Anda di halaman 1dari 6

Etika dan Etos Keilmuan prespektif Islam

Aflahul Lu’lu’ul M.1, Maratus Sholihah A.2


Universitas Muhammadiyah Gresik, Gresik

JUMLAH: 2500 - 3000 KATA


Introduction
Pada zaman yang serba modern seperti sekarang ini, maka manusia dituntut untuk
lebih maju dalam hal pengembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Ilmu
pengetahuan merupakan suatu hal yang wajib dimiliki oleh masing-masing orang. Karena
tanpa adanya ilmu pengetahuan maka manusia akan kesulitan untuk bersaing dengan manusia
yang lain guna kelangsungan hidup mereka di dunia yang hanya sebentar saja. Oleh karena
itu maka perlu adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara terus menerus.
Untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan diperlukan beberapa hal
diantaranya yaitu objek yang dikaji harus jelas, metode pengembangan yang tepat,serta perlu
adanya etos dan kode etik keilmuan. Etos keilmuan diperlukan sebagai semangat untuk
memotivasi para ilmuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekalipun
dana dan fasilitas sudah cukup memadai, namun apabila tidak ada semangat yang memotivasi
untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan maka ilmu tersebut tidak akan berjalan
dengan baik. Sedangkan kode etik diperlukan untuk mempromosikan persamaan manusia,
keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat selama proses pengembangan ilmu
pengetahuan berlangsung.
Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang begitu saja seperti barang yang
sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara berpikir
yang demikian rumit dan mendalam tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang
khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang handal.
Handal dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara
terbuka. Ia terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab masalah-
masalah kehidupan. Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Untuk bisa
menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat
ilmu itu sebenarnya. Dengan demikian maka pengertian yang mendalam terhadap hakikat
ilmu, bukan saja akan mengikatkan apresiasi kita terhadap ilmu, namun juga membuka mata
kita terhadap berbagai kekurangan.
Ilmu yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor peradaban di mana
manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai
peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan
menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang
menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah
memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan
beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya.
Meskipun tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun pada
hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah
pokok: Apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?
Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita.

1
Covina Barbaran, Program Studi Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Malang
Discussion
Etos Keilmuan
Ethos secara etimologi sifat, watak, adat, kebiasaan, tempatyang baik. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan
sosial. Sedangkan keilmuan yang berasaldari kata ilmu menurut kamus besar bahasa
Indonesia berarti pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
pengetahuanitu sendiri.
Dari pengertian etos dan keilmuan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
etos keilmuan adalah suatu pandangan hidup yang dijadikan sebagai sebuah semangat untuk
menggali, mendapatkan, dan mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan.

Kode Etik Keilmuan


Kode etik berasal dari dua kata. Kode artinya tanda yang desetujui dengan maksud
tertentu. Sedangkan Etik itu berasal dari bahasa yunani yaitu"ethos" yang memiliki arti
watak, adab, cara hidup. Sadirman A.M.. mengatakan bahwa etika itu sebagai tata susila
atau hal-hal yang berhubungan dengan ketatasusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kode etikpada dasarnya
tidak lain dari sejumlah nilai dan norma yang mengatur danmengarahkan tentang bagaimana
seseorang mengekspresikan diri dengan mempertegas kedudukan dan peranannya sekaligus
untuk melindungi profesinya. Sedangkan dalam pendidikan islam Kode Etik merupakan
Pedoman tingkah laku yang harus di ikuti dan ditaati oleh anggota-anggota suatu tertentu.

