Anda di halaman 1dari 16

Etika Pengembangan Dan Penerapan Ipteks Dalam Pandangan Islam

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Pembelajaran Drama

Dosen Pengampu: Mochamad Alfan, M.Ed.

Gilang Surya Prayuda 1810221005

Intan Amalia Salsabila 1810221015

Istianah 1810221009

Della Ari Rahman 1810221002

Rohmad Tri 1810221031

Fani Infal Effendi 1810221030

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

APRIL, 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Alhamdulilah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami semua sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah “Etika Pengembangan Dan Penerapan Ipteks Dalam
Pandangan Islam” yang di sususn untumemenuhi salah satu tugas AIK.

Makalah ini memberikan banyak sekali wawasan dan pengetahuan kepada kalangan
masyarakat. di dalam makalah ini kami selaku penyusun hanya sebatas ilmu yang
kami sajikan, sebagai tuntunan tugas dengan topik “Etika Pengembangan Dan
Penerapan Ipteks Dalam Pandangan Islam”.

Kami menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan pemahaman tentang makalah


ini, menjadikan keterbatasan kami pula untuk memberikan penjabaran yang lebih
untuk makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini

Jember, 13 April 2020

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Peran Islam dalam perkembangan ipteks pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah
yang seharusnya dimiliki umat Islam. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah
Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi seluruh ilmu
pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam
ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka
ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi
pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari.
Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam,
Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan ipteks, didasarkan
pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh
memanfaatkan iptek jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu
aspek ipteks dan telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam
memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dan seni dunia , yang kini dipimpin
oleh perdaban barat , mencengangkan banyak orang di berbagai penjuru dunia.
Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan oleh perkembangan
iptek modern membuat orang lalu mengagumi dan meniru- niru gaya hidup
peradaban barat tanpa dibarengi sikap kritis trhadap segala dampak negatif yang
diakibatkanya. Padahal pada dasarnya kita hidup di dunia ini tidak lain untuk
beribadah kepada Allah SWT.
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan nilai dan ajaran


agama?
2. Bagaimana paradigma ilmu tidak bebas nilai?
3. Bagaimana paradigma ilmu bebas nilai?
4. Bagaimana perlunya akhlak islami dalam dan penerapan ipteks?

1.3 TUJUAN

1. Mendeskripsikan sinergi ilmu dan peng integrasiannya dengan nilai dan ajaran
agama
2. Mendeskripsikan paradigma ilmu tidak bebas nilai
3. Mendeskripsikan paradigma ilmu bebas nilai
4. Mendeskripsikan akhlak islami dalam penerapan ipteks
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sinergi ilmu dan pengintegrasiannya dengan nilai dan ajaran agama

Agama dan ilmu sangatlah saling terkait karena orang yang banyak ilmunya
apabila tanpa di topang oleh agama semua ilmu tidak akan membawa kemaslahatan
umat, sebagai contoh negara- negara maju yang sangat gigih mendalami ilmu dan
teknologi, tetapi sering menjadi sumber pemicu terjadinya peperangan, begitupun
juga orang yang sangat sibuk dengan belajar agama ,tetapi tidak
mau menggali ilmu dan pengetahuan alam disekitar kita , maka akan mengalami
kemunduran , sedangkan untuk mencapai kebahgiaaan akhirat haruslah banyak
berbut/beribadah dalam hal untuk kemajuaan umat, apa jadinya apabila semua umat
berkutik di ritualitas saja, ini adalah suatu pertanyaan gambaran yang menyedihkan.
Seperti halnya dengan ilmu dan filsafat, agama tidak hanya untuk agama, melainkan
untuk diterapkan dalam kehidupan dengan segala aspeknya. Pengetahuan dan
kebenaran agama yang berisikan kepercayaan dan nilai- nilai dalam kehidupan, dapat
dijadikan sumber dalam menentukan tujuan dan pandangan hidup manusia, dan
sampai kepada prilaku manuisitu sendiri. Dalam agama sekurang – kurangnya ada
empat ciri yang dapat kita kemukakan, yaitu : Adanya kepercayaan terhadap yang
gaib, kudus, dan maha agung, dan pencipta alam semesta (Tuhan) .

