Anda di halaman 1dari 14

STRATEGI PENGINJILAN KONTEKSTUALISASI

TERHADAP KEBUDAYAAN GAWAI DAYAK BAKATI DI


KIUNG

Kokos Kosmanto/390717

Sekolah Tinggi Teologi Tawangmangu

Email: kokoskosmanto10@gmail.com
Abstrak

Strategi penginjilan merupakan hal yang penting diterapkan oleh seorang


misionaris-misionaris saat ini. Dengan kehadiran Injil ditengah-tengah kehidupan
manusia yang mempunyai masing-masing kebudayaan. Dalam kehidupan manusia
sendiri mempunyai kebutuhan masing-masing seperti kebutuhan yang bersifat
sosial, bersifat materi bahkan kebutuhan yang bersifat spiritual. Karena pada
dasarnya manusia merupakan mahluk yang mempunyai kebutuhan dan harus
dipenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Penginjilan terhadap
kebudayaan Gawai Dayak Bakati di Desa Kiung Kecamatan Suti Semarang
Kabupaten Bengkayang. Masing-masing sub suku Dayak mempunyai adat-istiadat
dan budaya urip, sesuai dengan kemasyarakatannya, baik Dayak di Indonesia
maupun Dayak di Kalimantan. Dayak sendiri berasal dari “Daya” yang artinya
hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan.
Suku Dayak sendiri mempunyai ciri khas masing-masing seperti: sejata, budaya,
rumah panjang (rumah adat) dan lain-lain. Suku Dayak sendiri sampai saat ini
masih memegang teguh kepercayaan akan adanya benda-benda gaib seperti:
pohon-pohon besar, danau, patung-patung yang terbuat dari kayu jati dan tanah
liat. Hal tersebut sudah dahulu lahir dari nenek-moyang suku Dayak.

Kata Kunci: Penginjilan, Kontekstualisasi, Kebudayaan, Gawai, Dayak Bakati.

Abstract

An evangelistic strategy is an important thing to be applied by a


missionary today. With the presence of the gospel in the midst of human life who
has each culture. In human life, humans have their own needs, such as social,
material, and even spiritual needs. Because basically humans are creatures who
have needs and must be fulfilled. This study aims to describe the evangelism of the
Gawai Dayak Bakati culture in Kiung Village, Suti District Semarang,
Bengkayang Regency. Each Dayak sub-tribe has of urip, according to its
community, both Dayak in Indonesia and Dayak in Kalimantan. Dayak itself
comes from “Daya” which means upstream, to describe the people who live in
the hinterland or upstream. The Dayak tribe itself has their own characteristics
such as: weapons, culture longhouses (traditional houses) and others. The Dayak
tribe itself still holds true to the existence of supernatural objekct such as: lerge
trees, lakes, statues ,ade of teak wood and clay. It was born from the ancestors of
the Dayak tribe.

Keywords: Evangelism, Contextualization, Culture, Gawai Dayak Bakati.

Pendahuluan

Suku Dayak merupakan salah satu sub bangsa Indonesia, suatu rumpun
etnik besar di daerah Kalimantan. Orang Dayak juga di persepsikan sebagai
komunitas yang memegang teguh adat tradisinya, yang diwariskan secara turun
temurun dengan seluruh upacara ritualnya. Sehingga, sudah merupakan cara hidup
yang ada di suatu daerah/tempat sehingga menciptakan sistem relegi dengan
segala macam tradisinya. Sistem relegi dengan segala tradisionalitasnya ini, sudah
menjelma menjadi konsep-konsep untuk menentukan arti yang dipahami dan
dibangun (konstruk) oleh komunitas itu sendiri.

Saat ini, “budaya” telah menjadi sebuah konsep yang cukup plastis, 1 yang
dapat berarti sesuatu seperti ‘perkumpulan nilai-nilai yang dianut secara luas oleh
sebagian tertentu dari populasi manusia.’ Menurut Kroeber dan C. Kluckhohn
adalah kebudayaan terdiri dari pola-pola, yang eksplisit dan implisit, mengenai
dan bagi tingkah laku yang dilakukan dan disajikan dengan simbol-simbol, yang
terdiri dari pencapaian khusus dari kelompok-kelompok masyarakat, termasuk
perwujudan mereka dalam artefak-artefak; inti dari pokok budaya terdiri dari ide-
ide tradisional dan khususnya nilai-nilai yang melekat pada mereka; pada satu sisi,
sistem-sistem budaya yang dianggap sebagai hasil-hasil dari tindakan, di sisi lain
dianggap sebagai unsur-unsur yang menentukan tindakan selanjutnya.2 Proses
saling mempengaruhi kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang (agama
lama; istilah agama lama untuk menunjuk kepada tradisi dan kepercayaan lokal
yang diwariskan oleh para leluhur setempat) dengan tradisi global (agama baru:
kepercayaan yang dibawa oleh pendatang), dan berpendidikan, namun pandangan
mereka terhadap tradisi lama menjadi bagian dari kehidupan Orang Dayak sebagai
ekspresi hubungan antara manusia dengan Pencipta-nya. Ekspresi hubungan
antara manusia dengan alam dan Tuhan, tidak bermasalah jika hanya dilihat sudut
pandang tradisi. Ekspresi itu menjadi bermasalah, ketika tradisi itu menjadi dilihat
dari sudut pandang agama formal.

