Anda di halaman 1dari 9

NILAI–NILAI ISLAM DAN KEARIFAN LOKAL

DARI BERBAGAI SUKU INDONESIA

DISUSUN OLEH :

NAMA : DARA BEAUTY AZALIA

KELAS : VIII M

PELAJARAN : SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

MADRASAH TSANAWIYAH I JAKABARING

TAHUN AJARAN 2021/2022


BAB I

A. Pendahuluan
Nilai Islami memiliki keseluruhan tingkah laku yang terpuji dalam kehidupan
sehari-hari, yang dilakukan demi memperoleh ridho Allah (Madjid, 1997:124).
Dengan nilai Islami dapat dikatakan sebagai bentuk tingkah laku yang mencerminkan
budi luhur atas dasar kepercayaan iman kepada Allah dan tanggung jawab hari
kemudian.
Secara etimologis, kata ‘Kebudayaan’ bersal dari bahasa sanskerta, yaitu
buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Menurut ahli
budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata, yaitu budi dan daya (Sidi
Gazalba, 1998:35).Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar,
perasaan, sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, dan kesanggupan.
Sekalipun akar kata budaya diderivasi dari akar kata yang berbeda, dapat dikatakan
bahwa kebudayaan berkenaan dengan hal-hal yang berkenaan dengan budi atau akal.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) budaya dapat diartikan
sebagai pikiran akal budi dan adat-istiadat. Budaya juga merupakan salah satu cara
hidup yang terus berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok atau orang
yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Sedangkan kearifan lokal
merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari
bahasa masyarakat itu sendiri.Kearifan lokal (local wisdom) biasanya diwariskan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut.
Menurut S. Swarsi, menyatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal merupakan
kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara, dan
perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang
dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama, bahkan
melembaga (Mariane, 2014).
Dalam perspektif sosiologi, kebudayaan menurut Alvin L. Bertrand, adalah
segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh anggota-anggota suatu
masyarakat antara lain lembaga masyarakat, sikap, keyakinan, motivasi serta sistem
nilai yang diberlakukan pada kelompok. Sedangkan dalam disiplin antropologi yang
dikenal istilah lokal genius Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal (lokal genius)
adalah kebenaran yang teah mentradisi dalam suatu daerah.
Kearifan lokal itu sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah menyatu
sedemikian rupa dengan sistem  kepercayaan, norma dan budaya. Dari berbagai
definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia.
Unsur-unsur yang membentuk budaya dan kearifan lokal yaitu : pertama,
manusia; kedua; gagasan yang bernilai baik; ketiga, kebenaran yang telah mentradisi;
dan keempat, diakui oleh masyarakat. Dengan empat unsur tersebut dapat dipahami
bahwa dalam budaya dan kearifan lokal nilai agama tidak dapat terpisahkan. Gagasan
yang bernilai baik kemudian menjadi kebenaran yang mentradisi dan diakui
merupakan prinsip dasar dari semua agama khususnya agama islam.
Menurut Sartono Kartodirdjo, bahwa dalam masyarakat tradisional pola
kehidupan diatur oleh kaidah-kaidah dari nenek moyang yang dianggap berlaku terus.
Tradisi yang berlaku dalam masyarakat sangat mapan sehingga memperkuat
keseimbangan hubungan-hubungan sosial dalam bermasyarakat, yang kesemuaanya
itu menimbulkan rasa aman, dan tentram dengan kepastian yang dihadapi. Oleh
karena itu tradisi dihargai sebagai nilai tersendiri yang tinggi, maka perlu
dipertahankan; bahwa ada anggapan dimana tradisi adalah suci dan oleh karenanya
harus dihormati (Sartono Kartodirdjo. 1993:99). Budaya juga dimaknai sebagai
sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih baik dan lebih bernilai untuk
ditempuh. Untuk memahai nilai-nilai budaya, terlebih dahulu harus diketahui
pengertian nilai dan budaya. Nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu
pantas dikejar oleh manusia (Driyarkara dalam Suwondo, 1994). Nilai-nilai itu sendiri
sesungguhnya berkaitan erat dengan kebaikan, meski kebaikan lebih melekat pada
‘hal’ nya. Sedangkan ‘nilai’ lebih merujuk pada ‘sikap orang terhadap sesuatu atau
hal yang baik’.
Nilai budaya menurut Koentjaraningrat sebenarnya merupakan kristalisasi dari
lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yakni
(1) hakikat dari hidup manusia,
(2) hakikat dari karya manusia,
(3) hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu,
(4) hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitar, dan
(5) hakikta dari hubungan manusia dengan sesamanya.
Apapun nilai yang ada pada diri seseorang atau sekelompok orang akan
menentukan sosok mereka sebagai manusia berbudaya. Budaya progresif akan
mengembangkan cara berpikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu
pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya ekspresif bermuara pada kepercayaan
mitologis dan mistik. Pendukung budaya progresuf pada umumnya dinamis dan siap
digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru,  sedangkan
pendukung budaya ekspresif biasanya statis atau tradisional, yang memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.
Islam Jawa secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari
budaya Jawa. Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak menyebut pulau Jawa karena
dipulau Jawa terdapat budaya-budaya yang bukan termasuk dalam sub budaya Jawa,
seperti budaya Sunda dengan bahasa Sunda (Jawa Barat), budaya Betawi dengan
bahasa Melayu Betawi (Jakarta) dan budaya Madura dengan bahasa Madura (Jawa
Timur bagian utara dan timur). Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang
melahirkan dan menopang kebudayaan Jawa. Karakter masyarakat Jawa dikenal
sebagai masyarakat yang sangat toleran dengan budaya asing yang masuk ke wilayah
kebudayaan Jawa, termasuk salah satunya adalah islam hal ini terjadi karena sikap
mental masyarakat Jawa berbasis pada moralitas harmonisasi kehidupan.Islam
sebagai agama samawi dimaksudkan sebagai petunjuk manusia dan sebagai rahmat
bagi seluruh alam.