Melakukam hubungan dengan hal- hal diatas,dengan berbagai cara. Seperti


dengan mengadakan acara – acara ritual, pemujaan, pengabdian, dan, doa.
Adanya Suatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya.
Menganut ajaran Islam, ajaran tersebut diturunkan oleh Tuhan rtidak langsung kepada
seluruh umat manusia, melainkan kepada Nabi – nabi dan rasulnya. Maka menurut
ajaran islam adanya rosul dan kitab suci merupakan ciri khas dari pada agama.Agama
berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi,
walaupun kita dapat sepakat tidak ada definisi agama yang dapat diterima secara
universal. Kemajuan spritual manusia dapat diukur dengan tinggi nilai yang tak
terbatas yang ia berikan kepada objek yang ia sembah. Seorang yang religius
merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai
sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.

Wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak
sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran
yang dianut tetapi tetap tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh
karena i-tu mereka selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu
bissawab, bahwa hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama
berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan
hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima dengan
logika.Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik
dan berinteraksi satu sama lain.

Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa,


kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya diukur dari
akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya. Ketika nabi ditanya tentang amal
yang paling utama, hingga lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni
akhlak yang baik.

Agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama. Kedua-


duanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsip-
prinsip tertinggi wujud. Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan
demi manusia yaitu kebahagiaan tertinggi. Filsafat memberikan laporan berdasarkan
persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan
imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai
metode-metode persuasivfe untuk menjelaskannya.
Agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin
dengan esensi mereka. Filsafat dan agama merupakan pendekatan mendasar menuju
pada kebenaran. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang
didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan, suatu metode yang merupakan
gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis yang pasti. Berdasarkan alasan ini,
filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu,
kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, dan seni dari segala seni.

2.2 Paradigma ilmu bebas nilai dan ilmu tidak bebas nilai

a. Pengertian ilmu

Rasionalisasi limu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptic-
metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu. Sikap
ini berlanjut pada Auf Klarung, suatu era yang merupakan suatu usaha manusia untuk
mencapai rasional tentang dirinya dan alam.
Istilah ilmu dalam pengertian klasik diartikan sebagai pengetahuan tentang sebab
akibat atau asal usul. Guston Buchelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah
suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum
pemikiran dengan dunia luar.

Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yakni
produk-produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk, artinya
pengetahuan yang telah diketahui serta diakui kebenarannya oleh masyarakat
ilmuwan. Ilmu pengetahuan sebagai poses, artinya kegiatan kemasyarakatan yang di
lakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya bukan
sebagaimana yang dikehendaki.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat, artinya dunia pergaulan yang tindak
tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan yaitu:
universalisme, komunalisme, tanpa pamrih dan skeptisisme yang teratur.

       Van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu, yaitu :

1. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang


secara logis koheren
2. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih karena erat kaitannya dengan tanggung jawab
ilmuan.
3. Universalitas ilmu pengetahuan
4. Objektivitas, artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak di distorsi
oleh prasangka-prasangka subjektif
5. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang
bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6. Progresivitas, artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah bila
mengandung pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem
baru lagi.
7. Kritis, tidak ada teori ilmiah yang difinitif.
8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan antara teori
dengan praktis.

b. Pengertian nilai

Filsafat sebagai “phylosophy of life” mempelajari nilai-nilai yang ada dalam


kehidupan dan berfungsi sebagai pengontrol terhadap keilmuan manusia. Teori nilai
berfungsi mirip dengan agama yang menjadi pedoman kehidupan manusia. Dalam
teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan memberi
makna terhadap kehidupan ini.
Nilai, bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu yang sungguh-sungguh berupa
kenyataan, bersembunyi dibalik kenyataan yang tampak, tidak tergantung pada
kenyataan- kenyataan lain, mutlak dan tidak pernah mengalami perubahan (pembawa
nilai bisa berubah).

c. Paradigma ilmu

Ilmu terbagi menjadi dua pandangan yaitu ilmu bebas nilai (value free) dan ilmu
terikat nilai/ ilmu tak bebas nilai (value bound)

 Paradigma ilmu bebas nilai

Ilmu bebas nilai dalam bahasa Inggris sering disebut dengan value free, yang
menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom
tidak memiliki keterkaitan sama seklai dengan nilai. Bebas nilai berarti semua
kegiatan terkait dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu
sendiri. Ilmu menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki
menentukan ilmu itu sendiri.
Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor sebagai
indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:

1. Ilmu harus bebas dari pengendalian-pengendalian nilai. Maksudnya adalah bahwa


ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor ideologis, religious, cultural,
dan social.

2. Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonom ilmu terjamin. Kebebasan
di sisni menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.

3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas dapat
dibenarkan, karena hal tersebut untuk kepentingan ilmu itu sendiri, yang terkdang hal
tersebut dapat merugikan lingkungan. Contoh untuk hal ini adalah teknologi air
condition, yang ternyata berpengaruh pada pemansan global dan lubang ozon
semakin melebar, tetapi ilmu pembuatan alat pendingin ruangan ini semata untuk
pengembangan teknologi itu dengan tanpa memperdulikan dampak yang
ditimbulakan pada lingkungan sekitar. Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam
ilmu tersebut, tetapi ilmu bebas nilai menganggap nilai ekologis tersebut menghambat
perkembangan ilmu.

Ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai – nilai yang letaknya di
luar ilmu pengetahuan, hal ini dapat juga di ungkapkan dengan rumusan singkat
bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas. Maksud dari kata kebebasan adalah
kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subyek bersangkutan untuk
memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan diri dan bukan
penentuan dari luar. Jika dalam suatu ilmu tertentu terdapat situasi bahwa ada
berbagai hipotesa atau teori yang semuanya tidak seluruhnya memadai, maka sudah
jelas akan di anggap suatu pelanggaran kebebasan ilmu pengetahuan, bila suatu
instansi dari luar memberi petunjuk teori mana harus di terima. Menerima teori
berarti menentukan diri berdasarkan satu – satunya alasan yang penting dalam bidang
ilmiah, yaitu wawasan akan benarnya teori. Apa yang menjadi tujuan seluruh
kegiatan ilmiah disini mecapai pemenuhannya. Dengan demikian penentuan diri
terwujud sunguh – sungguh.Walaupun terlihat dipaksakan, namun penentuan diri ini
sungguh bebas, karena dilakukan bukan berdasarkan alasan – alasan yang kurang
dimengerti subyek sendiri melainkan berdasarkan wawasan sepenuhnya tentang
kebenaran.

Tokoh sosiologi, Weber menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai,
tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika
para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar dan menulis mengenai
bidang ilmu sosial mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai-nilai itu
harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu
mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir
orang, budaya, maka ilmuawan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan
itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan
objektivitas ilmiah.

Dengan bebas nilai kita maksudkan suatu tuntutan dengan mengajukan kepada
setiap kegiatan ilmiah atas dasar hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Orang yang
mendukung bebas nilai ilmu pengetahuan akan melakukan kegiatan ilmiah
berdasarkan nilai yang khusus yang diwujudkan ilmu pengetahuan. Karena kebenaran
dijunjung tinggi sebagai nilai, maka kebenaran itu dikejar secara murni dan semua
nilai lain dikesampingkan.

 Paradigma ilmu tidak bebas nilai

Ilmu yang tidak bebas nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat
dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Perkembangan nilai tidak lepas dari dari nilai-nilai ekonomis, sosial, religius, dan
nilai-nilai yang lainnya.
Menurut salah satu filsof yang mengerti teori value bond, yaitu Jurgen Habermas
berpendapat bahwa ilmu, sekalipun ilmu alam tidak mungkin bebas nilai, karena
setiap ilmu selau ada kepentingan-kepentingan. Dia juga membedakan ilmu menjadi
3 macam, sesuai kepentingan-kepentingan masing-masing;

a.       Pengetahuan yang pertama, berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara
empiris-analitis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan
menyajikan hasil penyelidikan untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dari ilmu ini
pula disusun teori-teori yang ilmiah agar dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan
terapan yang besifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi sebagai
upaya manusia untuk mengelola dunia atau alamnya.
b.      Pengetahuan yang kedua, berlawanan dengan pengetahuana yang pertama,
karena tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan
memahami manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Aspek
kemasyarakatan yang dibicarakan adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan
kepentingan yang dikejar oleh pengetahuana ini adalah pemahaman makna.

c.       Pengetahuan yang ketiga, teori kritis. Yaitu membongkar penindasan dan
mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat dipentingkan
disini. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan
yang dikejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.

