Anda di halaman 1dari 8

Budaya Pendalungan

(Rekonstrruksi Makna Budaya Multietnis di Wilayah Tapal Kuda)

Dr. W. Dyah Laksmi Wardhani, M.Pd

Pusat Kajian Budaya dan Bahasa Indonesia

A. Pendahuluan

Masyarakat di wilayah tapal kuda di bagian timur pulau Jawa seringkali dikenal
sebagai masyarakat Pendalungan, dengan karakteristik yang dicitrakan sebagai
percampuran budaya Jawa dengan budaya Madura. Percampuran tersebut dapat terjadi,
pertama, karena adanya pernikahan antar seseorang dengan latar belakang keluarga Jawa
dengan pasangan dengan latar belakang keluarga Madura. Kedua, masuknya suatu
komunitas dalam masyarakat dengan budaya tertentu sehingga memunculkan karakteristik
yang khas pada masyarakat tersebut. Dalam hal ini, ada kecenderungan pendapat bahwa
pendatang adalah suku Madura yang masuk dan berinteraksi dengan masyarakat setempat
yang orang Jawa. Karakteristik tersebut dapat berupa bahasa, dialek, atau produk seni,
yang seringkali dianggap oleh masyarakat awam sebagai “budaya”.

Secara historis, masyarakat dan budaya Pendalungan telah banyak dibahas baik
secara ilmiah maupun sebagai suatu artikel populer. Kajian historis mengklaim bahwa
masuknya suku Madura ke wilayah tapal kuda seiring dengan berkembangnya wilayah
perkebunan pada masa kolonial Belanda di wilayah Jember, Bondowoso, Banyuwangi dan
Lumajang (Jawa Pos, 25 Juli 2010). Sedangkan sebagai pintu masuk dari pulau Madura
adalah kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara pulau Jawa, yaitu Pasuruan,
Probolinggo dan Situbondo. Kota-kota ini yang kemudian menjadi “periuk” bagi
bercampurnya (melting pot) komunitas asli dengan pendatang maupun pendatang dengan
pendatang. Tidak lagi percampuran tersebut terjadi antara suku asli Indonesia seperti Jawa,
Madura, Osing atau Tengger namun juga percampuran antar etnis seperti masyarakat lokal
dengan keturunan Tionghoa atau Arab. Dapat dikatakan, bahasan tentang Pendalungan
dalam konsep kekinian lebih pada diskursus multietnis pada wilayah tapal kuda.

Istilah Pendalungan, secara etimologi disepakati berasal dari kata “dalung” yang
berarti periuk/dulang (berbahan dasar logam) yang besar. Secara simbolik, Pendalungan
merupakan proses hibridisasi (Rahman;2015) atau hibridasi yang menurut Pietersen
(Rahardjo;2006) dapat bermakna kultural maupun struktural. Hibridisasi kultural terjadi
karena adanya akulturasi maupun asimilasi dari beragam etnis yang berperan di dalamnya,
baik individual maupun kelompok. Hibridisasi struktural sebagai akibat interaksi yang terjadi
dan rasionalisasi kesadaran bersama yang muncul dalam bentuk sistem sosial. Sebagai
sistem sosial, maka Pendalungan melahirkan masyarakat Pendalungan, yang meski sarat
dengan potensi konflik laten, namun berkembang dalam ekuilibrium yang didukung oleh
budaya Pendalungan.

Budaya Pendalungan dalam perkembangannya tak dapat menafikan keberadaan


unsur-unsur lokal maupun etnis keturunan yang kemudian mengedepan dan menjadi ciri
khas budaya itu sendiri. Secara umum, dikatakan bahwa penciri khas masyarakat
Pendalungan adalah unsur budaya Madura yang kental. Dinamika perkembangan
masyarakat Pendalungan pun tak lagi terbatas pada percampuran kultur Jawa dan Madura,
namun dapat ditemukan pula percampuran dengan komunitas lokal lain seperti Osing atau
keturunan etnis seperti Arab dan Tionghoa. Faktanya, meski di luar daerah tempat
tinggalnya komunitas itu menyebut dirinya sebagai bagian dari masyarakat Pendalungan
namun dalam konteks di dalam komunitasnya peran sosialisasi dan internalisasi budaya
yang lebih kuat akan muncul sebagai penciri pada individu atau kelompok. Yang menarik,
identitas Pendalungan pada hasil percampuran itu adalah munculnya tuturan yang khas
berupa dialek dan istilah tertentu yang tidak ada dalam bahasa asli.

Sebagai sistem sosial, masyarakat Pendalungan bukanlah merupakan bentuk


masyarakat “blended”. Dominasi hasil sosialisasi masih nampak muncul pada individu atau
kelompok ketika terjadi pertemuan budaya di ruang publik, khususnya pada aksen atau
dialek tuturan. Orang Situbondo dikenal dengan dialek tutur yang lebih panjang
pengucapannya dibanding yang di Jember. Orang Jember dikenal dengan istilah-istilah khas
seperti mak taker, siah, dan beberapa istilah lain. Hal ini yang kemudian mempengaruhi
adanya pandangan terhadap kultur yang bersifat “high culture” untuk dipelajari, dalam hal ini
kultur Jawa dianggap sebagai “high culture” sedangkan “mass culture” seringkali dikenal
sebagai budaya Madura. Beberapa tahun terakhir, kultur Jawa tidak lagi menjadi dominan,
meskipun “rasa”sebagai kultur berkelas masih menjadi pakem yang diakui keberadaannya.
Artinya seseorang berupaya menampakkan kultur Jawa ketika berada di situasi yang lebih
formal.

Hal ini menarik karena sebagai budaya yang dianggap mewakili kultur kelas yang
lebih rendah, beberapa tahun terakhir komunitas yang disosialisasi dalam lingkungan lokal
mulai menunjukkan keberadaan kultur dominan di komunitasnya. Keberanian tersebut
mungkin dipicu oleh adanya kebijakan global untuk menunjukkan karaksteristik lokal, yang
dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan lokal diakui sebagai suatu warisan luhur yang
layak untuk dipertahankan keberadaannya dan dibawa pada ranah publik dengan berbagai
upaya. Nampaknya kondisi ini mampu membangun kesetaraan pada keberagaman budaya
khususnya pada masyarakat multietnis multikultur seperti masyarakat Pendalungan wilayah
tapal kuda.

Dengan demikian tak cukup lagi identitas itu diwakili oleh kultur Jawa dan Madura,
namun ada kehadiran Madura Tionghoa, Jawa Tionghoa, Madura Arab, Arab Jawa, Jawa
Osing, Madura Osing, Jawa Tengger, yang masing-masing akan muncul mewakili kelompok
sesuai internalisasi kultur yang diterima dan disepakatinya. Di samping itu tidak dapat juga
diabaikan, keberadaan pendatang dari latar belakang yang berbeda dengan komunitas lokal
yang kemudian lebur dalam proses sosial yang dominan. Pendatang dari wilayah Ambulu
atau Banyuwangi yang kemudian pindah ke Bondowoso atau di Jember akan tampil dengan
aksen Madura atau istilah lokal pada tuturan sehari-hari. Demikian juga sebaliknya,
seseorang atau kelompok yang kental budaya Maduranya, akan berusaha tampil dengan
identitas Jawa ketika masuk kantong komunitas Jawa. Atau sebaliknya, seseorang yang
dilahirkan dari amalgamasi pasangan Jawa dan Madura asli dari wilayah tertentu cenderung
mengaku sebagai orang Madura karena leluhurnya berasal dari wilayah di Madura yang
mewakili status yang lebih tinggi dari wilayah lain, seperti Sumenep dan Pamekasan.

Memperhatikan paparan diatas, muncul pertanyaan dan perlu dikaji lebih dalam atau
lebih luas adalah pada kategori kemanfaatan yang bagaimana budaya Pendalungan di
masyarakat multi etnis dengan latar konteks kekinian? Dalam tinjauan keilmuan, ranah apa
sajakah yang dapat dikembangkan dari kajian budaya dan masyarakat Pendalungan?
Makalah ini mencoba menganalisis secara singkat dengan didasari hipotesis,perlu adanya
upaya rekonstruksi secara sosial kategori kemanfaatan budaya Pendalungan masyarakat
multi etnis di wilayah tapal kuda.

B. Kategorisasi Kemanfaatan Budaya

Mengutip istilah pakar budaya dari Jember, Christanto P. Raharjo (2006), budaya
Pendalungan dalam masyarakat Pendalungan di wilayah tapal kuda, tidaklah menafikan
keberadaan unsur-unsur lokal di luar akulturasi Jawa Madura namun bersama-sama
membentuk orkestrasi yang seirama dalam kuali besar, yang bernama Pendalungan.
Namun dalam konteks kekinian, pendefinisian tentang budaya Pendalungan tak perlu lagi
dipertentangkan keberadaannya. Retorika tentang Jawa Madura tak perlu lagi
diperdebatkan, karena bagaimana pun juga pengaruh sosialisasi dan internalisasi akan
menjadi dominasi yang membentuk budaya seseorang dan mewarnai komunitasnya. Pada
masa sekarang, setiap komunitas dengan latar belakang dominasi budaya yang kental, tak
akan segan menyebut identitas yang mewakili dirinya. Analisis tentang manfaat kekinian
budaya Pendalungan dapat dikaji melalui empat kategori kontemporer yang dikemukakan
Raymond Williams (1976)

Adanya konsep kearifan lokal sebagai paradigma baru memandang identitas


kelokalan, maka perbedaan penampilan, perilaku, atau bahasa justru dirasa perlu untuk
tetap terpelihara. Dominasi relatif dari keberagaman kelompok tetap terpelihara dan
diwariskan melalui proses sosialisasi atau pranata budaya yang ada. Pembahasan tentang
hal ini akan membuat kita bersentuhan dengan bahasa, keluarga sebagai unit terkecil dalam
sistem sosial, sistem pendidikan, media, hukum, atau agama. Williams (Jordan dan
Weedon, 1995;6) menyatakan dalam pemahaman ini, budaya memiliki fungsi sebagai
proses pengembangan intelektual, spiritual dan estetika. Artinya seseorang atau komunitas
yang merasa dalam komunitas dominasi relatif dapat mempelajari budaya pada kelompok
yang lebih dominan. Proses sosialisasi dapat dipelajari baik melalui institusi formal atau pun
informal.

Dalam masyarakat selalu ada pengingkaran atau marginalisasi sejarah atau budaya
yang tidak atau kurang dominan yang dipengaruhi subyektivitas dan identitas yang dominan.
Budaya, menurut Williams (Jordan dan Weedon, 1995, 7) merupakan “properti” kelompok
atau komunitas yang bermakna plural. Individu atau kelompok yang berada dalam
masyarakat yang multikultur cenderung mengikuti budaya yang dominan yang dapat
diartikan secara subyektif sehingga dapat diartikan sebagai cara pandang atau cara hidup
seseorang. Dalam kondisi kekinian, seseorang yang secara dominan mengikuti budaya
tertentu di keluarganya namun berada pada komunitas dengan budaya yang dominan
berbeda, menerapkan kedua budaya tersebut secara lebih arif sesuai konteks yang
dipandang subyektif.

Kategori manfaat yang ketiga dalam pandangan Williams (Jordan dan Weedon,
1995,7) adalah ruang lingkup kegiatan dan kajian intelektual khususnya dalam kegiatan
yang bersifat artisitik. Fenomena budaya Pendalungan dari sudut pandang artisitk tidak
dapat dilepaskan dari kesenian yang masuk dalam ranah Pendalungan. Klaim kesenian
Pendalungan yang hidup hingga saat ini menunjukkan tidak terdapatnya budaya baru yang
sepenuhnya dapat diklaim sebagai budaya Pendalungan itu sendiri. Karya-karya seni yang
ada tidak lepas dari pelaku pelestari budaya. Seni baru yang muncul lebih ditandai oleh
konsep lokal yang eksplisit sifatnya, seperti batik dengan pola jenis herba yang menjadi
maskot suatu kota, tarian yang menggambarkan kisah historis dengan lokasi tertentu, atau
seni eklektik yang menggabungkan beberapa komponen sekaligus sehingga tak nampak
dominasi relatif. Artinya, sebagai suatu pandangan hidup, individu atau komunitas pelaku
konsep artisitk tersebut tidak lagi berpijak pada budaya dominan tertentu, namun
memandang identitasnya sebagai individu eklektik dengan konsep artistik baru.

Konsep budaya semacam di atas dianggap mampu menyesuaikan keberadaannya


namun secara ideologis belum teruji kemampuan mempertahankan keberadaannya.
sebagaimana disampaikan oleh Williams sebagai manfaat kontemporer ke empat(Jordan
dan Weedon, 1995, 8) bahwa budaya merupakan sistem yang bermakna, yang mana suatu
tatanan sosial dikomunikasikan, direproduksi, dialami dan dieksplor. Hal ini berarti bahwa
budaya bukanlah sesuatu yang berdiri di luar konteks pranata yang ada. Budaya adalah
seperangkat materi tindakan yang bermakna, mengandung nilai dan subyektivitas. Budaya
yang tercipta dalam bentuk eklektik (menggabungkan beberapa unsur sekali gus menjadi
satu bentuk baru) tidak dapat dilepaskan dari fenomena perubahan dalam pranata yang ada
di masyarakat. Keberlanjutan budaya tersebut tergantung pada bagaimana budaya itu
dialihgenerasikan dalam komunitas pengguna.

