Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Arsitektur tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan kebudayaan bangsa


Indonesia. Keragaman Arsitektur tradisional yang tersebar di bentang kawasan Nusantara
menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tiada habis-habisnya. Arsitektur tradisional di setiap
daerah menjadi lambang kekhasan budaya masyarakat setempat. Sebagai suatu bentuk
kebudayaan arsitektur tradisional dihasilkan dari satu aturan atau kesepakatan yang tetap
dipegang dan dipelihara dari generasi ke generasi. Aturan tersebut akan tetap ditaati selama
masih dianggap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat.

Pada masa sekarang dimana modernisasi serta globalisasi demikian kuat


mempengaruhi peri kehidupan dan merubah kebudayaan masyarakat, Adalah suatu kondisi
alamiah bahwa suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Namun perubahan yang diinginkan adalah perubahan yang tetap memelihara karakter inti dan
menyesuaikannya dengan kondisi saat ini. Sehingga tetap terjaga benang merah masa lalu,
masa kini dan masa yang akan datang.

Desa adat Tigawasa yang berada di kabupaten Buleleng ini merupakan salah satu Desa
Bali Aga yang masih memegang erat kebudayaan tradisionalnya. Meskipun beberapa unsurnya
mulai terpengaruhi oleh budaya modern sendiri. Ini menjadi salah satu alesan saya memilih
Desa Adat Tigawasa sebagai objek dari studi kasus saya ini.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :

1.2.1 Bagaimana kondisi fisik dari Desa Tigawasa?


1.2.2 Bagaimana pola hunian pada Desa Adat Tigawasa?
1.2.3 Apa peranan budaya dalam arsitektur pada bangunan rumah Desa Tigawasa?

1.3 Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan tujuan dari penulisan makalah ini
adalah :

1|Page
1.3.1 Mengetahui mengenai kondisi fisik dari Desa Tigawasa.
1.3.2 Mengetahui pola hunian yang ada di Desa Tigawasa.
1.3.3 Mengetahui mengenai peranan budaya dalam arsitektur pada bangunan Desa Tigawasa.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dilakukan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan metode
pengumpulan data melalui beberapa tinjauan lapangan langsung dan wawancara langsung
terhadap pihak terkait.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan sistematika
penulisan dari makalah mengenai Peran Budaya pada Arsitektur di Desa Adat Tigawasa pada
mata kuliah Arsitektur dan Budaya ini.

BAB II TINJAUAN LITERATUR


Bab ini membahas mengenai teori dan pemahaman mengenai Peran Budaya terhadap
Arsitektur.

BAB III STUDI KASUS


Bab ini berisi tentang studi kasus mengenai Peran Budaya terhadap Arsitektur pada bangunan
rumah di Desa Adat Tigawasa.

BAB IV PENUTUP
Memuat kesimpulan dan saran atas teori dan pemahaman mengenai Arsitektur dan Budaya
serta studi kasus mengenai Peran Budaya terhadap Arsitektur pada bangunan rumah di Desa
Adat Tigawasa.

2|Page
BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1 Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata cultuure (Belanda) culture (Inggris) dan colere (Latin)
yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan terutama
pengolahan tanah yang kemudian berkembang menjadi segala daya dan aktifitas manusia
manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Dari bahasa Indonesia (Sansekerta)
“buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain
“budaya” adalah sebagai suatu perkembangan darikata majemuk budi-daya, yang berarti daya
dari budi, karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya
dari budi yang berupa cipta,karsa dan rasa.
Kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas dan pengertiannya tergantung dari
bidang, tujuan bahasan atau penelitian tentang kebudayaan tersebut dilakukan. Terdapat
konsep kebudayaan yang bersifat materiel, yang dilawankan dengan kebudayaan yang bersifat
idiel atau konsep yang mencakup keduanya. A. Kroeber & C. Kluchkohn (dalam Poerwanto,
1997) secara lengkap menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah
laku dan bertingkah laku, eksplisit maupun implisit yang diperoleh melalui simbol yang
akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk
perwujudannya dalam benda-benda materi. Seperti halnya dinyatakan Koentjaraningrat (2005)
bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang didapatkannya
melalui belajar. Dengan mengkaji lingkungan alam tempat tinggalnya, menyesuaikan diri dan
mencoba menarik manfaatnya.
Menurut wujud atau bentuknya kebudayaan dibagi dari yang abstrak sampai ke yang
kasat. JJ. Honigman dalam Koentjaraningrat (2005) membagi wujud kebudayaan tersebut
dalam 3 bagian, yakni: Sistem Kebudayaan (Cultural System) yang bersifat abstrak berupa nilai
atau pandangan hidup, Sistem Sosial (Sosial system) yang berupa pola kegiatan yang sifatnya
lebih konkrit serta Kebudayaan Fisik (Physical Culture) berupa peralatan, perabot dan
bangunan yang sifatnya paling konkrit. Masing-masing bentuk kebudayaan tersebut berkaitan
erat satu sama lain.
Pada semua kebudayaan terdapat unsur-unsur yang selalu ada yang dikategorikan
dalam tujuh unsur kebudayaan meliputi: Sistem Religi dan Upacara Keagamaan, Sistim dan
Organisasi Kemasyarakatan, Sistem Pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem Mata Pencaharian

