Anda di halaman 1dari 15

MATRIKULASI BRAHMA WIDYA

KONSEP WIDHI TATTWA

I PUTU WAHENDRA
2324121018

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Drs. I Made Surada, M.A.

MAGISTER BRAHMA WIDYA


PASCASARJANA UNIVERSITAS HINDU NEGERI
I GUSTI BAGUS SUGRIWA
DENPASAR
2023
I PENDAHULUAN

Agama merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia yang memberikan


tuntunan bagaimana bertingkahlaku yang baik dalam kehidupannya. Agama memumat ajaran
– ajaran Ketuhanan yang berisikan nilai – nilai kebenaran. Seluruh ajaran tersebut terkumpul
dalam suatu kitab suci yang mana isinya dipercaya bersumber langsung dari Tuhan yang
disebut dengan ”wahyu”. Agama merupakan suatu instrumen yang menjembatani relasi
seorang individu dengan sesuatu yang diyakininya sebagai suatu kebenaran sejati (Tuhan).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama merupakan suatu sistem keyakinan yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan interksi sosial antar manusia dengan lingkungan
hidupnya. Kata ”agama” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ”tradisi” agama juga
disebut dengan istilah religi yang berasal dari bahasa latin ”religio” yang berarti ”mengikat
kembali’, hal ini mengandung maksud bahwa melalui agama seseorang meningkatkan
ikatannya kepada Tuhan, Zazuli (2021:1)
Agama sebagai suatu sistem penghubung antara aspek imanen dan transenden banyak
mengandung konsep – konsep yang ckup kompleks, dan memerlukan kebijaksanaan,
keikhlasan serta ketekunan dalam memahaminya. Beberapa konsep tersebut seperti tata nilai,
sistem kepercayaan, aturan moral, sistem kebudayaan, kosmologi dan masih banyak lagi
disusun sedemikian rupa sehinnga menjadi suatu ajaran yang sistematis. Ajaran agama
seringkali dikaitkan dengan mitos, tahayul ataupun mitologi. Hal tersebut sejatinya merupakan
rangkaian simbol yang digunakan dalam usaha menjabarkan kemahakuasaan Tuhan yang
bersifat sangat tak terbatas dan sulit dijangkau oleh pikiran manusia yang terbatas.
Keberlangsungan ajaran agama pastilah tidak dapat terlepas dari tradisi tempat di mana agama
itu berkembang. Tradisi dan kebudayaan inilah yang kemudian memuat berbagai simbol dan
mitologi yang digunakan sebagai pembungkus setiap ajaran yang terkandung dalam Kitab Suci
keagamaan. Tentu hal tersebut merupakan suatu metode penyebaran ajaran agama yang sangat
efektif, sebab manusia cenderung memiliki ketertarikan terhadap hal – hal yang bersifat unik,
indah, estetik bahkan yang cenderung aneh.
Zazuli (2021:2) mengatakan bahwa diperkirakan secara keseluruhan terdapat kurang
lebih 4.200 agama beserta aliran – alirannya yang berkembang di seluruh dunia. Pada jajak
pendapat global tahun 2012 melaporkan bahwa 59% populasi penduduk dunia memeluk suatu
agama tertentu sedangkan 36 % tidak memeluk agama dan termasuk 13 % yang bersifat atheis
atau tidak meyakini agama manapun. Dengan begitu banyaknya keberadaan agama di dunia
maka belakangan muncullah ilmu perbandingan agama. Ilmu perbandingan agama ini pada
mulanya memiliki tujuan untuk saling mengetahui antar pemeluk agama satu dengan yang
lainnya. Namun, seiring berjalannya waktu, ilmu perbandingan agama ini justru berbalik
menjadi sarana untuk menjatuhkan agama lain dan meninggikan agama sendiri yang dianut.
Dari konflik perbandingan agama ini muncul dikotomi agama yaitu agama langit dan agama
bumi. Agama lagit diklaim merupakan agama yang bersumber langsung dari Tuhan dalam
bentuk ”wahyu” sedangkan agama bumi merupakan agama ciptaan manusia yang berasal dari
budaya dan tradisi, Donder (2006)
Hindu sebagai agama tertua di dunia dengan beragam dinamika keberlangsungannya di
setiap wilayah tempatnya berkembang menjadi salah satu korban dari dikotomi agama ini.
Hindu diklaim sebagai agama bumi karena kedangkalan oknum tidak bertanggungjawab yang
memandang keberlangsungan agama Hindu. Tradisi, seni dan budaya yang melekan pada
setiap pelaksanaan kegiatan keagamaan dipandang seolah – olah agama Hindu bersumber dari
tradisi tersebut. Padahal sebaliknya, tradisi itu muncul dari agama Hindu yang menjadi
penopang eksistensi Hindu. Bila boleh penulis analogikan, Hindu tanpa tradisi tidaklah
berwujud, dan tradisi tanpa Agama Hindu tidak memiliki jiwa. Oleh sebab itu, keberadaan
Agama Hindu dan Tradisi lokal jenius tempatnya berkembang merupakan satu kesatuan utuh
yang tak dapat dipisahkan.
Hindu sebagai agama tertua di dunia sejak awal mula terlahirnya telah memiliki suatu
sistem keagamaan yang sangat luar biasa. Ilmu pengetahuan yang termuat dalam Pustaka Suci
Veda dan Susastra Veda hingga saat ini masih sangat relevan dan diwarisi sejak berabad – abad
lamanya. Mulai dari pengetahuan spiritual, sosial, astronomi, pengobatan hingga ke
matematika, semua termuat lengkap dalam Veda. Pengetahuan suci dalam Veda terbagi menjadi
dua golongan besar yaitu Para Vidya dan Apara Vidya. Para widya merupakan pengetahuan
tentang ketuhanan dan ilmu spiritual yang bersifat transenden, sedangkan apara vidya
merupakan ilmu pengetahuan keduniawian yang bersifat imanen dan materialistik. Kesemua
pengetahuan tersebut tersusun dengan dapi dalam setiap pustaka suci veda dan susastra
turunannya. Untuk memahami konsep teologi Hindu (Brahmavidya) merupakan hal yang tidak
gampang, sebab untuk menguasai seluruh ajaran Veda diperlukan waktu yang sangat panjang,
sedangkan manusia terbatas oleh umur. Oleh sebab itu, merupakan hal yang keliru
menyombongkan diri mengklaim paling mengetahui tentang Hindu. Mengklaim Hindu secara
apologis sebagai Agama Bumi juga merupakan bentuk salah satu kesombongan terhadap
Hindu. Hindu hanya bisa dipahami melalui jalan kedamaian. Melalui pembahasan berikut,
penulis uraikan mengenai Widhi Tattwa yang memuat konsep ketuhanan Hindu.
II PEMBAHASAN

Gambar 2.1 Peta Konsep Widhi Tattwa

Hindu sebagai agama tertua di dunia telah mewarisi sistem keyakinan terhadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan tentang ketuhanan tersebut dalam Hindu disebut sebagai Brahma Widya.
”Brahma” berarti Tuhan dan ”Widya” berarti pengetahuan. Ketika berbicara tentang Brahma
Widya atau teologi Hindu, maka Tuhan menjadi objek sentral pengetahuannya. Tuhan disini
didefinisikan dalam dua ranah yaitu Tuhan dalam pengertian yang tak dapat dibatasi oleh ruang
dan waktu sehingga dalam hal ini Tuhan berada pada wilayah yang tak dapat dijangkau oleh
pikiran manusia. Oleh sebab itu mengingat keterbatasan pengetahuan manusia, maka tidak
mungkin mengjangkau Tuhan dalam kualitas ini. Tidak ada satu agama atau disiplin spiritual
manapun yang mampun yang mampu mengungkap teologi Nirguna Brahman ini. Dalam
kualitas Nirguna Brahman, Tuhan tidak dapat dikenali dan dipadu padankan dengan apapun.
Tuhan dalam kualitas Nirguna Brahman tidak dapat teridentifikasi sebagai apapun sebab beliau
bersifat tidak ini, tidak itu (neti neti). Mengingat keterbatasan jangkauan pikiran manusia
tentang Brahman atau Tuhan, maka manusia mulai membuat batasan – batasan untuk dapat
menjangkau Tuhan. Tuhan yang tak beridentitas dan terdefinisikan mulai dibuatkan identitas
sesuai dengan kepentingan manusia dalam mengakses tuhan. Dari sinilah lahir konsep Saguna
Brahman. Tuhan mulai disebut dalam berbagai nama yang menggambarkan kemaha
kuasanNya, Donder (2009 : 31)
Dalam konsep saguna btahman ini Tuhan diberikan gelar serta nama yang sangat
banyak dan beragam. Dalam sebuah petikan sloka dinyatakan ”ȇkam sat viprah bahuda
vadhanti” yang artiya hanya Satu Tuhan namun orang bijaksana menyebutnya dengan banyak
Nama. Dalam Rgveda 1.164.46 disebutkan sebagai beriku :

”Indra, mitram, varuna, agnim. Ahur,


Atho divyah sasuparno garudman
Ekam sat vipra bahudha vadhanti
Agnim yamam matarisvanam ahuh”

Terjemahan :
”Mereka menyebutNya Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia Yang Bercahaya, Yaitu
Garutman yang bersayap elok Satu Kebenaran itu (Tuhan), oarang bijaksana
menyebutNya dengan banyak namaSeperti Agni, Yama, Matarisvanam”

