Anda di halaman 1dari 8

Abstract

This article wants to discusse how the contribution of cultural values for bonum
commune. The author wants to explore the cultural values that found in ruai in the betang
house of Iban Dayak. The author wants to show that the cultural values that is contained in
ruai gives contribute to build bonum commune. From ruai at least we found three values that
help the Iban Dayak tribe to build bonum commune in their existential experiences. The
method that is used in this article is a literature study that is integrated with the existential
experiences of the writer as a part of the Iban Dayak tribe.
Kata-kata Kunci : bonum commune, ruai, Dayak Iban, masyarakat, kebudayaan
Introduksi
Kesejahteraan bersama (bonum commune) adalah impian bersama tiap kelompok
masyarakat. Kesejahteraan bersama itu merupakan visi dalam hidup bersama. Visi itu perlu
diwujudkan dalam pengalaman eksistensial individu manusia dalam kebersamaannya dengan
kelompok yang disebut masyarakat. Nilai-nilai untuk kesejahteraan bersama itu tentulah juga
sudah menjamin kesejahteraan manusia sebagai individu karena halnya bersifat kolektif.
Nilai-nilai atau asas bonum commune ini ternyata dapat digali dari budaya. Budaya itu sendiri
sangat akrab dengan pengalaman eksistensial manusia, sebab pengalaman eksistensial
manusia itu selalu berhubungan dengan budaya dan tidak akan lepas dari padanya.
Mengenal Suku Dayak Iban1
Dayak Iban adalah salah satu subsuku Dayak yang berada di Kalimantan Barat. Dayak
Iban sendiri juga dikenal dengan istilah orang Batang Rejang atau orang Majang. Suku ini
terkenal sebagai suku yang handal dalam berperang terutama dalam perang antar suku Dayak
yang pernah bergejolak di bumi Kalimantan sebelum tahun 1894. Pada masa itu, suku ini
banyak menaklukkan dan menguasai wilayah dari suku lain. Pada masa lampau mereka
terkesan tanpa kompromi terhadap pihak lawan, sekalipun pihak lawan itu memperlihatkan
kesamaan budaya dan bahasa seperti suku Kantu’, Ketungau dan lain-lain.
Namun demikian dalam sejarah perkembangannya, suku Dayak Iban memiliki andil
besar kepada Republik Indonesia. Tidak mengherankan apabila karakter subsuku ini dikenal
dengan baik oleh TNI yang beroperasi di Perbatasan Indonesia dan Malaysia di wilayah
kabupateb Sintang dan Kapuas Hulu. Orang iban banyak membantu TNI karena pengetahuan
mereka yang luas akan dua kawasan tersebut. Mereka menjadi penunjuk jalan untuk
menumpas PGRS/PARAKU.
Bahasa Dayak Iban merupakan bahasa kelompok besar yang menganggotai beberapa
bahasa subsuku lain. Memang ada beberapa subsuku yang memiliki kesamaan bahasa dengan
suku dayak Iban, seperti Dayak Desa, Mualang, Kantu’ dan Ketungau. Oleh karena itu, para
ahli linguistik menggunakan istilah Ibanik untuk bahasa dari suku-suku ini.
Dari anggapan ini, bahasa di Kalimantan Barat yang dapat dikategorikan ke dalam
kelompok Ibanik tidak hanya dari beberapa subsuku di atas. Masih ada banyak lagi yang
dapat dikelompokkan dalam kelompok Ibanik ini. Di kabupaten Kapuas Hulu saja setidaknya
terdapat lima bahasa subsuku dayak yang dapat digolongkan ke dalam kelompok Ibanik ini.s
Dayak Iban pada masa lampau selain dikenal sebagai pengayau yang ulung dan
memiliki kebiasaan membuat tato di tubuh, juga memiliki perangai yang lembut dan baik
hati. Sikap gotong royong yang terlihat pada tradisi perladangan yang cenderung membuka
lokasi perladangan dalam satu hamparan yang luas, atau pada saat upacara-upacara ritual
masih terpelihara dengan baik. Mereka juga masih mempertahankan pola pemukiman hidup
di rumah adat betang panjang. Dalam istilah bahasa Iban rumah itu disebut sebagai rumah
1
John Bamba(ed). Mozaik Dayak Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kaliimantan Barat. Institut
Dayaklogi: Pontianak, hlm. 130-132.

