Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN
“SUKU SUKU DI INDONESIA”

Nama Kelompok:
1. RIZQI ANDIKA WAHYUDI (180441100054)
2. M. ADIB YAHYA LUTFI (180441100053)
3. ARIK RIKO PRASETYA (18044110006..)
4. NOVI DWI SAPUTRI (1804411000..)
5. OKTA DWI ISWAHYUNI (1804411000..)

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA


DAFTAR ISI

JUDUL

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami


kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga
penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah untuk memenuhi
tugas dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan judul “suku-
suku di Indonesia”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca
untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bangkalan, 11 September 2019


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kita tau semua bahwa bangsa Indonesia memiliki semboyan
“Bhineka Tunggal Ika”, yang artinya walaupun kita berbeda-beda tetapi
tetap satu jua, berbeda dalam arti, berbeda suku, bahasa, budaya, agama,
ras dan lain sebagainya, dalam artian di Indonesia sendiri memiliki
banyak sekali suku-suku tetapi kita satu dalam lingkup Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Di Indonesia memiliki 1.340 suku yang tersebar di
berbagai penjuru Nusantara yang nantinya akan kita bahas pada Bab
Pembahasan, tidak jarang dari ribuan suku tersebut terdapat konflik
antar suku di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Persebaran suku di Indonesia
2. Adat istiadat berbagai suku di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Persebaran beragam suku di Indonesia


A. Pengertian suku
Suku merupakan sekelompok atau golongan sosial yang ada
di kalangan masyarakat sebagai pembeda dari golongan satu
dengan golongan yang lainnya. Dan setiap suku memiliki ciri
khas sendiri. Kita juga bisa mengartikan suku sebagai suatu
golongan manusia yang terikat dengan kebudayaan sekitar, atau
kebudayaan masyarakat tertentu.
Berikut pengertian suku menurut para ahli :
1. Menurut Koentjaraningrat
Menurutnya Pengertian suku merupakan sekelompok
manusia yang menyatu dengan budaya setempat itu
dengan secara sadar, serta biasanya berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa yang sama.
2. Menurut raroll
Menurut beliau suku itu merupakan golongan manusia
yang mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya,
biasanya dengan berdasarkan garis keturunan yang
dianggap sama. Suatu kelompok tersebut bisa diakui
sebagai suku apabila memiliki ciri khas tersendiri didalam
hal budaya, bahasa, agama, perilaku, ataupun juga ciri-ciri
biologis.
3. Menurut Frederick Barth
Menurutnya suku merupakan himpunan manusia yang
memiliki  atau mempunyai kesamaan dari segi ras, agama,
asal-usul bangsa, juga sama-sama terikat didalam nilai
kebudayaan tertentu.
B. Jumlah suku di Indonesia
Ada sekitar 300 kelompok etnik di Indonesia. Lebih tepatnya
1370 suku di Indonesia, menurut data pada tahun 2010, berikut
adalah tabel suku-suku di Indonesia :