3|Page
serta Sistem Teknologi (Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2005). Unsur budaya tersebut
merujuk pada macam atau tema kebudayaan. Sifat unsur kebudayaan tersebut universal, artinya
pada kebudayaan apapun ketujuh unsur tersebut ada, hanya komposisinya saja yang akan
berbeda. Komposisi inilah yang akan memberikan karakter pada suatu kebudayaan
.
Unsur-Unsur Kebudayaan

1. Sistem Religi (sistem kepercayaan).


Merupakan produk manusia sebagai homo religieus. Manusia yang memiliki
kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat
kekuatan lain yang maha besar. Karena itu manusia takut, sehingga menyembahnya dan
lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama.

2. Sistem organisasi kemasyarakatan.


Merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah,
namun memiliki akal, maka disusunlah organisasi kemasyarakatan dimana manusia
bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

3. Sistem pengetahuan.
Merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari
pemikiran sendiri, disamping itu didapat juga dari orang lain. Kemampuan manusia
mengingat- ingat apa yang telah diketahui kemudian menyampaikannya kepada orang lain
melalui bahasa. menyebabkan pengetahuan menyebar luas. Lebih-lebih bila pengetahuan itu
dibukukan, maka penyebarannya dapat dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

4. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi.


Merupakan produk manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat kehidupan
manusia secara umum terus meningkat,

5. Sistem Teknologi dan Peralatan.


Merupakan produk dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirarmya
yang eerdas dan dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan
erat,manusia dapat membuat dan mempergunakan alat. Dengan alat-alat ciptaannya itulah
manusia dapat lebih mampu meneukupi kebutuhannya daripada binatang

4|Page
6. Bahasa.
Merupakan produk dari manusia sebagai homo longuens. Bahasa manusia pada
mulanya diwujudkan dalam bentuk tanda (kode) yang kemudian disempumakan dalam
bentuk bahasa lisan, dan akhimya menjadi bentuk bahasa tulisan.

7. Kesenian.
Merupakan hasil dari manusia sebagai homo aestetieus. Setelah manusia dapat
mencukupi kebutuhan fisiknya, maka dibutuhkan kebutuhan psikisnya untuk dipuaskan.
Manusia bukan lagi semata-mata memenuhi kebutuhan isi perut saja, mereka juga perlu
pandangan mata yang indah, suara yang merdu, yang semuanya dapat dipenuhi melalui
kesenian,

2.2 Perubahan Kebudayaan


Budaya sebagai sebuah sistem tidak pernah berhenti tetapi mengalami perubahan dan
perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dari dalam maupun dari luar sistem tersebut.
Perubahan ini logis terjadi karena aspek proses adaptasi dan belajar manusia sehingga selalu
menuju pada tataran serta tuntutan yang lebih baik. Dengan perubahan tersebut waktu dalam
arti masa dan kesejarahan menjadi faktor yang perlu diperhitungkan.
Dalam perkembangannya, akibat perpindahan atau hubungan antar masyarakat dalam
berbagaikegiatan, persinggungan bahkan percampuran antara kebudayaan satu dengan
kebudayaan yang lain tidak akan terhindarkan. Proses pertemuan dua kebudayaan yang
berbeda menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi (Poerwanto, 1997). Akulturasi terjadi
ketika kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang saling berbeda
berhubungan langsung dan intensif sehingga kemudian menyebabkan perubahan pola
kebudayaan pada salah satu atau kedua kebudayaan tersebut (Syam, 2005).
Syam menyebutkan bahwa akulturasi lebih merupakan pengkayaan suatu kebudayaan
tanpa merubah ciri awal kebudayaan tersebut. Asimilasi adalah proses peleburan kebudayaan
dimana satu kebudayaan dapat menerima nilai-nilai kebudayaan yang lain dan menjadikannya
bagian dari perkembangan kebudayaannya (Park dan Burgess dalam Poerwanto, 1997).
Rapoport (1994) menyebut akulturasi ini sebagai salah satu bentuk kebudayaan
berkelanjutan (Cultural Sustainability) yang merupakan upaya suatu kebudayaan agar dapat
bertahan. Rapoport, menyatakan, walaupun suatu kebudayaan pasti berubah, yang diharapkan
adalah sebuah perkembangan, dengan tetap mempertahankan karakter dari kebudayaan
tersebut. Perubahan lebih merupakan adaptasi terhadap tuntutan dan tatangan baru agar

5|Page
kebudayaan tersebut dapat tetap hidup. Dengan demikian ada bagian-bagian yang tetap eksis
dan menjadi ciri kuat dari kebudayaan tersebut serta ada bagian-bagian yang berubah
menyesuaikan perkembangan jaman (continuity and change). Unsur-unsur yang tetap
dipertahankan dan diturunkan antar generasi menjadi tradisi kebudayaan.

2.3 Hubungan Arsitektur dan Kebudayaan

Masyarakat tiap daerah mempunyai kemampuan dan kreativitas yang berbeda dalam
mengadaptasi dan mengolah kebudayaan baru. Hal ini mempengaruhi dan mengakibatkan
bervariasinya hasil-hasil budaya itu, antara lain adalah beragamnya kekhasan arsitektur yang
mampu mencerminkan budaya daerah. Rumah dengan segala perwujudan bentuk , fungsi dan
maknanya senantiasa diatur, diarahkan, dan ditanggapi atau diperlakukan oleh penghuni
menurut kebudayaan yang mempengaruhi masyarakat yang bersangkutan.

Konteks kebudayaan dalam bentuknya yang akan tercermin dalam karya arsitektur
meliputi: agama, sosial, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, estetika. Nilai
sebagai salah satu perwujudan kebudayaan akan mencakup hal yang berkenaan dengan
kebenaran (logika), kebaikan (etika), keindahan (estetika). Faktor fungsi dari kebudayaan
dalam wujud arsitektur ditentukan oleh kebutuhan, teknologi, asosiasi, estetika, telesik
(kesejamanan), pemakaian yang tepat.

Sebagaimana setiap suku bangsa mempunyai corak rumah masing-masing baik bentuk
maupun fungsi dari rumah tinggal yang di huninya. rumah tempat tinggal dapat berlainan
menurut ukuran serta kemewahannya, karena sebuah rumah orang Jawa dapat juga
memperlihatkan bagaimana status sosial dari penghuninya. Arsitektur merupakan salah satu
hasil budaya yang dapat menunjukkan identitas masyarakat pendukungnya.

2.4 Arsitektur dalam Perubahan Kebudayaan

Dalam membahas arsitektur, terdapat tiga aspek yang sangat terkait di dalamnya, yakni
contend, container dan context. Contend menyangkut isi, yakni manusia sebagai penghuni
dengan segala aktifitas dan kebudayaanya. Container menyangkut wadah, bentuk fisik,
lingkungan binaan atau bangunan yang mewadahi kegiatan manusia tersebut. Context

6|Page
menyangkut tempat, lingkungan alam dimana wadah dan isinya berada. Perubahan diantara
ketiganya akan menyebabkan berubah pula yang lain.

Dalam hal perubahan budaya, bentuk perubahan lingkungan permukiman tidak


berlangsung spontan dan menyeluruh, tetapi tergantung pada kedudukan elemen lingkungan
tersebut dalam sistern budaya (sebagai core atau sebagai peripheral elemen). Hal ini
mengakibatkan adanya, elemen-elemen yang tidak berubah serta ada elemen-elemen yang
berubah mengikuti perkembangan. Elemen yang tetap akan menjadi ciri khas dan pengenal dari
arsitektur suatu daerah pada skala yang luas, sementara elemen yang berubah akan menjadi
farian dan keragaman pada lingkup atau daerah yang lebih kecil.

Arsitektur sebagai wujud nyata kebudayaan dapat dipastikan akan ikut terimbas mana
kala kebudayaan sebagai suatu sistem keseluruhan mengalami perubahan. Bahkan sebagai
bentuk kebudayaan yang kedudukannya paling luar, arsitektur merupakan bentuk kebudayaan
yang paling rentan berubah. Sebagai bentuk adaptasi, perubahan-perubahan bentuk arsitektur
tersebut akan mewakili kondisi kebudayaan pada saat itu, yang apabila dirangkaikan akan dapat
bercerita tentang sejarah suatu kebudayaan.