1
plastis : perubahan bentuk yang terjadi pada benda secara permanen, walaupun beban yang
berkerja ditiadakan. pengertian elastis ; bila beban ditiadakan, maka benda akan kembali ke bentuk
dan ukuran semula
2
D. A. Carson. Kristus dan Kebudayaan (Momentum: Surabaya, 2018), 1-2
Pembahasan

Tanah Borneo Kalimantan Barat

Tanah Borneo berasal dari nama kesultanan Brunei, yaitu nama yang dipakai
oleh kolonial Inggris dan Belanda untuk menyebut pulau Kalimantan ini secara
keseluruhan, sedangkan nama Kalimantan merupakan nama yang digunakan oleh
penduduk kawasan Timur, pulau ini yang sekarang termasuk wilayah Indonesia.
Wilayah utara pulau ini (Sabah, Brunei, Sarawak). Kalimantan adalah salah satu
dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya orang
Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang
Melayu. Kalimantan Barat (Kalbar) dengan suku Dayak sebagai penduduk aslinya
kaya dengan keanekaragaman seni dan budaya peninggalan masa lalu. Satu dari
kearifan khasanah budaya warisan nenek moyang. Kalimantan Barat provinsi
yang memiliki kebudayaan yang cukup beragam, para pelajarnya pun harus turut
melestarikan kebudayaan Kalimantan Barat agar kebudayaan tersebut tidak punah
dan tidak tergantikan oleh budaya dari negara lain. Pulau Kalimantan memiliki
berbagai tradisi, adat-istiadat, kesenian, tari-tarian dan berbagai macam ritual
yang melekat dan erat dengan kehidupan masyarakat sehari-harinya. Tidak heran
banyak juga orang asing yang berlibur atau yang menetap sementara untuk
melakukan penelitian kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat Suku Dayak
Kalimantan Barat sangat menjunjung tinggi kerukunan, saling menghormati,
tolong-menolong terhadap sesama manusia baik antara Suku Dayak sendiri
maupun Suku bangsa lain, hal ini terlihat dari budaya Dayak yang sangat terkenal
yaitu Budaya Rumah Betang. Rumah Bentang adalah sebuah rumah panjang yang
didalamnya dihuni beberapa orang/keluarga yang hidup rukun damai antara satu
dengan yang lainnya.

Di kalangan orang Dayak sendiri, satu dengan lainnya menumbuh-


kembangkan kebudayaan tersendiri. Namun demikian, satu dengan lainnya
mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai Mandau. Dalam
kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemana
saja sang pemilik pergi Mandau akan selalu dibawa karena berfungsi sebagai
simbol kehormatan atau jati diri. Zaman dahulu Mandau dianggap memiliki unsur
magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti perang,
pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mereka percaya
bahwa orang yang mati karena di-kayau, rohnya akan mendiami Mandau tersebut
sehingga menjadi sakti. Namun, saat ini berfunngsi Mandau sudah berubah yaitu
sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk
berburu, memangkas semak berlukar dan bertani. Perbuataan Mandau jika cermati
secara seksama mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain
keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Selain Mandau suku
Dayak memiliki senjata yang biasa disebut talawang. Talawang adalah alat yang
digunakan oleh Suku Dayak untuk pertahanan diri atau pelindung diri dari
serangan musuh. Selain sebagai perlengkap alat pertahanan diri talawang juga
digunakan sebagai pelengkap tari-tarian. Tarian adat daerah merupakan salah satu
kebudayaan yang harus dilestarikan agar tidak punah. Tarian-tarian ini dapat
memperkaya budaya nasional bangsa Indonesia. Bagaimanapun pemerintah
memiliki peran yang cukup strategis dalam upaya pelestarian kebudayaan daerah
di tanah air. Pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang
pemerintah yang pantas didukung adalah penampilan kebudayaan-kebudayaan
daerah di setiap even-even akbar nasional. Misalnya tari-tarian, lagu daerah, dan
sebagainya. Semua itu harus dilakukan sebagai upaya pengenalan kepada generasi
muda, bahwa budaya yang ditampilkan itu adalah warisan dari leluhurnya. Bukan
berasal dari negara tetangga. Demikian juga upaya-upaya melalui jalur formal
pendidikan. Masyarakat harus memahami dan mengetahui berbagai kebudayaan
daerah yang kita miliki. Pemerintah juga dapat lebih memusatkan perhatian pada
pendidikan muatan lokal.

Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiriterhadap proses alkurturasi


cultural atau perpindahan suatu culture religious bagi masyarakat setempat. Dalam
hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan suku-suku Dayak sendiri. Pada
mulanya orang Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi
dan budayanya masing-masing, kemudian datang pedagang dari gujarab beragama
Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada
masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik
mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari temapt satu ketempat
lainnya (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka
berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar
bagi keuntungannya (sejarah asal usul duku Dayak).3

Sistem kepercayaan orang Dayak Bakati’, sebenarnya pada hakikatnya juga


mengkonstruksi roh yang menciptakan dan menguasai alam semesta. Roh itu suci,
menguasai seluruh lapisan alam semseta, oleh karena tingkat kognisinya sesuai
alam sekitarnya, maka masing-masing benda dianggap ada pemiliknya (patung,
tanah, bukit, dll), selalu ada penunggunya dan diberi nama sesuai dengan
pemahamannya tentang dunia alam semesta. Mitos tentang roh suci pun
dikonstruk untuk memperkuat eksistensi roh suci sebagai sesuatu yang sakral dan
harus dipahami sesuai konteks perkembangan kognisi pengkonstruknya. Sistem
kebudayaan Dayak Bakati ini yang dipercayakan roh yang suci sang percipta dan
penguasa alam semesta yang diberi nama Jubata.