Pengembangan Ilmu Yang Memerlukan Etos Keilmuan Dan Kode Etik


 Keilmuan
Semangat Tauhid terlihat pada penyadaran asal muasal manusia bahwa ia makhluk
Tuhan (yang diciptakan dari segumpulan darah) sementara etos keilmuan terlihat pada
penyadaran etisnya bahwa Tuhan Pencipta juga Pemurah yang memberikan ilmu kepada
manusia lewat hasil goresan pena-Nya.
Dalam ayat-ayat dan doa Nabi Muhammad s.a.w terdapat pernyataan yang mengandung
ajuran bahkan perintah keilmuan, kemudian berkembang menjadi etos keilmuan ditengah
Tradisi Muslim masa lalu. Pernyataan beliau yang telah kita kenal antara lain:
1. Mencari ilmu iitu wajib bagi setiap Muslim.
2. Carilah ilmu sejak dari buaian sampai keliang lahat.
3. Carilah ilmu walaupun sampai kenegeri Cina.
4. Ilmu (pengetahuan) itu milik prang Mukmin yang hilang, dimana saja ia
mendapatkannnya, maka lebih baik menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka
Allah memudahkan jalannya ke surga.
5. Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allahmemudahkan
jalannya ke Surga.
6. Barang siapa mati ketika sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan
islam, maka disurga ia sederajat dibawah para Nabi.
7. Para ilmuwan itu pewaris (tugas) para Nabi

 Kode Etik Keilmuan


Tawaran tentang kode etik islami untuk pengembangan ilmu telah
direkomendasikan dalam sebuah seminar internasional tentang Pengetahuan dan Nilai di
Stockholm, Swedia, 1981. Tawaran kode etik yang dimaksut masih bersifat umum terdiri
ddari 10 nilai, yaitu:
1. Tauhid (keesaan/kesatuan) Merupakan nilai yang paling mendasar yang biasanya
bermakna keesaan Tuhan. Makna yang sangat teologis ini meluas ke semua
ciptaan-Nya menjadi kesatuan manusia ( antara jasmani dan pengetahuan dan
nilai, kesatuan sunnatullah (antara yang diwahyukan dan yang tidak diwahyukan,
semua kesatuan yang diperlukan bagi pengembangan ilmu (Sardar, 1998:7;
Santoso, 1992: 18-19).
2. Khilafah (perwakilan) Allah memberikan mandat kepada manusia agar menjadi
wakil-Nya dimuka buumi, sehingga manusia tidak bebas sebebas-bebasnya tetapi
bertanggung jawab kepada Allah.termasuk kegiatan pengembangan dan
penerapan ilmu.
3. Ibadah Merupakan suatu kehidupan yang secara terus menerus mengabdi dan
patuh kepada Allah, mencakup semua kegiatan spiritual, sosial, ekonomi, politik,
budaya, yang tujuan luhurnya menccari ridha Allah.
4. Ilmu bersumber dari wahyu dan non wahyu.
5. Halal Merupakan semua ilmu dan kegiatan yang bermanfaat bagi individu.
masyarakat, lingkungan.
6. Haram Merupakan semua ilmu dan kegiatan yang merusak manusia dan
lingkunganya baik secara fisik, intelektual, maupun spiritual.
7. Adl (keadilan)
8. Ilmu dikembangkan untuk mewujudkan persamaan uuniversal, kebebasan
individu, martabat sosial dan nilai-nilai yang lain.
9. Zhulm (penindasan).
10. Istishlah (kepentingan umum) Ilmu yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan peradaban muslim.
11. Dhiya' (pemborosan / kesia-siaan).