2.5 Arsitektur Tradisional

Arsitektur sebagai produk kebudayaan akan mencerminkan peradaban masyarakat


setempat. Pada kebudayaan yang bertahan karena nilai-nilainya tetap dipegang dan diturunkan
antar generasi, akan tercermin pada tampilan arsitektur lingkungan binaannya. Wujud fisik
kebudayaannya dikenal sebagai arsitektur tadisional. Arsitektur tradisional kerap dipadankan
dengan Vernakular Architecture, Indigenous, Tribal (Oliver dalam Martana, 2006), Arsitektur
Rakyat, Anonymus, Primitive, Local atau Folk Architecture (Papanek dalam Wiranto, 1999).
Juga disebut sebagai Arsitektur Etnik (Tjahjono,1991).

Istilah-istilah tersebut diatas saling terkait dan pada penggambarannya sulit dipisahkan
satu sama lain. Beberapa persamaannya adalah karakter spesifik yang merujuk pada budaya
masyarakat, keterkaitan yang dalam dengan lingkungan alam setempat (lokalitas), serta
bersumber dari adat yang diturunkan antar generasi dengan perubahan kecil.

Menurut Oliver (2006) arsitektur vernakular (dalam bahasan ini akan disebut sebagai
arsitektur tradisional) dibangun oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam
pandangan hidup masing-masing masyarakat. Kebutuhan khusus dari nilai-nilai yang bersifat
lokal ini menimbulkan keragaman bentuk antar daerah. Kekhasan dari masing-masing daerah

7|Page
tergantung dari respon dan pemanfaatan lingkungan lokalnya yang mencerminkan hubungan
erat manusia dan lingkungannya (man & enfironment).

Jadi keragaman arsitektur tradisional mencerminkan besarnya fariasi budaya dalam


luasnya spektrum hubungan masyarakat dan tempatnya. Karakter kebudayaan dan konteks
lingkungannya menjadi fokus bahasan arsitektur tradisional. Nilai-nilai yang cocok dan dapat
memenuhi kebutuhan dipertahankan dan menjadi tradisi yang diturunkan dari ayah ke anak.
Tradisi ini akan tetap dipertahankan bila mempunyai makna, baik praktis maupun simbolis.

Arsitektur Tradisional Bali


Arsitektur Tradisional merupakan bagian dari kebudayaan dimana kelahirannya
dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, adat kebiasaan dan juga keadaan alam setempat.
Arsitektur Tradisional adalah sebuah perwujudan ruang yang berfungsi untuk menampung
segaka aktivitas manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya dengan dan atau
tanpa adanya perubahan didalamnya. ( Arsitektur Tradisional Daerah Bali; 10)
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005, Arsitektur
Tradisional Bali memiliki arti sebagai sebuah tata ruang dimana pembangunannya didasarkan
atas nilai dan norma-norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang akan diwariskan
secara turun menurun. Sementara Arsitektur Non Tradisional Bali adalah arsitektur yang tidak
menerapkan norma-norma arsitektur tradisional Bali secara utuh tetapi menampilkan gaya
arsitektur tradisional Bali. ( Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan
Arsitektur Bangunan Gedung )

8|Page
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Tinajuan Objek Desa Tigawasa

Pada studi kasus ini, dipilih salah satu rumah di Desa Adat Tigawasa, Buleleng yang
tergolong Desa Bali Aga yang saat ini sedang mengalami pergeseran atau perubahan arsitektur
dalam konteks kebudayaan baik dari segi fisik maupun non fisik.

Gambar : Peta Lokasi Desa Adat Tigawasa

Sumber : https://maps.google.com

9|Page
Gambar : Peta Lokasi Desa Adat Tigawasa

Desa Tigawasa dari kota Singaraja dengan arah ke barat yang jaraknya ± 19 km sampai
di Labuan Aji ( Ramayana ). Dari Labuan Aji ( Ramayana ) ke selatan dengan jarak ± 5 km,
adapun letak Desa Tigawasa pada tanah landai di pegunungan, yang dari permukaan laut ± 500
s/d 700 m. Desa Tigawasa mempunyai luas wilayah 1690 Ha dari pegunungan sampai ke pantai
( laut ) Tukad Cebol (kini Desa Kaliasem ) kampung Bunut Panggang, Bingin Banjah dan
Kampung Labuan Aji adalah wilayah Desa Tigawasa.

