Anda di halaman 1dari 7

Volume 10 Nomor 2 Tahun 2019

ISSN: (p) 1693 - 0304 (e) 2620 - 827X


https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/dharmasmrti/issue/view/23

Page 46-52

KEBHINEKAAN BANGSA INDONESIA:


URGENSI DAN RELEVANSINYA DALAM ERA REVOLUSI
INDUSTRI 4.0

Oleh:
I.B.G. Yudha Triguna
ajiktriguna@unhi.ac.id

Universitas Hindu Indonesia


Denpasar

Proses Review 19-28 September, Dinyatakan Lolos 2 Oktober 2019

Abstract

The identity issues, in fact, are almost always capitalized, instrumentalized, and mobilized in every
political contestation, both at the local and national level so that community polarization is not only
based on political choices, but also primordial identity. The transformation of diversity into national
identity implies the importance of parsing the relation of ethnicity and other primordial sentiments to
nationalism. Pride of primordial identity must go hand in hand with the pride of a diverse nation.
Building social cohesion in the reality of a plural nation finds its urgency and relevance for the successful
transformation of the Indonesian nation into a developed, just, prosperous, and dignified country in
the eyes of the world.

Keywords: Diversity, Identity, Indonesia, Industrial Revolution 4.0

Abstrak

Isu-isu SARA dan identitas, bahkan hampir selalu dikapitalisasi, diinstrumentalisasi, dan
dimobilisasi dalam setiap kontestasi politik, baik pada tingkat lokal maupun nasional sehingga
polarisasi masyarakat tidak hanya didasari pilihan politik, tetapi juga identitas primordial.
Transformasi kebhinekaan ke dalam identitas nasional mengisyaratkan pentingnya mengurai relasi
etnisitas dan sentimen primordial lainnya dengan nasionalisme. Kebanggaan terhadap identitas
primordial harus berjalan seiring dengan kebanggaan berbangsa yang berbhineka. Membangun
kohesi sosial dalam realitas bangsa yang plural menemukan urgensi dan relevansinya bagi
keberhasilan transformasi bangsa Indonesia menjadi negara yang maju, adil, sejahtera, dan
bermartabat di mata dunia.

Kata Kunci: Kebhinekaan, Identitas, Indonesia, Revolusi Industri 4.0

46
ISSN: (p) 1693 - 0304 (e) 2620 - 827X https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/dharmasmrti/issue/view/23