Kebudayaan Gawai Dayak


3
Darmadi. “Dayak Asal-usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo”. Sosial Hamid Horizon: Jurnal
Pendidikan Sosial. Vol. 3, No. 2, 2016.
https://journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/sosial/article/view/376 .
Masyarakat Dayak Bakati merupakan masyarakat yang masih memegang
tradisi leluhur. Salah satunya yaitu dengan dilaksanakan upacara Gawai Dayak.
Karena sudah menjadi suatu kewajiban bagi semua masyarakat Dayak untuk
melakukan upacara tersebut, dengan adanya upacara Gawai Dayak ini bertujuan
untuk melihat bagaimana kerjasama suku Dayak.4 Gawai dayak merupakan satu-
satunya budaya yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak,
termasuk desa Kiung kabupaten Bengkayang. Dengan bertujuan mengumpulkan
masyarakat-masyarakat5 Dayak untuk bersatu. Dalam gawai, selain acara inti
yakni nyangahatn (pembacaan matra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya
tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai
bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Gawai Dayak bukanlah
peristiwa budaya yang murni tradisioanl, baik dilihat dari tempat pelaksanaan
maupun isinya. Kalbar tergolong wilayah yang rentan konflik karena bernuansa
etnis. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai adat istiadat. Tetapi bagi masyarakat
Dayak, Gawai Dayak merupakan peristiwa budaya yang strategis dalam arti
membuka peluang menghadirkan kembali rumah panjang, dan memulihkan
kembali dimensi kemanusiaan yang sebelumnya telah dicabik-cabik, yakni
perasaan sederajat dan keyakinan terhadap budaya sendiri. Gawai Dayak
merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang
diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak
(Sekberkesda) pada tahun 1986. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh
semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak
Kalimantan Barat setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran sehabis
panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Jika
orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan
Bengkayang disebut Maka’ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung
Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutkan dengan Dange.6

Salah satu tantangan yang paling menarik yang dihadapi komunikator


misionari adalah tantangan untuk mengunakan media sederhana yang asli seperti
drama, diagram dan gambar dengan lebih imajinatif dan sering lagi. Media
sederhana khususnya penting di dalam kebudayaan di mana pemikiran relasional
yang konkret lebih berpengaruh dan di mana media mekanikal dan elektronik
lebih sulit untuk diproduksi kembali dan dipahami. Bagi misionari, media yang

4
Eko. “Simbol Mantra dalam Upacara Balenggang Masuarakat Dayak BAkati di Desa Mayak
Kecamatan Seluas Kabupaten Bengakayang” Cakrawala Linguista. e-ISSN: 2597-9779 dan p-
ISSN: 2597-9787. https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/download/37927/75676584272
5
Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara dan kerja sama antara berbagai
kelompok manusia. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama dalam jangka waktu
yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat.
6
https://www.neliti.com/id/publications/11674/gawai-dayak-dan-fanatisme-rumah-panjang-
sebagai-penelusuran-identitas. Diakses 4 September 2020.
sederhana memilki potensi besar dan sebagian besar belum dimanfaatkan oleh
sebagian besar kebudayaan dan arena itu seharusnya tidak diabaikan.

Di dalam kebudayaan yang berbeda-beda, ada perbedaan yang besar


walaupun di antara gereja-gereja yang denominasi yang sama. Kebudayaan-
kebudayaan sudah didefinisikan sebagai isi pikiran yang dibagi bersama oleh
suatu masyarakat. Hal tersebut bias kita mengklaim bahwa kebudayaan-
kebudayaan merupakan ciptaan manusia sendiri.7 Bangsa yang mempunyai
bermacam-macam tradisi kebudayaan memberlakukan gagasan-gagasan umum
mengenai adat-istiadat masyarakat termasuk kebudayaan Gawai Dayak Kiung.

Menurut pendapat Georges Devereux bahwa hampir semua nilai budaya


berkembang dan menopang diri mereka dalam konflik, dalam reaksi kepada
tekanan-tekanan tertentu; sejenis kebudayaan dari hukum ketiga Newton
mengenai gerak, yang menjelaskan untuk setiap tindakan ada reaksi yang setara
dan berlawanan.8

Definisi Strategi Penginjilan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia strategi mempunyai arti rencana


yang cermat mengenai kegiatan saran khusus.9 Dengan mengunakan penginjilan
adalah sautu kewajiban bagi umat Kristen, karena memberitakan injil merupakan
Amanat Agung (Matius 28:28-29). Amanat Agung yang dimaksud di sini adalah
menjadikan semua bangsa murid Tuhan Yesus. Di sini ada tiga langkah untuk
melakukan Amanat Agung : pergi, baptis dan ajar (muridkan). Orang percaya
harus pergi untuk memberitakan Injil. Sasaran pemberitaan Injil adalah semua
mahluk hidup yang ada di bumi.10 Paulus melakukan perintisan pertama ke kota
Anthiokia di Pisida (Kisah Para Rasul 13:14). Dalam perjalanan misinya tersebut
sangatlah tidak mudah dengan sangat berat dan penuh dengan bahasa. Sebab kota
Anthiokia di Pisida mereka pendapatkan penolakan. Dalam penolakan tersebut
mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan kota tesebut dengan
mengebaskan debu kaki kepada para penentangnya sebagai suatu perngatan
bahasa kedua rasul itu tidak mau berhubungan dengan mereka (Kisah Para Rasul
13:50-52). Namun demikian perjalan tidaklah sia-sia dan mereka berhasil
mendirikan jemaat di Anthiokia Pisidia (Kisah Para Rasul 14:21-22).11
7
Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 73.
8
D.A. Carson, Kristus Dan Kebudayaan (Surabaya: Momentum, 2018), 60.
9
Tim Penyususn Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 964
10
GP, Harianto. Komunikasi Dalam Lintas Budaya (Surabaya: Andi, 2012), 38.
11

