Anda di halaman 1dari 16

JURNAL KEPERAWAATAN TRASKULTURAL

PENDALUNGAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Transkultural

DOSEN PENGAMPU : Ns. Eko Prasetya W., M.Kep


Ns. Primasari M.,M.Kep

Disusun oleh :

Nama : PUTRI OKTAVIA IRGIANTI


NIM : 202303101119
Prodi / Fakultas : D3/Keperawatan
Tingkat : 1C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
PRODI D3 KEPERAWATAN KAMPUS LUMAJANG
TAHUN 2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga tugas makalah yang berjudul “Budaya Pendalungan” ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas makalah Keperawatan
Transkultural. Selama proses penyusunan makalah, penulis mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada::
1. Dosen pengampu yang telah membimbing saya dalam mengerjakan makalah ini
2. Semua orang yang terlibat dalam pembuatan makalah saya ini, yang telah
membantu saya agar dapat menyelesaikan makalah tepat pada waktunya.
Jurnal ini berisi tentang definisi dari budaya pendalungan,lokasi budaya pendalungan,
karakteristik budaya serta perspektif budaya pendalungan terkait kesehatan. Demikian jurnal
ini dibuat tidak menutup kemungkinan ada kesalahan dan kekurangan dalam penyusunannya,
penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Apabila
ada pendapat atau saran yang bersifat membangun Serta penulis berharapan agar pembaca
berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran. Harapan penulis, makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Lumajang,2 Oktober 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan masyarakat tidak terlepas dari ikatan budaya yang telah
ada sejak dahulu. Ikatan budaya itu tercipta dari masyarakat yang bersangkutan atau
berasal dari daerah itu sendiri, yang membuat budaya tersebut menjadi pembeda antara
masyarakat satu dengan masyarakat yang lain dalam cara bertindak dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan.
Menurut Koentjaraningrat2 kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal
dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
“budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi”
yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa,
dan rasa itu. Menurut Liliweri3 kebudayaan merupakan pandangan hidup dari
sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang
mereka terima tanpa sadar yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
Lebih lanjut, Taylor dalam Liliweri mendefinisikan kebudayaan tersusun
oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum yang disebut adat istiadat yang
mencakup teknologi, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, estetika,
rekreasional dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semua
yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dalam makalah ini akan membahas tentang salah satu budaya yang berasal
dari Jawa Timur yaitu budaya Pendalungan, yang dikaji dalam makalah ini berupa
definisi dari budaya Pendalungan, lokasi dari budaya, karakteristik dari budaya serta
perspektif budaya Pendalungan terhadap kesehatan.
Masyarakat Pendalungan adalah komunitas yang cukup unik karena
merupakan akulturasi dari etnis Jawa dan Madura. Sebagai komunitas yang unik maka
masyarakat Pendalungan cukup menarik salah satunya mengenai perkawinan campuran
antara etnis Jawa dan etnis Madura, maupun keturunannya.
Adanya perbedaan antara masyarakat Pendalungan yang berada di daerah
Kabupaten Lumajang dengan yang berada di Kabupaten Jember terhadap penerimaan
pada etnis yang berbeda, terutama pada etnis Madura. Pada masyarakat Pendalungan
yang berada di Kabupaten Lumajang, pemisahan terhadap etnis Madura masih cukup
kuat walaupun dalam keseharian masih dapat berbaur dengan etnis tersebut namun ada
penolakan untuk penerimaan dalam anggota keluarga.
Hal ini terutama terdapat pada masyarakat yang tinggal di daerah
kecamatan kota. Sedangkan di daerah Kabupaten Jember, masyarakat Pendalungan
masih dapat menerima etnis Madura sebagai anggota keluarga. Adanya perbedaan
penerimaan terhadap etnis Madura sebagai anggota keluarga tersebut berpengaruh pada
nilai-nilai serta pola yang ada di keluarga pada masyarakat Pendalungan di kedua
Kabupaten tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang belum masuk terlalu
dalam pada aspek-aspek budaya pada masyarakat Pendalungan, walaupun telah
diimbangi dengan adanya masukan dari para ahli budaya masyarakat Pendalungan.
Demikian juga partisipan yang terlibat dalam penelitian ini hanya laki-laki, maka
tentunya dapat terjadi adanya hal-hal yang belum terungkap.
A. Rumusan masalah
1) Apa definisi dari Budaya Pendalungan?
2) Dimana tempat lokasi dari Budaya Pedalungan?
3) Jelaskan karakteristik dari Budaya Pendalungan?
4) Jelaskan perspektif Budaya Pendalungan terkait kesehatan?
B. TUJUAN PENULISAN
1. Memahami definisi dari suku pendalungan
2. Mengetahui lokasi tempat tinggal suku pendalungan
3. Mengetahui karakteristik suku pendalungan
4. Mengetahui perspektif tradisi atau budaya dan kesehatan yang ada di
suku pendalungan
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Secara etimologis, konsep pandalungan berasal dari kata dalung yang berarti