Petikan sloka Rgveda tersebut menjelaskan kepada kita bahwa sejatinya Tuhan itu ialah
murni terlepas dari berbagai macam atribut serta batasan, namun guna mendekatkan dan
memudahkan manusia dalam mengakses Tuhan, maka dibuatkan semacam media perantara
agar manusia yang serba terbatas ini dapat mengakses dan menjangkau Tuhan yang begitu
Maha Sempurna dan Murni. Salah satu media tersebut ialah dengan memberikan Tuhan gelar
dan nama. Nama dan gelar Tuhan ini disematkan oleh mereka yang disebut sebagai orang
bijaksana yang dalam hal ini diartikan sebagai para Rsi. Nama – nama kebesaran Tuhan
tersebut sangat banyak jenisnya seperti yang tertuang dalam petikan sloka diatas yaitu Indra,
Mitra, Varuna, Agni, Yama, Matarisvanam dan masih banyak lagi. Bahkan di dalam kitab –
kitab purana, Tuhan disematkan dengan nama yang lebih beragam lagi seperti Brahma, Wisnu,
Siwa, Durga, Sakti, Saraswati, Sri, Laksmi, Isvara, Mahesvara, Mahadewa, Sangkara, Sambhu,
Rudra dan masih banyak lagi sebutan nama Brahman. Semua ini menunjukkan betapa besar
dan luasnya kuasa Tuhan atau Brahman itu sendiri, terlihat dari ribuan penamaan Brahman
sesuai dengan kepentingan serta imajinasi manusia dalam mengaksesnya. Namun walaupun
demikian, kembali lagi Tuhan itu hanyalah satu, tidak ada duanya seperti yang disebutkan
dalam petikan bait ke dua puja Tri Sandya : ”eko narayana nadwityo’sti kascit” yang artinya
hanya satu Narayana (Tuhan), tidak ada duanya, atau dalam kosep siwa sidhanta disebut ”Eka
Twa, Aneka twa swa laksana Bhatara” yang artinya Tuhan yang satu itu banyak sebutannya,
namun sejatinya Ia hanya satu.
Hindu Indonesia memiliki satu sebutan global dalam mendefinisikan Tuhan yang maha
tak terjangkau. Sebutan yang digunakan adalah ”Ida Sang Hyang Widhi Wasa”. Apabila kita
cari dalam pustaka – pustaka besar Hindu seperti Catur Veda dan Upanisad, kita tidak akan
menemui sebutan Ida Sang Hyang Widhi Wasa ini. Yang banyak digunakan di dalamnya adalah
kata ”Brahman”. Ida Sang Hyang Widhi Wasa ini merupakan rumusan dari leluhur nusantara
untuk menggelari Tuhan. Nama tersebut disusun sedemikian rupa dengan memiliki arti yang
lebih mendalam dari pada ”Brahman”. Apabila dicari artinya, Brahman berasal dari kata ”Brh”
yang artinya benih atau mengembang. Tentu secara nilai jauh lebih mendalam Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. ”Sang Hyang” merupakan aspek atau unsur Ketuhanan yang paling tinggi,
”Widhi” berarti takdir dan ”Wasa” berarti penguasa. Ida Sang Hyang Widhi Wasa bila diartikan
yaitu Beliau yang maha Tinggi sebagai penguasa takdir. Apabila sudah berstatus sebagai
penguasa takdir, maka tiada satupun di semesta raya ini diluar kuasaNya.
Marselinawati (2020) Konsep ketuhanan Hindu Indonesia tertuang dalam sebuah
tatanan yang telah disusun sedemikian rupa oleh para leluhur Hindu Nusantara yang disebut
dengan Widhi Tattwa. Widhi Tattwa, Jika dilihat dari pembagian kata dan artinya dapat kita
padankan dengan Brahman. dalam agama Hindu Brahman merupakan salah satu bagian dari
Panca sradha, yang berarti Percaya adanya Tuhan sang pencipta dunia. banyak kitab-kitab suci
agama Hindu yang menjelaskan tentang Bagaimana sesungguhnya brahman itu, salah satunya
dijelaskan dalam teks wrhaspati tatwa. dalam Wrhaspati Tattwa dijelaskan bahwa Batara
Iswara menyatakan yang tertinggi mencakup dua hal yaitu kesadaran (Cetana) dan
ketidaksadaran (Acetana). Cetana berarti pengetahuan yang tidak terpengaruh oleh
ketidaksadaran dan bersifat abadi, artinya tetap kokoh. sedangkan Acetana berarti tanpa
pengetahuan. jika cetana dan acetana bertemu, maka akan lahirlah Sarwa tattwa yaitu Pradana
tattwa, Triguna tattwa, buddhi tattwa, ahankara tattwa, bahyendriya tattwa, karmendriya
tattwa, dan Panca Maha Bhuta tattwa.

Hartaka (Dalam Marselinawati, 2020) Wrhaspati tattwa adalah salah satu teks filsafat
paham Siwa di Indonesia. Teks ini berasal dari masa kejayaan Hindu (abad ke 9-ke 15).
Wrhaspati tattwa terdiri atas 74 sloka menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa kuna. Bahasa
Sansekertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa kunanya disusun dalam bentuk
gancaran.Wrhaspatitattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sanghyang Iswara
berstana di puncak Gunung Kailasa. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang
merupakan guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di surga. Dalam Wrhaspati Tattwa
Tuhan dalam aspek cetana dijelaskan dalam tiga kualitas. Tiga kulalitas tersebut membedakan
eksistensi Tuhan dalam aktivitasnya dan berinteraksi dengan ciptaanya. Adapun ketiga kualitas
tersebut adalah Parama Siwa Tattwa, Sada Siwa Tattwa dan Siwa Tattwa. Berikut penulis
uraikan ketiga konsep tersebut dalam sub bab di bawah ini:
2.1 Parama Siwa Tattwa

Tuhan sebagai entitas tertinggi penuh dengan misteri yang tak akan pernah bisa
diungkapkan oleh siapapun dan oleh agama serta disiplin spiritual manapun. Tuhan bersifat
maha gaib yang bahkan para Rsi dan Dewa sekalipun tidak pernah mengetahui wujud Tuhan
yang Sebenarnya. Kemurnian Tuhan disebabkan oleh karena beliau telah melampaui aspek
ruang, waktu serta maya, sedangkan semua ciptaanNya terkurung dalam belenggu maya, ruang
serta waktu. Inilah yang menyebabkan Tuhan tidak pernah bisa dijangkau oleh ciptaanNya.
Tuhan dalam kondisi seperti ini berada dalam kualitas Nirguna Brahman yang mana dalam
konsep Tri Purusha dijelaskan sebagai Parama Siwa. Dalam keadaan ini Tuhan yang bersifat
transenden tidak terikat oleh belenggu maya. Ia adalah yang Murni sejati dan merupakan
kesadaran tertinggi.

Marselinawati, (2020) Parama Siwa merupakan keadaan Tuhan atau Ida Sang Hyang
Widhi wasa yang tidak terpikirkan, Abadi, tak terbatas, memenuhi segalanya, jiwa segala jiwa,
tidak berawal tidak berakhir. Tuhan dalam kualitas ini tidak memiliki sifat atau kosong Ia
adalah kesadaran tertinggi yang bersifat transenden. Di dalam ajaran Tri purusa Tuhan dalam
keadaan Parama Siwa disimbolkan berwarna kuning. Dalam Wrhaspati Tattwa, Paramasiwa
Tattwa dijelaskan dalam sloka 7 sampai sloka 10 yang berbunyi;

”Aprameya bhatara, tan pangenangenan, apa hetu, ri kadadinyan ananta, tan


pahingan, anirdesyam, tan patuduhan, ri kadadinyan tan palaksana, anaupamyam
tatan papada, ri kadadinyan tan hana pada nira juga, anamayam, tatan keneng lara,
ri kadadinyan alilang, suksma ta sira sarwagata, kehibekan tikang rat denira,
sahananya kabeh, nityomideng sadakala, ri kadadinya n tan pasangkan, dhruwam,
menget ta sira, ri kadadinyan tan polah, umideng, sadakala, awyayam,tatan palwang,
ri kadadinyan pariprna, Isvara ta sira, Isvara ngaranya ri kadadinya n prabhu ta sira,
sira ta pramana tan kapramanan, nihan yang paramasivaTattva ngaranya. Nihan yang
sadasivaTattva ngaranya, I sor ning paramasiva Tattva.”
Terjemahan:

Iswara tidak dapat di ukur, tidak berciri, tidak dapat dibandingkan, tidak tercemar, tidak
tampak, ada dimana - mana, abadi, tetap, tidak terkurang (sloka 7).
Ia tidak dapat diukur dalam arti tanpa akhir. Ia tidak berciri karena ia tidak mempunyai
cirri. Ia tidak dapat dibandingkan, karena tidak ada yang lain seperti Dia. Ia tidak
tercemar, karena ia tidak bernoda (sloka 8).
Ia tidak tampak karena ia tidak bisa dilihat. Ia ada di mana- mana, karena ia ada dalam
segala benda. Ia abadi karena ia tidak berbentuk. Ia tetap karena ia tidak bergerak
(sloka 9).
Ia tidak berkurang karena ia tetap utuh. Ia tetap tenang Sivatattwa ini meliputi
seluruhnya (sloka 10).
Donder, (2009) Tuhan dalam wilayah Nirguna Brahman (Parama Siwa Tattwa) tidak
dapat dikenali dan tidak dapat dipadupadankan dengan apapun (neti neti) yang mana dalam
istilah barat, Tuhan tidak bisa kita bayangkan dalam aspek Impersonal God. Selama pemuja
memberikan nama entah itu nama yang bersifat suci ataupun tidak, maka hal tersebut telah
mendefinisikan Tuhan kedalam batasan – batasan, sementara Tuhan dalam aspek ini tidaklah
boleh dibatasi oleh apapun. Dalam istilah lokal jenius Bali, tuhan dalam keadaan seperti ini
disebut dengan beberapa nama yaitu sang hyang sangkan paraning dumadi, sang hyang
tunggal, sang hyang parama kawi, sang hyang embang, sang hyang titah dan masih banyak
lagi. Kondisi Tuhan dalam keadaan ini sangat sulit dibayangkan oleh siapapun. Sejalan dengan
konsep tersebut, Bhagavad Gita X.2 menjelaskan bagaimana sulitnya membayangkan Tuhan
yang Mah Murni :

”na me viduh sura-ganāh prabhavam na maharsayah,


Aham ādhir hi devānām maharşīnām ca sarvaśah”

Terjemahan :
Baik para Dewa maupun Rsi Agung tidak mengenal asal mulaKu (Tuhan), sebab
dalam segala hal Aku (Tuhan) adalah sumber para dewa dan rsi agung

Pada wilayah teologi inilah banyak terdapat klaim oleh oknum tidak bertanggungjawab
yang mengakuibahwa pihaknya lah yang melakukan peujaan terhadap Tuhan dalam arti yang
sebanrnya yang dimaksudkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang mana hal tersebut yang
dimaksudkan sebagai konsep monotheisme murni. Pada hakekatnya, Tuhan dalam kondisi ini
tidak dapat diakui sebagai konsep monotheisme, sebab apabila Tuhan dikatakan sebagai yang
satu maka sejatinya Tuhan telah diidentitaskan dalam ukuran bilangan angka. Dengan demikian
Tuhan yang seharusnya tidak terukur oleh apapun menjadi terukur. Klaim – klaim tersebut
sebaiknya dijauhkan dari para menganut agama pada wilayah teologi ini. Sebab amatlah tidak
mungkin manusia yang serba terbatas membatasi tuhan yang Maha Tak Terbatas. Oleh sebab
itu tidak boleh ada kelompok atau oknum yang dengan sombongnya berani mengklaim bahwa
dirinya tidak tersesat dan orang lain tersesat, Donder (2009:35)

2.2 Sada Siwa Tattwa

Marselinawati (2020) menyebutkan Sada Siwa tattwa adalah Parama Siwa tattwa yang
telah terkena pengaruh Maya sehingga Ia memiliki guna, Sakti, dan swabawa. Parama Siwa
yang telah menyatu dengan saktinya, sehingga beliau dapat menciptakan, memelihara, dan
melebur. dalam konsep Tri purusa Tuhan dalam keadaan Sada Siwa disimbolkan dengan warna
merah Penjelasan tentang Sadasiwa Tattwa disampaikan dalam sloka 11 sampai sloka 13 yang
berbunyi :
”Sawyaparah, bhatara sadasiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira,
aparan ikang padmasana ngaranya sakti nira, sakti ngaranya,vibhusakti,
prabhusakti, jnanasakti, kriyasakti, nahan yang cadusakti.”
Terjemahan :
Sadasiwa aktif, berguna, bersinar, terdiri dari unsur kesadaran, mempunyai
kedudukan dan siftat - sifat. Ia memenuhi segalanya. Ia di puja karena tanpa
bentuk (sloka 11).
Ia maha pencipta, pelebur, pengasih, bersinar, abadi, maha tahu, dan ada di mana-
mana (sloka 12).

Bagi orang yang tak punya tempat berlindung, Ia merupakan saudara, ibu dan
ayah. Ia merupakan penawar dari segala rasa sakit dan membebaskan manusia
dari ikatan tumimbal lahir (sloka 13).

Donder (2009) apa yang dikatakan sebagai monotheisme oleh tologi barat maka ranah
Sada Siwa Tattwa (Saguna Brahman) inilah ranah yang sesuai untuk dipadupadankan. Dalam
aspek ini Tuhan mulai dibayangkan sebagai suatu sosok (impersonal God) yang berstana di
suatu tempat yang jauh semisal di sorga, dan dari tempat yang jauh itulah kemudian Tuhan
bekerja mengurusi semua ciptaanNya. Dalam keadaan ini Tuhan telah diberikan batasan
batasan berupa nama, ukuran, jarak, tempat serta waktu. Tuhan juga digambarkan dalam
berbagai aktivitas dan guna. Adapun beberapa unsur yang ditumpangkan terhadap Tuhan
penulis jelaskan pada sub – sub bab berikut.

2.2.1 Aspek Rwa Binedha

Ketika Brahman mulai ditumpangkan dengan atribut – atribut agar dapat


mempermudah manusia mengakses Tuhan, maka unsur pertama yang ditumpangkan terhadap
Tuhan adalah adanya dualitas. Dualitas tersebut meski berbeda secara entitas namun selalu
berjalan beriringan. Dualitas ini dalam konsep Hindu Indonesia dikenal dengan istilah Rwa
Binedha. Ketika Tuhan telah ditumpangkan dengan atribut Rwa Binedha ini, Tuhan yang
tunggal dan mutlak mulai diwujudkan dalam personal – personal tertentu seperti aspek
maskulin disebut dengan cetana dan aspek feminim disebut sebagai acethana. Istilah lain untuk
menggambarkan hal ini adalah purusha dan pradana. Ketika dalam entitasnya yang
ditumpangkan dengan aspek rwa binedha maka terdapat dua tattwa yang mengikatNya yaitu
Siwa Tattwa dan Maya Tattwa. Disinilah dikenal dengan konsep Ardhanareswari, Tuhan yang
digambarkan setengah laki – laki dan setengah perempuan. Dengan adanya identitas maskulin
serta feminim ini, dari sinilah asal mula lahirnya dewa dan dewi .
2.2.2 Aspek Tri Murti
Manusia melaksanakan pemujaan kepada Tuhan berdasarkan kebutuhannnya masing
masing. Tuhan dihadirkan dalam wujud atau sosok – sosok yang disesuaikan dengan daya nalar
dan jangkauan pemikiran manusia. Sosok – sosok itu disebut sebagai Dewa. Dewa berasal dari
kata ”div” yang berarti sinar. Sosok dewa dipercaya sebagai perwujudan sinar suci Tuhan
yangmenjadi perantara manusia mengakses Tuhan yang tak berwujud. Dalam, struktur
keyakinan Hindu Indonesia, terdapat tiga dewa utama yang menguasai silkus kehidupan alam
semesta. Ketiga dewa tersebut disebut Tri Murti yang perarti tiga wujud atau representasi dari
Brahman. Dalam kuasanya ini Tuhan menguasai kodrat utama alam semesta yaitu, penciptaan
(lahir), pemeliharaan (hidup) dan peleburan (kematian). Dewa Brahma merupakan kuasa
Tuhan sebagai pencipta alam semesta (Utpeti), Dewa Wisnu merupakan kuasa Tuhan sebagai
pemelihara alam semesta (Stitti), dan Iswara merupakan kuasa Tuhan sebagai pelebur alam
semesta (Pralina). Ketiga siklus ininah yang merupakan kodrat utama alam semesta beserta
seluruh isinya.

Suantini (2023) mengatakan bahwa konsep – konsep Tri Murti dapat ditemukan dalam
beberapa lontar di Bali. Salah satu Lontar yang memuat tentang Tri Murti adalah Lontar Tutur
Aji Saraswati. Konsep Tri Murti dalam naskah tutur aji saraswati dapat dilihat dalam naskah
tutur aji saraswati 2a. Pembagian konsep Tri Murti yang dipaparkan dalam naskah tutur aji
saraswati adalah pembagian dalam ranah horisontal. Tiap dewa dalam konsep Tri Murti
memiliki swabawa (karakteristik) masing-masing, yang disesuaikan dengan fungsi atau tugas
dari dewa tersebut. Pada esensinya tiapdewa dalam konsep Tri Murti memiliki kedudukan yang
sama (tidak ada dewa yang berkedudukan lebih tinggi ataupun lebih rendah). Hanya saja pada
zaman pemerintahan raja Hayam Wuruk (tahun 1350-1389) di kerajaan Majapahit terjadi
percampuran berbagai aliran, yaitu Siwa Siddhanta, Waisnawa, Brahmana, Bairawa, Pasupata
dan Sogatta. Aliran Siwa Siddhanta merupakan aliran yang paling dominan di kala itu, yang
disusul kemudian oleh aliran Waisnawa dan Brahmana. Itulah sebabnya maka dewa Siwa
mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari dewa Wisnu maupun Brahma. Walaupun
demikian ketiga dewa Tri Murti tersebut merupakan dewa yang sangat dihormati jika
dibandingkan dengan dewa yang lain.

Dari konsep Tri Murti ini kemudian berkembang menjadi konsep Isra Dewata yaitu
kepercayaan terhadap Dewa – Dewa yang menguasai ruang tertentu atau menguasai aspek
terstentu. Dengan adanya konsep Ista Dewata ini Tuhan memiliki ribuan nama dan sebutan
yang mana semua nama dan penyebutannya bergantung pada kepentingan dan tujuan manusia
memuja dan ruang pemujaan. Beberapa contoh yang dapat kita temui dalam kehidupan
beragama masyarakat Hindu Bali dan Indonesia pada umumnya yaitu pada saat Hari Saraswati
maka umat akan memuja Tuhan dalam fungsiNya sebagai penguasa ilmu pengetahuan, maka
yang dipuja adalah Tuhan dengan gelar Dewi Saraswati. Pada saat hari Buda Cemeng Klawu
umat melakukan pemujaan kepada kuasa Tuhan sebagai dewa uang sebagai simbol
kesejahteraan, maka yang dipuja adalah Tuhan dengan gelar Betara Rambut Sedana. Apabila
umat maturan di Pura Luhur Lempuyang, maka Tuhan dipuja dengan Gelar Iswara. Apabila
maturan di pura Batu Kau maka Tuhan dipuja dengan gelar Mahadewa, dan masih banyak lagi
contoh yang dapat kita temui. Semua itu bergantung dari tujuan, kepentingan serta aspek ruang
dimana Tuhan itu dipuja. Dengan demikian tidaklah salah bahwa Tuhan yang satu memiliki
banyak sebutan dan nama seperti : Betara – betari, Sang Hyang Sangkan Paran, Betara Guru,
Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Jagat Natha, Sang Hyang Tri Loka
Sarana, Sang Hyang Taya, Betara Melanting, Betara Batan Kepuh, Ratu Niang, Ratu Gede
serta masih banyak lagi sebutan Tuhan sebagai Ista Dewata.

2.2.3 Aspek Cadu Sakti

Sena (2017)Tuahan dalam konteks Sada Siwa Tattwa memiliki empat kemahakuasaan
yang disebut dengan Cadu Sakti. Tuhan atau Brahman bersifat Maha Tak Terbatas yang berarti
beliau bisa berada dimana – mana, memenuhi semua ruang, sehingga disebut dengan ”vyapi
vwapaka nirvikara”. Oleh karena Tuhan (Sadàsiwa) adalah “Wyàpi-wyàpaka” yaitu bersifat
kecil sekecil - kecilnya, besar sebesar-besarnya; berada dimana-mana serta menjadi telinga dari
segala telinga, pikiran dari segala pikiran dan mata dari segala mata, maka beliau serba
mendengar, serta tahu dan serba melihat, sehingga beliau maha-kuasa serta menjadi Saksi
Agung dari segala aktivitas alam-semesta ini, termasuk amal-dosa dari semua makhluk, maka
dari itu sukarlah bagi makhluk ini (khusunya manusia) hendak berbohong kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa. Tuhan (Sadàsiwa / Saguna-Brahma) adalah mempunyai empat macam ke-
saktian atau kekuatan yang utama bernama “Cadu-Sakti” yang terdiri dari: Wibhùsakti,
Prabhùsakti, Jñànasakti, dan Kriyàsakti. Keempat macam kekuatan tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Wibhu Sakti : Tuhan maha ada, memenuhi semua ruang

2. Prabhu Sakti : Tuhan maha menguasai segalanya


3. Jnana Sakti : Tuhan maha mengetahui segalanya

4. Krya Sakti : Tuhan maka karya, sebagai maha pencipta


Dalam kuasa Tuhan sebagai Jnana sakti, beliau memiliki Tiga Guna atau sifat mulia.
Adapun sifat – sifat mulia Tuhan itu adalah Dùràsrawana yaitu dapat mendengar yang dekat
dan jauh, Dùràsarwajña yaitu berpengertian / berpengetahuan serba sempurna dan Dùràdarsana
yaitu dapat melihat atau memandang yang dekat dan jauh serta luas. Dùràsrawana ini
maksudnya ialah dapat mendengarkan suara yang dekat dan yang sejauh - jauhnya atau suara
yang keras dan yang sehalus-halusnya termasuk bisikan-hati sekalipun. Dùràsarwajñà
maksudnya ialah dapat mengetahui segala-galanya, baik yang terdekat dan yang sejauh-
jauhnya maupun yang dalam keadaan telah lampau (àtita), yang sekarang (wartamàna) dan
yang akan datang yang akan terjadi (nàgata). Dùràdarsana maksudnya ialah dapat melihat
segala sesuatu yang berwujud ataupun yang semu, baik yang dekat dan yang sejauh-jauhnya
maupun segala sesuatu yang telah ada, yang sedang ada dan yang akan ada, dari tingkat yang
terbesar sampai dengan yang sekecil-kecilnya. Sena (2017)

2.2.4 Aspek Swabawa (potensi)

Tuhan merupakan aspek causa prima yang merupakan sumber dari segala yang ada.
Semua berasal dariNya dan pada waktunya nanti maka semua yang menjadi CiptaanNya akan
kembali lagi padaNya. Sebagai penguasa alam semesta, Tuhan memiliki delapan potensi atau
swabawa yang disebut dengan Asta Aiswarya. Adapun delapan Swabawa Tuhan tersebut
adalah :

1. Anima : maha halus


2. Laghima : maha ringan
3. Mahima : maha besar dan sangat luas, tak terbatas
4. Prapti : maha mencapai segala tempat
5. Isitwa : maha melebihi segala-galanya
6. Prakamya : kehendak-Nya selalu tercapai
7. Wasitwa : maha berkuasa
8. Yatrakamawasayitwa : kodrati tidak dapat diubah

2.2.5 Aspek Padmasana dan Mantrātma

Dalam kuasanya dari kontek Sada Siwa Tattwa, kemahakuasaan Tuhan diyakini
tersebar di seluruh ruang dan menguasai mata angin. Menurut kepercayaan Hindu di Indonesia
terkhusus di Bali, Tuhan dalam konteks Sada Siwa Tattwa diyakini memenuhi seluruh ruang
di semesta raya ini. Tiada satupun ruang yang tak terpenuhi oleh eksistensiNya. Kepercayaan
terhadap kuasa Tuhan yang menguasai seluruh ruang terkhusus penjuru mata angin tersusun
dalam konsep pangider – ider. Pangideran menurut tradisi Hindu Nusantara terdapat sembilan
arah yaitu timur, tenggara, selatan, barat daya, barat barat laut, utara, timur laut dan tengah.
Namun, secara singkat, diwalkili oleh lima penjuru mata angin yaitu timur, selatan, barat, utara
dan tengah. Di masing masing arah tersebut berstana Dewa – Dewa beserta atribut nya seperti
senjata, urip, dan aksara. Dari sinilah muncul konsep Panca Dewata dan Panca Brahma. Panca
Dewata terdiri dari Iswara di timur, Brahma di Selatan, Mahadewa di barat, Wisnu di utara dan
Siwa di tengah. Masing – masing Dewata tersebut memiliki aksaranya. Iswara beraksara SA,
Brahma beraksara BA, Mahadewa beraksara TA, Wisnu beraksara A dan Siwa beraksara I.
Sehingga bila dirangkai akan muncul aksara SA-BA-TA-A-I yang mana Panca Aksara ini
kemudian dirangkai menjadi konsep Panca Brahma.