David Eko Setiawan “Menemukan Sebuah Model Misi Perintisan Jemaat Alkitabiah-Kontekstual
Bagi Sebuah Gereja Lokal Baru” Jurnal Fidei 1 (Sekolah Tinggi Teologi Tawangmangu)
https://www.google.com/search?
safe=strict&sxsrf=ALeKk01EYL0tgRXCEyp07WA7X1VzYdIAAw
Penginjilan dalam Perjanjian Baru. Menurut Darrel W Robinson, dalam
bukunya menjelaskan contoh tentang penginjilan, penginjilan peribadi di beri
contoh oleh Filipus dalam Kisah Para Rasul 8:4-40. 12 Di mana Filipus pada saat
itu dipimpin oleh Roh Kudus untuk meninggalkan pelayanannya di Samaria dan
pergi menuju wilayah padang gurun untuk menemui sida-sida yang merupakan
kepala perbendaharaan Sri Kandake. Kisah Para Rasul 8:26-40, dimana peristiwa
Filipus memenangkan satu jiwa bahkan sampai pada proses pembaptisan. Hal ini
menunjukkan bahwa strategi dalam penginjilan yang sangat berdampak kepada
mereka yang benar-benar belum mengerti banyak mengenai Injil, sehingga
kehadiran Filipus membawa keselamatan kepada sidasida tersebut. penginjilan
dipahami sebagai usaha proklamasi karya keselamatan yang dikerjakan Kristus
dengan adanya tanggapan pribadi, yaitu menerimanya sebagai Tuhan dan
juruselamat.13 Karena keselamatan adalah bersifat universal, semua orang akan
diselamatkan mereka yang mendengar dan memberikan respon hati terhadap Injil.
Alkitaba sendiri menegaskan bahwa keselamatan bersumber dari Allah. Pada
dasarnya manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri , sehingga umat
manusia membutuhkan kasih anugerah keselamatan dari Allah. Jadi hal demikian,
orang yang belum percaya sangat membutuhkan pekabaran Injil.14

Pemberitaan Injil telah dilakukan dari sejak gerakan penginjilan yang


diilakukan oleh Yesus Kristus hingga masa kini. Pemberitaan Injil dilakukan
kepada setiap orang yang belum mengenal Kristus supaya mereka juga bisa
diselamatkan.15 Penginjilan sudah dimulai sejak lama, maka istilah penginjilan
bukanlah hal yang baru bagi setiap orang percaya, jiwa-jiwa dimenangkan dan
mereka mendengar Injil merupakan pesan penting bahwa betapa pentingnya
penginjilan dilaksanakan. Menurut Harming melaporkan pendekatan Penginjilan
yang Yesus Kristus lakukan, khususnya terhadap perempuan Samaria. Penginjilan
yang dipakai oleh Yesus Kristus ditengah-tengah masyarakat yang memiliki
permasalahan yang kompleks di bidang sosial, maupun budaya seperti yang
dihadapi perempuan Samaria dalam teks Injil Yohanes 4:1-42. Yesus hadir dan
memberikan sebuah pemahaman yang baru bagi mereka bahwa hal yang
terpenting ialah mendengar tentang Injil Keselamatan. Pendekatan seperti yang
sudah diteladankan oleh Yesus merupakan sebuah hal yang menarik dan masih
relevan bagi orang-orang percaya yang memiliki kerinduan dan beban yang besar
terhadap pemberitaan Injil dan memenangkan jiwa.16
%3A1600943506353&ei=knVsX6aVFYKe9QOmvrToDg&q. Diakses pada tanggal 12 September
2020.
12
Darrel W. Robinson, Total Church Life, ed. Lembaga Literatur Baptis (Bandung, 2004), 296.
13
Thomy J. Matakupan. Prinsip-Prinsip Penginjilan (Surabaya: Momentum, 2002), 5.
14
David Eko Setiawan “Konsep Keselamatan Dalam Universalisme Ditinjai Dari Soteriologi
Kristen: Suatu Refleksi Pastoral” Fidei; Junral, Vol.1 no.2, 2018
https://media.neliti.com/media/publications/270031-refleksi-pastoral-terhadap-konsep-kesela-
a013442b. Diakses tanggal 20 September 2020
15
Mark Dever. Sembilan Tanda Gereja Yang Sehat (Surabaya: Momentum, 2010), 87–88.
16
Harming. “Penginjilan Yesus Dalam Injil Yohanes 4:1-42,” Jurnal Evangelikal 1 (2017): 50–58.
Suku Dayak sangat penting untuk di jangkau oleh sebab suku tersebut belum
mengenal dan Mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat
sebagaimana tercatat dalam Yohanes 14:6, Kata Yesus kepadanya: “Aklah jalan
dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa,
kalau tidak melalui Aku.” Dan dalam Roma 10:9-10 “Sebab jika kamu mengaku
dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, maka kamu akan diselamatkan.
Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkanm dan dengan mulut orang
mengaku dan diselamatkan”. Mereka mengimani hanya satu Jubata (Allah leluhur
yang nenek moyang). Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sebab yang
mereka sembah ialah ilah-ilah roh nenek moyang. Dengan kata lain, mereka hanya
mendapatkan pernyataan umum yang dirasakan secara universal. Kata pernyataan
menunjuk pada tindakan Allah untuk membuat diri-Nya sendiri diketahui dan
dikenal oleh manusia. Pernyataan umum membahas mengenai Allah pencipta
langit dan bumi, tentang manusia sebagai ciptan Allah, tentang dosa sebagai
persoalan mendasar manusia, atau tentang neraka sebagai tempat pengukuman
kekal dampak dosa, relevan bagi semua orang, yang mana semua manusia
memiliki kesadaran bahwa Allah ada. Tetapi, pernyataan khusus yang menyatakan
Allah sebagai yang memperbaiki dan menyempurnakan segala sesuatu tidaklah
mereka dapatkan.

Cara-cara memberitakan Injil

Amanat agung merupakan bagian dari kehidupan orang Kristen. Seorang


Kristen dalam dalam pengertian yang mendasar, kekristenan yang diulai dari
panggilan pertobatan hingga pada proses hidup baru, harus memahami dirinya
sebagai agen dari misi Allah yang diekspresikan dalam seruan amanat agung.
Artinya, misi amanat agung tidak dilihat lagi sebagai tugas eksklusif bagi
sebagian orang Kristen yang memiliki kerinduan atau panggilan aka misi tersebut.
tugas ini bagian dari panggilan kekristenan setiap orang Kristen, bahwa mereka
harus menjadi saksi garam, terang, sehingga membawa perang lain kepada iman
dalam Kristus. Begitu juga jika amanat agung dipahami sebagai sebuah panggilan
khusus bagi orang-orang tertentu, maka hanya orang-orang yang memiliki
panggilan itu saja yang akan melakukannya. Padahal amanat agung yang umum
dipahami dalam Matius 28:19-20 tidak diberikan hanya kepada 11 murid atau
rasul yang tersisa, melainkan semua orang yang mengikuti Yesus sebelum Ia
terangkat ke surga; Kisah Para Rasul mengindikasikan 120 orang. Namun, masih
saja ada orang Kristen yang beranggapan bahwa itu adalah tugas hamba Tuhan.
Misi amanat agung dilakukan untuk menegaskan tentang pentingnya gereja
mengobarkan kembali api misi yang seakan redup di masa kini. Tantangan dalam
dunia misi selalu berubah sehingga memberikan kesan ada eskalasi tantangan dari
hari ke hari, bahkan dari masa ke masa. Pemahaman tersebut tidak sepenuhnya
salah, karena makin ke sini dan ke depannya tantangan misi akan terus meningkat.
Prinsip yang tidak boleh diabaikan adanya perubahan tantangan yang mengikuti
perubahan zamannya.17

Menghadirkan Injil kedalam budaya Gawai Dayak Kalimantan Barat, perlu


memakai metode yang benar, dan metode yang benar dapat diihat selain dari pada
Yesus, ada Paulus yang memakai pendekataan kontekstualisasi yaitu pendekatan
kepada budaya di Listra (Kis. 14:8-20). Istilah kontekstualisasi baru muncul pada
tahun 1970-an, namun ide dasarnya dapat ditelusuri sejak era Pencerahan. Yang
dimuali oleh seorang tokoh yang bernama Immanuel Kant (1724-1804) dalam
upaya menyelaraskan rasionalisme dan empirisme, melahirkan kekristenan yang
hanya menekankan elemen perikemanusiaan dan etika.18 Paulus sendiri di dalam
Perjanjian Baru merupakan salah satu teolog terbesar dengan mempunyai
pemikiran yang sangat teologis. Sehingga dengan pemikiran Paulus menghasilkan
tentang bagaimana signifikansi antara salib dengan kehidupan manusia. Hal yang
perlu diketahui, bahwa Paulus sendiri adalah Sang Misionaris yang membagikan
misi dalam lima belas periode. Hal demikian dapat kita lihat pemberitaan Injil
sudah dari dahulu dilakukan dalam Perjanjian Baru. 19 Dalam penyampaian Injil, ia
memakai sikap dan metode kontekstualisasi dalam mengkemas berita Injil yang ia
sampaikan. Sebelumnya, ia mengjangkau Athena (Kis. 17) dan menyadari bahwa
komunitas itu bukanlah orang-orang yang mempunyai Taurat (seperti Yahudi) dan
yang tidak mempercayai Allah yang monoteisme maka ia terlebih dahulu
“menggiring” pemahaman orang-orang Athena kepada teologi naturalism.
Pemberitaannya berangkat dari konsep “Allah yang tidak kamu kenal.”dari hal
tersebut, ia menyeberangkan konsep tersebut kepada Allah yang tidak diciptakan
oleh tangan manusia dan yang tidak tinggal dalam batu dan kayu. Kemudian di
Listra (Kis. 14). Dalam hal ini, penduduk Listra telah menafsirkan mujizat
kesembuhan yang terjadi setelah salah satu khotbah Paulus sebagai manifestasi
kuasa ilahi yang menunjukkan bahwa Barnabas dan Paulus adalah dewa yang
menyamar. Karena pada konteks kepercayaan kebudayaan daerah tersebut ialah
dewa Zeus. Oleh sebab itu, mereka tidak bisa dengan mudah membedakan antara
dewa dan manusia. Sehingga Paulus harus menjelaskan kepada penduduk yang
ada di Listra tentang Allah yang benar dan yang hidup.

Jadi, Paulus tidak berhenti pada teologi naturalism atau teologi universalisme
dan tidak berhenti pada teologi Allah yang universalisme dan tidak berhenti pada
teologi Alah yang universal, namun kenyataannya ia kemudian membawakannya

17
Susanto Dwiraharjo, “Kajian Eksegetikal Amat Agung Menurut Matius 28:18-20” Jurnal
Teologi Gracia Deo 1, no. 2, 2019, http://sttbaptisjkt.ac.id/e-journal/index.php/graciadeo.
18
Paul Enns, The Moody Handbook of The Theology (Malang: Literatur SAAT, 2007), 191.
19
David Eko Setiawan”Signifikansi Salib Bagi Kehidupan Manusia dalam Teologi Paulus” Fidei:
Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, Vol.2 no.2, 2019 http://www.stt-tawangmangu.ac.id/e-
journal/index.php/fidei/article/download/73/. Diakses pada tanggal 17 September 2020
lagi kepada pernyataan Allah yang khusus di dalam Yesus Krisus. Jadi rangkaian
pendekataan dalam pemberitaannya di kota Listra: “Tuhan” tak berpribadi –
Tuhan yang hidup (Allah yang universal) – Tuhan yang berinkarnasi (pernyataan
khusus di dalam Yesus Kristus).20

1. Memahami Kebudayaan Bahasa

Bahasa adalah salah satu prestasi puncak yang dicapai oleh umat manusia.
Kita memakai bahasa baik atau pun lisan. Bahasa merupakan alat komunikasi
yang sangat berperan penting di setiap umat manusia. Jika dibandingkan dengan
bagian dunia lainnya, hal ini terbukti di Asia yng mempunyai banyak macam
bahasa dan dialek.21 Di Desa Kiung, Kabupaten Bengkayang mengunakan bahasa
Dayak Bakati Kiung. Bahasa Dayak Bakati Kiung merupakan alat komunikasi
dalam keluarga dan antara masyarakat Dayak Bakati Kiung, dan sebagai
pengungkap gagasan pikiran dan kehendak penuturnya. Fungsi lainnya, bahasa
Dayak Bakati Kiung merupakan indentias dan kebanggaan masyarakat Kecamatan
Suti Semarang Kabupaten Bengkayang. Hal yang penting dalam masyarakat
Dayak Bakati Kiung dan masyarakat Kecamatan Suti Semarang, maka hal ini
sangat perlu diperhatikan oleh misionaris-misionaris untuk melakukan penilitian
dengan pendokumentasian bahasa dilakukan secara bertahap. Hal ini menjadi
suatu tahap dengan pendekatan memahami unsur-unsur kebudayaan termasuk
belajar memahami tentang bahasa Dayak Bakati Kiung.

2. Memahami Kebudayaan Dayak

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, budaya memiliki arti: pikiran, aka budi, adat
istiadat, menyelidiki bahasa, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah
berkembang (beradab, maju), sesuatu yang sudah menjadikan kebiasaan yang
sukar diubah.22 Willian, berpendapat bahwa “Kebudayaan adalah “pertunjukkan”
dari keyakinan dan nilai-nilai utama seseorang, atau sesuatu cara konkrit untuk
“mementaskan” agama. Setiap orang adalah aktor yang memakai kostum
kebudayaan yang sejarah, dan harus pula berada dalam adegan yang dikondisikan
oleh budaya dan sejarah. Kebudayaan adalah lingkungan dimana seseorang
menjadi aktor untuk memerankan adegan ketika berada di atas pentas.
Lingkungan kebudayaan memberikan pengaruh dan mengkondisikan apa yang
dilihat, dikatakan dan dilakukan aktor. Kebudayaan akan menjadi berbagai macam
perkakas apabila dunia diumpamakan sebagai panggung.23 Menurut pandangan
Budiono Herusatoto bahwa istilah “kebudayaan” berasal dari bahasa Jawa, yaitu
budi (akal budi, pikiran) dan daya (kekuatan). Kedua kekuatan tersebut disatukan
secara jarwa dhosok (dua kata dipadatkan menjadi kata dengan maksud
20
J.H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 778.
21
Daniel J. Adams. Teologi Lintas Budaya (BPK: Gunung Mulia, 1993), 44
22
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikbud Balai Pustaka, 1997), 149
23
John D. and Ed. D.A. Carson, God and Culture (English: The Paternoster, 1947), 2.
mempersatukan arti kata ke dalam satu arti kata baru), sehingga memiliki arti:
kebudayaan adalah kekuatan batin dalam upaya menuju kebaikan atau kesadaran
batin menuju kebaikan.24

Kebudayaan mempunyai nilai sendiri menurut Kluckhon. Nilai budaya terdiri


dari konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebagai besar warga mengenai hal-
hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu
masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai
budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhi dalam menentukan alternatif, alat,
dan tujuan pembuatan yang tersedia. Suatu nilai apabila sudah membudaya di
dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau
petunjuk di dalam tingkah-laku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya budaya gotong-royong, budaya malas, dan lain-lain. jadi, secara
universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan
tertentu. Meskipun Orang Dayak sudah terbuka pada perkembangan dari pihak
luar dan banyak di antara mereka sudah berpendidikan, namun pandangan mereka
terhadap tradisi lama tetap menjadi bagian dari kehidupan Orang Dayak sebagai
ekspresi hubungan antara manusia dengan Pencipta-nya. Ekpresi hubungan antara
manusia dengan alam dan Tuhan, tidak bermasalah jika hanya dilihat dari sudut
pandang tradisi. Ekpresi itu menjadi bermasalah, ketika tradisi itu dilihat dari
sudut pandang agama formal (agama tradisioanl, agama yang diakui oleh Negara).
Satu sisi, perkembangan agama (tradisi global) menimbulkan pengaruh yang
cukup kuat terhadap hidup Orang Dayak. Sisi lain, tradisi lokal juga berpengaruh
cukup kuat pula terhadap hidup hidup Orang Dayak. Tarik menarik dari kedua
tradisi ini, membuat Orang Dayak harus mempunyai strategi khas untuk dapat
melaksanakan ke dua tradisi itu. Strategi tersebut mungkin dapat berupa dialektika
antara tradisi lokal dan tradisi global sehingga muncul proses akulturasi,
inkulturasi, sinkretisasi atau pun sinkronisasi.25