“dulang besar terbuat dari logam” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1985). Arti
simboliknya pandalungan adalah gambaran wilayah yang menampung beragam
kelompok etnik dengan latar belakang budaya berbeda, yang kemudian melahirkan
proses hibridisasi budaya. Istilah pandalungan berarti ‘berbicara/berkata dengan tiada
tentu adabnya/sopan-santunnya’ (Prawiroatmodjo, 1981:53-81). Dalam realitas
kehidupan masyarakat dan kebudayaan di kawasan tapal kuda, definisi itu bisa berarti
bahwa bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan adalah bahasa
yang cenderung kasar (ngoko) atau bahasa yang dipergunakan antar masyarakat
struktur egaliter.
Seringkali dalam mengungkapkan sesuatu mereka menggunakan bahasa
campuran, antara Jawa dan Madura. Sebagai sebuah budaya campuran, tentu
memerlukan suatu proses yang cukup panjang, dan bahkan mungkin sampai saat ini
masih terus berproses. Artinya, jika konsep pandalungan diartikan sebagai sebuah
identitas budaya, maka identitas tersebut masih terus mencari bentuk. Wilayah
kebudayaan pandalungan (pandhalungan) merujuk kepada suatu kawasan di wilayah
pantai utara dan bagian timur
Provinsi Jawa Timur yang mayoritas penduduknya berlatar belakang budaya
Madura. Pada umumnya orang orang pandalungan bertempat tinggal di daerah
perkotaan yang secara histories sebagai melting pot, pusat pertemuan berbagai budaya.
Dalam pertumbuhan sebuah kota, bagaikan sebuah “dulang besar” tempat bertemunya
berbagai manusia dengan latar belakang budaya yang berbeda, maka secara tidak
langsung menjadi pusat interaksi berbagai suku bangsa, yang memungkinkan terjadinya
proses asimilasi melalui perkawinan campuran antar mereka (intermarriage).
Dalam konteks inilah konsep dalung (=dulang besar) menjadi identik
dengan konsep melting pot, sebagai pusat bertemunya berbagai etnis melalui proses
asimilasi (intermarriage), meskipun dalam proses selanjutnya tidak selalu demikian.
Melalui proses melting pot ini pula, dalam suatu wilayah kemungkinan besar terjadi
bentuk-bentuk multikuturalitas. Proses amalgamasi yang merupakan percampuran
budaya sebagai salah satu bentuk asimilasi mungkin juga bisa terjadi, meskipun
amalgamasi tidak selalu tergantung pada asimilasi, sebagaimana identitas tidak selalu
terkait dengan lokalitas atau kelompok tertentu. Demikian pula pandalungan sebagai
sebuah identitas budaya, dalam perkembangannya juga tidak selalu terkait dengan
lokalitas tertentu.
Secara administratif, kawasan kebudayaan pandalungan meliputi Kabupaten
Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Kawasan ini
mungkin terus mengalami proses sebagaimana proses intrusi kultural yang selalu terjadi
di berbagai kawasan lainnya. Sebagaimana konsep Berger (1966) yang memandang
bahwa masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.
Dialektika tersebut berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan yakni:
“eksternalisasi” – penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk
manusia, “obyektivasi” – interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang
dilembagakan, dan “internalisasi”- individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-
lembaga sosial atau organisasi sosial tempat dimana mereka menjadi anggotanya.
Artinya, pandalungan sebagai sebuah identitas produk manusia, mengalami proses
“penyesuaian”, “pelembagaan” dan sekaligus proses “internalisasi”, sebagaimana
proses budaya lainnya.
Dalam konteks sosio-kultural, masyarakat pandalungan merupakan bagian
dari masyarakat tapal kuda, yakni masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tapal
kuda, yakni suatu kawasan di Provinsi Jawa Timur yang membentuk lekukan mirip
ladam atau kasut besi kaki kuda. Kawasan ini memiliki karakteristik tertentu dan telah
lama menjadi kantong pendukung Islam kultural dan kaum abangan. Pendukung Islam
kultural dimotori oleh para kiai dan ulama, sementara kaum abangan dimotori oleh
tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam aliran kepercayaan
(Sutarto,2006).
2. LOKASI
Pendalungan dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai sekumpulan orang atau
masyarakat dengan latar budaya campuran Jawa-Madura atau biasa disebut orang Jawara.
Kaum Pendalungan sebagian besar bermukim di bagian timur Jawa Timur. Pusat daerah
kaum Pendalungan adalah kota Jember, dan tersebar mulai dari pinggiran timur pantai
Surabaya terus ke selatan dan menyusur pantai utara Jawa yang berhadapan dengan pulau
Madura melewati kota-kota Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan sampai Banyuwangi
(kota pelabuhan yang menghadap ke pulau Bali).
Wilayah sebaran Pendalungan juga masuk ke pedalaman kota-kota itu dan
berkembang di kota-kota Lumajang dan Bondowoso. Kaum Pendalungan terdiri dari dua
kelompok yaitu:
a) Orang Jawa yang telah dibesarkan di desa-desa di pulau Madura,
b) Keturunan dari perkawinan Jawa-Madura,
c) Orang Madura yang bermigrasi ke Jawa dengan menyeberangi selat Madura.
Kelompok pertama berbicara dengan menggunakan bahasa Madura dan bahasa Jawa
secara bergantian yang pada akhirnya secara tidak sengaja melahirkan bentuk bahasa
baru hasil asimilasi kedua bahasa tersebut.