Etika dan Etos Kesarjanaan Para Astronom Muslim di Peradaban Islam


Capaian para astronom Muslim di sepanjang sejarah peradaban Islam sangatlah
mengagumkan. Capaian-capaian itu meliputi bidang karya tulis astronomi yang melimpah,
instrumen-instrumen astronomi yang beragam, observatorium, pengembangan konsep dan
teori astronomi, dan lain-lain. Capaian-capaian tersebut terwujud tidak lain diantaranya
karena adanya etika dan etos yang melekat dan menghunjam dalam jiwa para astronom
Muslim.
Etika umum yang dimiliki para astronom Muslim adalah senantiasa berserah diri
kehadirat Allah dalam segenap aktivitasnya (baik dalam observasi, penelitian, ekspedisi
keilmuan, dan lain-lain) serta senantiasa berorientasi kepada ibadah. Ini diantaranya tampak
dari hampir seluruh karya tulis para astronom Muslim kerap diawali dengan pujian dan
penyerahan kepada Allah serta diakhiri dengan harapan kiranya karya dan kontribusinya
berkah dan bermanfaat untuk umat (masyarakat).
Etika yang dimiliki para astronom Muslim lainnya adalah dalam hal kepenulisan.
Standar-tandar etis dalam penulisan karya di kalangan astronom Muslim sejatinya sangat
banyak, beberapa diantaranya: pertama, kerap menjaga akurasi tulisan. Menjadi tradisi di
kalangan astronom Muslim mengutip banyak rujukan namun tetap menjaga akurasi dan
kualitas pengutipan. 
Kedua, etika sumber rujukan dan catatan kaki. Dengan mengutip, secara moral-
akademik sejatinya hal itu merupakan bentuk kejujuran, penghormatan, pertanggungjawaban
ilmiah dari seorang penulis (astronom). Sejatinya, tradisi catatan kaki (footnote) telah ada dan
berkembang dalam tradisi kepenulisan para astronom Muslim betapapun dengan bentuk dan
model yang dinamis. Dalam praktiknya, tradisi catatan kaki merupakan bentuk keluasan
wawasan penulis dalam menguraikan sebuah persoalan yang secara langsung tidak terkait sub
pembahasan.
Ketiga, etika meminjam buku. Dalam konteks hari ini, pinjam meminjam buku
tampaknya merupakan hal biasa, namun di peradaban Islam hal ini diatur sedemikian rupa.
Dalam praktik di zaman itu, manakala seseorang meminjam buku maka ia harus
berkomitmen membaca dan mengembalikannya tepat waktu. Selanjutnya, bagi seseorang
yang mampu membeli buku maka ia dilarang untuk meminjam, sebab dengan meminjam
maka ia menghalangi orang lain untuk meminjam (membaca). Hal-hal semacam ini berlaku
dan kerap dijaga oleh para astronom Muslim dan para ilmuwan Muslim secara umum.
Keempat, etika menulis ulang buku. Menulis ulang sebuah buku merupakan hal lazim
di peradaban Islam. Biasanya, buku dengan kualitas baik sangat terbuka untuk ditulis ulang.
Teks astronomi “Jami’ al-Mabady’ wa al-Ghayat fi ‘Ilm al-Miqat” karya Al-Hasan bin Ali-
Marrakusyi (w. stl. 680 H/1281 M) misalnya ditulis ulang lebih dari 10 kali (10 salinan
naskah). Kenyataannya, profesi penulisan ulang sebuah karya ini telah berkembang dimana
telah muncul satu profesi yang dikenal dengan ‘warraq’ (al-warraqun) yaitu seseorang yang
bertugas dan bekerja secara khusus menulis ulang sebuah buku dan ia mendapat imbalan.
Sementara itu aspek etos yang menjadi faktor utama kemajuan peradaban Islam di
bidang astronomi setidaknya ada lima, yaitu: (1) etos pencari kebenaran dan orientasi ibadah,
(2) etos kejujuran dan orisinalitas, (3) etos keterbukaan dan apropriasi, (4) etos
kosmopolitanisme dan universalisme, dan (5) etos kritisisme.
Etos pertama (pencari kebenaran dan orientasi perintah agama) dapat diterjemahkan
sebagai berikut. Dalam pemahaman para astronom Muslim, mengamati langit sejatinya
merupakan bagian dari menerjemahkan ayat-ayat Allah tentang semesta. Seperti diketahui,
ada banyak ayat di dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang semesta. Selanjutnya khazanah
astronomi luar yang berasal dari India, Persia, dan Yunani secara kritis diadaptasi dan