LUAS WILAYAH : 1.690 Ha

LETAK DAN BATAS DESA


Letak Geografis
Batas-batas Desa :
Sebelah utara : Desa Temukus dan Kaliasem
Sebelah Selatan : Desa Pedawa
Sebelah Barat : Desa Cempaga
Sebelah Timur : Desa Kayu Putih Melaka

JUMLAH BANJAR DINAS : Terdiri dari 9 Banjar dinas


Nama Banjar Dinas :
- Banjar Dinas Dauh Pura

10 | P a g e
- Banjar Dinas Sanda
- Banjar Dians Pangussari
- Banjar Dinas Wanasari
- Banjar Congkang
- Dinas Dinas Gunung Anyar
- Banjar Dinas Dangin pura
- Banjar Dinas Umasedi
- Banjar Dinas Konci

JUMLAH PENDUDUK : 5.161 Jiwa


Laki-laki : 2.571
Perempuan : 2.570

MATA PENCAHARIAN
Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Dagang dan Indutri Anyaman Bambu.

ORGANISASI DESA
Subak Abian.
Karang Taruna.
Kelompok PKK
Sekaha Teruna-Teruni
Tani Ternak

POTENSI DESA : Pertanian, Peternakan, Kerajinan Tangan

SARANA PENDIDIKAN
TK : 1 buah ( TK Wira Kusuma Desa Tigawasa )
SD : 3 buah ( SD 1,SD 2, SD 3 Desa Tigawasa )
SMP : 1 buah ( SMP 1 Atap Negeri 2 Banjar )
Paket C : 1 buah ( Paket c Desa Tigawasa ).

11 | P a g e
Pola Pemukiman Desa Tigawasa

Pola permukiman Desa Tigawasa memiliki pola permukiman memusat. Permukiman


masyarakat mengelompok di tengah–tengah desa yang dikelilingi oleh kawasan perkebunan
dan tegalan dan perkembangannya menyebar pada lokasi pertanian yang berada pada luar
wilayah Banjar Dauh Pura. Banjar Dauh Pura berada di pusat atau di tengah–tengah desa dan
terdapat rumah dadia sebanyak 37 buah dan tempat suci, yaitu Pura Desa dan Pura Dalem yang
menjadi satu dengan Pura Desa, sedangkan Banjar lainnya berada mengelilingi Banjar dauh
pura dengan wilayahnya berada di luar wilayah utama Desa Tigawasa, biasanya masyarakat
mengatakan wilayah tersebut dengan istilah “kubu”. Kubu merupakan rumah tinggal di luar
pusat permukiman di ladang, di perkebunan atau tempat tempat kehidupan lainya. Lokasi kubu
tersebar tanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan permukiman, menempati unit-unit
perkebunan atau ladang-ladang yang berjauhan tanpa penyediaan sarana utilitas. Pola ruang
kubu sebagai rumah tempat tinggal serupa pola dengan rumah/umah.

Pola Hunian Desa Adat Tigawasa

Pola pada bangunan hunian di desa ini tidak menggunakan pola natah yang notabene
berisi banyak bangunan di dalam pekarangan, melainkan pola yang terdiri dari hanya tiga
bagian, yaitu bangunan utama (sakaroras), bangunan suci (sanggah), dan lumbung (jineng).
Proses pembangunan tempat tinggal masyarakat Desa Tigawasa dimulai dengan membangun
penyengker/bata pekarangan kemuadian membangun sanggah dilanjutkan dengan membangun
sakaroras. Jika pemilik rumah memiliki keinginan membangun bangunan penjunjang lainya
juga dapat dilbangun setelah membangun bangunan utama.

12 | P a g e
Gambar : Jalan akses menuju rumah penduduk

Sumber : Observasi Lapangan, April 2015

3.2 Unsur-Unsur Kebudayaan yang terdapat pada Desa Tigawasa

a. Sistem Religi dan Upacara Keagamaan,

Tigawasa adalah sebuah desa tua “Bali Aga”, tepatnya di Kecamatan Banjar Kabupaten
Buleleng. Nama desa ini sangat erat hubungannya dengan kedatangan seorang Rsi bernama
Rsi Markandeya ke Bali, yang konon membawa anak buahnya “wong Aga” dari Gunumg
Rawung. Menurut Lontar Markandeya Wong Aga inilah yang menetap di Bali hingga
sekarang, yang tersebar di daerah seluruh Bali, misalnya, Tigawasa sendiri, Cempaga,
Sidetapa, Pedawa, Sembiran, Trunyan, Batur dan sebagainya.

