Anda di halaman 1dari 7

MENGUNGKAP NILAI-NILAI PANCASILA PADA TRADISI LARUNG SESAJI GUNUNG KELUD

Allyssa Forest
205080100111025
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya

ABSTRAK
Pancasila merupakan dasar negara dan juga sebagai falsafah hidup yang mempersatukan
bangsa. Nilai-nilai yang terkandung harus diamalkan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Hal ini dikarenakan nilai-nilai Pancasila dirumuskan dari adat istiadat,
budaya, dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Bentuk penerapan nilai-nilai pancasila juga
berbeda-beda salah satunya adalah budaya kearifkan lokal seperti upacara larung sesaji,
tarian, baju adat, dan lain-lain. Upacara larung sesaji yang diadakan di Kediri adalah larung
sesaji gunung kelud yang merupakan salah satu tradisi yang masih dipertahankan oleh
masyarakat di sekitar Kabupaten Ngancar di antaranya Desa Sugihwaras, Ngancar, Sempu,
Babadan, Kunjang, Jagul, Bedali, dan sekitarnya. Tradisi ini merupakan wujud rasa syukur
pada Tuhan yang Maha Esa karena telah memberi kehidupan yang damai, menghindari
masyarakat dari bencana, melimpahkan hasil bumi yang melimpah di Kediri, dan menjadikan
wilayah yang Gemah Ripah Loh Jinawi. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengetahui
nilai-nilai budaya serta nilai-nilai pancasila yang terkandung dalam budaya larung sesaji
Gunung Kelud.
Kata kunci : Nilai – Nilai Pancasila, Larung Sesaji, Kebudayaan
ABSTRACT
Pancasila is the foundation of the state and also the philosophy of life that unites the nation.
The values contained must be practiced in the life of the state and society. This is because the
values of Pancasila are formulated from the customs, culture and local wisdom of the
Indonesian people. The form of application of Pancasila values is also different, one of which
is the culture of local wisdom such as the offering ceremony, dances, traditional clothes, and
others. The offering ceremony held in Kediri is the offering of the kelud mountain offering
which is a tradition that is still maintained by the people around Ngancar Regency including
Sugihwaras, Ngancar, Sempu, Babadan, Kukung, Jagul, Bedali, and surrounding villages.
This tradition is a form of gratitude to God Almighty for giving a peaceful life, avoiding the
community from disasters, providing abundant agricultural produce in Kediri, and making
the region Gemah Ripah Loh Jinawi. The purpose of this article is to find out the cultural
values as well as the Pancasila values contained in the culture of offering Mount Kelud
offerings.

Keywords: Pancasila Values, Larung Offerings, Culture.


A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang terkenal dengan keberagaman budayanya, bisa
diamati dari bentuk-bentuk kebudayaan khasnya seperti rumah adat, pakaian adat,
upacara adat, tarian adat, dan lain-lain. Meskipun Indonesia memiliki kergaman
budaya yang berbeda-beda tetapi budaya tersebut memiliki sifat hakikat yang berlaku
umum bagi semua kebudayaan yaitu salah satu sifatnya yang terkandung adalah nilai-
nilai pancasila. Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara yang merupakan hasil
pemikiran seseorang atau kelompok namun juga dirumuskan dari adat istiadat,
budaya, dan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
Kebudayaan Indonesia dibagi menjadi 2 yaitu kebudayaan material dan
kebudayaan non-material. Kebudayaan material adalah segala kebudayaan yang
diciptakan dan digunakan oleh manusia lalu bentuk budayanya juga tampak atau
dapat diraba, contohnya seperti : pakaian adat, rumah adat, senjata tradisional, alat
musik tradisional, dll. Sedangkan kebudayaan non-material adalah hasil pemikiran
adat istiadat, keyakinan dan kebiasaan yang dilakukan masyarakat daerah, lalu bisa
juga dari kata-kata yang digunakan oleh masyarakat tersebut.
Berbicara megenai kebudayaan non-material, salah satu bentuk
kebudayaannya adalah tradisi kearifan lokal (local wisdom). Tradisi kearifan lokal
biasanya berkaitan dengan alam karena alam memiliki pengaruh dalam menentukan
kebudayaan, seperti terciptanya kehidupan bersosial budaya dalam masyarakat
terhadap lingkungannya.
Di wilayah Jawa terdapat banyak tempat alam yang memiliki mitos tertentu
dan menjadi situs sakral. Salah satu contohnya adalah Gunung Kelud yang berada di
Kediri. Gunung Kelud adalah salah satu gunung yang aktif di Pulau Jawa. Menurut
Alfath (2016), masyarakat di daerah tersebut percaya bahwa setiap Gunung Kelud
meletus adalah proses alam untuk menyapu hal-hal negatif pada kehidupan manusia
di sekitarnya dan juga sebagai hubungan harmonisasi antara manusia dengan alam.
Atas dasar kepercayaan tersebut masyarakat Desa Sugih Waras, Kabupaten Kediri
menciptakan tradisi yang disebut larung sesaji.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu kebudayaan larung sesaji Gunung Kelud?
2. Apa saja nilai-nilai simbol budaya dalam larung sesaji Gunung Kelud?
3. Bagaimana keterkaitan nilai budaya larung sesaji Gunung Kelud dengan nilai
pancasila?
C. PEMBAHASAN
i. Sejarah dan Deskripsi Larung Sesaji Gunung Kelud
Larung sesaji dalam kehidupan bermasyarakat dapat diartikan sebagai
kegiatan menghanyutkan persembahan berupa makanan ataupun benda mati dalam
upacara adat keagamaan sebagai simbolis sedekah. Sesaji sebagai bentuk keinginan
yang kuat serta bentuk perasaan masyarakat untuk lebih dekat dengan Tuhannya.
Menurut Huda, Bajari, Muhtadi, & Rahmat (2017), sesaji adalah simbol penawaran
untuk pembicaraan yang berunsur magis spiritual. Kegiatan larung sesaji yang
dilakukan masyarakat memiliki makna tersendiri, diyakini apabila masyarakat
memakan makanan yang dilarungkan atau sekedar mengikuti pelaksanaan kegiatan
tersbut maka akan mendapatkan ketenangan batin maupun jiwa dan rasa aman dalam
kehidupan.
Berbicara mengenai larung sesaji, larung sesaji Gunung Kelud mempunyai
sejarahnya sendiri yaitu dikaitkan meletusnya gunung kelud dengan kisah Dewi
Kilisuci dan Mahesasura. Cerita tersebut mengisahkan Dewi Kilisuci, putri Kediri
yang hendak dipinang oleh dua laki-laki yaitu Mahesasura dan Lembu Suro. Dewi
Kilisuci sebenarnya ingin menolak pinangan dua laki-laki tersebut dengan dalih
meminta mereka untuk membuat sumur, masing-masing wangi dan amis. Hal tersebut
yang dirasa mustahil ditapis oleh kekuatan mereka sehingga sumur tersebut hampir
jadi. Dewi Kilisuci yang sedari awal memang tidak ingin dipinang oleh mereka pun
meminta anak buahnya untuk menimbun sumur tersebut. Akhirnya, Lembu Suro dan
Mahesasura pun mati tertimbun sumur yang mereka gali sendiri. Riwayat lain pun
mengungkapkan bahwa Dewi Kilisuci berpura-pura terperosok ke dalam sumur
kemudian ketika mereka hendak membantu dengan ikut terjun ke dalam sumur, justru
si anak buah Dewi Kilisuci segera menutup sumur tersebut. Dikisahkan sebelum mati
tertimbun, Lembu Suro sempat mengucapkan sumpah dimana Kediri akan menjadi
sungai(kali), Blitar jadi halaman(latar), dan Tulungagung menjadi danau(kedung).
Kutukan sumpah inilah yang ditakutkan oleh masyarakat sehingga masyarakat sekitar
megadakan tradisi ritual larung sesaji setiap satu tahun sekali.
Upacara Larung Sesaji Gunung Kelud biasa digelar di Desa Sugih Waras,
Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri yang ditujukan untuk menolak bala sumpah
Lembu Suro yang merasa telah dikhianati oleh Dewi Kilisuci. Sebagian masyarakat
juga mempercaya bahwa kegiatan larung sesaji ini adalah bentuk wujud syukur
kepada Tuhan dan bentuk hormat pada penguasa Gunung Kelud. Menurut Bambang
(2016), adapun isi sesaji dari ritual ini yaitu terdiri dari nasi, sayur-mayur, lauk-pauk,
dan buah-buahan yang dikemas dalam bentuk tumpeng. Terdapat dua jenis tumpeng
yang disajikan oleh masyarakat yaitu nasi putih dan nasi kuning yang ditata
sedemikian rupa. Semua makanan yang telah disajikan tersebut dikumpulkan di
tengah dan dikelilingi oleh masyarakat. Lalu mereka pun duduk sambil mendengarkan
juru adat membacakan doa kemudian mereka berbondong-bondong memperebutkan
hasil sesaji tersebut. Bahan sesaji dalam ritual larung sesaji di kawah Gunung Kelud
bermacam-macam seperti wedang kopi murni, lada tawar, badek, ayam panggang, dan
lain-lain. Kegiatan penting dalam ritual tersebut adalah menghanyutkan batu intan ke
kawah Gunung Kelud. Berdasarkan kegiatan upacara tersebut diketahui bahwa
terdapat nilai-nilai budaya dan pancasila yang terkandung didalamnya.
ii. Nilai-Nilai Budaya yang Terkandung
Menurut Ranjabar (2006), nilai merupakan gabungan unsur kebudayaan yang
dianggap baik atau buruk dalam suatu masyarakat, karena itu masyarakat mendorong
dan mengharuskan untuk menghayati dan mengamalkan nilai yang dianggap ideal.
Nilai budaya yang ada di masyarakat adalah suatu konsep yang mempengaruhi
perilaku hubungan antara kedudukan manusia dengan alam. Nilai budaya juga mampu
untuk mengenalkan identitas dari budaya suatu kelompok masyarakat daerah tersebut.
Keberagaman nilai budaya mempunyai cakupan arti yang cukup luas sehingga bagian
berikut akan membahas nilai-nilai budaya terutama yang berkaitan dengan larung
sesaji Gunung Kelud.
Pertama, makna filosofi dari jenang reno atau jenang tulak yaitu arah papat
kiblat limo pancer. Hal yang dapat disimpulkan dari jenang ini adalah sebagai
penolak bahaya dari segala arah. Jika bahaya itu datang dari barat maka kembali ke
barat, bila datang dari timur maka kembalilah ke timur, bila datang dari selatan maka
kembalilah ke selatan, dan apabila datang dari utara maka kembali ke utara. Lalu yang
kedua ada buceng kuat atau beras ketan yang dimasak dengan cara dikukus lalu
dibentuk menyerupai gunung yang menyimbolkan kekuatan lahir batin, ketabahan
hati dalam menjalani segala ujian dari Tuhan sehingga dapat dilalui dan yang
diinginkan dapat terkabul dengan restu Tuhan. Lalu yang ketiga, sebagai nilai sosial
yakni gotong royong dan musyawarah antar masyarakat agar acara berjalan sukses
dan lancar. Lalu kemudian yang keempat, arak-arakan tumpeng yang bertujuan untuk
menunjukkan kemakmuran dan kesuburan tanah sehingga masyarakat harus selalu
mengingat dan bersyukur kepada Tuhan. Lalu yang terakhir telur ayam jawa kampung
berfungsi untuk menafsirkan realitas sebagai pembersih hal buruk yang akan segera
musnah.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui terdapat banyak simbol verbal
maupun non verbal yang bermakna antara lain hubungan manusia dengan Tuhan yaitu
bersyukur, hubungan manusia dengan manusia yaitu kerukunan, hubungan manusia
dengan lingkungan yaitu toleransi, Makna simbol etika lainnya juga mencakupi
norma kesusilaan dan norma kesopanan.
iii. Nilai-Nilai Pancasila yang Terkandung
Kegiatan upacara larung sesaji mencerminkan nilai-nilai dari kelima sila
pancasila. Sila yang pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Masyarakat sekitar
Gunung Kelud percaya bahwa kegiatan larung sesaji ini adalah wujud syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan nikmat yang melimpah. Selain itu
juga bertujuan untuk memohon keselamatan, mencegah hal-hal yang sifatnya buruk,
dan menghormati para leluhur.
Upacara larung sesaji juga mencerminkan sila kedua pancasila yakni
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Menurut Dewi (2019), nilai sila kedua
pancasila tercermin ketika masyarakat melaksanakan upacara tradisional kegiatan
kemanusiaan seperti sedekah serta sikap saling menghormati dan menghargai antar
masyarakat. Dapat diketahui bahwa upacara larung sesaji ini terdapat ritual
pembagian hasil bumi kepada masyarakat yang hadir atau biasa disebut royokan.
Pembagian hasil bumi tersebut juga tidak memandang usia, jenis kelamin, asal dareah,
maupun agama. Lalu setelah upacara larung sesaji selesai hasil bumi akan dibagikan
kepada masyarakat yang kurang mampu di sekitar Gunung Kelud. Pemberian sedekah
hasil bumi ini diutamakan untuk janda dan lansia.
Lalu mencerminkan sila ketiga yakni “Persatuan Indonesia”. Menurut Dewi
(2019), nilai sila ketiga pancasila tercermin ketika masyarakat sekitar masyarakat
pendatang yang berbeda agama dan kepercayaan datang berkumpul untuk
mempersiapkan upacara tradisional karena adanya rasa persatuan. Upacara larung
sesaji ini diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Kediri bersama masyarakat dengan
bergotong-royong tanpa memandang suku, ras, warna kulit, status sosial. Mereka
bahu-membahu dan bekerja sama untuk menyiapkan upacara tersebut. Secara tidak
langsung, gotong royong ini menciptakan ikatan persaudaraan dan terus
dipertahankan sampai saat ini.
Kegiatan ini juga mencerminkan sila keempat yakni “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Menurut
Dewi (2019), nilai sila keempat pancasila tercermin ketika sebelum pelaksanaan
acara, panitia terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan ketua adat dengan
tujuan menemukan suatu mufakat atau keputusan bersama. Dalam penyelenggaraan
upacara ini, Pemerintah Kabupaten Kediri melalui Dinas Pariwisata merundingkan
untuk pembentukan panitia larung sesaji Gunung Kelud. Panitia tersebut dibentuk H-1
bulan sebelum upacara tersebut diadakan. Lalu para panitia setiap harinya menjelang
acara selalu bermusyawarah agar sukses dan lancar.
Acara larung sesaji ini juga merupakan perwujudan dari sila kelima pancasila
yakni “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Menurut Dewi (2019), dalam
kegiatan ritual perlu adanya sebuah keadilan seperti bersikap adil terhadap sesama,
menghormati hak-hak orang lain, menolong sesama, menghargai orang lain, dan
melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pada hari pertama
upacara larung sesaji ini adalah inti dari acara yakni adanya ritual sesajen dan
pembagian hasil bumi. Lalu pada hari kedua dan ketiga diadakan festival jaranan yang
dapat diikuti oleh semua kalangan paguyuban Kediri maupun sekitarnya. Selain
lomba jaranan, panitia juga mengadakan lomba kuliner yang dapat diikuti seluruh
masyarakat sekitar. Lomba-lomba tersebut juga akan dinilai secara adil oleh dewan
juri dan pemenangnya akan diberi hadiah oleh Bupati Kabupaten Kediri.

D. KESIMPULAN
Keragaman budaya yang ada di masyarakat khususnya kearifan lokal patut
untuk dilestarikan. Salah satu daerah yang masih mempertahankan tradisi tersebut
yaitu upacara larung sesaji Gunung Kelud di Desa Sugih Waras, Kecamatan Ngancar,
Kabupaten Kediri. Kegiatan ini dilakukan setiap satu tahun sekali dengan tujuan
untuk menolak bala sumpah Lembah Suro yang merasa terkhianati oleh Dewi
Kilisuci. Kebudayaan ini juga dimaksudkan sebagai wujud syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas hasil bumi yang telah dilimpahkan. Didalamnya juga terdapat
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan sosial yang menginterpretasikan nilai-nilai
pancasila sebagai dasar Negara Indonesia sehingga tidak semata diidentikkan dengan
kegiatan yang bersifat musyrik.

E. DAFTAR PUSTAKA
Fatimah, R., Arum, P.D.A., Ratnasari, T.A., Dewi, S. 2019. “Nilai Dalam Budaya Larung
Sesaji Gunung Kelud”. Jurnal Studi Budaya Nusantara. 109-116.
Nurdiyah, R. U. 2019. Simbol-Simbol Tradisi Larung Sesaji Gunung Kelud Kabupaten
Kediri. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Nusantara PGRI: Kediri.
Sulistyowati, M. 2018. “Mitos dan Nilai Local Wisdom (Kearifan Lokal) Tradisi Larung
Sesaji Sebagai Tolak Bala Di Kawah Gunung Kelud Desa Sugih Waras Kabupaten
Kediri”. LPPM Universitas Surabaya. 41-48.
F. BUKTI PLAGIASI
Total plagiasi : 0%

Anda mungkin juga menyukai