No. Nama Propinsi Suku


1. Jawa Timur, Jawa Tengah, Suku jawa
Yogyakarta, Lampung
2. Jawa barat Suku sunda
3. Sumatra utara Suku batak
4. Pulau madura Suku madura
5. Jakarta Suku betawi
6. Sumatra barat, riau Suku
Minangkabau
7. Sulawesi selatan Suku bugis
8. Sumatra dan Kalimantan; terutama di Suku melayu
Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan,
Lampung, Sumatra Timur, Riau,
Kepulauan Riau, Bangka-Belitung,
dan Kalimantan Barat
9. Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Suku arab
Jawa Timur, Kalimantan, dan Sumatra
10. Banten Suku banten
Kalimantan selatan Suku banjar
Pulau bali Suku bali
Pulau lombok, pulau sumbawa Suku sasak
Pulau kalimantan Suku dayak
Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Suku tionghoa
Sulawesi
Sulawesi selatan Suku makassar
Jawa barat Suku cirebon
C. Sejarah persebaran suku di Indonesia
Nenek moyang bangsa Indonesia datang dari Yunan (Cina
Selatan). Mereka pindah 2000 tahun lalu karena mereka terdesak
bangsa Cina. Nenek moyang kita adalah bangsa Melayu. Bangsa
melayu dibagi menjadi dua, yaitu Melayu Tua (Proto Melayu) dan
Melayu Muda (Deutero Melayu). Golongan Melayu Tua adalah
suku Batak Toba, suku Dayak, suku Toraja. Golongan Melayu
Muda adalah suku Minangkabau, suku Jawa, suku Sunda, suku Bali,
suku Makassar, suku Buton, dan suku Bugis.
Dengan memakai perahu bercadik sederhana, mereka secara
bergelombang berlayar ke Nusantara. Mereka hidup terpencar di
berbagai pulau. Mereka tinggal di pegunungan, pantai, dan
pedalaman. Selanjutnya, mereka masing-masing berkembang
menjadi suku bangsa tersendiri. Ada suku pesisir seperti suku Bugis.
Ada suku pegunungan seperti suku Papua. Mereka masing-masing
meyakini bahwa mereka memiliki asal-usul yang sama. Misalnya,
kesamaan sebagai anggota suku Batak.
Selanjutnya, setiap suku bangsa menyesuaikan keadaan
alamnya. Mereka mengembangkan budayanya masing-masing.
Misalnya, suku Gayo-Alas di pedalaman Aceh. Budaya mereka
berbeda dengan suku bangsa Aceh. Masyarakat pedesaan di pantai
berbeda dengan masyarakat pedesaaan di pedalaman. Masyarakat
yang tinggal di pedalaman lebih lambat perkembangannya karena
adanya faktor hambatan komunikasi dengan dunia luar. Sementara
masyarakat di daerah pantai umumnya lebih cepat berkembang dan
lebih dinamis. Pengaruh-pengaruh dari luar umumnya cepat masuk
ke masyarakat suku-suku bangsa yang tinggal di daerah pantai.
Mata pencaharian mereka pun berbeda. Masyarakat di daerah
pantai umumnya bekerja sebagai nelayan. Sementara masyarakat di
daerah pedalaman umumnya adalah petani. Suku-suku bangsa yang
bergaul dengan masyarakat luar, seperti suku Jawa, Minangkabau,
Batak, Aceh, dan Bugis memiliki budaya yang berbeda dengan
suku-suku bangsa yang masih tertutup. Misalnya, suku Dayak di
pedalaman Kalimantan dan suku Wana di Sulawesi Tengah. Selain
itu, kemajemukan suku bangsa Indonesia juga disebabkan
keragaman agama yang dianut suku-suku tertentu. Hal ini
diakibatkan oleh penyebaran agama Hindu-Buddha, Islam, dan
Kristen yang diterima Indonesisa sejak abad ke-1 hingga abad ke-
15. Selanjutnya, dengan adanya sarana transportasi, terjadi
persebaran suku bangsa Indonesia ke seluruh daerah.