1
panjay. Rumah panjang tersebut adalah tempat memelihara budaya mereka sekalapun
sekarang mereka hidup di alam modern.
Persebaran Dayak Iban2
Dayak Iban jika dilihat dari penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu, hampir
meliputi seluruh bagian wilayah itu di bagian utara. Kelompok ini tersebar di enam
kecamatan, yaitu kecamatan Putusibau, Embaloh Hulu, Batang Lupar, Badau, Empanang dan
sebagian kecil terdapat di Kecamatan Embau.
Orang Dayak Iban juga terdapat di Kabupaten Sambas dan Bengkayang, sekalipun
jumlahnya sangat sedikit. Mereka hanyalah pendatang dari wilayah Iban di kawasan Ngkilili,
Lubuk Antu dan Sri Aman di Sarawak. Daerah ini berada di kawasan Malaysia. Alasan
mengapa mereka berada di daerah Sambas dan Bengkayang adalah karena dua daerah ini
merupakan daerah perbatasan dengan Malaysia.
Seperti tertulis di atas memang penyebaran Dayak Iban itu sendiri berada di dua negara
sekaligus yaitu Indonesia dan Malaysia. Penyebaran ini memiliki beberapa akibat. Pertama
tidak jarang anggota suku Dayak Iban Indonesia berada di Malaysia. Hal ini berpengaruh
ketika akan melakukan kunjungan keluarga, maka mereka harus ke luar negeri. Demikian
pula sebaliknya. Untuk berpergian mereka biasanya menggunakan surat ijin masuk yang
hanya berlaku satu hari saja dengan biaya tertentu apabila tidak memiliki passport.
Kedua berpengaruh terhadap sistem berbelanja. Barang-barang yang beredar di
masyarakat cenderung beragam. Beragam di sini dalam arti itu barang milik Indonesia atau
Malaysia. Hal ini jelas karena mereka berada di daerah perbatasan maka akses untuk
memperoleh barang luar negeri akan sangat mudah.
Ketiga penggunaan nilai tukar uang. Hal seperti ini terjadi secara nyata di wilayah
Kapuas Hulu, Kecamatan Badau. Masyarakat di sana tidak asing apabila berbelanja
menggunakan mata uang Malaysia, Ringgit, sekalipun berbelanja di Indonesia. Ada dualisme
mata uang yang beredar di daerah perbatasan itu.
Kebudayaan
Kebudayaan adalah seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak
berakar pada nalurinya dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah
suatu proses belajar.3 Dari pernyataan ini, dapat dimengerti bahwa budaya itu lahir dari
sebuah proses pembelajaran manusia dalam pengalaman eksistensialnya. Oleh karena itu,
kebudayaan itu adalah produk dari eksistensi manusia.
Sebagai produk dari eksistensi manusia, maka kebudayaan itu hadir dalam kehidupan
manusia itu yang memberikan tanda pengenal baginya. Kehadiran budaya dalam pengalaman
eksistensial manusia berfungsi sebagai sarana aktualisasi diri manusia. Manusia
mengaktualisasikan dirinya lewat kebudayaan. Dengan melakukan kebudayaannya manusia
itu menunjukan keberadaan dirinya. Pada akhirnya kebudayaan itu menjadi sebuah identitas,
menjadi ciri yang khas bagi manusia itu.
Kebudayaan adalah itu yang melekat pada diri manusia meliputi hasil kegiatan maupun
kepercayaan. Hasil kegiatan maupun kepercayaan itu pada gilirannya akan diteruskan oleh
satu generasi ke generasi lain sesudahnya. Oleh sebab itu kebudayaan yang diteruskan itu
pada akhirnya menjadi sebuah tradisi yang terus menerus diwariskan.
Kemudian kebudayaan yang ditradisikan itu dari generasi ke generasi itu masuk dalam
ranah komunal. Kebudayaan itu hidup dalam sebuah kelompok sosial dan dijalankan serta
dihidupi bersama secara komunal sehingga kebudayaan itu menjadi hidup di tengah-tengah
mereka yang menghidupinya. Kebudayaan itu juga berkembang di sana.

2
Ibid.
3
Koentjaraningrat. Kebudayaan dan Pembangunan. Gramedia: Jakarta, hlm. 11.

2
Kebudayaan yang dihidupi secara komunal ini pada gilirannya akan menjadi sebuah
identitas sosial bagi mereka yang menghidupinya. Kebudayaan itu menjadi ciri yang khas
bagi kelompok itu. Singkat kata kebudayaan memberi identitas atau tanda pengenal bagi
sebuah kelompok sosial masyarakat.
Pentradisian ini memiliki konsekuensi perubahan. Karena kebudayaan itu ditradisikan
dari generasi ke generasi maka dengan sendirinya kebudayaan itu juga akan berkembang
seturut dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman. Kebudayaan itu sendiri pada
gilirannya akan beradaptasi dengan waktu dan perubahan zaman sehingga menuntut pula
perubahan dalam dirinya sendiri. Kenyataan ini berasal dari fakta bahwa perubahan itu
tunduk pada waktu, dan waktu itu sendiri selain menjadi sebuah ukuran juga menjadi salah
satu penyebab dari perubahan.
Sekalipun kebudayaan itu sendiri bersifat abstrak, namun pengungkapannya itu selalu
membutuhkan materi. Materi itu dari sendirinya mengungkapkan sebuah potensialitas,
sehingga ia memiliki daya berubah. Perubahan pada materi itu tidak bisa ditolak, karena pada
dasarnya segala yang material selalu dapat berubah. Oleh karena itu perubahan pada
pengungkapan kebudayaan pun tidak dapat dihindari.
Akibat dari hal ini adalah akan ada perbandingan dari mereka yang berbeda generasi
apabila hidup pada satu masa. Mereka akan membandingkan pada masa mereka dulu dengan
generasi mereka pada masa ini. Hal ini pun tidak bisa dihindarkan juga.
Sebagai bagian dari kelompok masyarakat, orang-orang Dayak Iban pun tak luput dari
pengaruh budaya. Dalam konteks suku Dayak pada umumnya, kebudayaan atau tradisi
mereka hampir sama. Hal-hal itu terlihat dalam kain tenun, tato, rumah betang, berladang,
gawai dan ritual adat lainnya. Hal-hal ini menjadi kebudayaan yang akan dijumpai di setiap
subsuku. Namun yang menjadi perbedaannya adalah tata cara juga makna yang terkandung di