B. Hubungan Islam dan Kebudayaan


Saat islam datang, masyarakat Jawa telah memiliki kebudayaan yang
mengandung nilai-nilai yang bersumber pada keyakinan animisme, dinamisme, Hindu
dan Buddha. Ajaran Islam dan budaya Jawa justru saling terbuka untuk berinteraksi
dalam peraktik kehidupan masyarakat. Sikap toleran terhadap budaya lama yang
dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa ternyata cukup
berhasil.Para wali membiarkan budaya lama tetap hidup, tetapi diisi dengan nilai-nilai
ke islaman. Perpaduan Islam Jawa yang telah dilakukan oleh para penyebar agama
Islam di Jawa masa lampau ternyata memberikan sumbangan besar terhadap
perkembangan budaya Jawa. Budaya Jawa semakin diperkaya nilai-nilai ajaran Islam
yang menjadi sumber inspirasi dan pedoman kehidupan bagi masyarakat
pendukungnya. Perpaduan Islam dan kebudayaan Jawa dapat kita jumpai dalam
upacara tradisional.
Upacara tradisional merupakan salah satu wujud ekspresi manusia dalam
rangka mengungkapkan kehendak atau pikirannya melalui upacara.Dalam upacara
terdapat nilai-nilai kehidupan dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Melalui
upacara juga akan dapat diketahui pandangan hidup masyarakat dan hubungan mereka
dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Koentjaraningrat (1974: 12-13), sistem religi
dan upacara keagamaan merupakan unsur kebudayaan universal yang paling sulit
berubah dan paling sulit dipengaruhi kebudayaan lain.

C. Pembahasan
            Indonesia memang kaya akan kebudayaan tidak hanya yang sudah diakui
dunia namun masih banyak kebudayaan Indonesia  yang belum terekspos dunia.
Dusun Kendal contohnya merupakan wilayah dimana jauh akan dari kata keramaian
kota yang terletak di kecamatan Jatipuro kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, meski
terpelosok namun dusun ini memiliki potensi kebudayaan yang luar biasa, karena
seakan kebudayaan di dusun ini terhindar dari perkembangan arus moderenisasi
sehingga kebudayaan tersebut masih terjaga, hal ini justru menjadi daya tarik
wisatawan yang melihat atau mengikuti acara yang masih kental akan warisan  nenek
moyang.
            Bagi masyarakat dusun Kendal kebudayaan ini sudah menjadi identitas
mereka. Kebudayaan ini menjadikan apem sebagai media pelaksanaan Wahyu Kliyu,
Wahyu Kliyu sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu “yaa hayyu ya qoyyum”atau “ya
qowiyu” yang artinya “yang memberi kekuatan”.Wahyu Kliyu merupakan upacara
adat Jawa apeman yang dilaksanakan sebagai rasa syukur bahwa setiap tahun tanah di
dusun tersebut diberi kesuburan sehingga mendapatkan polowijo, padi, buah-buahan
dan lain-lainnya yang melimpah atau bisa disebut sedekah bumi.
          Dalam hal ini kebudayaan Wahyu Kliyu mempunyai nilai- nilai religi dimana di
dalamnya terdapat makna yang mendalam yakni mengajarkan pemahaman terhadap
hubungan Tuhan dengan manusia dan alam sekitarnya. Apem disini tidak hanya
sebagai kue khas jawa namun juga sebagai simbol sakral dalam pelaksanaan tradisi
Wahyu Kliyu yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun sejak zama ki Renggo
Wijoyo menjabat sebagai kepala Desa dilaksanakan habis panen setiap musim
kemarau 1 tahun sekali.
           Bagi masyarakat jawa di bulan suro pada umumnya diperingati melalui
berbagai adat dan budaya yang ada di sekitar masyarakat Jawa, seperti Wahyu Kliyu
merupakan salah satu tradisi dari sekian banyak tradisi masyarakat jawa yang
dilaksanakan pada bulan suro. Tradisi Wahyu Kliyu yang hanya terdapat  di desa
Kendal merupakan sebuah tradisi asli di dusun tersebut.
          Menurut keterangan dari pak Rakino selaku sesepuh desa kendil dahulu pernah
dimana masyarakat dusun Kendal tidak lagi melaksanakan tradisi upacara Apeman
atau yang disebut Wahyu Kliyu.Saat itulah terjadi gempa yang membuat tanah di
dusun Kendal mengalami pembengkahan atau retakan yang sangat dalam. Sehingga
masyarakat di dusun tersebut merasa panik dan ketakutan karena kejadian itu, selang
7 hari setelah kejadian itu timbul wabah penyakit dimana hampir seluruh kampung
banyak yang terkena wabah tersebut, bahkan ada yang sakit paginya dan sorenya
meninggal maupun sebaliknya, jadi hampir setiap hari banyak orang yang meninggal
sehingga pada saat itu kepala desa yang bernama Renggo Wijoyo menyuruh
warganya untuk mengukur kedalam tanah yang retak dengan menggunakan sebilah
bambu yang dipangkas dengan segala kekuatan beberapa orang tersebut memegang
dan memasukan bambu tersebut namun tak terjangkau karena retakan tanah itu terlalu
dalem. Karena cara pertama tidak berhasil Ki Renggo Wijoyo mencari cara lain, ki
Renggo Wijoyo menyuruh kembali salah satu warganya untuk memotong bambu dari
ujung sampai pangkal bahkan daunya tidak dipangkas pelan-pelan tapi pasti bambu
itu dapat menjangkau dasar tanah, dengan rasa senang warga bersama-sama menaikan
keatas bambu tersebut.
  Tak disangka setelah bambu tersebut dinaikan terlihat sebuah uang logam
yang berkilau diujung sebilah bambu yang seolah-olah dilem dengan menggunakan
tanah liat yang berjejer diantara daun-daun bambu itu, semua yang melihatnya
terheran-heran melihat dan keajaibannya tersebut. ki Renggo yang melihat kejadian
itu lalu menyuruh warganya untuk segera mengambil uang logam untuk dicuci agar
bersih, tak lama kemudian mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk mengambil
langkah selanjutnya setelah lama bermusyawarah mereka pun menyepakati untuk
membawa penemuan tersebut ke Kraton Solo.
Ki Renggo didampingi Ki Nano dan sekaligus Ki Samud bergegas pergi
menghadap Punggowo Keraton, sesampainya di disana mereka disambut ramah oleh
beberapa pegawai Keraton mereka pun diantarkan untuk bertemu Ki Menang. Dalam
pertemuan yang lama Ki Renggo dan 2 pendampingnya bergantian  untuk
menceritakan keadaan di desanya dengan adanya gempa yang disusul kejadian aneh
dimana didaun bambu yang digunakan untuk mengukur kedalaman retakan tanah