Suku Dayak sangat mencintai kebudayaan mereka sehingga apapun yang


mereka lakukan berdasarkan adat istiadat budaya Dayak yang berlandaskan aturan
kebudayaannya. Oleh sebab itu, kita perlu memulai persahabatan dengan
membahas soal-soal digemari oleh orang Dayak yaitu budayanya termasuk
Gawai Dayak. Kita dapat memakai pantun dalam bahasa Dayak, berpakaian
seperti mereka, mengikuti kegiataan budaya mereka yang masih sesuai dengan
Firman Tuhan. Hal ini dapat diketahui ketika kita berada bersama-sama dengan
mereka dengan melakukan penyesuaian diri (pendekatan kontekstualisasi).

24
J. Verkuyl, Etika Kristen Kebudayaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 14.
25
Donatianus. “Dailektika Tradisi pada Komunitas Dayak Bakati Desa Sebunga Kabupaten
Sambas”Proyeksi: Jurnal Sosial dan Humaniora, Vol.23. no. 2, 2018.
https://fisipuntan.org/jurnal/index.php/proyeksi/article/viewFile/1744/1595
Respon mereka akan menerima kita saat kita memulai dengan memahami pikiran
dan kebutuhan kehidupan mereka.

Penyesuaian diri dengan kebudayaan masyarakat yang belum diselamatkan


itu perlu didasarkan atas pemikiran yang sangat menyakini bahwa didalam Kristus
Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti,hanya iman
yang bekerja oleh kasih (Galatia 5:6). Dengan kata lain, Pemberita Injil harus mati
terhadap keangkuhanya sendiri untuk menjadi serupa dengan kelompok
masyarakat yang belum bisa diselamatkan itu. hal itu akan terlihat dalam
upayanya untuk mengubah kebiasaaan-kebiasaannya sendiri supaya mengikuti
norma-norma dari kelompok masyarakat yang terabaikan. Ia sengaja mengenakan
pakaian yang dianggap pantas oleh mereka, berbicara dalam bahasa mereka, dan
menyantap makanan mereka. sehingga hal demikian akan menghasilkan hidup
baru dan memiliki minat-minat yang baru, antara lain: kepedulian akan firman
Allah, umat Allah, pelayanan kepada Allah dan kesanggupan menolak dosa. Hal
demikian disebabkan oleh kuasa Roh Kudus pada sifat orang tersebut. Dengan
Roh Kudus, orang yang percaya akan terus-menerus diperbaharui dan akan
menghasikan kehidupan baru secara terus menerus26.

3. Kontekstualisasi Sosial

Injil sangat memberikan dampak yang positif bagi setiap manusia yang
mempercayainya. Injil memberikan dampak tranformasi spiritual dan sosial.
Dengan kehadiran Injil dditengah-tengah kehidupan manusia sangatlah menarik.
Manusia dengan segala kompleksitas kebutuhannya ternyata membutuhkan
sesuatu yang dapat memberikan jawaban yang utuh (sempurna). Secara tidak
sadar manusia yang mendengarkan Injil sudah memberikan dampak positif bagi
kehidupan spiritual dan sosialnya. Selain memiliki kebutuhan spiritual, manusia
juga sangat membutuhkan kebutuhan sosial, kedual hal tersebut tidak dapat
dibutuhkan. Karena kehidupan yang baik adalah dengan hubungan secara
horizontal dan vertikal seimbang.27

Pendekatan lintas budaya ialah suatu keadaan dimana sebuah kebudayaan


dapat dilalui sehingga terjadi akulturasi budaya akibat dari pengaruh perlintasan
busaya tersebut. dengan memakai pendekatan sosial, seseorang dapat
mengindentifikasi diri dengan masyarakat yang dilayani. Untuk itu, seorang
misionari perlu menguasai bahasa mereka, menenggelamkan diri dalam
kebudayaan mereka, belajar berpikir seperti mereka berpikir, berperasaan dan
berperilaku seperti mereka juga. Tidak boleh ada sedikit pun jarak antara gaya
26
David Eko Setiawan. “Kelahiran Baru Di Dalam Kristus Sebagai Titik Awal Pendidikan
Karakter Unggul” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, Vol.3 no. 2,
2019 https://www.google.com/search?q. Diakses 17 September 2020.
27
David Eko Setiawan “Dampak Injil Bagi Tranformasi Spiritual dan Sosial”, Jurnal: Teologi daan
Pendiddikan Kontekstual, Vol. 2, No. 1, 2019 http://jurnalbia.com/index.php/bia/article/download/
78/. Diakses 25 September 2020.
hidup misionaris dan gaya hidup masyarakat di sekeliling. Untuk itu kita harus
banyak meluangkan waktu bersama mereka dengan mendengarkan dan
mempelajari bahasa mereka dan budaya serta membantu mereka dalam kegiatan
keseharian mereka jika situasi memungkinkan.28