I. PENDAHULUAN hipokrisi (kemunafikan sosial) dan vigilantilisme


(ujaran kebencian) terus menghiasi ruang-
“We are at the beginning of a revolution ruang publik, khususnya media sosial yang saat
that is fundamentally changing the way ini menjadi panggung terpopuler. Kondisi
we live, work, and relate to one another. In kebhinekaan bangsa yang sedang terkoyak ini
its scale, scope and complexity, what I penting disikapi oleh seluruh komponen bangsa
consider to be the fourth industrial dengan menegaskan kembali nilai-nilai
revolution is unlike anything humankind keindonesiaan dan mengelolanya sebagai
has experienced before” (Schwab, 2016). kekuatan untuk menatap masa depan Indonesia
yang lebih baik, terutama menghadapi revolusi
Revolusi industri 4.0 mengisyaratkan sebuah industri 4.0 yang telah bergulir.
transformasi fundamental pada segala lini
kehidupan masyarakat. Era ini menuntut II. TEORI
seluruh bangsa dan negara untuk menyiapkan
sumber daya manusia yang kompeten, serta Negara dan bangsa Indonesia merupakan
piranti teknologi yang canggih agar mampu hasil kesepakatan bersama dari seluruh rakyat
bersaing dalam dunia global. Dibutuhkan Indonesia yang beraneka ragam suku, ras,
perhatian dan energi besar untuk menjadi budaya, dan agamanya. Kesepakatan tersebut
bangsa yang unggul dalam revolusi industri tidak lahir begitu saja, tetapi melalui proses
keempat. Namun sayangnya, perhatian dan historis yang panjang. Perlawanan terhadap
energi bangsa Indonesia justru terkuras untuk penjajah yang awalnya bersifat parsial mulai
mengurusi masalah kebhinekaan yang tak diarahkan menjadi perlawanan kolektif dengan
kunjung usai, bahkan ekskalasinya cenderung membangkitkan semangat kebangsaan
meningkat belakangan ini. Hasil survei yang (nasionalisme), di antaranya melalui Sumpah
dirilis Tim Pusat Penelitian Politik LIPI, Pemuda yang menciptakan konsensus nasional
menunjukkan bahwa politisasi SARA (suku, ras, “satu tanah air, bangsa, dan bahasa”. Puncak
agama, dan antargolongan) dan identitas, perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih
menjadi potensi tertinggi yang dapat kemerdekaannya ditandai dengan Proklamasi
menghambat penyelenggaraan pemilu 2019 Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai tonggak
dan berdampak pada konsolidasi demokrasi di sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Kompas.com, 07 Agustus 2018)1. Indonesia, sekaligus menjadi rumah baru
Ekskalasi politisasi SARA dan identitas bangsa Indonesia dengan segala kebhinekaannya.
memang cenderung meningkat terutama sejak Realitas sosiohistoris tersebut menunjukkan
Pilkada DKI Jakarta 2017. Isu-isu SARA dan bahwa Indonesia memilih negara-bangsa
identitas, bahkan hampir selalu dikapitalisasi, (nation state) sebagai gagasan bernegaranya.
diinstrumentalisasi, dan dimobilisasi dalam Menurut Majid (2004:42), negara-bangsa adalah
setiap kontestasi politik, baik pada tingkat lokal gagasan tentang negara yang didirikan bagi
maupun nasional sehingga polarisasi seluruh bangsa atau untuk seluruh umat,
masyarakat tidak hanya didasari pilihan politik, berdasarkan kesepakatan bersama yang
tetapi juga identitas primordial. Politik identitas menghasilkan hubungan kontraktual dan
dan bangkitnya primodialisme belakangan ini transaksional terbuka antara pihak-pihak yang
menjadi alarm ‘darurat SARA’ yang menandai mengadakan kesepakatan itu. Konsep ini
bahwa kebhinekaan sebagai identitas bangsa mengindikasikan bahwa hubungan antar-ras,
Indonesia sedang terancam (Lindawati, etnis, budaya, daerah, dan agama di Indonesia,
2017:17—18). Beriringan dengan itu, juga tidak dibangun dalam skema superior—inferior,
tetapi lebih bersifat kolegial. Semua terikat pada
1 Hasil survei: Politisasi SARA dan identitas kontrak kesepakatan yang sama sebagai sebuah
(23,6%); konflik horizontal pendukung paslon bangsa dengan hak, kewajiban, dan tanggung
(12,3%); gangguan keamanan (10,4%),
kekurangsiapan penyelenggara pemilu (6,6%); jawab yang setara satu sama lain. Di sini,
dan ketidaknetralan penyelenggara Pemilu (5,7%). nasionalisme menjadi ideologi sekaligus fondasi

KEBHINEKAAN BANGSA INDONESIA:


URGENSI DAN RELEVANSINYA DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 47
I.B.G. Yudha Triguna Vol. 10 Nomor 2 Oktober 2019
https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/dharmasmrti/issue/view/23 ISSN: (p) 1693 - 0304 (e) 2620 - 827X