Ilmu yang tidak bebas nilai ini memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai
dan harus di kembangkan dengan mempertimbangkan nilai. Ilmu jelas tidak mungkin
bisa terlepas dari nilai-nilai kepentingan-kepentingan baik politik, ekonomi, sosial,
keagamaan, lingkungan dan sebagainya.

2.3 Perlunya akhlak islami dalam penerapan ipteks

Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dunia, yang kini dipimpin oleh
perdaban barat satu abad terakhir ini, mencengangkan banyak orang di berbagai
penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan oleh
perkembangan ipteks modern membuat orang lalu mengagumi dan meniru- niru gaya
hidup peradaban barat tanpa dibarengi sikap kritis trhadap segala dampak negatif
yang diakibatkanya.
Padahal Islam sangat memperhatikan pentingnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni dalam kehidupan umat manusia. Martabat manusia disamping ditentukan oleh
peribadahannya kepada Allah, juga ditentukan oleh kemampuannya mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Islam sangat mendukung umatnya untuk
melakukan research dan bereksperimen dalam hal apapun, termasuk dalam IPTEKS.
Bagi Islam, IPTEKS adalah termasuk ayat-ayat Allah yang perlu digali dan dicari
keberadaannya.

Artinya:    “Katakanlah (Muhammad): lakukanlah nadzar (penelitian dengan


menggunakan metode ilmiah) mengenai apa yang ada di langit dan di bumi ...”( QS.
Yunus ayat 101)

Peran pertama yang dimainkan Islam dalam ipteks, yaitu aqidah Islam harus
dijadikan basis segala konsep dan aplikasi ipteks. Inilah paradigma Islam
sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw.

Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum muslimin saat
ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Diakui atau tidak, kini umat
Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor Barat dalam
segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu
pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa menjelaskan, mengapa
di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam, diajarkan sistem ekonomi
kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler
itu menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan
dengan keyakinan dan keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan
sekaligus bertolak belakang dengan Aqidah Islam.

Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan


fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler yang
ada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam (bukan
paham sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu
pengetahuan manusia.

Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam
dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-
Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandardisasi
benar salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-Hadits.
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam
harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum
syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun
juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh
syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah
diharamkan syariah Islam.

Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang
mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan iptek)
dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).

ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya[528].

Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (Qs. al-Araaf [7]: 3).

[528] Maksudnya: pemimpin-pemimpin yang membawamu kepada kesesatan.

Sabda Rasulullah Saw:

Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka
perbuatan itu tertolak. [HR. Muslim].
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

IPTEKS yaitu Ilmu Teknologi dan Seni adalah suatu hal yang sangat
diperhatikan dalam Islam, martabat manusia disamping ditentukan oleh
peribadahannya kepada Allah, juga ditentukan oleh kemampuannya mengembangkan
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Islam mewajibkan setiap umat muslim untuk
menuntut ilmu, karena manusia adalah makhluk yang telah dikaruniai potensi akal
yang sepatutnya diperintahkan untuk berfikir dan berilmu. Tetapi IPTEK dan Seni
pada zaman sekarang ini telah dikuasai oleh peradaban Barat yang mana banyak yang
melenceng dari syara’. Sejatinya, ilmu adalah amal jariyah maka IPTEK dan Seni
haruslah dijalankan sesuai dengan hukum dan syara dan yang patut dipertimbangkah
adalah mengenai halal-haramnya, bukan manfaatnya saja.
DAFTAR PUSTAKA

http://muhammad-abdorin.blogspot.in/2012/05/ilmu-bebas-nilai.html diakses 9 maret


2015 Marlina lina lukman.2014.iptek dan seni dalam islam

http://learnanything-r.blogspot.in/2014/06/contoh-makalah-pendidikan-agama-islam.html
WITA Mitaunair.2012.iptek dan seni menurut pandangan islam

Anda mungkin juga menyukai