Kesimpulan

Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak


Kalimantan Barat yang digelar rutin setiap tahun di Kiung pada saat setiap bulan
Mei. Beberapa hal yang mendukung pelaksanaan Gawai Dayak, antara lain, sepirit
kebersamaan kelompok telah dipandang sebagai tradisi dan dukungan masyarakat
budaya. Ditengah-tengah masyarakat Kalimantan Barat Pluralistik, Gawai Dayak
diharapkan menjadi media yang potensial untuk menumbuhkan sensitivitas dan
penghargaan terhadap perbedaan, khususnya perbedaan seni dan budaya.
Sensitivitas dan penghargaan terhadap perbedaan ini penting karena penyangkalan
terhadap keragaman kepentingan sebagaimana muncul dari keberagamaan budaya
merupakan tindakan penindasan yang menghasilkan masyarakat yang tidak
terbiasa dengan perbedaan dan rawan konflik. Di sini kita bisa melihat bagaimana
Injil dimasukkan di tengah-tengah budaya Gawai Dayak, karena hal ini kita bisa
memanfaatkan dengan kebersamaan yang telah dilaksanakan oleh Kalimantan
Barat. Dan kita harus mempunyai konsep-konsep bagaimana untuk
mengkontekstualisasikan Injiil terhadap kebudayaan. Dan , dalam membawa Injil
ke dalam budaya Gawai Dayak kita terlebih dahulu “menjadi seperti” (1 Korintus
9:19-22) dimana kita dapat bersosialiasi dengan mereka, menjadikan status kita itu
adalah menjadi pelajar dari budaya setempat serta memakai pemberitaan Injil
dengan kontes budaya mereka lewat kehidupan kita secara langsung, penggunaan
media yang membuka paradigma mereka, dan membawa mereka mengerti dengan
kehidupan yang sesungguhnya di dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain, cara kita
membawa Allah ke dalam semua percakapan kita dengan cara yang alami. Untuk
itulah seorang pemberita Injil perlu memperkaya dirinya dengan mempelajari cara
komunikasi lisan yang efektif, mengunakan sarana penginjilan sesuai budaya
masyarakat setempat.

Daftar pustaka
1. Buku
Adams, Daniel J. Teologi Lintas Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Bavinck, J.H. Sejarah Kerajaan Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

28
Manahan U. Simanjuntak, Diktat Misi Lintas Budaya STT Real Batam (Batam: STT Real, 2014),
25.
Carson, D.A. Kristus Dan Kebudayaan. Surabaya: Momentum, 2018.
Carson, John D. and Ed. D.A. God and Culture. English: The Paternoster, 1947.
Dever, Mark. Sembilan Tanda Gereja Yang Sehat. Surabaya: Momentum, 2010.
Enns, Paul. The Moody Handbook of The Theology. Malang: Literatur SAAT,
2007.
GP, Harianto. Komunikasi Dalam Lintas Budaya. Surabaya: Andi, 2012.
Harming. “Penginjilan Yesus Dalam Injil Yohanes 4:1-42.” Jurnal Evangelikal 1
(2017).
Matakupan, Thomy J. Prinsip-Prinsip Penginjilan. Surabaya: Momentum, 2002.
Robinson, Darrel W. Total Church Life. Edited by Lembaga Literatur Baptis.
Bandung, 2004.
Simanjuntak, Manahan U. Diktat Misi Lintas Budaya STT Real Batam. Batam:
STT Real, 2014.
Verkuyl, J. Etika Kristen Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
2. Jurnal
Setiawan, David Eko., “Menemukan Sebuah Model Misi Perintisan Jemaat
Alkitabiah-Kontekstual Bagi Sebuah Gereja Lokal Baru” Jurnal Fidei 1, 2018.
Setiawan, David Eko., “Konsep Keselamatan Dalam Universalisme Ditinjai Dari
Soteriologi Kristen: Suatu Refleksi Pastoral” Fidei; Junral, Vol.1 no.2, 2018.
Setiawan, David Eko., ”Signifikansi Salib Bagi Kehidupan Manusia dalam
Teologi Paulus” Fidei: Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, Vol.2 no.2, 2019.
Setiawan, David Eko., “Kelahiran Baru Di Dalam Kristus Sebagai Titik Awal
Pendidikan Karakter Unggul” Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan
Warga Jemaat, Vol.3 no. 2, 2019.
Setiawan, David Eko., “Dampak Injil Bagi Tranformasi Spiritual dan Sosial”,
Jurnal: Teologi daan Pendiddikan Kontekstual, Vol. 2, No. 1, 2019.
Donatianus. “Dailektika Tradisi pada Komunitas Dayak Bakati Desa Sebunga
Kabupaten Sambas” Proyeksi: Jurnal Sosial dan Humaniora, Vol.23. no. 2, 2018.
Hamid Darmadi. “Dayak Asal-usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo”. Sosial
Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial. Vol. 3, No. 2, 2016.
Eko. “Simbol Mantra dalam Upacara Balenggang Masuarakat Dayak BAkati di
Desa Mayak Kecamatan Seluas Kabupaten Bengakayang” Cakrawala Linguista.
e-ISSN: 2597-9779 dan p-ISSN: 2597-9787.
3. Kamus Bahasa Indonesia

Tim Penyususn Kamus., Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus


Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta, 1995.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud Balai Pustaka: Jakarta, 1997.

Anda mungkin juga menyukai