Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”
menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika,
kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang
bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi
bermacam-macam.
Dalam tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan
informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara
daur hidup, konsep kanda pat rate.
3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara
saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client
(Balipos terbitan 4 September 2003)
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari
yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis.
DESKRIPSI NILAI-NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA
2. JAMBI (Jambi)
Nilai-nilai Budaya
Pengetahuan : Mereka juga mengembangkan alat dan teknologi sendiri untuk menangkap ikan
dan berburu, misalnya tuba akar, taiman, ambat, tangkul, kacar, sukam, lukah, rawe, cemetik,
takalak, dan sebagainya.
Sosial : Orang Jambi sering mengadakan upacara gotong royong pada saat panen, yang
disebut katalang-petang. Sore diperuntukkan orang dewasa, dan malam harinya diperuntukkan
muda-mudi dengan berdendang, bersenandung, menampilkan tari rangguk, tari selampit,
berdzikir, dan lain-lain. Kelompok kekerabatan yang sering ditemui adalah keluarga inti
monogami. Sistem yang dianut dari garis keturunannya adalah bilateral yaitu dari garis laki-laki
atau garis perempuan.
Seni : Orang Jambi mengembangkan berbagai jenis tarian dan seni ukir yang bermotifkan bunga
jeruk, daun sulur, trisula layar, relung kangkung, bunga matahari, dan motif keris. Dan ada juga
dalam bentuk kerajinan rakyat, misalnya tenunan songket, kain batik, sulaman, dll.
3. IBAN (Kalimantan Barat)
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Dalam satu keluarga tinggal dalam satu rumah yang disebut bilek.Dalam satu bilek
adalah satu kesatuan produksi dalam berladang, melakukan upacara lingkaran hidup dan lain-
lain. Satu bilek selalu ada sejumlah hak dan kewajiban dan berlaku untuk semua warga bilek.
Seni : Orang Iban kreatif, inovatif, prestasi terlihat dari hasil kerajinannya. Misalnya unsur
busana yang terdiri dari tutup kepala, kalung pria dan wanita (manikasa), gelang tangan wanita
(balukun), ikat pinggang wanita (sumpai rangkai), baju untuk wanita (baju burik), kain untuk
wanita (kain kabo manik), semua itu termotif dengan manik-manik yang penuh warna.
Ekonomi : Orang Iban ikhtiar dengan cara mengadakan upacara sehabis panen dengan rasa
gembira dalam kemakmuran. Upacara ini bertujuan untuk mengucap syukur dari hasil panen
yang sangat memuaskan dan memberi keberkahan dalam kehidupan suku Iban.
Religi : Dalam segi kepercayaan, secara keasliannya orang Iban meyakini adanya makhluk gaib
penghuni alam semesta. Hal ini tampak dari berbagai upacara yang diadakan. Keyakinan itu juga
terlihat dari penyerahan saji-sajian ke tempat-tempat keramat dan pemeliharaan terhadap benda-
benda sakti, misalnya kayu besar, batu, dan sebagainya. Walaupun sekarang orang Iban
mayoritas menganut agama kristen tetapi kepercayaan asli tetap berkembang di masyarakat.
6. TIDORE (Maluku)
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Orang Tidore dalam pengelolahan tanah dilakukan dengan cara bergotong-royong yang
terorganisasi yakni disebut gololi. Gololi dilatar belakangi oleh nilai-nilai yang berakar dalam
masyarakat yaitu suka menolong orang lain (liyan), tolong menolong (madigali) yang
bersimbolkan botol. Dimana dibalik simbol itu tersirat makna identitas, solidaritas, tanggung
jawab, ekonomis, spiritual, dan disiplin.
Religi : Di Tidore ada rutinitas pengajian malam jumat dalam wadah kelompok yang
disebut kampula. Pada kamis sore masyarakat disana sudah siap-siap pengajian, ada pula pergi
ziarah ke makam keluarga. Kegiatan mencari nafkah dihentikan saat itu. Ada pula tradisi di
Tidore yakni tagi kie, tagi jere, tagi goya, shalawi, dan salai jin.