modifikasi, dan selanjutnya dilakukan sintesis-kreatif. Hal ini tidak lain guna mencari dan
mengungkap kebenaran sains astronomi. Selain itu, tradisi rihlah ilmiah guna mencari
manuskrip-manuskrip astronomi di berbagai tempat merupakan bagian dari upaya mencari
informasi (ilmu), dimana tradisi ini merupakan hal umum di zaman itu. Al-Biruny (w. 440 H)
misalnya, ia tercatat pernah berkelana ke India selama sepuluh tahun lebih dan akhirnya ia
memeroleh banyak pengetahuan astronomi India.
Etos kedua (kejujuran dan orisinalitas). Seperti diketahui, astronom Muslim memiliki
intensitas yang tingga dalam menulis dan meneliti (observasi). Dalam praktiknya, penyebutan
tokoh terdahulu dalam karya mereka adalah sesuatu yang niscaya. Mengutip teori dan atau
hasil pengamatan tanpa menyebutkan sumbernya adalah kesalahan. Sebagai misal, seorang
astronom bernama Ibn al-Majdy (w. 850 H/1447 M) dalam karyanya “Ghunyah al-Fahim wa
al-Thariq Ila Hall al-Taqwim” tercatat menyebut dan menukil sejumlah astronom
sebelumnya seperti Kusyar al-Jily, Nashiruddin al-Thusy, Ibn asy-Syathir, dan lain-lain.
Selanjutnya Ibn Sina  juga tercatat hanya tertarik pada sumber-sumber yang menurutnya
orisinal. Disini tampak bahwa selain menjaga orisinalitas, para astronom Muslim juga
menjunjung kejujuran.
Etos ketiga (keterbukaan dan apropriasi). Dalam faktanya para astronom Muslim
tidak canggung ‘melahap’ literatur-literatur astronomi pra Islam. Para astronom Muslim juga
biasa berkolaborasi dengan tokoh-tokoh non Muslim seperti dengan Nasrani, Yahudi, dan
Hindu. Hunain bin Ishaq adalah tokoh Kristen yang banyak menerjemahkan teks-teks
astronomi Yunani ke dalam bahasa Arab, para astronom Muslim banyak berdialog dan
bekerjasama dengan tokoh ini. Tatkala di India, Al-Biruny kerap bekerjasama dengan orang-
orang Hindu, Ibn Maimun (seorang Yahudi) juga memiliki kontribusi besar dalam astronomi
dimana tokoh-tokoh astronomi Islam banyak berhutang kepada tokoh ini.
Namun paut dicatat, keterbukaan dan apropriasi yang dilakukan para astronom Muslim itu
tidak dengan ‘membabi buta’, namun dengan adaptasi, modifikasi, dan proses kreatif sesuai
nilai-nilai universal ajaran Islam. Selain itu, semangat apropriasi yang ditunjukkan para
astronom Muslim juga didukung dengan etos kritisisme.
Etos keempat (kosmopolitanisme dan universalisme). Astronomi pra Islam umumnya
bersifat terbatas, lokal dan berdasarkan tradisi turun-temurun (tidak universal). Selain itu,
astronomi pra Islam juga tidak memiliki makna dan tujuan universal kemanusiaan, juga tidak
dinamis karena nyaris tidak ada persentuhan dengan peradaban lain. Sementara astronomi di
peradaban Islam hadir dengan paradigma baru, dimana dipahami bahwa astronomi sejatinya
bukan milik satu komunitas (peradaban) tertentu saja. Seperti diketahui, para sarjana
astronomi Muslim ‘menerima’ tanpa ragu tradisi astronomi pra Islam. Dalam konsepsi para
astronom Muslim, ilmu (diantaranya ilmu astronomi) dipahamai bak cahaya yang bersifat
kosmik dan menyemesta sehingga ia tersebar kemana saja dan dimana saja. Salah satu
filosofi yang dipegang dan dipahami para astronom Muslim hadis Nabi Saw yang
menyatakan “Ambil lah hikmah itu darimana saja berasal”.
Etos kelima (kritisisme). Tradisi dialog, debat dan kritik, merupakan hal lazim di
kalangan astronom Muslim (juga di kalangan ulama dan ilmuwan secara umum). Ibn Sina
dan Al-Biruny misalnya tercatat pernah berdebat dan saling kritik. Al-Biruny pernah
mengkritisi filsafat peripatetik yang diyakini Ibn Sina. Namun di kesempatan lain keduanya
kerap bekerjasama dalam hal-hal yang mereka sepakati bersama. Tokoh astronomi Yunani
Ptolemeus dengan karyanya “Almagest” yang banyak memengaruhi astronomi di peradaban
Islam juga dikritisi habis oleh tokoh-tokoh seperti Al-Biruny (w. 440 H/1048 M), Ibn Syathir
(w. 777 H/1375 M), Al-Thusy (w. 672 H/1273 M), Al-Khaziny (w. 1130 M), Ibn al-Haitsam
(w. 433 H/1041 M), Ibn Bajah (w. 1138 M), Ibn Rusyd (w. 1198 M), dan lain-lain. Hanya
saja, kritik yang dilakukan oleh para astronom Muslim ini adalah pada hal-hal substantif dan
tidak masuk dalam ranah etik dan keyakinan. Ibn al-Haitsam misalnya menulis karya
berjudul “asy-Syukuk ‘ala Bathlamius”, di dalamnya berisi kritik, catatan, dan perbaikan atas
konsep-konsep, teori-teori yang dipandang keliru secara ilmiah. Terhadap aspek-aspek
teologi (nujum, astrologi), Ibn al-Haitsam sama sekali tidak mengusiknya.
Selain itu, tradisi kritik yang tumbuh di kalangan astronom Muslim adalah tradisi
revisi teks terjemahan astronomi. Dengan revisi tentu di dalamnya ada perbaikan (kritik) dan
pada akhirnya melahirkan karya yang lebih efektif dan autentik. Tidak dipungkiri, tradisi
terjemah dan revisi teks-teks astronomi menjadi tonggak penting kemajuan astronomi di
peradaban Islam.
Conclusion
Ethos secara etimologi berarti sifat, watak, adat kebiasaan, tempatyang baik. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia etos adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan
sosial. Sedangkan keilmuan yang berasaldari kata ilmu menurut kamus besar bahasa
Indonesia berarti pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang
pengetahuanitu sendiri.
Kode etik berasal dari dua kata. Kode artinya tanda yang desetujui dengan maksud
tertentu. Sedangkan Etik itu berasal dari bahasa yunani yaitu"ethos" yang memiliki arti
watak. adab, cara hidup. Sadirman A.M.. mengatakan bahwa etika itu sebagai tata susila atau
hal-hal yang berhubungan dengan ketatasusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Semangat Tauhid terlihat pada penyadaran asal muasal manusia bahwa ia makhluk
Tuhan (yang diciptakan dari segumpulan darah) sementara etos keilmuan terlihat pada
penyadaran etisnya bahwa Tuhan Pencipta juga Pemurah yang memberikan ilmu kepada
manusia lewat hasil goresan pena-Nya.
Tawaran tentang kode etik islami untuk pengembangan ilmu telah direkomendasikan
dalam sebuah seminar internasional tentang Pengetahuan dan Nilai di Stockholm, Swedia,
1981.
Rentang sejarah peradaban Islam yang sangat panjang meninggalkan khazanah
keilmuan luar biasa yang sejatinya dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan keilmuan hari
ini, khususnya dalam membangun kemajuan peradaban Islam di era modern. Jejak-jejak
intelektual sebagai dimiliki oleh para ilmuwan Muslim silam itu diantaranya adalah nilai-nilai
rasionalitas dan etos keilmuan.
Nilai-nilai rasionalitas merupakan modal utama pengembangan keilmuan dalam
berbagai bidang, karena dengannya segenap ide, gagasan, dan inovasi dapat dilahirkan.
Sementara itu etos keilmuan adalah watak dan karakter yang melandasi nilai-nilai rasionalitas
itu. Dalam konteks astronomi, setidaknya ada lima kontribusi besar peradaban Islam di
bidang astronomi, yaitu instrumen- instrumen astronomi, observatorium, tabel-tabel
astronomi (zij), mikat, dan literatur-literatur. Segenap kontribusi ini dilahirkan oleh karena
etos dan nalar saintifik sebagai dimiliki oleh para astronom dan ilmuwan Muslim. Etos-etos
itu adalah pencari kebenaran, kejujuran dan orisinalitas, Kosmopolitanisme dan
Universalisme, keterbukaan, dan kritisisme.
References
[1] Ahmad Mudlor, Etika Dalam Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas),
https://www.anekamakalah.com/2012/02/etikadalam-kajian-filsafat-islam-dan.html Di
Akses 12September 2018 14.15
[2] Fakhry, Madjid, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidlowy, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
[3] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997.
[4] Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
[5] Soegiono Dan Tamsil, Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya)
2012

Anda mungkin juga menyukai