yang paling kokoh untuk merajut kebhinekaan dan sosialisme, melalui ide nasionalis, agama,
dengan menumbuhkan semangat rela dan komunis. Pada era Orde Baru, pemerintah
berkorban, serta ketulusan untuk mengabdi melakukan penafsiran tunggal terhadap
kepada bangsa dan negara. Pancasila sebagai ideologi negara dengan
Kebhinekaan yang bersifat warisan ‘given’, mengambil sikap represif terhadap berbagai isu,
kemudian harus dipandang sebagai realitas ideologi, dan ekspresi budaya yang dipandang
yang dibangun ‘construct’ dalam konteks negara- mengancam stabilitas nasional melalui
bangsa. Hal ini karena kebhinekaan yang Dwifungsi ABRI. Sebaliknya, reformasi
diwarisi serta merta harus ditransformasikan mengagendakan otonomi daerah yang
ke dalam identitas nasional sebagai sebuah menyediakan peluang lebih besar bagi ekspresi
bangsa. Transformasi ini tidak selalu berjalan etnisitas dan kebijakan politik lokal (Nurkhoiron,
mulus mengingat negara dan bangsa Indonesia 2007:3—5).
lahir melalui revolusi politik secara tiba-tiba – Memahami kebhinekaan sebagai teks sosial
kemerdekaan – yang boleh jadi mendahului dalam pergulatan etnisitas dan nasionalisme
kesiapan untuk menyediakan piranti-piranti menegaskan bahwa identitas nasional harus
negara. Terbukti bahwa penetapan bentuk, terus menerus diperbarui dan dikembangkan
dasar, dan konstitusi negara, ternyata sesuai kondisi perkembangan masyarakat. Hal
menyisakan persoalan ideologis karena tidak ini sejalan dengan pandangan Smith (dalam
sepenuhnya mampu mengakomodasi Tilaar, 2004:109) bahwa identitas nasional
kepentingan elemen bangsa yang berbeda-beda. merupakan kesinambungan reproduksi dan
Apalagi dalam perjalanan sejarahnya, juga reinterpretasi atas pola nilai, simbol, mitos, dan
tergoreskan luka berupa ketimpangan sosial, tradisi yang membentuk warisan bangsa yang
ketidakmerataan pembangunan, tirani unik, serta identifikasi individu terhadap pola
minoritas, dan sebagainya. Dalam hal ini, dan warisan tersebut beserta unsur-unsur
pandangan Anderson (1999) tentang bangsa budayanya. Artinya, kebhinekaan dalam
dan nasionalisme penting direnungkan kembali. identitas nasional merupakan fenomena
Menurut Anderson (1999:21), bangsa adalah transformasional yang keberhasilan maupun
komunitas imajiner (imagined community), kegagalannya sangat ditentukan oleh
sebuah komunitas politik yang mencakup jutaan kemampuan suatu bangsa dalam memaknai
orang, yang tidak pernah saling mengenal dan kebhinekaan itu sendiri, serta bagaimana
mungkin tidak akan pernah melihat, tetapi tetap merajut serat-serat perbedaan itu sebagai
diharapkan membayar pajak, memberi kekuatan dalam membangun kehidupan
pengabdian, bahkan mengorbankan nyawanya berbangsa dan bernegara.
demi bangsa.
Transformasi kebhinekaan ke dalam identitas III. PEMBAHASAN
nasional mengisyaratkan pentingnya mengurai
relasi etnisitas dan sentimen primordial lainnya 3.1 Mengelola Kebhinekaan: Tantangan
dengan nasionalisme. Kedua konsep ini dan Peluang
sebenarnya berkerabat, tetapi dalam praktik, Franz Magnis Suseno (2005:216)
perbedaan keduanya sangatlah rumit (Erikson, menjelaskan bahwa Indonesia hanya dapat
1993). Dalam relasi inilah, kebhinekaan menjadi bersatu, apabila pluralitas yang menjadi
teks sosial yang maknanya tidak stabil, kenyataan sosialnya dihormati. Keindonesiaan
konstruktif, dan senantiasa dipengaruhi berbagai dibangun bukan untuk menghilangkan identitas
konteks. Bhinneka Tunggal Ika sebagai teks ideal khas seluruh komponen bangsa, melainkan agar
untuk merajut serat-serat perbedaan dalam semuanya dapat menjadi warga negara
persatuan, ternyata dalam praktiknya dimaknai Indonesia tanpa merasa terasing. Sikap saling
berbeda pada setiap orde pemerintahan. menghormati dalam identitas masing-masing
Era Orde Lama menjadikannya wacana dan kesediaan tidak memaksakan pandangan
populis untuk membangkitan nasionalisme sendiri tentang hidup yang baik pada siapapun
dalam rangka melawan konstelasi kapitalisme merupakan syarat keberhasilan masa depan