Kata Tigawasa berasal dari dua versi, yaitu yang pertama berarti, Tiga Kuasa atau Tiga
Tempat (tempat yang dimaksud adalah: Munduk Taulan, Pememan dan Kayehan Sanghyang).
Sedangkan arti kata yang kedua adalah, Tiga Was atau tiga kali pergi (maksudnya adalah tiga
kali pergi untuk membuat desa, tempat yang pertama adalah di Sanda, kedua Pangus dan yang
terakhir tempat dimana saat ini merupakan pusat desa.

Desa yang terkenal dengan anyaman sokasinya ini memiliki beberapa tradisi yang
sangat unik termasuk tradisi pada saat merayakan hari-hari keagamaan (galungan, kuningan,
Pegatwakan dan sebagainya). Pertama tradisi bahasa, bahasa yang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari oleh masyarakat di daerah Tigawasa adalah bahasa pedalaman yaitu bahasa yang

13 | P a g e
sudah ada sejak wong Aga sendiri masuk ke daerah Bali. Bahasa ini disebut bahasa Tigawasa
dimana vokal bahasanya kebanyakan memakai vokal ‘a’, yang mirip dengan bahasa Jawi dan
Melayu kuno. Misalnya saja dalam bahasa Indonesia,”mau kemana?”, dan dalam bahasa
Tigawasa, “kal kejapa?” Masih banyak lagi istilah-istilah dalam bahasa Tigawasa yang
mungkin tidak bisa dimengerti oleh masyarakat Bali kebanyakan.

Bali Aga tidak memiliki Pura Dalem, begitu juga dengan Desa Tigawasa. Desa
Tigawasa hanya memiliki Pura Desa, Pura Segara dan pura Gedong Besakih yang merupakan
pengayatan dari Pura Besakih. Kenapa tidak memiliki pura dalem? Karena sudah dirangkul
dan dijadikan satu dengan Bale Agung atau Pura Desa, sehingga orang-orang yang suka dengan
ilmu gelap akan musnah ketika menginjakkan kaki di desa Bali Purwa ini.

1. Pura Desa (Bale Agung)


2. Pura Gedong Besakih

14 | P a g e
3. Pura Segara

Masyarakat di desa Tigawasa percaya dengan adanya upacara ngulapin, tetapi upacara
ini dilakukan di kamar suci dan bisa juga di tempat tidur. Istilah ngulapin ini dikenal dengan
istilah Ngidih Yeh Base. Upacara ini diemong oleh Balian desa yang sudah terkenal mumpuni
di bidangnya. Tradisi yang lainnya adalah saat penguburan mayat. Masyarakat desa Tigawasa
mengenal suatu kepercayaan dimana, orang yang meninggal pada hari itu juga langsung
dikubur dan harus dimandikan dengan air sembung, karena sekte yang masih dianut adalah
sektu Sambu.

Selain kepercayaan memandikan mayat dengan air sembung, masyarakat desa juga
memiliki suatu kepercayaan dimana, mayat harus dinyanyikan dengan teriakan-teriakan yang
menyayat hati, yang diistilahkan dengan istilah Ngelenjatang, hal ini dimaksudkan untuk
memisahkan badan halus dan kasar. Mayat yang dikubur tidak memakai peti tetapi langsung
dibungkus dengan tikar dan hanya dibekali nasi bawang ajembung, dan langsung di bawa ke
penguburan setempat.

b. Sistim dan Organisasi Kemasyarakatan,

Secara turun–temurun kehidupan masyarakat Desa Tigawasa tidak pernahterlepas dari


adat. Begitu juga sistem organisasi sosial yang ada selalu mengacu padasistem adat dan awig–
awig . Hal ini lah yang mendasari sistem organisasi sosial yang kuatdan bertahan hingga kini.
Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa,banjar ,subak , dan sekehe.
Konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu desa adatdan desa dinas.

15 | P a g e
Adapun jenis-jenis organisasi kemasyarakatan yang berada di Desa Tigawasa adalah
Subak Abian, Karang Taruna, Kelompok PKK, Sekaha Teruna-Teruni, dan Tani Ternak.

c. Bahasa,

Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di daerah Tigawasa
adalah bahasa pedalaman yaitu bahasa yang sudah ada sejak wong Aga sendiri masuk ke daerah
Bali. Bahasa ini disebut bahasa Tigawasa dimana vokal bahasanya kebanyakan memakai vokal
‘a’, yang mirip dengan bahasa Jawi dan Melayu kuno.

d. Kesenian,

Hasil kerajinan anyaman bambu yang terkenal dari desa ini adalah sokasi dan gedeg.
Sokasi (sejenis bakul bertutup khas ala Bali) dibuat dari bambu bali (Gigantochloa sp.) dan
bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H.Schultes) Kurz. Gedeg yang khas dan kaya variasi
dibuat dari jenis-jenis bambu buluh seperti: Schizostachyum lima (Blanco) Merr.,
Schizostachyum zollingeri Steud. dan Schizostachyum castaneum Widjaja.

Berbeda dengan desa-desa lainnya di Bali, pembuatan sokasi mempergunakan jenis-


jenis bambu buluh dan untuk pembuatan gedeg mempergunakan jenis bambu tali dan bambu
bali. Sekalipun pada umumnya hampir semua bambu dapat digunakan untuk anyaman, tetapi
di desa Tigawasa setiap bambu mempunyai peran utama masing-masing pada jenis produk
anyaman tertentu

e. Sistem Mata Pencaharian

Kehidupan ekonomi masyarakat di DesaTigawasa terletak pada sektor pertaniandan


industri rumah tangga bahwa jenis mata pencaharian yang paling dominan di DesaTigawasa
adalah petani sebanyak 47,85% dan sebagi pengarajin industri rumah tangga sebanyak 47,01%.
Banyaknya masyarakat yang bekerjasebagai petani didukung olehluasnya lahan pertanian yang
ada di desa terutama lahan perkebunan kopi dan cengkehmencapaii 6,05% dari luas
keseluruhan Desa Tigawasa. Biasanya masyarakatmemanfaatkan pekarangan rumah (natah)
sebagai tempat menjemur hasil panen kopimaupun cengkeh.

3.3 Pembahasan Peran Budaya Terhadap Arsitektur

Objek studi yang digunakan yaitu rumah yang ada di Desa Adat Tigawasa, dimana
objek rumah yang dikaji yaitu rumah yang masih sangat kental terhadap unsur budaya dalam

16 | P a g e
konteks peran budaya terhadap arsitektur Peran budaya dapat dilihat dari fungsi bangunan,
bentuk bangunan, dan kegunaan bangunan tersebut.

 Fungsi Bangunan

Rumah tradisional yang masih ada di desa adat Tigawasa ini berjumlah lima
bangunan yang masing-masing dihuni oleh satu anggota keluarga. Disetiap rumah tersebut
langsung mencangkup semua fungsi (kamar tidur, paon, tempat makan dan teras) dari setiap
rumah yang kita ketahui biasanya. Rumah yang ada di desa Tigawasa ini disebut rumah saka
roras(12), rumah ini adalah unsur budaya dari desa Tigawasa yang masih ada sampai
sekarang.

Peran budaya di rumah ini sangat kental terlihat di bangunan ini karena dalam
sejaranya rumah tersebut dihuni dari setiap generasi ke generasi selanjutnya yang telah
kurang lebih 100 tahun yang lalu. Bentuk bangunannya yang dikondisikan untuk kebutuhan
dari setiap keluarga namun dengan bentuk awalnya yaitu berbentuk persegi panjang dengan
saka yang berjumlah 12, dengan fungsi yang menjadi satu di dalam rumah.

Seiring dengan berjalannya budaya yang makin hari makin berkembang, budaya yang
ada di desa Tigawasa ini semakin berubah. Yang dulunya tidak diperbolehkan membangun
rumah leh atas dari pura desa meraka namun sekarang sudah diperbolehkan untuk
membangun diatas dari pura desa mereka, dikarenakan pertambahan jumlah penduduk yang
ada disana. Rumah yang dibangun oleh masyarakat di desa Tigawasa ini sudah berkembang
dari budaya yang ada, mereka membangun mengikuti bangunan masa kini yang kondisinya
mengikuti rumah-rumah yang telah ada diperkotaan.

Perubahan fungsi juga terlihat dengan adanya penambahan fungsi bangunan dapur
dalam satu pekarangan rumah. Pada awalnya, dapur pada bangunan rumah tradisional di desa
Tigawasa ini berada dalam satu bangunan dengan kamar tidur. Namun sesuai dengan
perkembangan budaya yang ada, kini dibangun bangunan dengan fungsi sebagai dapur dan
ruang makan.

 Fisik Bangunan

Tak hanya pada fungsi bangunannya saja, perubahan yang terjadi juga terlihat pada
wujud fisik bangunan rumah tradisional tersebut. Perubahan tersebut tidak lain karena

17 | P a g e
adanya perkembangan budaya yang ada yang pada akhirnya mempengaruhi nilai arsitektur
pada bangunan rumah itu sendiri.

Contoh bangunan masih ada unsur budayanya yang dimiliki oleh Bapak Made Masa
yang berprofesi sebagai pembuat anyaman dari bamboo. Dirumah ini beliau masih
mempertahankan rumah yang telah di tinggalkan dari buyut Bapak Made masa. Beliau
mempertahankan bangunan ini untuk mempertahankan kebudayaan yang ada di desa
Tigawasa ini.

Gambar : Rumah Kediaman Bapak Made Masa

Sumber : Observasi Lapangan, April 2015

Gambar : Ruang Dalam Rumah Bapak Made Masa

Sumber : Observasi Lapangan, April 2015

18 | P a g e
Contoh bangunan yang sudah berkembang dari peran budaya yang telah ada
sejak dulu yaitu rumah dari bapak Ketut Murdika yang berprofesi sebagi kepala desa.
Rumah ini sudah mengikuti jenis rumah yang mengikuti perkembangan budaya, yaitu
rumah masa kini yang telah ada di daerah perkotaan.
Rumah tradisional yang dulunya hanya menggunakaan material-material
tradisional dan tidak difinishing, namun pada rumah tersebut pada bagian dinding sudah
mulai di finishing menggunakan keramik dan pada bagian lantainya juga telah di tutupi
menggunakan material keramik.

Gambar : Ruang Dalam Rumah Bapak Ketut Murdika

Sumber : Observasi Lapangan, April 2015

Pengaruh budaya modern yang berkembang mulai mempengaruhi nilai-nilai


arsitektur pada bangunan tradisional di Desa Tigawasa ini secara tidak langsung. Dan
pengaruh tersebut lebih besar terlihat dari penggunaan bahan material pada bangunan
rumah. Sementara itu, mengenai bentuk dan konsep yang digunakan masih berpacu
pada nilai-nilai budaya tradisional yang telah ada sejak dulu.

19 | P a g e
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kebudayaan berasal dari kata cultuure (Belanda) culture (Inggris) dan colere (Latin)
yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan terutama
pengolahan tanah yang kemudian berkembang menjadi segala daya dan aktifitas manusia
manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem ,gagasan atau tindakan dan hasil karya manusia
untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang tersusun dalam kehidupan manusia.
Arsitektur adalah indeks budaya yang mempunyai wujud berbeda pada masyarakat yang
berbeda. Arsitektur berkaitan dengan budaya, memiliki system lambang, makna serta skema
kognitif. Arsitektur mempunyai fungsi yang luas yaitu fungsi kebudayaan. Oleh karenanya,
dalam kenyataan dapat dijumpai adanya simbolsimbol arsitektur yang menandai budaya yang
terkandung di dalamnya.
Pada Desa Adat Tigawasa ini, konsep-konsep bangunan tradisional masih dipegang
erat. Seperti bentuk bangunan rumah yang menggunakan saka roras dengan fungsi
didalamnnya sebagai tempat tidur keluarga dan dapur. Namun dalam perkembangannya saat
ini, terjadi beberapa perubahan baik secara fungsi maupun fisik bangunan. Dari fungsi terlihat
adanya penambahan massa dimana fungsi dapur dipisah dari bangunan utama dan membentuk
massa bangunan tersendiri. Sementara dari fisik terlihat dengan adanya penambahan material
finishing dinsing maupun lantai menggunakan keramin.

4.2 Saran

Saran yang bisa diberikan adalah agar budaya-budaya tradisional yang ada di Bali
maupun Indonesia haruslah senantiasa selalu dijaga keberadaannya begitupula dengan nilai-
nilai arsitektur tradisional itu sendiri.

20 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Gelebet, I Nyoman. 1985. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Bali.

Ganesha, Wayan. 2012. Pola Ruang Permukiman Dan Rumahtradisional Bali Aga Banjar
Dauh Pura Tigawasa. Malang.

Sumber Wawancara :

Kepala Desa Tigawasa, Buleleng : Bapak Ketut Murdika

Sumber Internet :

Zulkifli, Irwan. 2013. Unsur-Unsur Kebudayaan.


https://irwanzulkifli.wordpress.com/2013/11/19/unsur-unsur-kebudayaan/ ( Diakses
pada 4 Juni 2015)

Jendela Arsitektur Desain. 2011. Makalah Arsitektur dan Kebudayaan. http://jendela-


arsitektur-desain.blogspot.com/2013/04/makalah-arsitektur-dan-kebudayaan.html (
Diakses pada 4 Juni 2015)

21 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai