Anda di halaman 1dari 10

MALI (LARANGAN)

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MELAYU SINTANG


(KAJIAN SEMANTIK)

OLEH:
TEDI SURYADI, M.Pd.
NIDN. 1107068702

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PERSADA KHATULISTIWA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SINTNAG 2024
KATA PENGANTAR

Pusji Syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan yang maha esa. Berkat
karuniaNya, makalah yang berjudul “Mali (Larangan) Kearifan Lokal Masyarakat
Melayu Sintang (Kajian Semantik)”, dapat diselesaikan tepat waktu. Sehingga
dapat dipertanggungjawabkan dan dibahas dalam forum diskusi ilmiah.
Makalah yang disusun terdiri dari tiga bagian Bab, yaitu Bab I Pendahuluan,
Bab II Pembahasan, dan Bab III Penutup. Dalam Bab I dan Bab II terdapat
kutipan yang disitasi dari berbagai sumber ilmiah dengan style Vancouver, dengan
tujuan menjaga etika pengutipan dan terhindar dari unsur plagiasi.
Penulis berharap, dengan selesainya makalah ini dapat diuji dan dibahas
pada forum diskusi ilmiah, untuk menggali informasi berkaitan dengan masalah
penulisan dan memberikan pemahaman kepada peserta diskusi dan pembaca
makalah ini. Dengan demikian, apa yang menjadi subtansi tulisan dapat
dipertanggungjawabkan dan diperbaiki jika terdapat kekeliruan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat secara akademis dan non
akademis sebaga referensi yang sahih. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak terkait yang telah berkontribusi dalam penyelesaian makalah
ini. Semoga kita semua selalu sehat dan bermanfaat bagi sesama.

Sintang, … Maret 2024

Penulis
DARTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan


Kota Sintang terletak di kabupaten Sintang, provinsi Kalimantan Barat.
Di kota Sintang, masyarakat Melayu merupakan penduduk asli yang tersebar di
sembilan kelurahan, yaitu Kapuas Kanan Hilir, Kapuas Kanan Hulu, Kapuas
Kiri Hilir, Kapuas Kiri Hulu, Mengkurai, Menyumbung Tengah, Sengkuang,
Tanjung Puri, dan kelurahan Ladang. Sembilan kelurahan tersebut merupakan
bagian dari wilayah Kecamatan Sintang.
Istilah Melayu dimaknai sebagai sebuah kultur. Bukan Melayu sebagai
suku, etnis, atau entitas budaya dalam arti sempit lainnya. Artinya Melayu
adalah setiap tempat, komunitas, kelompok masyarakat ataupun daerah di
belahan dunia manapun yang masih atau pernah menjalankan tradisi
Melayu (1). Sesuai dengan pendapat Thamrin, masyarakat Melayu Sintang
masih menjalankan tradisi dan kearifan lokal Melayu. Namun, sejak
masyarakat Melayu memperoleh pendidikan agama Islam, semua tradisi yang
dijalankan dilakukan penyesuaian dengan aturan atau larangan agama dengan
tidak menghilangkan ciri khas tradisi dan kearifan lokalnya.
Masyarakat Melayu Sintang yang telah lama menerapkan Mali
(Larangan) sebagai kearifan lokal, masih meyakini makna konotatif yang
termuat didalamnya, tidak melihat makna denotatif. Dengan demikian, makna
konotatif dari Mali (Larangan) sudah tidak relevan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Seharusnya, Mali (Larangan) sebagai sebuah kearifan lokal yang
diciptakan dapat terus dilestarikan dengan baik jika ditambahkan makna
denotatif. Sehingga Mali (Larangan) dapat sesuai dengan pemahaman
masyarakat Melayu Sintang di era sekarang. Oleh karena itu pembahasan ini
harus segera diuji pada forum diskusi ilmiah dengan tujuan mewujudkan cita-
cita pelestarian kearifan lokal masyarakat Melayu Sintang, khususnya Mali
(Larangan).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan pada latar belakang di atas, penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Kearifan lokal masyarakat Melayu Sintang.
2. Mali (Larangan).
3. Kajian Semantik.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah untuk:
1. Mendeskrisikan Kearifan lokal masyarakat Melayu Sintang.
2. Mendeskripsikan Mali (Larangan)
3. Mendeskripsikan Kajian Semantik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Sintang


Masyarakat Melayu Sintang mayoritas beragama Islam, akan tetapi
masih memegang teguh kearifan lokal yang telah lama dibina. Satu di antara
kearifan lokal yang terus dilestarikan adalah Mali (Larangan). Kearifan lokal
dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia
yang memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya yang
pada akhirnya melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia, kearifan lokal
adalah filosofi dan pandangan hidup yang mewujud dalam berbagai bidang
kehidupan (tata nilai sosial dan ekonomi, arsitektur, kesehatan, tata lingkungan,
dan sebagainya (2).
B. Mali (Larangan)
Larangan merupakan aturan tidak tertulis masyarakat Melayu, tentang
larangan dalam perkataan dan tindakan manusia. Hal ini juga dijelaskan oleh
Aslan dalam penelitiannya yang berjudul “Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam
Budaya Pantang Larang Suku Melayu Sambas”, pantang larang adalah
pantangan dan larangan yang dijadikan patokan dalam kehidupan masyarakat
Suku Melayu Sambas, baik mengenai ritus siklus kehidupan (kelahiran,
perkawinan dan kematian) dan ritual-ritual yang dilakukan dalam kehidupan
masyarakat. Pantang larang dalam masyarakat memiliki makna yang sangat
dalam. Walaupun pantang larang yang dimiliki oleh masyarakat tetapi sebagai
produk manusia pantang larang dianggap mitos yang diyakini kebenarannya
tetapi tidak dapat dibuktikan (3).
Mali (Larangan), kearifan lokal masyarakat Melayu Sintang yang
merupakan larangan perkataan dan tindakan manusia yang memiliki makna
konotatif yang mengandung mitos, diyakini namun kebenarannya tidak dapat
dibuktikan. Padahal Mali (Larangan) memiliki makna denotatif. Makna
denotatif itulah dapat dijadikan pedoman dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat. Sebagai contoh, Mali (Larangan) tindakan, “Mali duduk di depan
pintu (Larangan duduk di depan pintu)”. Makna konotatif yang diyakini
masyarakat yaitu ketika sudah dewasa susah mendapatkan jodoh. Makna
denotatif, duduk di depan pintu dapat menghalangi orang lain yang ingin keluar
atau masuk. Mali (Larangan), merupakan produk yang diproduksi manusia
sebelum ada pendidikan formal. Sehingga dengan diciptakan Mali (Larangan),
ada hal yang harus dipatuhi yang mengandung aturan.
C. Kajian Semantik
Chaer (Amalia dan Anggraini) menyatakan bahwa makna denotatif pada
dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim
diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut
penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Sedangkan makna konotatif itu dapat berbeda-beda menurut bentuk masyarakat
yang menghasilkannya atau menurut individu yang menciptakannya, bentuk
medium yang dipergunakan (bahasa lisan atau tulisan) menurut bidang yang
menjadi isinya (4).
Makna denotatif dan konotatif merupakan kajian dari cabang ilmu
Bahasa, yaitu Semantik.
“Semantic is the study of meaning in words, phrases and sentences. In
semantic analysis the focus is on the meaning of what appears in the
conventional word, aiming to explain what humans know” (5).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

1. Thamrin H. Antropologi Melayu. Yogyakarta: Kalimedia; 2018.

2. Pingge HD. KEARIFAN LOKAL DAN PENERAPANNYA DI SEKOLAH.


Jurnal Edukasi Sumba. 2017;01(02):128–35.
3. Aslan. NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM BUDAYA PANTANG
LARANG SUKU MELAYU SAMBAS. Ilmu Ushuluddin [Internet].
2017;6(1):11–20. Available from:
https://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/ushuluddin/article/view/1438
4. Amalia F dan Anggraeni AW. SEMANTIK Konsep dan Contoh Analisis. 1st ed.
Malang: MADANI; 2017.
5. Pratiwi DR, Maulia Indrayani L, Soemantri YS, Id DC. The Analysis of
Denotative and Connotative Meaning in Ariana Grande’s Song Lyrics: A Semantic
Study. ELS Journal on Interdisciplinary Studies on Humanities [Internet]. 3:2020.
Available from: http://journal.unhas.ac.id/index.php/jish
Lampiran 1
…………

Anda mungkin juga menyukai