KEBHINEKAAN BANGSA INDONESIA:


48 URGENSI DAN RELEVANSINYA DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Vol. 10 Nomor 2 Oktober 2019 I.B.G. Yudha Triguna
ISSN: (p) 1693 - 0304 (e) 2620 - 827X https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/dharmasmrti/issue/view/23

Indonesia. Kebhinekaan akan menjadi modal Modernisasi yang mengacu kepada ide-ide
dasar pembangunan, manakala perbedaan itu kemajuan versi Barat mendorong pola
dihargai dan dikembangkan dalam berbagai pembangunan yang cenderung mengarah pada
bentuk kerjasama sosial untuk mewujudkan transfromasi masyarakat agraris ke industri-
tujuan pembangunan. Artinya, kebhinekaan kapitalis. Pengabaian kepentingan masyarakat
bangsa Indonesia harus dilihat dan dikelola lokal dalam pembangunan yang melibatkan
dengan skema multikulturalisme sehingga relasi pemerintah dan kapitalis di dalamnya,
perbedaan dapat ditransformasikan sebagai rentan memicu konflik sosial. Ketimpangan
modal budaya (cultural capital) yang produktif sosial antardaerah dan ketidakmerataan
bagi pembangunan. Mengingat basis pembangunan memperburuk harmonisasi
multikulturalisme adalah menggali kekuatan hubungan antara pusat dan daerah. Ketika
suatu bangsa yang tersembunyi dalam kesadaran masyarakat terhadap hegemoni
kebudayaan yang berjenis-jenis (Tilaar, Barat tumbuh, justru reaksi yang dilakukan
2004:92). Modal budaya inilah yang seharusnya sering berlebihan. Esensialisasi budaya yang
digali dan digalang menjadi kekuatan nasional. direpresentasikan dengan pernyataan bahwa
Bukan sekedar untuk mengokohkan kebudayaan etnis, budaya, dan agama mempunyai nilai
nasional, melainkan juga agar segenap elemen keunggulan esensial yang tidak kalah dari Barat,
bangsa dengan nilai-nilai budayanya dapat ditunjukkan dengan sikap anti-Barat dan segala
berkontribusi positif dan berpartisipasi aktif yang dipandang sebagai representasinya,
dalam pembangunan secara adil dan setara termasuk negara. Tumbuhnya etnonationalism
(Triguna, 2016, 2017). dan religionationalism sebagai identitas politik
Meskipun demikian, membangun baru ‘yang lain’ dari nasionalisme negara-
multikulturalisme dalam bangsa yang plural bangsa membangun imajinasi bahwa negara
bukan perkara yang mudah. Mengingat dengan komunitas etnis atau agama yang
multikulturalisme dan identitas nasional seragam akan lebih baik (Suaedy, dkk.,
memiliki sisi dasar yang gelap, yakni rentan 2007:345). Hal ini tidak lepas dari pengaruh
menjadi sumber konflik dan perpecahan. globalisasi yang meniscayakan masuknya
Kesalahan dalam mendefinisikan identitas berbagai ideologi, gaya hidup, dan budaya,
nasional acapkali menyebabkan melalui saluran informasi yang tanpa batas
pendelegitimasian dan peminggiran identitas (Triguna, 2018).
yang lain. Bahaya serius pada masyarakat Uraian di atas menegaskan bahwa tantangan
multikultur karena keanekaragaman nilai, visi terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia dalam
tentang kehidupan yang baik, dan interpretasi mengelola kebhinekaan adalah menemukan
sejarah dapat menajamkan sekat-sekat model terbaik untuk mengkonstruksi identitas
perbedaan masyarakat (Parekh, 2007:307). nasional dengan implikasi psikis yang
Bertalian erat dengan itu, Tilaar (2004:85) menyenangkan. Bagimanapun, identitas
mengemukakan tiga tantangan multikulturalisme nasional tetap diperlukan oleh suatu komunitas
dewasa ini, yaitu (1) hegemoni Barat di bidang politik, seperti bangsa Indonesia. Tidak sekedar
Iptek, politik, ekonomi, sosial, dan budaya untuk membangun kebanggaan berbangsa,
melalui wacana modernisasi terutama yang tetapi lebih penting dari itu adalah membangun
diarahkan kepada negara-negara berkembang; rasa kasih sayang, solidaritas, dan tanggung
(2) esensialisasi budaya, yakni menggali esensi jawab bersama terhadap kepentingan nasional.
budaya sendiri yang berpotensi Pemahaman tentang identitas nasional harus
menumbuhsuburkan xenopobhia dan mampu menyatukan anggotanya pada seputar
etnosentrisme; dan (3) globalisasi yang pemahaman diri, memberi fokus serta energi
berpretensi melunturkan jati diri dan identitas pada rasa memiliki bersama, membangun citra
khas setiap bangsa seiring mencairnya batas- diri kolektif, mengolah kebaikan-kebaikan yang
batas politik dan kebudayaan. relevan, memfasilitasi berlangsungnya
Ketiga tantangan tersebut menciptakan reproduksi komunitas dan kesinambungan
paradoks keindonesiaan yang berbhineka. antargenerasi, mempertahankan kesetiaan

