kegiatan sehari-hari diarahkan senantiasa untuk mengingatnya. Orientasi
merupakan suatu hal penting pada masyarakat Jawa, hal ini diduga menjadi dasar dalam
menentukan arah apabila akan membuat maupun melakukan sesuatu. Masyarakat
percaya dengan mempertimbangkan adanya orientasi maka setiap hal yang akan
dilakukan berjalan dengan baik.

Gambar 3 Sketsa Sumbu Imajiner Lor-Kidul

d. Konsep Supit Urang


Pada bagian luar benteng keraton terdapat sebuah jalan yang mengelilingi
dinding keraton bagian inti, jalan ini bernama Jalan Supit Urang. Jalan Supit Urang
merupakan simbolisme dari capit udang yang merangkul dan melindungi lingkungan
keraton dari luar. Udang menggunakan capit sebagai alat pertahanan dari musuh.
KGPA Puger menyatakan bahwa Jalan Supit Urang dibuat mengelilingi bangunan
Keraton Surakarta dengan pemahaman agar dapat melindungi dan merangkul semua
orang sehingga dapat tercipta suasana yang aman terjaga.
Konsep simbolisme dan konsep lanskap pada Keraton Surakarta merupakan
tuntunan perjalanan hidup menuju ke arah kesempurnaan yang terwujud dalam
wujud fisik bangunan Keraton yang dimulai dari Gapura Gladag hingga Gapura
Gading. Konsep tata ruang tersebut menjadikan susunan bangunan-bangunan
Keraton Surakarta memiliki suatu hirarki yang kuat. Berikut terdapat gambar tata
letak bangunan-bangunan pada Keraton Surakarta yang disajikan pada Gambar 5.

7
Ihdina Sabili, 08111850020001

Gambar 4 Tata Letak Bangunan pada Keraton Surakarta

Bangunan tradisional Jawa merupakan bangunan yang menjadi dasar pada


bangunan-bangunan Keraton Surakarta. Tata ruang bangunan tradisional Jawa
Tengah terdiri dari lima bagian ruang yaitu Pendapa, Pringgitan, Griya Ageng,
Gandok dan Pawon. Keraton Surakarta menggunakan konsep bangunan yang sama
dengan tata ruang bangunan tradisional Jawa. Analogi bangunan di Keraton
Surakarta dengan bangunan rumah tradisional Jawa disajikan pada Gambar 6.

Gambar 5 Analogi Tata Letak Bangunan Keraton dan Rumah Adat

8
Ihdina Sabili, 08111850020001

Pandapa merupakan bangunan yang terletak paling depan dengan saka/tiang


sebagai penopangnya, pandapa biasanya dilengkapi dengan atap berbentuk limasan
dan digunakan sebagai tempat berkumpul maupun tempat menerima tamu.
Pringgitan adalah ruang penghubung antara Pendapa dengan Griya Ageng yang
merupakan pusat maupun inti dari kegiatan keluarga di rumah. Griya Ageng terbagi
menjadi dua, bagian depan memiliki luasan lebih besar dan digunakan untuk ruang
berkumpul keluarga, sedangkan bagian belakang terdiri dari tiga ruangan, yaitu
Krobongan, Senthong Tengen/kanan dan Senthong Kiwa/kiri (Setiawan, 2000).
Selanjutnya, Gendok yang berada di sisi kiri dan kanan Griya Ageng yaitu ruang
yang digunakan sebagai kamar anggota keluarga dan Pawon ruang yang letaknya
paling belakang yang merupakan sebuah dapur.
Uraian empat konsep tata letak Keraton Surakarta Hadiningrat di atas sekaligus
merupakan tahap interpretasi pada data yang telah didapat untuk dianalisa. Setelah
itu penarikan kesimpulan sebagai hasil akhir dari proses analisa data. Berikut
penjelasan dari masing-masing konsep tata letak Keraton yang dapat dikorelasikan
dengan penafsiran nilai budaya dalam agama Islam. Tidak berhenti di situ,
penafisran nilai dalam Islam juga dilengkapi dengan landasan pada pedoman dasar,
yakni Al-Qur’an dan Hadist.
Pengaruh akulturasi budaya Islam pada Makna Arsitektur Keraton Surakarta
Hadiningrat dapat dilihat pada uraian konsep dalam tabel berikut:
Penafsiran dalam
No Keterangan konsep Makna
budaya Islam
1 Konsep Philosophie dan - Kehadiran manusia di
Kosmologi muka bumi sebagai
khalifah
- Keseimbangan bumi
dengan Allah menciptakan
gunung sebagai tiangnya

2 Konsep Dualisme Allah menciptakan segala


sesuatu di muka bumi
berpasang-pasang. Hal ini
supaya keduanya saling
melengkapi
3 Konsep Papat Kalima Keseimbangan antara
Pancer/Sadulur Papat hablu minallah dan hablu
Kalima Pancer minan naas.

9
Ihdina Sabili, 08111850020001

4 Konsep Cupit Urang Tuntunan perjalanan hidup


menuju ke arah
kesempurnaan

Penafsiran penjabaran konsep dalam dalil ayat Al-Qur’an


1. Konsep Filosofi memiliki makna dalam nilai Islam bahwa Manusia diutus di muka
bumi ini tiada lain adalah sebagai khalifah. Sebagaimana telah disebutkan dalam Al-
Qur’an surat Al-Baqoroh yang mempunyai arti sebagai berikut: Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
khalifah di muka bumi.” Adapun konsep kosmologi memiliki makna keseimbangan
bumi dengan Allah menciptakan gunung sebagai tiangnya. Terlihat dari tata letak
keraton dengan keadaan alam di sekitarnya, semata sebagai penyeimbang dalam
makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini seperti halnya telah tertulis dalam Surat An-
Naba’ Ayat 6-7 yang berarti "Bukankah Kami telah menjadikan Bumi itu sebagai
hamparan? dan gunung-gunung sebagai pasak?"
2. Konsep Dualisme yang memiliki arti bahwa segala sesuatu diciptakan seimbang,
berpasangan. Menggambarkan makna bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di
muka bumi berpasang-pasang. Hal ini supaya keduanya saling melengkapi.
Sebagaimana telah tertulis pada surat Yasin ayat 36 yang memiliki arti "Maha suci
Allah yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh Bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui,"
3. Konsep Papat Kalima Pancer memiliki makna keseimbangan antara garis vertikal
(hablu minallah) dan garis horizontal (hablu minannas). Terbukti perintah ini
diturunkan Allah yang tersirat dalam surat Ali Imron ayat 112, dengan arti sebagai
berikut: "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia dan mereka
kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang
demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi
tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan
melampaui batas."
4. Konsep Supit Urang merupakan konsep dengan pendekatan aspek sosial dan
keamanan pada masyarakat. Konsep yang dibuat merupakan hasil dari analisa keadaan
yang akan dihadapi dalam pembentukan sebuah suasana kompleks tempat tinggal raja.
Namun konsep ini juga dapat diartikan dalam filosofi Islam dan nilai budaya bahwa
setiap tempat tinggal tentu punya pembagian area. Mulai dari privat, publik, maupun
semi publik dan semi privat. Hal ini dapat dikaitkan dengan perintah Allah dalam
memperingatkan batasan-batasan privasi orang dalam rumahnya dan bagaimana
menyikapinya jika bertamu. Terbukti pada Surat An-Nur ayat 27-29 yang berarti:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui
seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin.
Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu
10
Ihdina Sabili, 08111850020001

bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa
atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada
keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu
sembunyikan”.

KESIMPULAN
Keraton Surakarta terbentuk dengan konsep tata ruang hasil pemikirian dan
kepercayaan masyarakat Jawa masa itu, sehingga terbentuk suatu hirarki pada susunan
bangunan-bangunan di Keraton Surakarta. Konsep kiblat papat kalima pancer membuat
Keraton Surakarta sebagai pusat/pancer dari segala aktifitas masyarakat. Orientasi merupakan
hal penting bagi masyarakat Jawa dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Konsep kiblat papat
kalima pancer menciptakan sebuah sumbu imajiner pada Kota Surakarta. Konsep tata ruang
dengan nilai simbolisme dan filosofi yang kuat membuat setiap fase pada bangunan di
Keraton Surakarta memiliki makna bahwa setiap fase yang dilewati dipercaya dapat menuju
kesempurnaan.
Semua konsep tersebut merupakan gambaran dari prinsip-prinsip dalam agama Islam.
Meski tidak secara eksplisit menyebutkan dasar agama Islam dengan pedoman pada Al-
Qur’an maupun Hadist Rasul, nilai-nilai yang ditanamkan merupakan intisari dari dua dasar
utama berpedoman agama Islam itu. Hal ini menjadi sebuah keniscayaan jika dilihat kembali
pada sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat yang lahir sebagai penerus kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia. Kehadirannya tidak hanya sebagai pembawa agama Islam kepada rakyat,
namun juga sebagai peninggalan sejarah yang makna dan simbolnya diberikan untuk
dipahami dan direnungkan masyarakat saat ini hingga esok.

DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Soedjipto. (2015). Kitab Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Penerbit
Saufa.
Febyandari, Danur. (2012). Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta Terhadap
Lansap Kota Surakarta. Skripsi. Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Groat, Linda & Wang, David. (2013). Architectural Research Methods (second edition). New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc, Hoboken.
Hadi, Sutrisno. (1990). Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Jencks, C.. (1980). The Architectural Sign, dalam Sign, Symbols and Architecture, in Sign,
Symbols and Architecture, ed. Geoffrey Broadbent, Ricahrd Bunt, Charles Jencks, Jenks
John Wiley & Sons, New York.
Kartono, J. Lukito. (2005). Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya. Jurnal
Ilmiah. Fakultas Seni dan Desain, Jurusan Desain Interior. Universitas Kristen Petra.
Surabaya.
Mangunwijaya, Y. B. (1989). Wastu citra: pengantar ke ilmu budaya bentuk arsitektur, sendi-
sendi filsafatnya, beserta contoh-contoh praktis. PT Gramedia Pustaka Utama.
Milles, M.B. and Huberman. (1984). Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication.

11
Ihdina Sabili, 08111850020001

Niezabitowska, Elzbieta Danuta. (2018) Research Methods and Techniques in Architecture.


New York: Routledge.
Patilima, Hamid. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Santosa, Imam. (2007). Kajian Estetika dan Unsur Pendukungnya pada Keraton Surakarta.
Jurnal. ITB J. Vis. Art. Vol. 1 D, No. 1, 2007, 108-127. Fakultas Senirupa dan Desain.
Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Setiawan, Eko Adhy. (2000). Konsep Simbolisme Tata Ruang Luar Keraton Surakarta
Hadiningrat. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Soeratman Darsiti. (1989). Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta:
Taman Siswa.
Sopandi, Setiadi. (2013), Sejarah Arsitektur: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Winarti, Sri. (2004). Sekilas Sejarah Karaton Surakarta. Surakarta: Cendrawasih.

12

Anda mungkin juga menyukai