C. Rekonstruksi Makna Budaya Multietnis Tapal Kuda

Dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung, nampaknya pepatah ini sesuai dengan
perkembangan makna budaya Pendalungan pada masa sekarang. Sebagaimana disepakati
bersama, budaya merupakan produk suatu masyarakat yang kemudian melekat dan
mewarnai tata nilai, pranata sosial, bahasa, simbol dan seni yang disepakati bersama dan
diwariskan pada generasi berikutnya. Meskipun demikian, seiring perkembangan masa yang
dipengaruhi wacana global, terdapat konstruksi baru terhadap budaya yang sudah ada.
Kajian historis tentang budaya pendalungan yang panjang ternyata membuktikan
keberadaan budaya yang hidup pada komunitas tapal kuda tidaklah sepenuhnya dapat
dibagi secara mutlak pada budaya Jawa atau Madura. Subyektivitas akan identitas melebur
dalam lingkup ruang, dalam hal ini kota dimana seseorang hidup dalam komunitasnya.
Dengan demikian bila makna Pendalungan disebut pada tataran pengaruh Jawa pada orang
Madura atau sebaliknya pengaruh Madura pada orang Jawa, pada masa sekarang lebih
muncul sebagai identitas yang lebih subyektif dengan menyebut nama kota sebagai tempat
tinggal dengan tanpa meninggalkan kekhasan internalisasi budaya kelompok. Masing-
masing subyek berkembang dan muncul dengan identitas etnis lokal seperti orang
Probolinggo, orang Pasuruan, orang Jember, orang Banyuwangi, orang Situbondo, orang
Lumajang atau orang Bondowoso.

Identitas etnis yang muncul dengan identitas kelokalan ini akan berlangsung terus
menerus dan akan berkembang menjadi segmen yang terpisah melalui proses asimilasi
maupun amalgamasi. Sebagaimana disampaikan oleh Horowitz (1981, 112-113) identitas
kelompok yang lebih kompleks akan terbentuk dengan berkurangnya kohesi internal dan
terpecah menjadi beberapa bagian, seperti dengan membentuk identitas baru atau terpecah
dalam sub kelompok yang lebih kecil, atau tetap dalam konsep yang ortodoks yaitu
menyerap budaya yang lebih kuat. Perubahan ini dapat terjadi karena pembatas identitas
kelompok itu sangat “cair” sifatnya. Waktu perubahan pun dapat berlangsung cepat atau
lambat. Sebagai suatu upaya mengubah atau memunculkan identitas baru maka diperlukan
upaya merekayasa kembali pembatas identitas kelompok. Upaya rekayasa kembali yang
dilakukan oleh individu atau kelompok sebagai hasil tertinggi dalam memahami konsep serta
nilai-nilai yang terkandung didalamnya tentang pandangan terhadap diri sendiri dan
lingkungannya serta karya yang dihasilkan yang dikenal sebagai rekonstruksi.

Dalam pemikiran Gans (1975; 9-10) budaya merupakan produk yang melekat pada
masyarakat atau komunitas. Sebagai hasil karya maka budaya memiliki suatu kedekatan
dengan penghasil karya tersebut. Budaya yang dihasilkan sebagai produk kolektivitas yang
tidak berbeda satu dengan lainnya, yang dikenal sebagai produk massal. Produk massal
ditandai dengan sedikitnya mengandung nilai-nilai luhur dan cenderung bersifat hiburan.
Sedangkan budaya yang dihasilkan sebagai khusus dikenal sebagai “adikarya”, atau disebut
Gans sebagai “high culture”. Pada suatu komunitas dengan budaya yang dihasilkan oleh
multietnis nampak produk yang bersifat massal dan nampak produk yang bersifat “high
culture”. Budaya yang adikarya ini pada masa lalu dikenal sebagai budaya masyarakat
Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya sudut pandang bahwa penguasa secara politis,
ekonomi maupun keagamaan adalah orang-orang Jawa yang dikenal luwes, santun,
berpendidikan. Pada masa lalu, konstruksi identitas individu atau pun kelompok adalah
menjadi orang Jawa, maka tak heran muncul beberapa upaya untuk memperoleh
pengakuan sebagai orang Jawa. Sebaliknya, suku Madura identik dengan peringai yang
kurang sabaran, tidak memiliki unggah-ungguh (khususnya dalam Bahasa tutur), kurang
berpendidikan dan “ndeso”. Saat kelompok ini masuk dalam komunitas Jawa, maka
diupayakan “rekonstruksi” identitas dengan berusaha menggunakan Bahasa Jawa,
berusaha mempelajari budaya-budaya Jawa yang “high culture”, maka muncullah Bahasa
tutur khas Pendalungan serta produk budaya yang sifatnya lebih pada produk massal.

Namun seiring perubahan masa global, ancaman terhadap produk lokal menjadi
pemicu munculnya penghargaan pada karya lokal yang menunjukkan identitas etnis secara
khas. Budaya pendalungan pun mengalami transformasi dari pengertian budaya sebagai
hasil asimilasi atau akulturasi yang mana pengaruh budaya dominan lebih kuat mewarnai
menjadi budaya yang dihasilkan oleh masyarakat lokal yang sifatnya multietnis dengan ciri
lokal yang lebih mengedepan. Penulis lebih menyukai menggunakan istilah Budaya
Pendalungan sebagai budaya eklektik, budaya hasil asimilasi dan akulturasi dengan
dominasi lokal dimana komunitas asli maupun pendatang bersama-sama menggunakan dan
menyepakati tanpa meninggalkan identitas etnis asalnya. Orang Pasuruan yang pindah ke
Situbondo akan mengikuti dialek atau aksen Situbondo yang diseret pengucapannya tanpa
harus ditertawakan saat salah memanjangkan suku kata yang semestinya. Orang Lumajang
yang pindah ke Jember akan menggunakan istilah-istilah Jemberan seperti mak taker,
longor tanpa perlu mengetahui dengan tepat kebutuhan penggunaannya. Orang
Probolinggo yang berpindah ke Rogojampi akan berusaha membeli produk lagu Osing yang
cenderung “galau” meskipun sosialisasi yang diterima di masa lalu jauh lebih dinamis
sifatnya.

Pada tataran fakta social yang demikian, muncul masalah yang menyentuh sisi
kajian baik sosiologis, psikologis, pendidikan maupun kebudayaan itu sendiri. Sebagai
budaya eklektik, budaya Pendalungan tidak tampil menjadi satu budaya dominan yang
menyentuh system social maupun pranata social yang lebih luas. Demikian pula pergesekan
dalam sosialisasi dan internalisasi nilai, tindakan, maupun sikap kritis individu dengan
kelompok di luar subyektivitas individu maupun kelompok akan memunculkan suatu pola-
pola yang menyentuh kajian ilmu psikologi. Bagaimana bentuk pengenalan kultur yang tepat
menjadi muatan lokal kebijakan pendidikan yang harus dirumuskan bersama oleh pakar-
pakar pendidkan lokal. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, sebagai budaya eklektik dengan
identitias lokal maka produk budaya akan cenderung menjadi budaya massal, bukan budaya
adikarya. Sebagai budaya massal maka nilai-nilai dalam budaya tersebut sebatas sebagai
hiburan, memberi informasi, dan memperindah kehidupan sehari-hari. Dalam pemahaman
demikian, Gans (1975, 11) menyebut budaya hanya menunjukkan nilai dan standar “rasa”
dan “keindahan” berbudaya pada masyarakat. Tidak ada nilai-nilai yang patut diwariskan
pada generasi berikutnya yang mampu mengubah sudut pandang kehidupan atau
memunculkan sikap kritis untuk memperbaiki kualitas kehidupan.

D. Simpulan

a)Seiring perkembangan jaman yang dipengaruhi oleh dunia global, maka


pemaknaan terhadap budaya Pendalungan perlu dilihat sebagai fakta budaya kekinian yang
dihasilkan oleh masyarakat lokal sebagai hasil asimilasi dan akulturasi di lokal setempat.
b)Rekonstruksi makna budaya Pendalungan sebagai budaya eklektik dari masyarakat multi
etnis akan memicu mengedepannya masyarakat dengan identitas lokalitas . c) Perlu kajian
multidisiplin untuk merumuskan konsep budaya Pendalungan dengan identitas lokalitas
daripada identitas multietnis atau sekedar Jawa-Madura.

Anda mungkin juga menyukai