7. HALMAHERA (Maluku)
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Kehadiran bangunan megalit sering ada hubungannya dengan roh nenek moyang yang
mempunyai pengaruh kuat terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Kegiatan
gotong royong yang diciptakan oleh nenek moyang itu terwarisi sampai sekarang. Pada
lingkungan keluarga biasanya ada hubungan kerja sama sebagai tanggung jawab. Misalnya
kerjasama dalam mempersiapkan upacara perkawinan anggota keluarga mereka, upacara
pemakaman, dan acara-acara keluarga lainnya. Ada pula dalam lingkungan masyarakat dibentuk
kelompok kerja yang disebut rion-rion. Kelompok ini biasanya setiap anggota mempunyai tujuan
yang sama, misalnya berkebun, mengolah hasil pertanian, dan membangun rumah para anggota
kelompok tersebut. Masyarakat Halmahera tepatnya di bagian utara memiliki budaya yang sudah
ada ratusan tahun dan sampai saat ini masih terjaga kelestariannya sebagai nilai-nilai budaya
yang filosofis.
Religi : Mayoritas orang Halmahera beragama islam. Seluruh bidang kehidupan, apakah itu di
bidang pertaniaan, perburuan, nelayan, kelahiran anak, hubungan dengan sesama manusia, dan
sikap manusia terhadap alam sekitar kehidupan, selalu dihayatinya dalam kaitannya dengan
kesadaran religiositas mereka. Sayang sekali kesadaran ini kurang diapresiasi. Malahan setelah
agama Kristen masuk di Halmahera justru kesadaran religiositas itu makin merosot. Malahan
dicap sebagai wujud kekafiran. Padahal kesadaran religiositas yang hidup di kalangan
masyarakyat Halmahera itu memiliki daya bentuk yang kuat, yang mampu membentuk kepekaan
seseorang terhadap kehendaki Yang Ilahi bagi hidupnya, maupun membentuk sikap dan perilaku
seseorang dalam mensikapi sesamanya dan alam sekitarnya.
11. BALI
Nilai-nilai Budaya
Sosial : Ada lapisan sosial yang berlaku di Bali yang sering disebut kasta, yaitu Brahmana,
Ksatria, weysya, dan sudra. Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih
disebut kuren. Dimana mereka dalam satu kesatuan ekonomi atau makan dalam satu dapur.
Masyarakat Bali juga mengenal klen yang disebut tunggal dadia.
Seni : Bali selalu menunjukkan ritual dan keindahan ke dalam bentuk seni. Seni murni berunsur
sacral dan sub unsur kesenian itu adalah seni rupa (patung, lukisan), seni suara (gamelan tua,
gamelan madia dan gamelan baru), seni tari (tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan), seni
sastra (pewayangan), dan seni drama (gong).
Ekonomi : Sebagian besar orang Bali dengan melakukan kegiatan bertani dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Ada juga yang lain yaitu bercocok tanam, berkebun yang biasanya
menghasilkan kelapa, kopi, cengkeh, kapok, jambu mete, dan tembakau. Ada juga mata
pencaharian yang lain adalah industry rumah tangga, nelayan dan perdagangan. Masyarakat Bali
sangat makmur dilihat dari perkembangan pesat pariwisata di Bali.
Religi : Orang Bali umumnya memeluk agama Hindu yang berpangkal pada kitab suci Wedha,
yang merupakan wahyu dari Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada tempat pemujaan
terhadap Hyang Widhi termasuk penjelmaannya yang disebut pura.
Sosial : Carok adalah cara untuk menyelesaikan masalah antara orang yang satu dengan orang
yang lain dengan syarat masalah tersebutmenyangkut harga diri seseorang yakni perempuan dan
harta atau tahta,yang dilakukan dengan cara saling bunuh. Ini menunjukkan orang Madura sangat
menjunjung tinggi nilai harga diri.
Kesenian : Kerapan sapi adalah salah satu kesenian orang Madura yang sekarang
tujuannya tidak lagi sebagai upacara rasa syukur melainkan untuk lomba, tetapi kerapan sapi
tetap menjadi wadah dalam perkumpulan orang-orang Madura. Dari kemenangan lomba itu
sendiri menimbulkan kepuasan dan untuk mengangkat derajat di mata masyarakat
lingkungannya.
1. Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi
atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi, studi mengenai bahasa disebut
dengan istilah antropologi linguistik. Menurut Keesing, kemampuan manusia dalam membangun
tradisi budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara
simbolik, dan mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa.
Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang penting dalam analisa kebudayaan manusia.
2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup dan
teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Sistem
pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai
unsur yang digunakan dalam kehidupannya
Masyarakat pedesaan yang hidup dari bertani akan memiliki sistem kalender pertanian
tradisional yang disebut system pranatamangsa yang sejak dahulu telah digunakan oleh nenek
moyang untuk menjalankan aktivitas pertaniannya. Menurut Marsono, pranatamangsa dalam
masyarakat Jawa sudah digunakan sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sistem pranatamangsa
digunakan untuk menentukan kaitan antara tingkat curah hujan dengan kemarau. Melalui sistem
ini para petani akan mengetahui kapan saat mulai mengolah tanah, saat menanam, dan saat
memanen hasil pertaniannya karena semua aktivitas pertaniannya didasarkan pada siklus
peristiwa alam. Sedangkan Masyarakat daerah pesisir pantai yang bekerja sebagai nelayan
menggantungkan hidupnya dari laut sehingga mereka harus mengetahui kondisi laut untuk
menentukan saat yang baik untuk menangkap ikan di laut. Pengetahuan tentang kondisi laut
tersebut diperoleh melalui tanda-tanda atau letak gugusan bintang di langit.
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi social merupakan usaha antropologi
untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok sosial.
Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan
aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup dan
bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu
keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke dalam
tingkatantingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi social dalam kehidupannya.
Kekerabatan berkaitan dengan pengertian tentang perkawinan dalam suatu masyarakat karena
perkawinan merupakan inti atau dasar pembentukan suatu komunitas atau organisasi sosial.
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu
membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para antropolog dalam memahami
kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-
benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih
sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan
hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting
etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara mata
pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya. Sistem ekonomi pada masyarakat tradisional, antara lain
a. berburu dan meramu;
b. beternak;
c. bercocok tanam di ladang;
d. menangkap ikan;
e. bercocok tanam menetap dengan sistem irigasi.
Pada saat ini hanya sedikit sistem mata pencaharian atau ekonomi suatu masyarakat yang
berbasiskan pada sektor pertanian. Artinya, pengelolaan sumber daya alam secara langsung
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam sektor pertanian hanya bisa ditemukan di
daerah pedesaan yang relatif belum terpengaruh oleh arus modernisasi.
6. Sistem Religi
Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat
adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau
supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa manusia itu melakukan
berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan
supranatural tersebut.
Dalam usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab lahirnya asal
mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa di luar Eropa
adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman
dahulu ketika kebudayaan
mereka masih primitif.
7. Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi mengenai aktivitas
kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut
berisi mengenai benda-benda atau artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan
hiasan. Penulisan etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah
pada teknikteknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi etnografi awal
tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni drama dalam suatu
masyarakat.
Berdasarkan jenisnya, seni rupa terdiri atas seni patung, seni relief, seni ukir, seni lukis, dan seni
rias. Seni musik terdiri atas seni vokal dan instrumental, sedangkan seni sastra terdiri atas prosa
dan puisi. Selain itu, terdapat seni gerak dan seni tari, yakni seni yang dapat ditangkap melalui
indera pendengaran maupun penglihatan. Jenis seni tradisional adalah wayang, ketoprak, tari,
ludruk, dan lenong. Sedangkan seni modern adalah film, lagu, dan koreografi