dalamnya.
Sebagai contoh adalah tato. Para lelaki Dayak Iban gemar menato tubuh mereka. Tato
memiliki makna simbolik. Maka pembuatan tato itu sendiri pun tak lepas dari simbol dan
makna. Tato bagi masyarakat Dayak Iban tidak identik dengan kekerasan, sekalipun sejarah
menunjukan bahwa masyarakat Dayak Iban memiliki karakter keras, tetapi mereka ramah
pula. Tato memiliki makna spiritual bagi masyarakat Dayak Iban. Salah satu tato yang
digemari adalah motif Bunga Terong. Motif ini adalah motif yang amat sakral dan dibuat
dengan pertimbangan dan adat tertentu pada zaman dahulu. Ada ritual untuk pembuatan tato
ini. Namun pada masa sekarang tato Bunga Terong ini dibuat sebagai tanda dan identitas
sebagai suku dayak Iban tanpa menggunakan ritual khusus seperti yang terjadi di masa
lampau. Tato ini biasa dibuat di dada.
Ruai dalam Rumah Betang Dayak Iban
Hal yang sama berlaku terhadap rumah betang (rumah panjay) suku Dayak Iban yang
pada dasarnya memiliki kesamaan dengan rumah betang dari subsuku dayak yang lain juga
memiliki ciri khas tersendiri. Hal yang paling tampak adalah penggunaan dari rumah betang
itu. Pada masyarakat Dayak Iban rumah betang itu adalah rumah tinggal bersama sesama
anggota dari suku. Sedangkan bagi subsuku dayak yang lain, rumah betang hanya dipakai
untuk acara tertentu saja, misalnya pesta panen (gawai), pertemuan dan acara adat lainnya.
Inilah yang menjadi keunikan dari rumah betang milik Dayak Iban yang juga
digunakan sebagai rumah tinggal. Konsekuensinya adalah bentuk tata ruang dari rumah
betang Iban dengan subsuku yang lain sedikit berbeda. Rumah betang milik Dayak Iban
terdiri dari bilik-bilik. Tiap bilik dihuni oleh satu keluarga. Di rumah betang itu memiliki ruai
yang terdapat secara memanjang di sepanjang rumah betang. Jumlah bilik dalam satu rumah
betang pun sangatlah banyak. Satu rumah betang bisa memiliki tujuh puluh bilik dan itu
berarti ada tujuh puluh kepala keluarga dalam satu rumah panjang itu. Hal ini berarti dalam