KEBHINEKAAN BANGSA INDONESIA:


URGENSI DAN RELEVANSINYA DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 49
I.B.G. Yudha Triguna Vol. 10 Nomor 2 Oktober 2019
https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/dharmasmrti/issue/view/23 ISSN: (p) 1693 - 0304 (e) 2620 - 827X

umum, serta menata kehidupan moral dan pembangunan kohesi sosial pada masyarakat
politik. Ringkasnya, identitas nasional memiliki plural niscaya akan terwujud.
peranan penting untuk menumbuhkan rasa Masyarakat majemuk dengan tingkat
saling memiliki antara komunitas-komunitas kohesivitas sosial tinggi tentunya memiliki
yang beraneka ragam (Parekh, 2008:306). peluang besar untuk melakukan perubahan
Kebhinekaan bangsa Indonesia merupakan yang produktif karena di dalamnya terdapat
modal budaya yang mesti dikelola sehingga bermacam-macam potensi yang dapat saling
menjadi kekuatan potensial untuk menjemput melengkapi satu sama lain. Bangsa Indonesia
masa depan yang lebih baik. Modal budaya ini dengan kekayaan sumber daya alam dan
niscaya dikembangkan menjadi peluang- keragaman etnis, budaya, serta agamanya
peluang produktif yang lain, apabila bangsa mempunyai potensi besar untuk itu. Hanya saja,
Indonesia sudah “selesai” dengan potensi tersebut tidak berkembang optimal
kebhinekaannya. Artinya, selama perbedaan karena perbedaan yang seharusnya menjadi
etnis, ras, budaya, dan agama masih dianggap modal sosial konstruktif, justru dijadikan
sebagai hambatan untuk berinteraksi dan sumber perpecahan sesama anak bangsa.
membangun kerja sama sosial, maka sepanjang Pencapaian yang tidak sebanding dengan
itu pula bangsa Indonesia akan sulit keluar dari potensi yang dimiliki menunjukkan bentuk
masalah, sekaligus menutup peluang-peluang kegagalan bangsa Indonesia dalam
potensial yang dapat diakses. Dengan kata lain, memanfaatkan potensi kebhinekaan sebagai
peluang untuk menjadikan kebhinekaan bangsa modal budaya dan modal sosial, alih-alih modal
Indonesia sebagai kekuatan masa depan akan ekonomi.
terbuka, manakala kohesi sosial berhasil
dibangun di atas perbedaan-perbedaan. 3.2 Urgensi dan Relevansinya dalam
Berkenaan dengan itu, Ritzer et, al. (2000) Revolusi Industri 4.0
menekankan pada aspek modal sosial dari Revolusi industri 4.0 menandai era baru
kohesi sosial, yaitu suatu keadaan ketika transformasi teknologi, sosial, politik, ekonomi,
sekelompok orang mampu menunjukkan dan budaya masyarakat dunia yang tidak pernah
kemampuan untuk berkolaborasi dan ditemukan dalam era sebelumnya. Menurut Li,
menciptakan iklim perubahan. et.al. (2017), prinsip fundamental revolusi
Mengelola kebhinekaan dalam kerangka industri 4.0 adalah integrasi yang dalam (deep
kohesi sosial mensyaratkan terurainya hubungan integration) antara kecerdasan (intelligence)
sosial dikotomis pada lima aspek, sebagai dan sistem jaringan (networking system), juga
berikut: (1) kebersamaan–isolasi (nilai-nilai acapkali diartikan Cyber Physical Systems (CPSs)
bersama, identitas, perasaan, dan komitmen);(2) atau industri internet. Beberapa teknologi
pengikutsertaan–pengesampingan (kesempatan canggih, seperti kecerdasan buatan (artificial
setara untuk memperoleh akses); (3) partisipasi– intelligence), robotik, internet of things (IoT),
ketidakterlibatan (dalam kehidupan politik, kendaraan otonom, percetakan 3D,
ekonomi, sosial, dan budaya); (4) penerimaan– nanoteknologi, bioteknologi, dan lainnya telah
penolakan (menghargai dan mentolerir disiapkan (Schwab, 2016:7). Kecanggihan
perbedaan pada masyarakat majemuk); dan (5) teknologi ini akan mengkooptasi sebagian peran
legitimasi–ilegitimasi (adanya institusi-institusi manusia dalam kehidupannya.
yang berperan sebagai mediator konflik dalam Revolusi industri tidak hanya menawarkan
masyarakat majemuk) (Berger-Schmitt, 2000). tantangan dalam penyiapan sumber daya
Dari kelima skema dapat dipahami bahwa kohesi manusia yang mampu menguasai teknologi
sosial bertujuan memperkuat relasi, interaksi, tersebut, tetapi juga revolusi kebudayaan yang
dan ikatan sosial yang inheren dalam modal sulit diprediksi dampaknya. Disrupsi akibat
sosial (social capital), dengan cara revolusi industri sebelumnya niscaya terus
meminimalisasikan perbedaan, ketidakadilan, berlanjut sehingga masyarakat dihadapkan
dan pengesampingan sosial. Apabila kelima pada ketidakmenentuan mengenai apa yang
aspek tersebut berhasil diurai, maka sedang dan akan terjadi. Situasi disrupsi ini

KEBHINEKAAN BANGSA INDONESIA:


50 URGENSI DAN RELEVANSINYA DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Vol. 10 Nomor 2 Oktober 2019 I.B.G. Yudha Triguna
ISSN: (p) 1693 - 0304 (e) 2620 - 827X https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/dharmasmrti/issue/view/23

telah menjadi perhatian dalam studi yang menawarkan ‘glokalisasi’ yang menekankan
dilakukan Naisbit (1988; 1990), Huntington bagaimana proses-proses global dipengaruhi,
(1996), dan Fukuyama (1999). Masyarakat bahkan ditumbangkan melalui penerapan,
informasi yang oleh Toffler (1980) disebut penafsiran dan adaptasi budaya lokal sehingga
transisi Gelombang Ketiga (The Third Wave), terjadi interaksi dinamis nilai lokal dan global.
telah menciptakan perubahan fundamental Artinya, globalisasi juga menyediakan rentang
pada berbagai tatanan sosial yang sulit alternatif bagi masyarakat untuk mengambil
diprediksikan dan sungguh-sungguh paradoks. peran strategis dalam percaturan global melalui
Naisbitt (1988, 1990) menyatakan bahwa revivalisasi dan revitalisasi kultural.
keseragaman dan hilangnya identitas kultural Revolusi industri 4.0 dengan segala disrupsi
adalah mitos globalisasi yang terlalu dibesar- yang mengikutinya perlu disikapi secara kritis
besarkan sebab faktanya, justru lokalitas dalam konteks kebhinekaan bangsa Indonesia.
menunjukkan kebangkitan yang signifikan. Artikulasi identitas primordial, retaknya
Semakna dengan itu, Huntington (1996) dan identitas nasional, dan politik identitas
Fukuyama (1999) menggambarkan bahwa diprediksi tetap menjadi isu-isu krusial masa
rekonstruksi sosial berdasarkan nilai-nilai depan. Apabila tidak segera diantisipasi dan
kultural dan agama, diprediksi akan memiliki diupayakan langkah-langkah strategis untuk
andil lebih besar dalam menentukan integrasi mengatasinya, maka bukan hanya bangunan
dan kemajuan, juga sebaliknya, konflik dan keindonesiaan yang terancam runtuh, tetapi
kemunduran masyarakat. Penegasan identitas Indonesia akan kehabisan energi memasuki
kultural dan agama akan semakin potensial revolusi industri 4.0 dan tertinggal jauh dengan
dikapitalisasi untuk berbagai kepentingan. bangsa-bangsa lain yang lebih siap. Sebaliknya,
Mengingat melalui wacana itulah, perbedaan revolusi industri memberikan peluang bagi
ditemukan dan dikalkulasikan sebagai bangsa Indonesia untuk mengoptimalkan
keunggulan potensial, manakala bidang-bidang kebhinekaan sebagai modal sosial dan budaya
kehidupan yang lain nyaris sepenuhnya seragam. memasuki kompetisi dunia masa depan.
Implikasinya bahwa politik perbedaan, isu-isu
lokalitas, dan identitas kultural diprediksi akan IV. PENUTUP
semakin menguat gejalanya di tengah dunia
yang semakin mengglobal. Menatap revolusi industri 4.0 dengan aneka
Kendati demikian, paradoks global juga konsekuensi paradoksnya, kebhinekaan sebagai
membuka ruang dan peluang bagi suatu bangsa teks sosial perlu dimaknai terus menerus dalam
untuk menentukan alternatif dalam menyikapi rangka pengembangan modal sosial dan budaya
perubahan. Giddens (1998) mengajukan konsep yang produktif bagi keindonesiaan masa depan.
‘Jalan Ketiga” (The Third Way) di antara dua Kebanggaan terhadap identitas primordial
kutub ideologi yang paling berpengaruh, yaitu harus berjalan seiring dengan kebanggaan
kapitalisme dan sosialisme. Jalan ketiga berbangsa yang berbhineka. Membangun kohesi
merupakan upaya strategis dengan mengambil sosial dalam realitas bangsa yang plural
yang baik dan membuang yang buruk dari setiap menemukan urgensi dan relevansinya bagi
ideologi untuk membuat ramuan ideologis yang keberhasilan transformasi bangsa Indonesia
benar-benar sejalan dengan idenitas kultural menjadi negara yang maju, adil, sejahtera, dan
masyarakat. Di lain pihak, Robertson (1995) bermartabat di mata dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Bennedict. 1999. Komunitas Imajiner: Renungan Tentang Asal-usul dan Penyebaran
Nasionalisme. Terjemahan: Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan INSIST
Press.

KEBHINEKAAN BANGSA INDONESIA:


URGENSI DAN RELEVANSINYA DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 51
I.B.G. Yudha Triguna Vol. 10 Nomor 2 Oktober 2019
https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/dharmasmrti/issue/view/23 ISSN: (p) 1693 - 0304 (e) 2620 - 827X

Berger-Schmitt. 2000. “Social Cohesion as an Aspect of the Quality of Societies: Concept and
Measurement”. Eureporting Working Paper. 14.
Erikson, Thomas Hylland. 1993. Etnicity and Nationalisme: Antropological Perspectives. London and
Boulder, Colorado: Pluto Press.
Fukuyama, Francis. 1999. The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social
Order. London: Profiles Book.
Giddens, Anthony. 1995. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Oxford: Polity Press.
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilization and The Remarking of World Other. New York:
Simon & Schuster.
Kompas.com.(7 Agustus 2018). “Potensi Politisasi SARA dan Identitas akan Hambat Pemilu 2019”
dalam https://nasional.kompas.com/read/ 2018/08/07/12084651/potensi-politisasi-
sara-dan-identitas-akan-hambat-pemilu-2019, diakses 5 Semptember 2019.
Li, Guoping; Hou Yun; and Wu Aizhi. 2017. “Fourth Industrial Revolution: Technological drivers,
impacts and coping methods.” In Chinese Geographical Science. 2017, Vol. 27, p. 626–637.
Lindawati, Debora Sanur. 2017. “Rekonsiliasi Politik Identitas di Indonesia”, dalam Majalah Info
Singkat Pemerintahan Dalam Negeri, Vol. IX No.10/II/Puslit/Mei/2017, hal. 17—20.
Majid, Nurcholis.2004. Indonesia Kita. Jakarta: Paramadina.
Naisbitt, John. 1988. Global Paradox. New York: William Morrow and Company, Inc.
Nurkhoiron, M. 2007. “Minoritisasi dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catatan
Awal”, dalam Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Editor:
Marsudi Noorsalim, dkk. Jakarta: Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation.
Parekh, Bhiku. 2007. Rethinking Multikulturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta:
Kanisius.
Ritzen, Jo, William Esterlay, and Michael Woolcock. 2000. ““Good Politicians” and “Bad Policies”:
Social Cohesion, Institutions and Growth”, in Policy Research Working Paper, Setember,
2448. Switzerland: World Bank.
Schwab, Klaus. 2016. The Fourth Industrial Revolution. Geneva-Switzerland: World Economic Forum.
Suaedy, Ahmad, dkk. 2007. Politisasi Agama dan Konflik Komunal Beberapa Isu Penting di Indonesia.
Jakarta: The Wahid Institute.
Suseno, Franz Magnis. 2005. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta: Kompas.
Tilaar, H.A.R.2004. Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi
Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Toffler, Alvin. 1980. The Third Wave. New York: William Morrow and Company, Inc.
Yudha Triguna, Ida Bagus Gde. 2017. “Kearifan Lokal dalam Membangun Nasionalisme dan
Keberagaman”. Seminar Nasional. Palangkaraya: Institut Agama Hindu Negeri.
Yudha Triguna, Ida Bagus Gde. 2017. “Menjaga Pluralitas Guna Memperkokoh Kebinekaan Tunggal
Ikaan Dalam Rangka Ketahanan Nasiona”. Makalah. Jakarta: Dewan Keamanan Nasional
(Wantanas).
Yudha Triguna, Ida Bagus Gde. 2017. “Penguatan Legislasi Penghayat Kepercayaan”. Paper. Jakarta:
FGD Metro.
Yudha Triguna, Ida Bagus Gde. 2017. Budaya Inspiratif dan Pembangunan Karakter. Denpasar:
Denpasar: Pascasarjana Unhi.
Yudha Triguna, Ida Bagus Gde. 2018. “Kepemimpinan dan Nitisastra”. Makalah Seminar Nasional.
Denpasar: Kementerian Agama Provinsi Bali.
Yudha Triguna, Ida Bagus Gde. 2019. “Tantangan dalam Membangun Kebersamaan”. Makalah.
Denpasar: Kementerian Agama Provinsi Bali.

KEBHINEKAAN BANGSA INDONESIA:


52 URGENSI DAN RELEVANSINYA DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Vol. 10 Nomor 2 Oktober 2019 I.B.G. Yudha Triguna

Anda mungkin juga menyukai