3. KARAKTERISTIK ATAU CIRI-CIRI

a. Masyarakat pandalungan merupakan bagian dari masyarakat tapal kuda. Masyarakat


tapal kuda adalah masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tapal kuda, yakni
suatu kawasan di Provinsi Jawa Timur yang membentuk lekukan mirip ladam atau
kasut besi kaki kuda. Kawasan ini memiliki karakteristik tertentu dan telah lama
menjadi kantong pendukung Islam kultural dan kaum abangan. Pendukung
Islam kultural dimotori oleh para kiai dan ulama, sementara kaum abangan dimotori
oleh tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam aliran kepercayaan.
b. Tulisan, buku, dan kajian tentang masyarakat pandalungan masih sangat terbatas.
Tetapi tulisan tentang peristiwa-peristiwa sosial-politik yang mencuat di kawasan
“keras” ini telah cukup banyak, terutama tulisan tentang kekerasan politik dan politik
kekerasan, atau kekerasan budaya dan budaya kekerasan. Tulisan ini akan
mendeskripsikan secara singkat apa dan siapa, serta kehidupan sehari-hari masyarakat
pandalungan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, terdapat beberapa ciri umum masyarakat


pandalungan:
1. Masyarakatnya cenderung bersifat terbuka dan mudah beradaptasi.
2. Sebagian besar lebih bersifat ekspresif, cenderung keras, temperamental,
transparan, dan tidak suka berbasa basi.
3. Cenderung bersifat Paternalistik: keputusan bertindaknya mengikuti keputusan
yang diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan.
4. Menjunjung tinggi hubungan primer, memiliki ikatan kekerabatan yang relatif kuat,
sehingga penyelesaian persoalan seringkali dilakukan dengan bersama-sama
(keroyokan).
5. Sebagian besar masih terkungkung oleh tradisi lisan tahap pertama (primary
orality) yang memiliki cirri-ciri suka mengobrol, ngrasani (membicarakan aib orang
lain), takut menyimpang dari pikiran dan pendapat yang berlaku umum (solidaritas
mekanis).
6. Sebagian besar agraris tradisional, berada di pertengahan jalan antara masyarakat
tradisonal dan masyarakat industri; tradisi dan mitos mengambil tempat yang dominan
dalam kesehariannya (Sutarto, 2006).

4. Perspektif Budaya dan Kesehatan

Makanan tabu merupakan makanan yang dilarang dikonsumsi oleh seseorang


karena dianggap dapat menimbulkan dampak buruk bagi pengonsumsinya. Biasanya suatu
makanan menjadi tabu untuk dikonsumsi bagi golongan tertentu, seperti pada ibu hamil, ibu
menyusui, balita, perempuan dan laki-laki dewasa, serta orang sakit. Berbagai alasan seperti
budaya maupun kesehatan menjadi penyebab ditabukannya makanan tertentu bagi seseorang.

Faktor budaya seperti kepercayaan, nilai, makanan tabu, makanan anjuran,


kebiasaan dan praktik yang berhubungan dengan konsumsi pangan Ibu hamil serta kondisi
sosial ekonomi dapat berpengaruh terhadap status gizi ibu. Makanan tabu masih banyak
dipercaya dan dihindari oleh masyarakat khususnya ibu hamil. Terdapat kepercayaan di
masyarakat bahwa larangan dan makanan tabu diberlakukan untuk melindungi kesehatan ibu
dan bayinya. Disisi lain, makanan tabu juga dapat meningkatkan risiko defisiensi zat gizi
khususnya protein, lemak, vitamin A, kalsium, dan zat besi pada ibu hamil. Etnis Madura
pada umumnya masih mempercayai mitos yang berkaitan dengan ibu hamil. Oleh karena itu,
pada artikel ini akan dibahas mengenai makanan tabu dan makanan anjuran untuk ibu hamil
pada etnis Madura.
Penelitian ini merupakan studi kualitatif yang dilakukan di Kabupaten Sumenep,
Pulau Madura, Jawa Timur. Ada sebanyak 67 informan yang terlibat dalam studi ini. 40
informan berpartisipasi dalam wawancara mendalam (15 ibu hamil, 15 keluarga ibu hamil,
dan 10 dukun bayi) dan 27 informan yang terdiri dari 10 keluarga ibu hamil, 11 tokoh
masyarakat, dan 6 dukun bayi terlibat dalam focus group discussion (FGD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa makanan tabu dan makanan anjuran yang
berlaku untuk ibu hamil di etnis Madura terdiri dari pangan hewani, sayuran, buah, dan
minuman. Makanan yang paling banyak ditabukan adalah cumi-cumi, udang, nanas, kol, dan
air es yang manis. Berdasarkan wawancara mendalam, makanan tabu dilarang untuk
dikonsumsi karena dipercaya dapat membuat bayi memiliki sifat dan bentuk fisik seperti
hewan tersebut. Ibu hamil yang mengonsumsi udang dikhawatirkan janin atau bayinya akan
melengkung seperti bentuk fisik udang dan bayi akan sulit atau tidak mau keluar saat proses
persalinan seperti sifat udang yang suka bersembunyi di dalam pasir.

Masyarakat Madura khususnya Sumenep meyakini bahwa kangkung, terong,


kubis, jantung pisang, dan cabai tidak baik jika dikonsumsi oleh ibu hamil. Terong mentah
memiliki permukaan yang keras dan kulit yang menyatu dengan dagingnya sehingga tidak
dapat dikupas. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa terong memiliki kulit halus namun tebal
atau keras. Berdasarkan filosofi ini, etnis Madura meyakini jika ibu hamil mengonsumsi
terong maka janinnya akan terbungkus ketuban yang tebal seperti terung. Hal ini tentunya
dapat memperlama dan mempersulit persalinan. Selain itu terong juga dianggap dapat
mempengaruhi janin menjadi kecil dan berwarna biru.

Konsumsi buah kedondong, nanas, salak, durian, dan rambutan dilarang untuk ibu
hamil. Buah ini tidak boleh dikonsumsi karena dipercaya dapat menyebabkan keguguran dan
membuat panas di perut. Kedondong dan nanas merupakan dua buah yang paling ditabukan
oleh etnis Madura. Nanas paling banyak dihindari pada ibu hamil trimester 1 dan 2,
sedangkan kedondong pada trimester 3. Sebagian besar masyarakat Sumenep mempercayai
bahwa konsumsi minuman dingin khususnya yang manis berbahaya bagi ibu hamil karena
dapat menyebabkan komplikasi pada saat melahirkan. Komplikasi pada saat persalinan ini
diakibatkan bayi yang terlalu besar karena banyak meminum air dingin (manis).
Makanan yang banyak dianjurkan untuk ibu hamil di lokasi penelitian adalah nasi
jagung, ikan pindang, ikan bandeng, ikan mujair, tempe dan tahu, hampir semua jenis buah-
buahan, daun kelor, dan air kelapa. Nasi jagung merupakan makanan pokok masyarakat
Madura yang memiliki kandungan asam amino yang lebih baik dibandingkan nasi atau
jagung saja. Pangan hewani yang tersedia, murah dan mudah dijangkau banyak dianjurkan
untuk ibu hamil. Daun kelor merupakan salah satu pangan dengan ketersediaan yang tinggi di
Madura dan memiliki kandungan zat besi dan kalsium yang lebih tinggi dibandingkan bayam.
Daun kelor biasanya dikonsumsi sebagai sayur. Hampir semua jenis buah dianjurkan untuk
dikonsumsi asalkan keluarga tersebut mampu membelinya. Air kelapa merupakan minuman
yang paling banyak direkomendasikan untuk dikonsumsi ibu hamil, tidak hanya di Madura
tetapi juga diberbagai etnis di Indonesia. Air kelapa diyakini dapat membuat kulit bayi
menjadi bersih.

Berdasarkan hasil studi ini, banyak makanan tabu yang diberlakukan untuk ibu
hamil etnis Madura baik dengan alasan kesehatan ataapun budaya. Sebagian besar ibu hamil
mentaati dan menghindari makanan tabu dengan alasan yang diketahui maaupun tidak
diketahu karena mereka takut hal tersebut dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan bayi.
Kearifan lokal terkait makanan anjuran yang beredar di masyarakat dapat menjadi informasi
yang penting dan mendukung pendidikan gizi pada ibu hamil di Madura. Banyak ibu hamil
menghindari makanan tabu, oleh karena itu tenaga kesehatan dapat mendorong ibu hamil
untuk mengonsumsi makanan yang dianjurkan oleh masyarakat yang harganya terjangkau,
banyak tersedia dan memiliki kandungan gizi yang sama atau bahkan lebih tinggi
dibandingkan makanan yang ditabukan.

Praktik menabukan makanan dewasa ini masih banyak berkembang di berbagai


daerah atau suku di Indonesia termasuk salah satunya salah satunya di Suku Madura, Jawa,
dan Pendalungan Kabupaten Jember. Deskripsi pengetahuan lokal masyarakat Kabupaten
Jember tentang makanan tabu dikaji dalam studi etnobiologi. Praktik sosial budaya yang
berlaku di masyarakat seperti makanan tabu dapat memberikan dampak positif dan juga
negatif. Berlakunya praktik menabukan makanan memiliki kecenderungan berpengaruh
terhadap kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mengetahui jenis makanan yang ditabukan oleh masyarakat Suku Madura, Jawa, dan
Pendalungan di Kabupaten Jember
2) Mengetahui alasan ditabukannya jenis makanan tertentu oleh masyarakat Suku
Madura, Jawa, dan Pendalungan di Kabupaten Jember
3) Mengetahui siapa saja golongan yang menjadi subjek pelarangan untuk makanan tabu
pada masyarakat Suku Madura, Jawa, dan Pendalungan di Kabupaten Jember
4) Mengetahui sudut pandang kesehatan terkait makanan tabu pada masyarakat Suku
Madura, Jawa, dan Pendalungan yang menjadi subjek untuk makanan tabu di
Kabupaten Jember
5) Mengetahui hasil uji validasi buku ilmiah populer mengenai kajian etnobiologi
makanan tabu pada masyarakat Suku Madura, Jawa, dan Pendalungan di Kabupaten
Jember. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan metode
kualitatif.

Penelitian dilakukan di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kalisat (Suku Madura),


Kecamatan Puger (Suku Jawa), dan Kecamatan Sumbersari (Masyarakat Pendalungan) di
Kabupaten Jember. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dan
snowball sampling. Pengumpulan data hasil penelitian didapatkan dengan menggunakan
beberapa teknik sebagai berikut:

1) wawancara, bersifat semi structured menggunakan tipe pertanyaan open-ended;

2) observasi, dengan melibatkan teknik observasi langsung (participant observation);

3) dokumentasi,bertujuan dalam mempelajari karakter dari masyarakat setempat dan


daerah lokasi penelitian.

Data disajikan dalam bentuk deskripsi kualitatif secara menyeluruh dari hasil
observasi dan wawancara berupa kalimat dan bahasa yang mudah dipahami. Berdasarkan
hasil penelitian, terdapat tiga kategori makanan tabu yang berlaku pada masyarakat suku
Madura, Jawa, dan Pendalungan di Kabupaten Jember, di antaranya kategori buah dan sayur
termasuk buah dengan bentuk tak lazim, kategori hewani (hewan yang dijadikan lauk), dan
kategori makanan minuman olahan.

Alasan penabuan makanan pada masyarakat tersebut secara umum adalah faktor
budaya yang bersifat simbolis dan kesehatan yang bersifat fungsional. Sebagian besar subjek
pelarangan makanan tabu adalah perempuan yang terdiri dari ibu hamil, ibu menyusui, gadis,
dan perempuan mestruasi sedangkan subjek pelarangan makanan tabu pada laki-laki hanya
pada golongan perjaka.

Dalam sudut pandang kesehatan, praktik menabukan makanan memberikan dampak


negatif seperti tidak terkonsumsinya gizi dari makanan tabu sedangkan dampak positifnya
yakni sebagai upaya pencegahan terjadinya dampak buruk pada kesehatan khususnya pada
fase kritis kehidupan seperti kehamilan dan laktasi.

 Berikut ini beberapa produk kesenian pernah berkembang dan relatif masih memiliki
pendukung di wilayah kebudayaan pandalungan:

1. Musik Patrol
Kesenian ini masik terus berkembang di wilayah kabupaten Jember dan
sekitarnya, yang dilhami oleh tradisi ronda malam di jaman dahulu. Alatnya
terdiri dari seruling, beberapa ketongan besar dan kecil dari kayu dan bambu.
Musik patrol ini dalam perkembangannya terus mengalami modifikasi, serta
variasi meskipun tetap memiliki keterbatasan.
2. Jaran Kencak:
Jaran kencak adalah kesenian rakyat dalam bentuk kuda yang dilatih menari. Agar
menarik perhatian maka kuda ini diberikan aksesoris warna-warni. Biasanya
diiringi musik kendang, kenong, teropet tradisional (sronen). Kesenian ini
perkembangannya agak terhambat oleh semakin berkurangnya perternak kuda di
wilayah pedesaan.
3. Hadrah:
Suatu bentuk kesenian yang bernafaskan Islam yang terdiri dari beberapa rebana
kecil, untuk mengiringi sholawat nabi.
4. Terbangan:
Kesenian bernafaskan Islam yang terdiri dari beberapa alat musik rebana besar
yang memiliki nada suara yang berbeda satu sama lain.
5. Kentrung:
Seni kentrung adalah pelantunan pantun Madura yang diiringi bunyi rebana
atau terbang. Seni ini masih banyak dijumpai di kantong-kantong kebudayaan
Madura di wilayah tapal kuda
6. Singo Ulung :
Singo ulung adalah tarian rakyat dari Kabupaten Bondowoso, yang
menggambarkan legenda peperangan dua tokoh sakti.
7. Can-macanan Kadduk:
Can macanan kadduk adalah tarian rakyat Jember yang merupakan produk
masyarakat agraris pandalungan. Tarian ini melambangkan keperkasaan harimau
atau macan yang diposisikan sebagai hewan yang sangat ditakuti
8. Lengger:
Lengger adalah tarian rakyat yang mirip dengan tandhak atau tledhek yang
dikenal dalam wilayah kebudayaan Jawa.
9. Topeng :
Sebuah kesenian panggung mirip dengan ludruk (sandiwara), tetapi dialog
menggunakan bahasa Madura dan kidungannya menggunakan bahasa Madura dan
Jawa. Ceriteranya sangat beragam, mulai ceritera klasik berlatar belakang sejarah
sampai ceritera modern tentang kehidupan sehari-hari.
10. Janger:
Janger adalah sandiwara rakyat yang pementasannya mirip dengan ketoprak
yang terdapat dalam wilayah kebudayaan Jawa. Iringan Musik (gamelan)
menggunakan gamelan Bali atau Banyuwangi, tetapi gending dan syair yang
dinyanyikan menggunakan bahasa Jawa. Kostum pemain ketika di atas pentas
hamper seluruhnya menirukan kustum janger Bali atau Banyuwangi. Ceritera
yang dimainkan biasanya sekitar sejarah Majapahit, Blambangan, Jenggala dan
Daha. Janger berpentas hingga pagi hari, tembangannya menggunakan bahasa
Jawa, dengan dialog menggunakan bahasa Madura.
11. Mamacah (Macapat: Bhs.Jawa):
Seni membaca cerita dengan cara dilagukan (macapatan) yang biasanya diiringi
dengan seruling. Kitab yang dibaca biasanya mengisahkan ceritera Menak
(Ceritera 1001 malam). Tembangan biasanya dengan nada tinggi, bahasa yang
dilagukan biasanya bahasa Jawa, tetapi kemudian ditafsirkan dalam bahasa
Madura. Kesenian ini sudah hampir punah, karena tidak ada regenerasi.
12. Pencak Silat:
Permainan pencak silat yang diiringi dengan kendang, kecrek, rebana dan bedug
besar (Jidur: Bhs. Madura)
Sebagai masyarakat yang menghargai nilai-nilai kebudayaan, setidaknya

kebudayaan dijadikan sebagai acuan dalam membentuk suatu tatanan masyarakat yang
memahami warisan leluhur baik dari sisi kebiasaan dan tata aturan dalam kehidupan
bermasyarakat. Karena kebudayaan berjalan sejajar dengan agama dan mempunyai dua
persamaan yaitu, keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali
terancam perubahan karena mobilitas sosial. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial
adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas,
yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta
memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.

Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya,dan karsa manusia dalam
kaitannya dengan budaya yang dibentuk dalam suatu tatanan masyarakat. Penerapan yang
obyektif lebih memberikan masukan dan edukasi pada generasi muda khususnya, sangatlah
tepat jika direalisasikan dalam bentuk bangunan sebagai mediator dan konservasi budaya
yang mulai terkikis dengan adanya modernisasi sekarang ini. Kota Probolinggo ingin
mempertahankan sisi nilai dan tradisi masyarakat Pendalungan melalui sebuah perancangan
galeri budaya, sebagai alasan bahwa berkurangnya minat dan kepedulian generasi.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

a. Seiring perkembangan jaman yang dipengaruhi oleh dunia global, maka


pemaknaan terhadap budaya Pendalungan perlu dilihat sebagai fakta
budaya kekinian yang dihasilkan oleh masyarakat lokal sebagai hasil
asimilasi dan akulturasi di lokal setempat
b. Rekonstruksi makna budaya Pendalungan sebagai budaya eklektik dari
masyarakat multi etnis akan memicu mengedepannya masyarakat dengan
identitas lokalitas .
c. Perlu kajian multidisiplin untuk merumuskan konsep budaya Pendalungan
dengan identitas lokalitas daripada identitas multietni

DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Soeryo, 1991 Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta:
Aditya Media.

Kuntowijoyo, 1980. "Social Change in Agrarian Society : Madura 1850 - 1940". Disertation.
New York : Columbia University.

Pieterse, Jan Nederveen, 1995 "Globalization as Hybridization" dalam Mike Featherstone,


et.al., (Eds.) Global Modernities , London - Thousands Oaks - New Dekhi : SAGE
Publications.

Prawiroatmodjo, S. 1981. Bausastra Jawa – Indonesia II. Jakarta: Gunung Agung.

Sutarto, Ayu. 2006. “Sekilas tentang Masyarakat Pandalungan” Makalah Pembekalan Jelajah
Budaya 2006”, diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta,
tanggal 7 – 10 Agustus 2006.

Sutjipto, F.A. 1983. “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura: Abad XVII sampai
dengan Medio Abad XIX”. Disertasi yang tidak diterbitkan.

Yuswadi, Hary, 2001. “Masyarakat (Pandalungan) Jember – Pola Hibridisasi Budaya Antar
Etnik” . Jurnal Sosial Budaya dan Politik (JSBP) – Vol I. No.1 (Nopember 2001) LKPK dan
LKPM – FISIP - Universitas Jember.

Yuswadi, Hary, 2005. Melawan Demi Kesejahteraan – Bentuk Perlawanan Petani Jeruk
terhadap Kebijakan Pertanian. Jember: Kompyawisda – Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai