Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN
“SUKU SUKU DI INDONESIA”

Nama Kelompok:
1. ARZA YANUAR FIRMANSYAH
2. M. KHAINUN IFKAR

MTSN 5 JOMBANG

DAFTAR ISI
JUDUL

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami


kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga
penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah untuk memenuhi
tugas dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan judul “suku-
suku di Indonesia”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Jombang, 1 April 2023

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kita tau semua bahwa bangsa Indonesia memiliki semboyan
“Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya walaupun kita berbeda-beda tetapi
tetap satu jua, berbeda dalam arti, berbeda suku, bahasa, budaya, agama,
ras dan lain sebagainya, dalam artian di Indonesia sendiri memiliki
banyak sekali suku-suku tetapi kita satu dalam lingkup Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Di Indonesia memiliki 1.340 suku yang tersebar di
berbagai penjuru Nusantara yang nantinya akan kita bahas pada Bab
Pembahasan, tidak jarang dari ribuan suku tersebut terdapat konflik
antar suku di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Persebaran suku di Indonesia
2. Adat istiadat berbagai suku di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Persebaran beragam suku di Indonesia


A. Pengertian suku
Suku merupakan sekelompok atau golongan sosial yang ada
di kalangan masyarakat sebagai pembeda dari golongan satu
dengan golongan yang lainnya. Dan setiap suku memiliki ciri
khas sendiri. Kita juga bisa mengartikan suku sebagai suatu
golongan manusia yang terikat dengan kebudayaan sekitar, atau
kebudayaan masyarakat tertentu.
Berikut pengertian suku menurut para ahli :
1. Menurut Koentjaraningrat
Menurutnya Pengertian suku merupakan sekelompok
manusia yang menyatu dengan budaya setempat itu
dengan secara sadar, serta biasanya berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa yang sama.
2. Menurut raroll
Menurut beliau suku itu merupakan golongan manusia
yang mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya,
biasanya dengan berdasarkan garis keturunan yang
dianggap sama. Suatu kelompok tersebut bisa diakui
sebagai suku apabila memiliki ciri khas tersendiri didalam
hal budaya, bahasa, agama, perilaku, ataupun juga ciri-ciri
biologis.
3. Menurut Frederick Barth
Menurutnya suku merupakan himpunan manusia yang
memiliki  atau mempunyai kesamaan dari segi ras, agama,
asal-usul bangsa, juga sama-sama terikat didalam nilai
kebudayaan tertentu.

B. Jumlah suku di Indonesia


Ada sekitar 300 kelompok etnik di Indonesia. Lebih tepatnya
1370 suku di Indonesia, menurut data pada tahun 2010, berikut
adalah tabel suku-suku di Indonesia :

No. Nama Propinsi Suku


1. Jawa Timur, Jawa Tengah, Suku jawa
Yogyakarta, Lampung

2. Jawa barat Suku sunda

3. Sumatra utara Suku batak

4. Pulau madura Suku madura

5. Jakarta Suku betawi

6. Sumatra barat, riau Suku


Minangkabau

7. Sulawesi selatan Suku bugis

8. Sumatra dan Kalimantan; terutama di Suku melayu


Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan,
Lampung, Sumatra Timur, Riau,
Kepulauan Riau, Bangka-Belitung,
dan Kalimantan Barat

9. Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Suku arab


Jawa Timur, Kalimantan, dan Sumatra

10. Banten Suku banten

Kalimantan selatan Suku banjar

Pulau bali Suku bali

Pulau lombok, pulau sumbawa Suku sasak

Pulau kalimantan Suku dayak

Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Suku tionghoa


Sulawesi

Sulawesi selatan Suku makassar


Jawa barat Suku cirebon

C. Sejarah persebaran suku di Indonesia


Nenek moyang bangsa Indonesia datang dari Yunan (Cina
Selatan). Mereka pindah 2000 tahun lalu karena mereka terdesak
bangsa Cina. Nenek moyang kita adalah bangsa Melayu. Bangsa
melayu dibagi menjadi dua, yaitu Melayu Tua (Proto Melayu) dan
Melayu Muda (Deutero Melayu). Golongan Melayu Tua adalah
suku Batak Toba, suku Dayak, suku Toraja. Golongan Melayu
Muda adalah suku Minangkabau, suku Jawa, suku Sunda, suku Bali,
suku Makassar, suku Buton, dan suku Bugis.
Dengan memakai perahu bercadik sederhana, mereka secara
bergelombang berlayar ke Nusantara. Mereka hidup terpencar di
berbagai pulau. Mereka tinggal di pegunungan, pantai, dan
pedalaman. Selanjutnya, mereka masing-masing berkembang
menjadi suku bangsa tersendiri. Ada suku pesisir seperti suku Bugis.
Ada suku pegunungan seperti suku Papua. Mereka masing-masing
meyakini bahwa mereka memiliki asal-usul yang sama. Misalnya,
kesamaan sebagai anggota suku Batak.
Selanjutnya, setiap suku bangsa menyesuaikan keadaan
alamnya. Mereka mengembangkan budayanya masing-masing.
Misalnya, suku Gayo-Alas di pedalaman Aceh. Budaya mereka
berbeda dengan suku bangsa Aceh. Masyarakat pedesaan di pantai
berbeda dengan masyarakat pedesaaan di pedalaman. Masyarakat
yang tinggal di pedalaman lebih lambat perkembangannya karena
adanya faktor hambatan komunikasi dengan dunia luar. Sementara
masyarakat di daerah pantai umumnya lebih cepat berkembang dan
lebih dinamis. Pengaruh-pengaruh dari luar umumnya cepat masuk
ke masyarakat suku-suku bangsa yang tinggal di daerah pantai.
Mata pencaharian mereka pun berbeda. Masyarakat di daerah
pantai umumnya bekerja sebagai nelayan. Sementara masyarakat di
daerah pedalaman umumnya adalah petani. Suku-suku bangsa yang
bergaul dengan masyarakat luar, seperti suku Jawa, Minangkabau,
Batak, Aceh, dan Bugis memiliki budaya yang berbeda dengan
suku-suku bangsa yang masih tertutup. Misalnya, suku Dayak di
pedalaman Kalimantan dan suku Wana di Sulawesi Tengah. Selain
itu, kemajemukan suku bangsa Indonesia juga disebabkan
keragaman agama yang dianut suku-suku tertentu. Hal ini
diakibatkan oleh penyebaran agama Hindu-Buddha, Islam, dan
Kristen yang diterima Indonesisa sejak abad ke-1 hingga abad ke-
15. Selanjutnya, dengan adanya sarana transportasi, terjadi
persebaran suku bangsa Indonesia ke seluruh daerah.

1.2 Adat istiadat berbagai suku di Indonesia


2.2 Pengertian adat istiadat
Apa yang dimaksud dengan adat istiadat? Secara umum,
pengertian adat istiadat adalah suatu sistem norma atau tata
kelakuan yang tumbuh, berkembang, dan dijunjung tinggi oleh
suatu masyarat secara turun-temurun sehingga kuat integrasinya
dengan pola perilaku masyarakat.
Secara etimologi kata adat istiadat berasal dari bahasa Arab
yang memiliki arti suatu kebiasaan. Sehingga dalam hal ini adat-
istiadat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan
berulang-ulang dan menjadi suatu kebiasaan yang harus
dihormati oleh orang-orang dalam suatu lingkungan tertentu
dimana adat-istiadat tersebut berlaku. Ini menjadi kebiasaan
yang terbentuk dan tumbuh di suatu lingkungan masyarakat dan
dianggap memiliki nilai serta dijunjung dan dipatuhi oleh
masyarakatnya.
Berikut pengertian adat istiadat menurut para ahli :
1. Jalaludin tunsam
Jalaludi Tunsam, dalam tulisannya menyatakan
bahwa adat berasal dari bahasa Arab “adah” yang berarti
kebiasaan atau cara. Sedangkat adat istiadat bermakna
suatu gagasan yang mengandung nilai kebudayaan,
kebiasaan, norma, serta hukum yang lazim dilakukan oleh
masyarakat suatu daerah. Apabila adat tidak dipatuhi, ada
sanksi tertulis maupun tidak tertulis.
2. Koen cakraningrat
Menurut Koen, adat merupakan suatu bentuk
perwujudan kebudayaan yang digambarkan sebagai tata
kelakuan. Adat juga merupakan norma atau aturan tidak
tertulis namun keberadaannya sangat kuat dan mengikat.
Siapapun yang melanggarnya akan dikenai sanksi yang
cukup berat.
3. Raden soepomo
Hampir sama dengan pendapat Harjito Notopura, Raden
Soepomo berpendapat bahwa hukum adat merupakan
sinonim dari hukum tidak tertulis yang terdapat dalam
peraturan legislative. Hukum hidup sebagai konvensi di
badan hukum negara, dan hidup sebagai peraturan
kebiasaan pada kehidupan di kota maupun desa.

Berikut contoh adat istiadat suku – suku di Indonesia :

CONTOH ADAT ISTIADAT JAWA

SEKATEN

Upacara ini biasa diselenggarakan untuk memperingati Maulid Nabi


Muhammad. Setiap tahunnya, Sekaten diselenggarakan di Alun-Alun Utara
Kraton Yogyakarta dan dihadiri oleh ribuan warga Yogyakarta maupun
wisatawan. Tidak heran, tradisi yang satu ini juga menjadi daya tarik
tersendiri sehingga mengundang banyak wisatawan untuk menyaksikan
secara langsung. Pada momen ini, Keraton akan mengadakan pawai atau
iring-iringan gunungan hasil bumi masyarakat sekitar yang diarak oleh abdi
dalem serta prajurit Kraton. Adat ini masih dilestarikan hingga saat ini
karena merupakan bagian dari kearifan lokal.

PERNIKAHAN

Pernikahan merupakan momen sakral dengan adat yang cukup rumit


bagi masyarakat Jawa. Meskipun kebanyakan masyarakat telah
meninggalkan beberapa tradisi karena beberapa alasan, Anda perlu
mengetahui beberapa adat istiadat dalam upacara pernikahan Jawa.

Malam sebelum akad, pengantin harus melakukan siraman dan


midodareni. Selain itu, ada pula adat serah-serahan di mana calon pengantin
pria memberikan barang-barang kepada pengantin wanita. Setelah prosesi
akad, terdapat tradisi balangan suruh (lempar daun sirih), panggih
(pertemuan kedua mempelai), dhahar klimah (saling menyuap), dan
sungkeman.

TEDAK SITEN

Tedak siten dalam bahasa Indonesia berarti turun ke tanah. Upacara


ini dilakukan sebagai selamatan ketika seorang bayi sudah mulai berjalan.
Tujuan diadakannya acara tedak siten adalah sebagai bentuk rasa syukur
karena sang bayi diberikan kesehatan. Dalam upacara ini, terdapat ritual
bayi dimasukkan ke dalam kurungan ayam dan diberi beberapa barang
seperti alat tulis, uang, dan lain sebagainya.

ADAT ISTIADAT SUKU MADURA

Pesa’an

Pesa’an merupakan sebutan bagi pakaian tradisional khas suku


Madura. Pesa’an pada pakaian pria terdiri dari kaos yang bermotif garis
dengan warna merah dan putih yang dipadu-padankan dengan baju dan
celana longgar berwarna hitam. Sebagai pelengkap digunakan ikat kepala
yang disebut odheng dan juga senjata tradisional clurit yang
diselempangkan. Sedangkan pada wanita lebih sederhana dan lebih mirip
dengan pakaian suku Jawa dengan atasan kebaya dan bawahan kain Jarit.
Pada zaman dahulu, pesa’an biasa digunakan oleh para guru agama
atau biasa disebut dengan molang. Warna dan motif garis yang ada pada
kaos pesa’an memiliki makna ketegasan dan keberanian serta semangat
kerja keras. Oleh sebab itu suku Madura dikenal sebagai masyarakat yang
memiliki pribadi berani, keras, tegas serta memiliki etos kerja keras yang
tinggi.

Carok

Carok berasal dari bahasa kawi kuno yang artinya perkelahian.


Tradisi carok merupakan tradisi pertarungan atau perkelahian antara dua
orang atau dua keluarga besar dengan menggunakan senjata tradisional
clurit. Pertengkaran ini biasanya berkaitan dengan harga diri, baik diri
pribadi maupun keluarga. Lebih banyak biasanya dipicu masalah perebutan
wanita. Terkadang tradisi carok ini bisa membawa pada munculnya korban
jiwa. Suku Madura memegang prinsip hidup “ Lebbhi bagus pote tolang
etembheng pote mata “, yang artinya lebih baik putih tulang (mati) daripada
putih mata (menahan malu). Oleh sebab itu bila terjadi permasalahan yang
menyangkut harkat dan martabat diri suku Madura, maka carok merupakan
solusi jalan keluarnya. Filosofis inilah yang sempat memunculkan konflik
budaya dengan kebudayaan suku dayak ketika suku Madura bermigrasi ke
tanah Kalimantan.

Tradisi carok mulai berkembang pesat ketika Belanda pada saat


ingin menguasai tanah Madura, menggunakan para jawara yang disebut
Blater untuk menantang dan beradu duel dengan masyarakat pribumi.
Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut. Pak Sakera merupakan
salah satu orang Madura yang sangat keras memberontak penjajahan
Belanda, Pak Sakera dengan cluritnya melakukan perjuangan melawan para
Blater Belanda. Belanda sendiri juga sering menggunakan carok untuk
mengadu domba masyarakat Madura. Bila ada perselisihan dan
persengketaan, Belanda selalu mengajukan carok sebagai jalan, dan sejak
saat itu carok dan clurit sangat kental dalam kebiasaan suku Madura.
Hingga hari ini tradisi carok masih dipegang teguh oleh sebagian
masyarakat Madura. Keraban Sapeh

KERABAN SAPEH

Keraban Sapeh atau lebih familiar disebut dengan karapan sapi,


merupakan kebudayaan suku Madura yang sangat khas dan terkenal.
Karapan sapi merupakan kesenian pesta adat rakyat berupa perlombaan
dengan menggunakan semacam gerobak yang ditarik oleh dua ekor sapi dan
terdapat satu joki sebagai pengendali laju sapi. Sejarah karapan sapi berawal
dari Syeh Ahmad Baidawi yang memperkenalkan kepada masyarakat
Madura tentang cara bercocok tanam sawah dengan menggunakan alat dari
sepasang bambu disebut ‘nanggala’ atau ‘salaga’. Nanggala atau salaga ini
ditarik oleh dua ekor sapi yang kemudian digunakan untuk membajak
persawahan. Karapan sapi pada awal mulanya digunakan untuk menyeleksi
sapi-sapi terbaik yang bisa digunakan untuk membajak sawah. Namun
kemudian hal ini berkembang menjadi tradisi dan kesenian tersendiri.

Masyarakat Madura biasa mengadakan perlombaan karapan sapi


pada sekitar bulan-bulan Agustus dan September dan finalnya biasa
dilaksanakan pada bulan Oktober. Tradisi tahunan karapan sapi ini cukup
bergengsi di kalangan suku Madura karena sapi yang menjadi juara pada
perlombaan ini selain meningkatkan status daya jualnya, juga dapat
meningkatkan status sosial pemilik sapi. Karapan sapi biasa dilaksanakan
pada areal persawahan dengan panjang lintasan sekitar 100 meter. Joki-joki
karapan sapi harus berusaha memacu sapi-sapi mereka untuk dapat
mencapai garis finish terlebih dahulu, yang tercepatlah yang dinyatakan
sebagai pemenang.

ADAT ISTIADAT SUKU BALI

UPACARA ADAT NGABEN

Upacara Adat Ngaben terletak di pinggir Danau Batur dan dikelilingi


tebing bukit, Desa Trunyan memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa
kuna dan Bali Aga (Bali asli). Konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang
menebarkan bau sangat harum.

Bau harum itu mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk


mendatangi sumber bau. Beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit
di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian
mereka kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan
Landung yang sedang berburu. Taru Menyan itulah yang telah berubah
menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering
Jagat.

Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang


desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan
yang lama kelamaan menjadi Trunyan. Desa ini berada di Kecamatan
Kintamani, Daerah Tingkat II Bangli. Ternyata tidak semua umat Hindu di
Bali melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran jenasah.

Di Trunyan, jenasah tidak dibakar, melainkan hanya diletakkan di


tanah pekuburan. Trunyan adalah desa kuna yang dianggap sebagai desa
Bali Aga (Bali asli). Trunya memiliki banyak keunikan dan yang daya
tariknya paling tinggi adalah keunikan dalam memperlakukan jenasah
warganya. Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang menurut tradisi desa
Trunyan, ketiga jenis kuburan itu di- klasifikasikan berdasarkan umur orang
yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan yaitu :

Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik
yang disebut Setra Wayah. Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini
hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, dan jenasah yang proses
meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau kecelakaan).

Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus


diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun
tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat.
Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah
yang cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun ulah pati
(meninggal secara tidak wajar misalnya kecelakaan, bunuh diri).

Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik
adalah kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini
berlokasi sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan
kaki tebing bukit. Untuk membawa jenasah ke kuburan harus menggunakan
sampan kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur,
namun cara penguburannya unik yaitu dikenal dengan istilah mepasah.
Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan begitu
saja di atas lubang sedalam 20 cm.

Sebagian badannya dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak


terkubur tanah. Jenasah tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang
terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam kerucut, digunakan untuk
memagari jenasah. Di Setra Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi menjadi
2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang jenasahnya tanpa cacat
terletak di bagian hulu dan masih ada 5 liang berjejer setelah kedua liang
tadi yaitu untuk masyarakat biasa.

Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan
dikubur, jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang
menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir
lubang. Jadi jangan kaget jika di setra wayah berserakan tengorak-tengkorak
manusia yang tidak boleh ditanam maupun dibuang.

Meski tidak dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara kematian


tradisi desa Trunyan pada prinsipnya sama saja dengan makna dan tujuan
upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali lainnya. Upacara
dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang tuanya.
Hutang itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama dibayarkan dengan
perilaku yang baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua pada
waktu orang tua meninggal serangkaian dengan prilaku ritual dalam bentuk
upacara kematian.
UPACARA MEKOTEK

Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuanmemohon


keselamatan. Upacara yang juga di kenaldengan istilah ngerebek. Mekotek
ini adalah warisan leluhur, adat budaya dan tradisi yang secara turun
temurun terus dilakukan umat Hindu di Bali.

Pada awalnya pelaksanaan upacara Mekotek diselenggarakan untuk


menyambut armada perang yang melintas di Munggu yang akan berangkat
ke medan laga, juga penyambutan pasukan saat mendapat kemenangan
perang Blambangan pada masa kerajaan silam.

Dahulunya upacara ini menggunakan tombak yang terbuat dari besi.


Namun seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta yang
terluka maka sejak tahun 1948 tombak besi mulai diganti dengan tombak
dari bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura.

Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi


kayu yang diadu satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi. Perayaan
upacara Mekotek selalu dilakukan oleh warga Desa Munggu, Kecamatan
Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada setiap Hari Raya Kuningan. Selain
sebagai simbol kemenangan,Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak
bala yang pernah menimpa desa puluhan tahun lalu.

Pada saat itu Perayaan upacara Mekotek dilarang oleh pemerintah


kolonial Belanda 1915 (Ida Bagus Gede Mahadewa) karena takut terjadi
pemberontakan, namun akibat dari larangan tidak boleh mengadakan
upacara Mekotek tersebut muncul wabah penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan banyak memakan korban jiwa. Lalu terjadi perundingan
dan akhirnya diizinkan kembali, sejak saat itu tidak pernah ada lagi bencana.

Upacara ini Makotek ini diikuti sekitar 2000 penduduk Munggu


yang terdiri dari 15 banjar turun ke jalan dari umur 12 tahun hingga 60
tahun. Mereka mengenakan pakaian adat madya dengan hanya mengenakan
kancut dan udeng batik dan membawa selonjoran kayu 2 meter yang telah
dikuliti. Pada tengah hari seluruh peserta berkumpul di pura Dalem Munggu
yang memanjang.

Disana dilakukan upacara syukuran bahwa selama 6 bulan pertanian


perkebunan dan segala usaha penduduk berlangsung dengan baik, setelah
serangkaian upacara berlangsung, keseluruhan peserta melakukan pawai
menuju ke sumber air yang ada di bagian utara kampung. Warga kemudian
terbagi dalam beberapa kelompok . Di setiap pertigaan yang dilewati masing
masing kelompok yang terdiri dari 50 orang akan membuat bentuk segitiga
menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut lalu mereka
berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan.

Pada saat yang tepat seorang yang dianggap punya nyali sekaligus
punya kaul akan mendaki puncak piramid dan melakukan atraksi entah
mengangkat tongkatnya atau berdiri dengan mengepalkan tangan, sambil
berteriak laksana panglima perang mengkomamdoi prajuritnya untuk terus
menerjang musuh lalu kemudian ditabrakkan dengan kelompok yang
mendirikan tumpukan kayu yang lain. Sesampai di sumber air, tameng suci,
segala perangkat upacara yang dibawa dari Pura Dalem diberi tirta air suci
dan dibersihkan. Kemudian mereka melakukan pawai kembali ke Pura
Dalem untuk menyimpan semua perangkat yang dibawa berkeliling tadi. Ini
adalah suatu aktraksi adat budaya yang saat menarik untuk anda
saksikan,yang hanya ada di Bali pulau Dewata.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Begitu banyak keanekaragaman suku – suku yang tersebar di
Indonesia, dari sabang sampai merauke, dengan berbagai ciri khas
masing – masing, mulai dari bahasa, kebiasaan, tradisi dan lain
sebagainya, walaupun berbeda suku, tradisi kita tetap sama yaitu
Indonesia, tetap satu dan memiliki tujuan yang sama yaitu menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai