PENDAHULUAN
1.
2.
3.
4.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Ketuhanan
Tuhan dipahami sebagai zat Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan.
Tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada
berbagai konsep ketuhanan meliputi teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain.
Dalam pandangan teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala
kejadian di alam semesta. Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam
semesta, namun tidak ikut campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut
ada
hubungannya
dengan
kata
Melayu
tuan
yang
berarti
Hindu adalah Mokshartam Jagaditta Ya Ca Iti Dharma. Agama ibarat obor yang
memberi penerangan bagi manusia dalam kegelapan dalam menjalani kehidupan
di masyarakat
Agama Hindu, dahulu juga dikenal dengan nama agama Tirtha, juga agama
Sanatana Dharma yang berarti agama yang kekal abadi (Ardhana, 2002:3)
Penyebaran Agama Hindu dipercaya berasal dari Hindia dan menyebar
melalui pendekatan proses Asosiasi, integrasi, komplementasi dan sublimasi.
Assosiasi yaitu melalui proses persamaan-persamaan atau pertautanpertautan budaya dengan budaya setempat
Agama Hindu
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
pengetahuan tentang Brahma (Tuhan). Kesadaran para Rsi dan tokoh agama
Hindu akan keterbatasan bahasa definisi Tuhan, menimbulkan adagium atau term
yang menyatakan bahwa Tuhan itu Neti, Neti, Neti (bukan ini, bukan ini, bukan
ini). Karena dalam Brahmasutra dinyatakan bahwa Tuhan itu sesungguhnya Tuhan
tidak terkatakan. Dalam keyakinan agama Hindu, Brahman atau Tuhan hanyalah
satu, esa, tidak ada duanya, namun karena kebesaran dan kemuliaanNya, para rsi
dan orang-orang yang bijak menyebutnya dengan beragam nama.
Kitab Veda juga membicarakan wujud Brahman. Di dalamnya menjelaskan
bahwa Brahman sebenarnya adalah energi, cahaya, sinar yang sangat cemerlang
dan sulit sekali diketahui wujudnya. Dengan kata lain Abstrak, Kekal, Abadi, atau
dalam terminologi Hindu disebut Nirguna atau Nirkara Brahman (Impersonal
God) artinya Tuhan tidak berpribadi dan Transenden. Meski Brahman tidak
terjangkau pemikiran manusia atau tidak berwujud, namun jikalau Brahman
menghendaki dirinya terlihat dan terwujud, hal itu sangat mudah dilakukan.
Brahman yang berwujud disebut Saguna atau Sakara Brahman (personal God),
Tuhan yang berpribadi atau immanent.
Kedua konsep Tuhan yang impersonal dan personal tersebut di atas
dapatlah ditemukan dalam mantra Bhagavadgita IV.6,7,8 dan Bhagavadgita XII,1
dan 3 dengan sebutan sebagai berikut :
1. Paranamam; Tuhan Maha Tinggi dan Abstrak, Kekal Abadi tidak
berpribadi impersonal, nirkara (tak berwujud), nirguna (tanpa sifat guna)
dan Brahman. Tuhan atau Brahman dalam bentuk yang abstrak tersebut di
Bali disebut Sang Hyang Suung, Sang Hyang Embang, Sang Hyang Sunya.
Karena tidak berbentuk, sulit dibayangkan dan dipikirkan (acintya, Bali).
2. Vyuhanaama; Tuhan berbaring pada ular di lautan susu. Gambaran Tuhan
seperti ini hanya bisa dilihat oleh para dewa. Di Bali penjelasan seperti itu
disebut Hana Tan Hana (Ada tidak Ada), artinya Tuhan itu diyakini ada,
namun tidak bisa dilihat.
3.
a.
dihadirkan dengan berbagai macam manifestasi yang disebut dewa. Inilah yang
menjadi alasan mengapa bagi kebanyakan orang, sosok dewa harus dihadirkan
dalam pemujaan kepada Tuhan. Bagi kebanyakan orang kehadiran Tuhan dalam
manifestasi-Nya sebagai para dewa juga masih dianggap belum mampu dihayati
secara nyata, karena masih mengandung unsur simbol yang abstrak. Dikatakan
demikian karena kehadiran Tuhan dalam manifestasi sebagai sosok dewa hanya
mengandung simbol satu dimensi (niskala) saja, yang sulit dibayangkan. Untuk
membantu kepentingan manusia dalam memuja Tuhan, maka para dewa lebih
dikongkritkan lagi dalam bentuk simbol dua dimensi, yakni dimensi sakala dan
niskala. Berdasarkan alasan itulah, maka kemahakuasaan Tuhan dimanifestasikan
ke dalam segmen-segmen alam seperti :
1. Dewa Surya adalah manifestasi Tuhan sebagai planet matahari,
2. Dewa Soma (Chandra) manifestasi Tuhan sebagai bulan,
3. Dewa Vayu (Bayu) manifestasi Tuhan sebagai udara,
4. Dewa Agni manifestasi Tuhan sebagai api,
5. Dewa Marut manifestasi Tuhan sebagai angin,
6. Dewa Sangkara manifestasi Tuhan sebagai pohon atau tumbuhan,
7. Dewa Varuna manifestasi Tuhan sebagai samudera,
8. Akasa merupakan manifestasi Tuhan sebagai Sang Ayah sebagai angkasa, dan
9. Prthivi merupakan manifestasi Tuhan sebagai planet bumi ini, dan Dewa-dewa
lainnya.
Inilah yang mendasari filosofi teologi Saguna Brahma sehingga
kehadiran para dewa dalam sistem pemujaan sangat populer dalam Agama Hindu.
Dalam teologi Saguna Brahma-lah tersedia berbagai metodologi-teologis, hal
tersebut secara metodologis dirancang untuk membantu setiap manusia
bagaimanapun adanya dapat sampai kepada Tuhan. Itulah sebabnya teologi Hindu
lebih tepat disebut Teologi Kasih Semesta (Donder, 2006).
b. Impersonal God ( Nirguna Brahman )
Tuhan dalam agama Hindu sebagai nirguna brahman sebagaimana yang
disebutkan dalam Veda adalah Tuhan tidak berwujud dan tidak dapat
mana, dan beliau mampu merubah segala sesuatu yang diingini olehNya.
Aupamya, yaitu kemahakuasaan Hyang Widhi yang sangat sulit mencari
bandingannya. Karena semua makhluk yang ada di alam semesta tidak ada
menyamai kemahakuasaan-Nya.
Anamaya, yaitu yang Mahasuci. Beliau sangat mulia, tidak pernah menderita
suatu penyakit.
Maha Suksme, yaitu Mahagaib yang sangat halus.
Sarwagata, yaitu Mahaada, Mahabesar meliputi seluruh jagad raya.
Dhruwa, yaitu sangat tenang, tiada bergerak, stabil namun Ia berada di mana
mana.
Awyayam, yaitu Mahasempurna, walaupun Ia mengisi seluruh alam raya
10
11
sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan
pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap
benda-benda duniawi.
Alam semesta ini adalah fragmen-Nya Tuhan. Brahman memiliki
prabawa sebagai asal mula dari segala yang ada. Brahman tidak terbatas oleh
waktu tempat dan keadaan. Waktu dan tempat adalah kekuatan Maya (istilah
sansekerta untuk menamakan sesuatu yang bersifat illusi, yakni keadaan yang
selalu berubah baik nama maupun bentuk bergantung dari waktu, tempat dan
keadaan) Brahman. Jiwa atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang
terendah sampai manusia yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi.
Adapun bnda-benda (materi) di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang
lebih rendah. Walaupun alam semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan
di luar Brahman melainkan di dalam tubuh Brahman.
3.2.3
Monoteisme
Taittiriya Upanisad memberikan sebuah pengertian tunggal tentang istilah
Brahman. Sebagai jawaban atas permintaan dari Bhrgu kepada ayahnya Varuna
agar mengajarkan kepadanya tentang Brahman, Varuna menawarkan pengertian
sebagai berikut, Yang daripada-Nya segala mahluk dilahirkan, Yang oleh-Nya
dan kepada-Nya mereka hidup, ketika berangkat mereka masuk, mencari tahu itu,
yang adalah Brahman. Menurut Upanisad, Brahman adalah yang menjadi sebab
utama dan fungsi kosmis utama yakni asal mula (srsti), kehidupan (sthiti), dan
kematian (pralaya) alam semesta. Badarayana juga mengambil pengertian yang
sama tentang Brahman yang jelasnya dan bacaan Vedantastra yaitu sebagai
janmady-asya-yatah, yang artinya, yang daripadanya berasal dan lain-lain, dan
jagat raya yang dihasilkan. Sutra ini berdasarkan bacaan pada Taittiriya Upanisad.
12
Panteisme
Panteisme atau pantheisme dalam bahasa Yunani terdiri dari dua kata yaitu :
(pan) adalah semua dan theos adalah Tuhan. Jadi secara harafiah artinya
adalah Tuhan adalah Semuanya dan Semua adalah Tuhan. Ini merupakan
sebuah pendapat bahwa segala barang merupakan Tuhan abstrak imanen yang
mencakup semuanya; atau bahwa Alam Semesta, atau alam, dan Tuhan adalah
sama. Upanisad mengandung ajaran paham panateisme dimana dalam upanisad
menyatakan tuhan adalah segala-galanya yang maha tahu yang mendasari semua
keberadaan alam semesta dan tidak terbatasadanya ( Tuhan bersifat absolut ).
3.3 Sraddha
3.3.1 Pengertian Sraddha
Sebelum secara khusus membahas pendalaman sradhha terlebih dahulu
dikaji pengertian istilah sradhha ini secara sematik dan aplikatif. Ada 2 jenis kata
yang sangat dekat dengan bunyi kata ini, namun maknanya berbeda, yakni kata
sradhha, yang berarti upacara terakhir bagi seseorangsetelah upacara pembakaran
jenasah yang disebut antyesti atau mrtyusamskara dan penyucian roh yang disebut
pitrapinda atau sapindikarana (Klostermeier, 1990:180). Upacara sraddha ini
berdasarkan uraian kitab Nagarakrtagama dilaksanakan pula pada jaman kemasan
Majapahit, saat itu Raja Hayam Wuruk melakukan upacara sraddha untuk
neneknya yang bernama Dyah Gayatri. Upacara Sraddha dilaksanakan pula di
Bali yang kini disebut nuntun atau ngalinggihang Dewahyang atau upacara
atmasiddhadewata.
13
Kata sraddha yang merupakan topik tulisan ini mengandung makna yang
sangat luas, yakni keyakinan atau keamanan. Untuk itu, dalam rangka memperluas
wawasan kita tentang istilah ini, maka dikutipkan beberapa pengertian tentang
kata sraddha seperti diungkapkan Yaska dalam bukunya Nighantu (III.10),
sebagai berikut : Kata Sradhha dari akar kata srat yang berarti kebenaran
(satyanamani). Kata sraddha sering dikaitkan dengan Panca yang artinya lima.
Panca sraddha dapat diartikan dengan lima dasar kepercayaan agama Hindu.
3.3.2 Bagian bagian Panca Sraddha
Bagian-bagian dari Panca Sraddha ada lima, yaitu :
1. Widhi Tatwa atau Widhi Sraddha
Tujuan agama Hindu adalah mencapai kesejahteraan duniawi dan
kebahagiaan rohani. Untuk mencapai tujuan itu dapat ditempuh melalui empat
jalan yang disebut Catur Marga. Diantara keempat jalan itu, bhakti marga atau
bhakti yoga yaitu sujud kepada Tuhan adalah jalan yang termudah. Dengan jalan
bhakti tidak memerlukan kebijaksanaan yang tinggi atau jnana. Oleh sebab itu
sebagian besar umat manusia dapat melakukannya.
Adapun bagian bagian Widhi Sraddha antara lain :
a.
1.
2.
3.
4.
c.
14
5.
6.
7.
8.
15
rantai sebab kibat perbuatan (karma) dan phala perbuatan (karmaphala) ini disebut
dengan Hukum Karma.
Mungkinkah suatu perbuatan tiada sebab dan akibatnya di dalam lingkaran
samsara lahir dan mati disini. Hukum Karma yang mempengaruhi seseorang
bukan saja akan diterimanya sendiri, akan tetapi juga akan diwarisi oleh anak cucu
atau keturunannya juga. Adapun segala bekas-bekas atau kesan-kesan dari segala
gerak atau perbuatan yangtercatat atau melekat pada suksma sarira disebut dengan
karma wasana. Karma berarti perbuatandan wasana berarti bekas-bekas atau sisasisa yang masih melekat. Karma wasana artinya bekas-bekas atau sisa-sisa
perbuatan yang masih melekat.
Berdasarkan cepat lambatnya untuk menikmati hasil dari karmanya,
maka karmaphala dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Sancita Karmaphala adalah phala perbuatan yang terdahulu yang belum
habis dinikmati dan masih merupakan benih untuk menentukan kehidupan
sekarang. Jadi orang lahir kedunia ini sudah membawa phala dari karmanya
b.
yang lampau.
Prarabda Karmaphala adalah karma yang dilakukan pada saat hidup
sekarang ini dan hasilnya telah habis pula dinikmati dalam masa penjelmaan
c.
hidup ini.
Kryaman Karmaphala adalah karma yang hasilnya belum sempat dinikmati
dalam waktu berbuat dan akan dinikmati kelak dalam penjelmaan yang akan
datang.
4.
Punarbhawa atau samsara ini terjadi karena jiwatman masih dipengaruhi oleh
karma wasana. Bekas-bekas perbuatan (karma wasana) itu ada bermacam-macam.
Jika bekas-bekasitu hanya bekas-bekas keduniawian, maka jiwatman itu lahir
kembali. Kelahiran dan hidup ini adalah samsara yang digambarkan sebagai
hukuman yang diakibatkan oleh perbuatan atau karma di masa kelahiran lampau.
Jangka waktu dari samsara tergantung dari perbuataan baik buruk kita pada
masa lampau (atita), yang akan datang (nagata), dan yang sekarang (wartamana).
Selama kita terikat pada unsur-unsur keduniawian dan jiwa masih terikat oleh
unsur-unsur duniawi, maka jiwa akan terus menerus menjelma dari suatu tubuh
ketubuh yang lainnya.
5. Moksa tatwa atau Moksa Sraddha.
16
Moksa adalah suatu istilah untuk menyebutkan atma manusia telah kembali
dan menjadi satu dengan Brahman atau Tuhan Yang Maha Esa, dimana ia tidak
mengalami kelahiran kembali, bebas dari punarbhawa atau samsara, serta
mencapai kebahagiaan tertinggi.
Moksa adalah tujuan akhir bagi penganut agama Hindu. Umat Hindu
menghendaki agar bisa hidup hanya sekali saja didunia ini, demikian ia dapat
mengenyam kehidupan yang abadi dengan kebahagiaan yang langgeng.
3.4 Bagian Bagian Catur Marga
Catur Marga ialah empat jalan atau cara mengamalkan agama Hindu (Veda)
dalam kehidupan dan dalam bermasyarakat. Oleh karena keadaan dan kemampuan
lahir-batin umat Hindu tidak semua sama maka Veda mengajarkan Catur Marga
(empat jalan) agar semua umat dapat beragama sesuai kemampuannya.
Bagian-bagian Catur Marga antara lain :
1. Bhakti Marga Yoga
Kata Bhakti marga sebenarnya adalah perpaduan antara kata Bhakti Marga
dan Bhakti Yoga. Istilah Bhakti Marga Yoga dimaksudkan untuk lebih
menekankan bahwa Bhakti adalah jalan dan sekaligus juga sarana mempersatukan
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Maha Esa melalui usaha atau kerja yang tulus ikhlas, demikian pula karma Yoga
mempunyai makna yang sama sebagai usaha untuk menghubungkan diri dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Karma Marga Yoga menekankan kerja sebagai bentuk
pengabdian dan bentuk pengabdian dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran karma Yoga merupakan etos kerja atau budaya kerja bagi umat Hindu di
dalam usaha mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Di dalam
Landasan filosofis ajaran karma, doa seorang karmayogin adalah untuk memohon
kesehatan dan kekuatan, badan yang sempurna dan umur panjang, kebaikan di
dunia, serta kekuatan untuk menghadapi segala bentuk kejahatan.
3.
dengan Tuhan Yang Maha Esa untuk mencapai kebahagiaan sejati melalui
pengetahuan. Jnana menuntun manusia untuk bekerja tidak terikat oleh hawa
17
nafsu, tanpa motif kepentingan pribadi, rela melepaskan hak milik, sadar bahwa
badan bukan atma yang bersifat abadi. Ada tiga jalan untuk merealisasikan ajaran
jnana
yaitu:
Sravana
(studi),
Manana
(perenungan),
dan
Nididhysa
dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui jalan Yoga yang tertinggi. Bila dua jalan
sebelumnya, yakni Bhakti Marga Yoga dan Karma Marga Yoga disebut Prvrtti
Marga, yakni jalan yang umum dan mudah dilaksanakan oleh umat awam pada
umumnya, maka dua jalan yang lain, yakni Jnana Marga Yoga dan Raja Marga
Yoga disebut Nivrtti Marga, yang artinya jalan yang tidak umum atau
bertentangan. Raja Yoga Marga memerlukan pengendalian diri, disiplin diri,
pengekangan dan penyangkalan terhadap hal keduniawian. Drs. I Gusti Made
Ngurah dkk berpendapat: Bhakti Marga Yoga dan Karma Yoga di satu sisi dan
Jnana Marga Yoga dan Raja Marga Yoga pada sisi yang lain sebenarnya sangat
baik bila berjalan seimbang ibarat sepasang sayap dari seekor burung,
seimbangnya burung menjadikan burung mampu terbang tinggi. (Ngurah, 2006 :
93) Sumber ajaran hatha Yoga secara terperinci dapat dijumpai dalam Gheranda
Samhita karya maharsi Geranda.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
18
19
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sebagai umat hindu yang
baik kita sebaiknya memahami konsep ketuhanan dalam agama hindu secara
teoritis maupun konseptual sehingga kita lebih memaknai ajaran-ajaran tersebut
serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
20