1.2 Adat istiadat berbagai suku di Indonesia


A. Pengertian adat istiadat
Apa yang dimaksud dengan adat istiadat? Secara umum,
pengertian adat istiadat adalah suatu sistem norma atau tata
kelakuan yang tumbuh, berkembang, dan dijunjung tinggi oleh
suatu masyarat secara turun-temurun sehingga kuat integrasinya
dengan pola perilaku masyarakat.
Secara etimologi kata adat istiadat berasal dari bahasa Arab
yang memiliki arti suatu kebiasaan. Sehingga dalam hal ini adat-
istiadat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan
berulang-ulang dan menjadi suatu kebiasaan yang harus
dihormati oleh orang-orang dalam suatu lingkungan tertentu
dimana adat-istiadat tersebut berlaku. Ini menjadi kebiasaan
yang terbentuk dan tumbuh di suatu lingkungan masyarakat dan
dianggap memiliki nilai serta dijunjung dan dipatuhi oleh
masyarakatnya.
Berikut pengertian adat istiadat menurut para ahli :
1. Jalaludin tunsam
Jalaludi Tunsam, dalam tulisannya menyatakan
bahwa adat berasal dari bahasa Arab “adah” yang berarti
kebiasaan atau cara. Sedangkat adat istiadat bermakna
suatu gagasan yang mengandung nilai kebudayaan,
kebiasaan, norma, serta hukum yang lazim dilakukan oleh
masyarakat suatu daerah. Apabila adat tidak dipatuhi, ada
sanksi tertulis maupun tidak tertulis.
2. Koen cakraningrat
Menurut Koen, adat merupakan suatu bentuk
perwujudan kebudayaan yang digambarkan sebagai tata
kelakuan. Adat juga merupakan norma atau aturan tidak
tertulis namun keberadaannya sangat kuat dan mengikat.
Siapapun yang melanggarnya akan dikenai sanksi yang
cukup berat.
3. Raden soepomo
Hampir sama dengan pendapat Harjito Notopura, Raden
Soepomo berpendapat bahwa hukum adat merupakan
sinonim dari hukum tidak tertulis yang terdapat dalam
peraturan legislative. Hukum hidup sebagai konvensi di
badan hukum negara, dan hidup sebagai peraturan
kebiasaan pada kehidupan di kota maupun desa.

Berikut contoh adat istiadat suku – suku di Indonesia :

1. CONTOH ADAT ISTIADAT JAWA


A. SEKATEN
Upacara ini biasa diselenggarakan untuk
memperingati Maulid Nabi Muhammad. Setiap
tahunnya, Sekaten diselenggarakan di Alun-Alun
Utara Kraton Yogyakarta dan dihadiri oleh ribuan
warga Yogyakarta maupun wisatawan. Tidak heran,
tradisi yang satu ini juga menjadi daya tarik
tersendiri sehingga mengundang banyak wisatawan
untuk menyaksikan secara langsung. Pada momen ini,
Keraton akan mengadakan pawai atau iring-iringan
gunungan hasil bumi masyarakat sekitar yang diarak oleh
abdi dalem serta prajurit Kraton. Adat ini masih
dilestarikan hingga saat ini karena merupakan bagian dari
kearifan lokal.
B. PERNIKAHAN
Pernikahan merupakan momen sakral dengan
adat yang cukup rumit bagi masyarakat Jawa.
Meskipun kebanyakan masyarakat telah
meninggalkan beberapa tradisi karena beberapa
alasan, Anda perlu mengetahui beberapa adat istiadat
dalam upacara pernikahan Jawa.

Malam sebelum akad, pengantin harus melakukan


siraman dan midodareni. Selain itu, ada pula adat
serah-serahan di mana calon pengantin pria
memberikan barang-barang kepada pengantin wanita.
Setelah prosesi akad, terdapat tradisi balangan suruh
(lempar daun sirih), panggih (pertemuan kedua
mempelai), dhahar klimah (saling menyuap), dan
sungkeman.

C. TEDAK SITEN

Tedak siten dalam bahasa Indonesia berarti turun


ke tanah. Upacara ini dilakukan sebagai selamatan
ketika seorang bayi sudah mulai berjalan. Tujuan
diadakannya acara tedak siten adalah sebagai bentuk
rasa syukur karena sang bayi diberikan kesehatan.
Dalam upacara ini, terdapat ritual bayi dimasukkan
ke dalam kurungan ayam dan diberi beberapa barang
seperti alat tulis, uang, dan lain sebagainya.

2. ADAT ISTIADAT SUKU MADURA


A. Pesa’an
Pesa’an merupakan sebutan bagi pakaian
tradisional khas suku Madura. Pesa’an pada pakaian
pria terdiri dari kaos yang bermotif garis dengan
warna merah dan putih yang dipadu-padankan
dengan baju dan celana longgar berwarna hitam.
Sebagai pelengkap digunakan ikat kepala yang
disebut odheng dan juga senjata tradisional clurit
yang diselempangkan. Sedangkan pada wanita lebih
sederhana dan lebih mirip dengan pakaian suku
Jawa dengan atasan kebaya dan bawahan kain Jarit.
Pada zaman dahulu, pesa’an biasa digunakan
oleh para guru agama atau biasa disebut dengan
molang. Warna dan motif garis yang ada pada kaos
pesa’an memiliki makna ketegasan dan keberanian
serta semangat kerja keras. Oleh sebab itu suku
Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki
pribadi berani, keras, tegas serta memiliki etos kerja
keras yang tinggi.
B. Carok

Carok berasal dari bahasa kawi kuno yang


artinya perkelahian. Tradisi carok merupakan
tradisi pertarungan atau perkelahian antara dua
orang atau dua keluarga besar dengan
menggunakan senjata tradisional clurit.
Pertengkaran ini biasanya berkaitan dengan harga
diri, baik diri pribadi maupun keluarga. Lebih
banyak biasanya dipicu masalah perebutan wanita.
Terkadang tradisi carok ini bisa membawa pada
munculnya korban jiwa. Suku Madura memegang
prinsip hidup “ Lebbhi bagus pote tolang
etembheng pote mata “, yang artinya lebih baik
putih tulang (mati) daripada putih mata (menahan
malu). Oleh sebab itu bila terjadi permasalahan
yang menyangkut harkat dan martabat diri suku
Madura, maka carok merupakan solusi jalan
keluarnya. Filosofis inilah yang sempat
memunculkan konflik budaya dengan kebudayaan
suku dayak ketika suku Madura bermigrasi ke
tanah Kalimantan.

Tradisi carok mulai berkembang pesat ketika


Belanda pada saat ingin menguasai tanah Madura,
menggunakan para jawara yang disebut Blater
untuk menantang dan beradu duel dengan
masyarakat pribumi. Tujuannya adalah untuk
menimbulkan rasa takut. Pak Sakera merupakan
salah satu orang Madura yang sangat keras
memberontak penjajahan Belanda, Pak Sakera
dengan cluritnya melakukan perjuangan melawan
para Blater Belanda. Belanda sendiri juga sering
menggunakan carok untuk mengadu domba
masyarakat Madura. Bila ada perselisihan dan
persengketaan, Belanda selalu mengajukan carok
sebagai jalan, dan sejak saat itu carok dan clurit
sangat kental dalam kebiasaan suku Madura.
Hingga hari ini tradisi carok masih dipegang teguh
oleh sebagian masyarakat Madura. Keraban Sapeh

C. KERABAN SAPEH
Keraban Sapeh atau lebih familiar disebut
dengan karapan sapi, merupakan kebudayaan suku
Madura yang sangat khas dan terkenal. Karapan
sapi merupakan kesenian pesta adat rakyat berupa
perlombaan dengan menggunakan semacam
gerobak yang ditarik oleh dua ekor sapi dan
terdapat satu joki sebagai pengendali laju sapi.
Sejarah karapan sapi berawal dari Syeh Ahmad
Baidawi yang memperkenalkan kepada masyarakat
Madura tentang cara bercocok tanam sawah dengan
menggunakan alat dari sepasang bambu disebut
‘nanggala’ atau ‘salaga’. Nanggala atau salaga ini
ditarik oleh dua ekor sapi yang kemudian
digunakan untuk membajak persawahan. Karapan
sapi pada awal mulanya digunakan untuk
menyeleksi sapi-sapi terbaik yang bisa digunakan
untuk membajak sawah. Namun kemudian hal ini
berkembang menjadi tradisi dan kesenian tersendiri.
Masyarakat Madura biasa mengadakan
perlombaan karapan sapi pada sekitar bulan-bulan
Agustus dan September dan finalnya biasa
dilaksanakan pada bulan Oktober. Tradisi tahunan
karapan sapi ini cukup bergengsi di kalangan suku
Madura karena sapi yang menjadi juara pada
perlombaan ini selain meningkatkan status daya
jualnya, juga dapat meningkatkan status sosial
pemilik sapi. Karapan sapi biasa dilaksanakan pada
areal persawahan dengan panjang lintasan sekitar
100 meter. Joki-joki karapan sapi harus berusaha
memacu sapi-sapi mereka untuk dapat mencapai
garis finish terlebih dahulu, yang tercepatlah yang
dinyatakan sebagai pemenang.
3. ADAT ISTIADAT SUKU BALI
A. UPACARA ADAT NGABEN
Upacara Adat Ngaben terletak di pinggir
Danau Batur dan dikelilingi tebing bukit, Desa
Trunyan memiliki banyak keunikan sebagai sebuah
desa kuna dan Bali Aga (Bali asli). Konon ada
sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau
sangat harum.
Bau harum itu mendorong Ratu Gede
Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau.
Beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit
di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di
sanalah kemudian mereka kawin dan secara
kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan
Landung yang sedang berburu. Taru Menyan itulah
yang telah berubah menjadi seorang dewi yang
tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat.
Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede
mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk
mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan
yang lama kelamaan menjadi Trunyan. Desa ini
berada di Kecamatan Kintamani, Daerah Tingkat II
Bangli. Ternyata tidak semua umat Hindu di Bali
melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran
jenasah.
Di Trunyan, jenasah tidak dibakar, melainkan
hanya diletakkan di tanah pekuburan. Trunyan
adalah desa kuna yang dianggap sebagai desa Bali
Aga (Bali asli). Trunya memiliki banyak keunikan
dan yang daya tariknya paling tinggi adalah
keunikan dalam memperlakukan jenasah warganya.
Trunyan memiliki tiga jenis kuburan yang menurut
tradisi desa Trunyan, ketiga jenis kuburan itu di-
klasifikasikan berdasarkan umur orang yang
meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan
yaitu :
Kuburan utama adalah yang dianggap paling
suci dan paling baik yang disebut Setra Wayah.
Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci ini
hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat,
dan jenasah yang proses meninggalnya dianggap
wajar (bukan bunuh diri atau kecelakaan).
Kuburan yang kedua disebut kuburan muda
yang khusus diperuntukkan bagi bayi dan orang
dewasa yang belum menikah. Namun tetap dengan
syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat.
Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas,
khusus untuk jenasah yang cacat dan yang
meninggal karena salah pati maupun ulah pati
(meninggal secara tidak wajar misalnya kecelakaan,
bunuh diri).
Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling
unik dan menarik adalah kuburan utama atau
kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi
sekitar 400 meter di bagian utara desa dan dibatasi
oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk membawa
jenasah ke kuburan harus menggunakan sampan
kecil khusus jenasah yang disebut Pedau. Meski
disebut dikubur, namun cara penguburannya unik
yaitu dikenal dengan istilah mepasah. Jenasah yang
telah diupacarai menurut tradisi setempat diletakkan
begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm.
Sebagian badannya dari bagian dada ke atas,
dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah
tersebut hanya dibatasi dengan ancak saji yang
terbuat dari sejenis bambu membentuk semacam
kerucut, digunakan untuk memagari jenasah. Di
Setra Wayah ini terdapat 7 liang lahat terbagi
menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu
desa yang jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian
hulu dan masih ada 5 liang berjejer setelah kedua
liang tadi yaitu untuk masyarakat biasa.
Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi
jenasah baru yang akan dikubur, jenasah yang lama
dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang
menempati lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh
begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan kaget jika
di setra wayah berserakan tengorak-tengkorak
manusia yang tidak boleh ditanam maupun dibuang.
Meski tidak dilakukan dengan upacara
Ngaben, upacara kematian tradisi desa Trunyan
pada prinsipnya sama saja dengan makna dan
tujuan upacara kematian yang dilakukan oleh umat
Hindu di Bali lainnya. Upacara dilangsungkan
untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang
tuanya. Hutang itu dibayarkan melalui dua tahap,
tahap pertama dibayarkan dengan perilaku yang
baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua
pada waktu orang tua meninggal serangkaian
dengan prilaku ritual dalam bentuk upacara
kematian.
B. UPACARA MEKOTEK
Upacara Mekotek dilaksanakan dengan
tujuanmemohon keselamatan. Upacara yang juga di
kenaldengan istilah ngerebek. Mekotek ini adalah
warisan leluhur, adat budaya dan tradisi yang secara
turun temurun terus dilakukan umat Hindu di Bali.
Pada awalnya pelaksanaan upacara Mekotek
diselenggarakan untuk menyambut armada perang
yang melintas di Munggu yang akan berangkat ke
medan laga, juga penyambutan pasukan saat
mendapat kemenangan perang Blambangan pada
masa kerajaan silam.
Dahulunya upacara ini menggunakan tombak
yang terbuat dari besi. Namun seiring
perkembangan zaman dan untuk menghindari
peserta yang terluka maka sejak tahun 1948 tombak
besi mulai diganti dengan tombak dari bahan kayu
pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan
di pura.

Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek


yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama
lain sehingga menimbulkan bunyi. Perayaan
upacara Mekotek selalu dilakukan oleh warga Desa
Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,
Bali, pada setiap Hari Raya Kuningan. Selain
sebagai simbol kemenangan,Mekotek juga
merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah
menimpa desa puluhan tahun lalu.
Pada saat itu Perayaan upacara Mekotek
dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda 1915
(Ida Bagus Gede Mahadewa) karena takut terjadi
pemberontakan, namun akibat dari larangan tidak
boleh mengadakan upacara Mekotek tersebut
muncul wabah penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan banyak memakan korban jiwa.
Lalu terjadi perundingan dan akhirnya diizinkan
kembali, sejak saat itu tidak pernah ada lagi
bencana.
Upacara ini Makotek ini diikuti sekitar 2000
penduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar turun
ke jalan dari umur 12 tahun hingga 60 tahun.
Mereka mengenakan pakaian adat madya dengan
hanya mengenakan kancut dan udeng batik dan
membawa selonjoran kayu 2 meter yang telah
dikuliti. Pada tengah hari seluruh peserta berkumpul
di pura Dalem Munggu yang memanjang.
Disana dilakukan upacara syukuran bahwa
selama 6 bulan pertanian perkebunan dan segala
usaha penduduk berlangsung dengan baik, setelah
serangkaian upacara berlangsung, keseluruhan
peserta melakukan pawai menuju ke sumber air
yang ada di bagian utara kampung. Warga
kemudian terbagi dalam beberapa kelompok . Di
setiap pertigaan yang dilewati masing masing
kelompok yang terdiri dari 50 orang akan membuat
bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut
hingga berbentuk kerucut lalu mereka berputar,
berjingkrak dengan iringan gamelan.
Pada saat yang tepat seorang yang dianggap
punya nyali sekaligus punya kaul akan mendaki
puncak piramid dan melakukan atraksi entah
mengangkat tongkatnya atau berdiri dengan
mengepalkan tangan, sambil berteriak laksana
panglima perang mengkomamdoi prajuritnya untuk
terus menerjang musuh lalu kemudian ditabrakkan
dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu
yang lain. Sesampai di sumber air, tameng suci,
segala perangkat upacara yang dibawa dari Pura
Dalem diberi tirta air suci dan dibersihkan.
Kemudian mereka melakukan pawai kembali ke
Pura Dalem untuk menyimpan semua perangkat
yang dibawa berkeliling tadi. Ini adalah suatu
aktraksi adat budaya yang saat menarik untuk anda
saksikan,yang hanya ada di Bali pulau Dewata.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Begitu banyak keanekaragaman suku – suku yang tersebar di
Indonesia, dari sabang sampai merauke, dengan berbagai ciri khas
masing – masing, mulai dari bahasa, kebiasaan, tradisi dan lain
sebagainya, walaupun berbeda suku, tradisi kita tetap sama yaitu
Indonesia, tetap satu dan memiliki tujuan yang sama yaitu menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/adat-istiadat.html

https://www.kompasiana.com/zahrasyarifahardiyanti/
5cab7b413ba7f760a9524d24/sejarah-kedatangan-dan-persebaran-nenek-
moyang-bangsa-indonesia

https://pendidikan.co.id/suku/

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia

Anda mungkin juga menyukai