2.3 Siwa Tattwa

Bagian terakhir dari ajaran Tri Purisha adalah Siwa Tattwa atau Siwātma Tattwa.
Konsep ini memandang Tuhan telah menurunkan kualitas kemurniannya dan menyusup ke
semua ciptaanya. Dalam Upanisad kita mengenal adanya atman. Atman berasal dari akar kata
”an” yang berarti nafas. Atman merupakan aspek yang menentukan suatu ciptaan dapat hidup,
tumbuh dan berkembang. Atman tiada lain adalah percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, Tuhan itu sendiri. Oleh karena kepercayaan bahwa Tuhan masuk ke setiap ciptaanNya,
maka dari sinilah lahir konsep isme – isme dalam meyakini kekuatan Tuhan. Yang pertama
dan yang umum kita kenal adalah Dinamisme. Maulana (dalam Donder, 2009:543) mengatakan
bahwa animisme merupakan sistem kepercayaan terhadap segala sesuatu di alam semesta ini
dihuni oleh roh atau jiwa yang berbeda – beda. Kepercayaan berikutnya adalah Dinamisme.
Dinamisme merupakan suatu kepercayaan primitif yang mempercayai bahwa semua benda
memiliki kekuatan supranatural, kekuatan gaib atau mengandung energi kesaktian.
Kepercayaan ini yakin bahwa semua benda di alam semesta ini memiliki energi atau kekuatan
duluar nalar manusia baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Kedua kepercayaan ini
dapat kita temui dalam Ajaran Hindu. Sebagian orang enggan mengakui hal ini, namun
semestinya merupakan suatu kebanggan menerima kenyataan ini, sebab Hindu merupakan
agama yang dapat menampung seluruh sistem kepercayaan. Menurut asumsi penulis, dengan
inilah kita dapat membuktikan bahwa Tuhan dalam Kualitasnya sebagai Siwātma Tattwa
memang benar benar menresap ke semua ciptaanya termasuk dalam Tubuh manusia. Sehingga
dengan demikian tidak ada ruang yang tak terisi oleh Kemahakuasaan Tuhan.
III KESIMPULAN DAN SARAN

Hindu sebagai Agama tertua di dunia sudah sejak berabad – abad lamanya memiliki
jaran yang sangat Luhur. Semua pengetahuan baik yang bersifat spiritual (para vidya) maupun
duniawi (apara vidya) tersusun dalam satu konsep yang disebut ”Brahma Widya”. Veda
sebagai pustaka suci Hindu memuat ajaran – ajaran kebenaran tertinggi yang dihimpun oleh
para Maharsi terdahulu. Seluruh ajarannya abadi sepanjang masa mulai dari awal terciptanya
alam semesta, bahkan hingga kehancuran alam semesta nanti, rekaman ajarannya masih
tersimpan di semesta raya. Salah satu konsep ajaran yang terkandung dalam Veda alah ajaran
tentang ketuhanan, yang mana diejawantahkan di dalam lontar – lontar sehingga menjadi
konsep Widhi Tattwa. Dalam kepercayaan Hindu, Tuhan didefinisikan dalam dua kualitas yaitu
kualitas Tuhan yang maha murni yang tak terbatas dan tak terjangkau oleh apapun yang disebut
Nirguna Brahman dan kualitas Tuhan yang ditumpangkan atribut untuk mempermudah
mengaksesnya yang disebut dengan Saguna Brahman. Dari konsep tersebut lahirlah ajaran Tri
Purusha yang terdiri atas tiga bagian. Parama Siwa Tattwa merupakan keadaan Tuhan yang
maha murni yang tak terbayangkan oleh siapaun dan tak terdefinisikan oleh apapun. Yang
kedua adalah Sada Siwa Tattwa, merupakan Tuhan yang telah menurunkan kualitasnya
kemurniannya sehingga mulai dapat dibayangkan dan diakses oleh pemujanya. Dari sinilah
terlahir konsep Ista Dewata. Dan yang terakhir adalaj Siwātma Tattwa yaituTuhan yang
meresap dan memasuki setiap ciptaanya.

Karya Tulis ini merupakan bentuk refleksi penulis atas segala materi yang telah penulis
dapatkan di bangku pascasarjana Strata Dua Brahma Widya. Sebagai penulis pemula, tentu
sangat banyak kekurangan dalam karya tulis ini. Penulis banyak mengharapkan kritikan, usul,
saran, masukan serat bimbingan dari semua pihak terutama Yang Terhormat Bapak Prof. Dr.
Drs. I Made Surada, M.A selaku pengampu mata kuliah Matrikulasi Brahma Widya. Dengan
penuh kerendahan hati, penulis memohon bimbingannya agar karya tulis ini dapat
tersempurnakan. Terakhir, penulis menyampaikan permohonan maaf apabila ada sesuatu yang
kurang berkenan dalam karya tulis ini. Semoga karya tulis ini memberikan manfaat pada semua
pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Donder, I Ketut.Brahmavidya:Teologi Kasih Semesta.Surabaya:Paramita.2006


Donder, I Ketut.Teologi:Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah Tentang Tuhan
Paradigma Sanatana Dharma.Surabaya:Paramita,2009
Marselinawati, P. S. (2020). Teologi Pembebasan Dalam Teks Wrspati
Tattwa. Jnanasiddhanta: Jurnal Teologi Hindu, 1(2).
Putra, I.G.A.G & Sadia, I Wayan.Wrhaspati Tattwa.Surabaya:Paramita.2009
Sena, I. G. M. W. (2017). Konsep Teologi Hindu Dalam Teks Bhuana Kosa. Jurnal Widya
Katumbug, 9, 53-64.
Suantini, N. W. (2023). Konsep Tri Murti Dalam Teks Tutur Aji Sasaraswati. Jnanasiddhanta:
Jurnal Teologi Hindu, 4(2), 111-122.
Zazuli, Muhamad.Sejarah Agama Manusia.Yogyakarta:Narasi.2021

Anda mungkin juga menyukai