3
satu rumah betang bisa memuat satu dusun pada kampung biasa dengan rumah yang terpisah
satu sama lain (rumah pribadi). Untuk itu luas tanah untuk satu area rumah betang ini
sangatlah luas.
Bentuk rumah betang ini berbeda dari bentuk rumah betang dari subsuku lain yang
hanya menggunakan rumah betang sebagai tempat berkumpul untuk acara adat maupun
musyawarah saja. Bentuknya lebih sederhana dengan tiang panggung panjang seukuran satu
tinggi mobil dan memanjang dengan interior seperlunya. Artinya bisa terdapat kamar, dapur,
kamar mandi bila diperlukan.
Ruai adalah tempat berkumpul bagi orang Dayak Iban. Tempat ini sudah digunakan
sejak zaman nenek moyang dari masyarakat Iban. Ruai memiliki fungsi utama sebagai tempat
randau ruai (berbincang-bincang mengenai pekerjaan di ladang). Dalam forum ini hal utama
yang mereka bicarakan adalah masalah ladang. Ladang menjadi topik utama pembicaraan
karena nenek moyang pada zaman dahulu hari-harinya disibukan dengan mengurus ladang.
Ladang merupakan tempat mereka bercocok tanam, menanam padi dan sayur-sayuran.
Namun padi tetaplah menjadi tanaman yang utama karena perannya sebagai makanan pokok.
Makna kedua ruai adalah perjumpaan dengan keluarga lain. Hal ini mewujud dalam
silahturahmi. Dalam kebiasaan bersilahturahmi pada umumnya keluarga satu akan
mengunjungi rumah keluarga lain. Namun hal ini berbeda bagi masyarakat Iban karena untuk
bersilahturahmi ke rumah keluarga mereka cukup mengadakan pertemuan bersama di ruai
karena ruai itu sendiri letaknya memanjang dan tanpa sekat. Hal ini juga memungkinkan ada
perjumpaan antara semua penghuni rumah betang untuk berkumpul bersama sebagai satu
keluarga di ruai.
Ruai juga memudahkan masyarakat Dayak Iban untuk mengadakan acara adat yang
dalam hal ini adalah gawai dan acara tunanangan serta nikah. Dalam kebiasaan masyarakat
Dayak Iban ketika gawai setiap rumah akan mengumpulkan makanan, tuak dan arak dari
rumah masing-masing ke ruai dari ketua adat sebelum pengabang (tamu dari kampung lain)
datang.
Ketika semua makanan dari bilik-bilik telah dikumpulkan maka akan diadakan prosesi
adat sebagai ucapan berkat (bebiau) atas makanan tersebut. Hal ini dilakukan agar Petara
memberkati makanan tersebut sehingga ketika pengabang datang dan memakan makanan
tersebut dapat menjadi berkat bagi mereka. Hal ini juga menunjukan hospitalitas dari
masyarakat Dayak Iban.
Pada saat gawai, pengabang akan digiring dari rumah pertama menuju rumah paling
akhir. Perjalanan ini hanya melewati ruainya saja tanpa masuk ke dalam bilik, karena pada
dasarnya semua pemilik rumah sudah berada di luar, yaitu di ruai. Pengabang ini akan
digiring dalam suasana adat. Biasanya mereka digiring dengan tari-tarian khas Dayak Iban
yaitu ngajat dan lengkap dengan alat-alat tabuh. Hal ini dimaksudkan agar pengabang
mengetahui posisi bilik dari keluarga-keluarga di rumah betang itu.
Kemudian dalam upacara pernikahan, ruai juga mempunyai peranan penting bagi
masyarakat Dayak Iban. Hal ini menyangkut fungsi ruai yang dapat dijadikan pelaminan.
Dalam penggunaan ruai ketika pernikahan sifatnya fleksibel. Hal ini berarti apabila keluarga
yang memiliki acara pernikahan itu ruainya berada di tengah-tengah, mereka dapat
menggunakan ruai milik keluarga yang lain yang berada di ujung timur atau ujung barat dari
rumah betang. Hal ini dimaksudkan agar ruai yang berada di ujung itu dapat menjadi
pelaminan bagi kedua mempelai. Halnya juga menyangkut alasan praktis agar semua tamu
dapat menyaksikan kedua mempelai duduk di pelaminan yang berada di ujung ruai. Maka
ruai dalam hal ini juga bersifat universal artinya tidak ada sekat-sekat dalam penggunaannya
sekalipun itu milik keluarga yang lain.
Fungsi ruai selanjutnya adalah begulok. Ini adalah tata cara penyelesaian masalah
dalam masyarakat Iban. Dalam tata cara ini semua kepala keluarga akan diundang untuk

4
berkumpul bersama di ruai kepala desa atau ketua adat. Masalah yang sering diselesaikan
dalam begulok ini adalah masalah kepercayaan masyarakat terkait hal-hal mistis yang terjadi
di desa. Contohnya adalah apabila ada penyakit yang bertubi-tubi menimpa penduduk dan tak
kunjung sembuh, masyarakat percaya bahwa itu adalah roh dari nenek moyang yang meminta
sesajen. Kemudian dalam begulok patih atau ketua adat meminta kepada para wanita untuk
membuat pedarak (sesajen) dan tugas dari para lelaki adalah mencari kayuk burongk
(semacam penangkal yang diikat dengan benang merah). Setelah semuanya ini siap,
masyarakat akan dikumpulkan kembali di ruai dengan membawa piring masing-masing dan
disatukan di dalam satu kardus. Untuk menyimpannya harus dilakukan oleh ketua adat di
dalam ruai. Sebelum sesajen itu disimpan oleh ketua adat di tempat tertentu, sesajen itu harus
dijampi oleh ketua adat di dalam ruai. Semua ritual adat harus dilakukan di dalam ruai.
Selain digunakan untuk memecahkan masalah mistis, ruai juga digunakan sebagai
tempat untuk menyelesaikan masalah hukum adat. Hal ini mengandaikan adanya pelanggaran
terhadap hukum-hukum adat yang berlaku. Contohnya adalah apabila diketahui terdapat
pernikahan yang jadi mali (pernikahan yang dilakukan dengan keluarga sendiri). Dalam
hukum adat perkawinan Dayak Iban sesama keluarga tidak boleh menikah. Jadi sebelum
lamaran atau upacara melah pinang (pertunangan) akan diadakan upacara besusut (mencari
garis keturunan). Apabila terbukti tidak ada hubungan keluarga, maka pertunangan dapat
dilanjutkan hingga pernikahan. Namun akan berbeda apabila diketahui pasangan yang hendak
menikah itu adalah keluarga, namun sudah terlanjur ketahuan berhubungan atau tertangkap
adat, maka mau tidak mau mereka harus dinikahkan. Tentunya sebelum pernikahan ini
dilakukan upacara tebusan adat. Kedua mempelai akan diadat terlebih dahulu karena
melanggar hukum adat. Mereka akan diberi sanksi yaitu diasingkan dari desa untuk beberapa
saat. Prosesi peradilan adat ini dilakukan semuanya di ruai. Namun yang diundang dalam
acara ini hanyalah keluarga dekat dan pemuka adat saja.
Kemudian fungsi lain dari ruai adalah tempat melestarikan karya seni masyarakat Iban.
Di sini para wanita biasanya membuat kerajinan tangan dengan bertenun. Tenun yang
menjadi ciri khas dari masyarakat Iban adalah tenun songket. Tenun ini berbahan dasar
benang emas, maka dari itu songket juga merupakan karya seni yang amat mahal dari suku
Iban. Namun dalam pelaksanaannya tenun songket juga dilakukan dengan upacara adat.
Halnya menunjukan bahwa songket itu mempunyai peranan penting dalam kehidupan suku.
Dalam kepercayaan suku Iban kain songket yang telah diberikan upacara adat, maka dalam
kain itu bersemayam roh nenek moyang dari masing-masing keluarga itu. Lalu pada saat
gawai dayak, setiap keluarga wajib menggantungkan kain songket itu di langit-langit ruai
sebagai pengenangan akan roh dari nenek moyang.
Lalu ada alasan lain mengapa menenun itu dilakukan di ruai. Pertama adalah karena
alasan praktis bahwa di ruai itu tempatnya lebih luas dan bisa menyimpan alat-alat tenun
lebih banyak. Kedua, para wanita yang bertenun dapat membantu yang lain apabila
mengalami kesulitan. Hal ketiga adalah alasan tradisi, bahwa dengan dilakukannya tenun di
ruai, orang-orang tua dapat mengajarkan dan meneruskan tradisi menenun ini kepada kaum
muda.
Nilai Ruai dalam Pengalaman Eksistensial Masyarakat Dayak Iban4
1) Nilai Estetis
Nilai estetis adalah nilai yang terkandung dalam filosofi rumah betang juga ruai.
Penggunaan ruai sangat dekat dengan kehidupan dan corak estetis masyarakat di
rumah betang Dayak Iban sebab segala bentuk kesenian daerah, seperti tenun, tari-
tarian saat gawai, kegiatan menato dan berbagai kesenian lainnya dilakukan di
4
Ibnu Helmi dan Tarantang. Interkoneksi Nilai-nilai Rumah Betang dengan Pancasila. Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat, hlm. 120.

5
ruai. Maka dalam fungsi ini ruai pada dasarnya mengandung nilai estetis karena
fungsi estetis masyarakat Dayak Iban dilakukan di ruai.
2) Nilai Etis-yuridis
Nilai etis-yuridis ruai ada dalam fungsi bahwa tempat ini digunakan sebagai
tempat peradilan adat, seperti telah dijelaskan di atas. Barangsiapa yang diketahui
melanggar hukum adat akan diselesaikan di ruai dalam bimbingan para dewan
adat.
3) Nilai Religius
Selain kedua fungsi di atas, ruai juga berfungsi sebagai tempat pelaksanaan
kegiatan religius. Kegiatan religius itu adalah seperti begulok, mohon berkat atas
makanan ketika gawai dan upacara adat lainnya.
Relevansi Nilai-nilai Ruai dalam Usaha membangun Bonum Commune
Secara harafiah bonum commune berarti kesejahteraan bersama. Oleh karena
kesejahteraan bersama maka halnya menyangkut masyarakat luas, bukan hanya menyangkut
pribadi saja. Dalam kenyataannya memang masyarakat itu adalah kumpulan dari individu,
maka hak masyarakat yang dijamin dalam asas bonum commune itu juga menjamin hak-hak
individu. Namun halnya ada dalam bingkai kesejahteraan bersama.
Menurut St. Agustinus bonum commune merupakan harmoni yang teratur dalam
masyarakat dan otoritas politik.5 Hal-hal ini terwujud melalui kebaikan-kebaikan yang
dialami sepanjang waktu, misalnya kesehatan, keamanan dan sosialitas manusia. Hal yang
kurang lebih sama terungkap dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes:
Orang-orang, keluarga-keluarga dan pelbagai kelompok yang bersama-sama membentuk
masyarakat sipil menyadari kurangnya kemampuan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang
sungguh manusiawi. Mereka memahami perlunya rukun hidup bersama yang lebih luas, yang
memberikan ruang kepada semua anggotanya, untuk dari hari ke hari menyumbangkan tenaga
mereka sendiri demi semakin terwujudnya kesejahteraan umum.6
Dari dua pandangan ini, Agustinus dan Gaudium et Spes sama-sama menyoroti masalah
kesejahteraan bersama dalam konteks politik. Pada kenyataannya masalah kesejahteraan
bersama memang adalah masalah politik. Halnya menyinggung dan begitu erat dengan ranah
politis. Kesejahteraan bersama itu sesungguhnya juga adalah visi umum dari kegiatan politik,
maka jelas bahwa baik Agustinus maupun Gaudium et Spes sama-sama merujuk pada
kesejahteraan umum dalam bidang politik.
Dalam pandangan Agustinus, ia menekankan adanya harmoni yang teratur dalam
masyarakat dan dalam hubungannya dengan otoritas politik. Hal ini menandakan bahwa
menurut Agustinus keserasian, keselarasan dan relasi yang baik antar masyarakat dan dengan
otoritas politik adalah itu yang menjamin kesejahteraan bersama.
Sedangkan dalam pandangan Konsili Vatikan II yang tertuang dalam Konstitusi
Pastoral Gaudium et Spes, kesejahteraan bersama adalah produk dari usaha bersama.
Kesejahteraan bersama itu adalah hal yang amat manusiawi. Vatikan II menyadari hal ini
dengan baik bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang sungguh manusiawi, manusia harus
hidup rukun bersama, karena dengan keadaan yang demikian, maka kebutuhan seperti
kesehatan, keamanan dan sosialitas manusia itu dapat terwujud dengan baik.
Kemudian apabila dilihat kembali filosofi ruai dalam rumah betang Dayak Iban, ada
keselarasan bahwa asas dasar bonum commune terpenuhi di sana. Dalam pengalaman
eksistensial manusia Dayak Iban, ruai paling tidak memiliki tiga nilai dasar, yaitu estetis,
etis-yuridis dan religius. Ketiga nilai ini merupakan fondasi untuk mewujudkan bonum
commune dalam masyarakat Dayak Iban.
5
New Catholic Encyclopedia Vol. IV, Washington: The Catholic University of America, 1981.
6
GS, art. 74

6
Dalam nilai estetis, halnya berkaitan dengan kesenian. Kesenian adalah itu yang
membangun kecerdasan manusia secara intelektual dan mental. Seni tari misalnya, seni ini
melatih manusia secara intelektual, karena manusia harus menghapal gerakan tarian agar
dapat menari dengan serasi dalam kelompok. Halnya juga melatih kecerdasan mental dengan
membiasakan orang berekspresi dalam kesenian itu, melatih untuk berani tampil di depan
umum. Dengan melatih dua hal ini, yaitu kecerdasan intelektual serta mental manusia Dayak
Iban dengan sendirinya menjaga kesehatannya, yaitu kesehatan jiwa serta raganya.
Kemudian dalam nilai etis-yuridis, manusia Dayak Iban bersama mewujudkan
keteraturan dalam hidup bersama dengan menjalani hukum adat. Manusia ada sebagai
manusia apabila ia beradat dan berbudaya. Dengan melaksanakan hukum adat, manusia
Dayak Iban menunjukan identitasnya sebagai bagian dari Suku Iban. Dengan melaksanakan
hukum adat pun mereka secara personal menumbuhkan dan membangun kesejahteraan
bersama yang terwujud dalam keteraturan hidup bersama.
Dalam konteks Indonesia yang adalah negara bertuhan, karena sila pertama dalam
Pancasila, manusia Dayak Iban pun terikat dengan Dia yang transenden. Dia yang transenden
ini disebut sebagai Petara oleh orang Iban. Mereka menyadari ketergantungan yang hakiki
dengan Petara itu, sehingga dalam praktek pelaksanaan adat selalu ada ucapan syukur
kepadaNya. Manusia Dayak Iban menyadari dengan baik bahwa mereka hidup dalam
kesatuan dengan Dia sebagai ciptaanNya. Untuk itu perlulah selalu mengucap syukur
kepadaNya. Dalam konteks perwujudan kesejahteraan bersama itu, manusia Dayak Iban
dengan segenap hati, budi dan tenaganya menjalankan apa yang dikehendaki olehNya lewat
bantuan alam dan roh nenek moyang. Mereka memerhatikan tanda-tanda alam dan membaca
serta mengartikannya dengan baik. Hal ini penting agar tidak terjadi ari kudi’ (sesuatu yang
buruk terjadi) dalam kehidupan mereka. Dengan menjaga hal ini, mereka dengan sendirinya
telah menjaga dan berusahan mewujudkan kesejahteraan bersama.
Penutup dan Kesimpulan
Pada hakekatnya, manusia itu lekat dengan budayanya. Budaya adalah itu yang melekat
dalam diri manusia dan menjadi pembentuk kemanusiaannya, sebab hanya manusia yang
berbudaya. Nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan itu dengan sendirinya akan berusaha
mewujudkan keadaan paling manusiawi dari manusia itu sendiri, sebab kebudayaan itu
tercipta demi mendukung eksistensi manusia di dunia. Untuk itu nilai-nilai kebudayaan pun
harus mampu memberikan sumbangan bagi nilai dan keadaan manusiawi manusia yang
sepenuh-penuhya.
Dalam hal ini keadaan manusiawi yang sepenuh-penuhnya itu terwujud dalam bonum
commune. Hal ini merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yaitu kesehatan, kedamaian,
keamanan dan sosialitas masyarakat. Dalam konteks masyarakat Dayak Iban, nilai-nilai ini
hadir dalam pengalaman eksistensial mereka sendiri. Halnya dapat digali dari yang dekat
sekali dengan kehidupan mereka, yaitu ruai dalam rumah betang mereka. Ruai itu dengan
sendirinya sudah menunjukan makna kebersamaan, sebab ruai itu adalah tempat bersama
untuk berkumpul dan menjalin kekerabatan. Ruai yang lekat dan akrab dengan pengalaman
eksistensial manusia Dayak Iban itu dengan segala nilai yang terkandung di dalamnya dapat
mewujudkan kesejahteraan bersama dalam kehidupan manusia Dayak Iban.

Daftar Pustaka

7
Bamba, John (ed). Mozaik Dayak Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kaliimantan Barat.
Institut Pontianak: Dayaklogi, 2008

Konstitusi Pastoral. Ensiklik Gaudium et Spes, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen


Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1965.

Koentjaraningrat. Kebudayaan dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1974

Ibnu Helmi dan Tarantang. Interkoneksi Nilai-nilai Rumah Betang dengan Pancasila. Palangka Raya:
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 2018.

New Catholic Encyclopedia Vol. IV, Washington: The Catholic University of America, 1981.

Anda mungkin juga menyukai