terdapat uang logam dan menceritakan desanya yang terkena wabah yang luar biasa.
            Setelah mendengarkan cerita dari Ki Renggo dan pendampingnya tentang
keadaan yang baru terjadi di desanya, Ki Menang mengangguk-angguk lalu menyuruh
mereka diam lantas Ki Menang menahan nafas panjang dan berdoa menggerakan
batinnya setelah itu Ki Menang tersenyum lalu berkata “begini kisanak semua telah
tertera dalam penerawanganku”, bahwa hal itu merupakan luapan dari sang pencipta
yang mengingatkan kepada hambanya agar selalu bersyukur ketika mendapatkan
apapun.
            Sekian lama berbincang-bincang Ki Menang mengajak Ki Renggo dan para
pendampingnya untuk makan bersama sehingga bisa berpikir jernih setelah makan
mereka pun melanjutkan pembicaraan tersebut, sampai akhirnya Ki Menang berkata
“menurut penerawanganku kalian harus melaksanakan Wahyu Kliyu secara rutin
setahun sekali tepatnya dibulan Suro tanggal 15 dan mengunakan 344 kue apem 
sebagai sarana media dalam upacara tersebut”.
            Sungguh hal itu sebuah amanah yang harus dilakukan, sebelum pulang Ki
Renggo dan pendampingnya mendapat pesan dari Ki Menang agar membawa pulang
lagi sebagian uang logam itu sebagai tanda bahwa didesa kalian ada keajaiban agar
kelak suatu saat anak cucu kalian mengerti sejarah awal mula Wahyu Kliyu ini
dengan jelas dan sebagian uang logam tersebut ditinggal dikraton untuk disimpan
sebagai kenangan serta catatan  bahwa ada warga dari dusun Kendal pernah
menghadap dan meminta solusi atas kejadian yang pernah terjadi didesanya.
            Alasan mengapa dalam tradisi Wahyu Kliyu menggunakan apem sebagai
medianya karena, istilah apem sendiri sebenarnya diambil dari bahasa Arab yaitu
afuan/afuwwun, yang berarti ampunan. Sedangan dalam filosofi jawa, kue apem
merupakan simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Kue apem dalam
tradisi Wahyu Kliyu secara garis besar mempunyai makna filosofi yang sama di
kalangan masyarakat Jawa. Simbolisme kue apem sebagai salah satu makanan khas
Indonesia ini sangat menarik untuk dibahas karena memiliki banyak makna yang
terkandung didalamnya.
            Dalam tradisi Wahyu Kliyu masyarakat setempat mengungkapkan adanya
jumlah ampem yang harus dibuat dengan aturan yang telah ada yakni sebanyak 344,
yang kemudian dimasukkan kedalam tenggok (wadah yang dibuat dari anyaman
bambu) dan selanjutnya dibawa ketempat diadakannya Wahyu Kliyu.
            Adapun prosesi utama tradisi ini pada saat pelemparan apem yang harus
dilempar satu persatu dan hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki, dengan
berdzikir mengucap “Yaa Hayyu Ya Qayyum” namun berubah menjadi “Wahyu
Kliyu” karena faktor lidah orang jawa yang susah dalam mengucap bahasa arab.
Apem tersebut dilempar ke wadah dimana alasnya terbuat dari daun pisang.
            Tradisi ini sebagai wujud rasa syukur masyarakat dusun Kendal kepada Tuhan
yang Maha Esa. Setelah kue apem terakhir dilempar, kue tersebut ditutup dengan
daun pisang kemudian didoakan untuk mengakhiri ritual pelemparan apem sebelum
dapat di bawa pulang oleh masyarakat sekitar, untuk dimakan karena masyarakat
sekitar jika dapat membawa manfaat seperti dapat menyembuhkan segala penyakit,
dan lain-lainnya. Selain itu daun pisang yang setelah digunakan sebagai alas wadah
pelemparan apem tersebut masyarakat sekitar percaya bila diberikan ke hewan ternak
maka hewan itu dapat berkembang biak dengan baik.
            Acara Apeman tersebut selain dilaksanakan sebagai adat yang mana sekarang
menjadi budaya sehingga tradisi ini juga sebagai catatan istimewa bagi warga Kendal.
Nilai agama yang terkandung didalamnya yang mana kita sebagai manusia agar selalu
bersyukur kepada sang pencipta Allah SWT atas pemberiannya.
            Tradisi ini sering dihadiri bukan hanya dari warga masyarakat Kendal saja
melainkan juga warga-warga lain baik dekat maupun yang jauh, serta dihadiri
perangakat desa, bapak camat dan seperangkatnya, tak ketinggalan aparat kepolisian,
lebih istimewanya dihadiri oleh bapak Bupati karanganyar seperangkatnya dengan
secara khusus diundang untuk memberikan tauziah sendiri tanpa perwakilan.
            Tak lupa bapak bupati juga membagikan sembako untuk anank-anak yatim
piatu serta warga-warganya yang kurang mampu, sekarang Wahyu Kliyu bisa
dikatakan sebagai acara adat Desa Kendal, bukan hanya sebagai acara adat melainkan
juga sebagai ivent penting  sebagai deretan cagar budaya yang perlu dilestarikan
sampai kapan pun.

D. Kesimpulan
            Tradisi Wahyu Kliyu merupakan tradisi Islam Jawa yang dilaksanakan setiap
bulan suro tanggal 15, dimana waktu pelaksanaannya ditengah malem, prosesi ini
dimulai  dengan melemparkan apem berjumlah 344 sembari berdzikir mengucapkan
“Wahyu Kliyu” yang sebenarnya berasal dari kata arab yakni“Yaa Hayyu Ya
Qayyum” (meminta kehidupan dan kekuatan kepada Allah), secara berulang-ulang
setiap melempar apem  kewadah yang sudah disiapkan. Alasan mengapa dilaksanakan
ditengah malam karena bukan hanya prosesi pelemparan sembari berdzikir namun
terdapat pula prosesi dimana apem yang telah habis dilemparkan oleh masyarakat
akan didoakan karena itulah pelaksanaannya pada waktu malam agar lebih khusyuk
saat berdoa.
           Setelah didoakan apem tersebut akan dibawa pulang masyarakat untuk
dikonsumsi karena mereka percaya apem tersebut akan membawa kebaikan, mengapa
dalam pelaksanaan Wahyu Kliyu menggunakan apem sebagai media perantaranya
karena asal mu asal apem sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu “afuan” atau
“afuwwun” yang berarti pengampunan, karena itulah apem selalu digunakan pada saat
tradisi-tradisi jawa sebagai symbol pengampunan kepada Allah SWT.
            Dalam tradisi ini bukan hanya sekedar adat namun juga memiliki nilai-nilai
islam, karena dalam tradisi ini mempunyai makna sebagai pengingat umat islam akan
adanya tuhan yang memberi kehidupan dan mengajarkan agar selalu bersyukur atas
semua pemberiannya.

Anda mungkin juga menyukai