Anda di halaman 1dari 18

JURNAL PANGKAJA Vol.23, No.

1 Januari-Juni 2020
PROGRAM PASCASARJANA ISSN : 1412-7474 (Cetak)
INSTITUT HINDU DHARMA ISSN : 2623-2510 (Online)
NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id

KORELASI PEMUJAAN LELUHUR DENGAN FENOMENA


SAMPRADAYA DI BALI

Hari Harsananda
Anak Agung Ayu Alit Widyawati
Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar
email: hariharsananda@gmail.com

Diterima tanggal 20 November 2019, diseleksi tanggal 1 Desember 2019, dan disetujui
tanggal 21 Januari 2020

ABSTRACT
Hinduism is a universal religion that has a variety of styles of worship of the Holy spirit
which is called God. Variants embodied in this style of worship which have
dichotomous implications, on the one hand provides freedom in terms of worship that is
egalitarian, but on the other hand raises which debate is better so that friction tends to
be unavoidable in this case. The conventional Balinese Hindu religion and Sampradaya
actually have good values that can be offered, so that the transfer of beliefs internally in
Hinduism is very possible. Another factor is the archaeic cultural style that is closely
attached to the Balinese people who do have an agrarian system so that worship of God
in its strength aspect is very foremosted and the boring religious style makes this
variant of the internal transfer of faith a tantalizing thing. These factors further
exacerbate the dispute between Sampradaya and the concept of local diversity in Bali.
The solution to this friction is very necessary in order to maintain the stability of
Hinduism in Bali in particular and Indonesia in general.
Keywords: Hindu, Bhuwana Mahbah, Sampradaya

ABSTRAK
Agama Hindu merupakan agama universal yang memiliki keberagaman gaya pemujaan
terhadap spirit Suci yang di sebut Tuhan. Varian yang terdapt pada gaya pemujaan ini
yng menimbulkan implikasi yang dikotomis, di satu sisi memberikan kebebasan dalam
hal pemujaan yang bersifat egaliter, namun disisi lain menimbulkan perdebatan mana
yang lebih baik sehingga friksi cenderung tak terhindarkan dalam hal ini.
Keberagamaan Hindu Bali konvensional dan Sampradaya sesungguhnya memiliki nilai
– nilai baik yang bisa ditawarkan, sehingga perpindahan keyakinan secara internal
dalam agama Hindu sangat mungkin terjadi. Faktor lainnya adalah corak kebudayan
arkhais yang melekat erat pada masyrakat Bali yang memang memiliki sistem agraris
sehingga pemujaan Tuhan pada aspek kekuatannya sangat terlihatserta corak
keberagamaan yang membosankan menjadikanperpindahan keyakinan secara internal
ini menjadi sesuatu yang menggiurkan. Faktor- faktor tersebut semakin memperuncing

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 101 1


perselisihan antara Sampradaya dengan konsep keberagaam local di Bali. Solusi atas
friksi ini sangat diperlukan demi menjaga agar Agama Hindu tetap terjaga stabilitasnya
di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kata Kunci: Hindu, Bhuwana Mahbah, Sampradaya

I. PENDAHULUAN • Suatu sistem tingkah laku yang


berasal ari kekuatan gaib
Agama merupakan hal yang
• Pengakuan terhadap adanya
kehadirannya bagi sekelompok besar
kewajiban-kewajiban yang
warga dunia sangat berarti. Agama
diyakini pada suatu kekuatan
dapat menjadi jalan hidup dan menjadi
gaib
penuntun bagi masyarakat penganutnya
dalam bertindak dan berprilaku di dunia • Pemujaan terhadap kekuatan
ini. Agama sendiri jika ditelisik melalui gaib yang timbul dari perasaan
etimologi kata berasal dari bahasa yang lemah dan perasaan yang
sansekerta yaitu “A” yang berarti tidak takut terhadap kekuatan yang
dan “Gam” yang berarti pergi, sehingga misterius yang terdapat dari
secara arti kebahasaan, agama berarti dalam alam sekitar manusia,dan
“tidak pergi” atau dalam konsep ini • Agama yang diwahyukan Tuhan
adalah agama merupakan suatu hal yang kepada manusia melalui seorang
melanggengkan, teratur dan membawa rasul, juru selamat atau
kedamaian. Selain secara etimologi semacamnya
kata, pengertian agama memiliki Berdasarkan beberapa terminology
terminologi – terminology beragam di atas dapat dirumuskan bahwa
yang dikemukakan oleh para ahli, sejatinya agama adalah sesuatu yang
namun Harun Nasution (1979: 9-10) menempatkan ‘Yang Gaib” sebagai
dalam Imron (2015:11-12) akhirnya yang utama. Tentunya “Yang Gaib”
mengemukakan beberapa definisi dalam terminology tersebut adalah
agama yaitu : Tuhan, suatu eksistensi diluar pemikiran
manusia. Hindu selaku agama juga
• Pengakuan terhadap adanya memiliki konsep “Yang Gaib” tersebut
hubungan manusia dengan dan menempatkan-Nya pada posisi
kekuatan gaib yang harus tertinggi sistem keyakinan umat Hindu
dipatuhi yaitu Brahman dalam konsep Panca
• Pengakuan terhadap adanya Sraddha. Brahman sebagai suatu
kekuatan gaib yang menghiasai realitas adikodrati selalu dihormati dan
kehidupan manusia dipuja dalam sistem keberagamaan
• Mengikat diri pada suatu bentuk Hindu, hanya saja proses pemujaan itu
hidup yang mengandung bervariasi sesuai gaya dan budaya
pengakuan pada suatu sumber masyarakat Hindu yang sesuai dengan
yang berada di luar diri manusia local geniusnya.
yang mempengaruhi perbuatan
mereka II. PEMBAHASAN
• Kepercayaan pada suatu 2.1 Konsep Pemujaan Leluhur dalam
kekuatan gaib yang Teks Bhuana Mahbah
menimbulkan cara hidup Seperti yang telah diuraikan di
tertentu atas bahwa sejatinya proses pemujaan
kepada Tuhan memiliki pola dan cara

102 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020


1
yang beraneka ragam. Realitas hingga pada roh halus yang tak
Brahman dalam Hindu sendiri terhitung jumlahnya, roh leluhur, roh
sesungguhnya tanpa batas. Beliau dalam objek – objek alam.
merasuki seluruh ciptaannya, hal ini Leluhur sendiri dalam Kamus
menjadi sedikit berbeda dengan agama Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
abrahamik yang jelas menempatkan nenek moyang, dalam konsep pemujaan
Tuhan pada posisi superios sedangkan leluhur di Bali sendiri, proses pemujaan
umat manusia berada posisi inferior leluhur ini bukanlah pada sembarang
sehingga ada jarak antara pemuja leluhur, melainkan pada roh leluhur
dengan Yang Dipuja. Konsep hindu yang telah melalui proses inisiasi.
menekankan bahwa sesungguhnya Pentingnya pemujaan Leluhur juga di
antara Tuhan dan ciptaanya memiliki tunjukkan oleh Raja Dasarata dalam
realitas yang sama ( Brahman Atman kekawin Ramayana sebagai berikut
Aikyam) namun pada level yang Kekawin Rāmāyana I:
berbeda. Perbedaan itu dapat terjadi Gunamānta Sang
karena pada manusia dan ciptaan-Nya Daśaratha,Wruh sira ring wéda
yang lain dipengaruhi unsur maya yang bhakti ring déwa,
membuat ciptaan dari Tuhan memiliki tar malupéng pitrěpūja,māsih ta
level yang berbeda dengan Tuhan itu siréng swagotra kabéh.
sendiri. (prathamas sarggah. 3)
Realitas Brahman yang
terstruktur dapat dilihat dari berbagai Terjemahan:
nama manifestasi Brahman yang hadir Gunawanlah Sang Dasarata.
diantara umatnya, seperti Dewa yang Pandai baginda dalam Weda,
berakar kata dari “Div” yang artinya bakti kepada para dewa. Tidak
sinar, atau dalam penjelasan ini lupa akan pemujaan leluhur.
bermakna sinar – sinar suci dari Tuhan, Bagindapun mengasihi dan
ada Bhattara yang berakar kata “Bhat” menyayangi keluarganya
yang artinya kekuatan atau dalam semua.(Sargah I.3)
terminology ini merumuskan bahwa
Bhattara merupakan manifestasi
kekuatan dari Brahman, dan Atman Salah satu lontar di Bali yang memuat
yaitu percikkan terkecil Tuhan yang proses dan tatacara dalam memuja
mendiami dan menjadi spirit bagi leluhur adalah lontar Bhuna Mahbah,
makhluk ciptaannya. dalam lontar Bhuana Mahbah terurai
Pemujaan terhadap leluhur sebagai berikut;
sendiri merupakan sebuah konsep 12a. -/- mangkana
pemujaan yang mana menurut Tylor kramaning manusa aniwi
dalam Pals (2012:41) merupakan salah ring sanghyang widhi, muang
satu bentuk atau wujud keberyakinan ring bhuta pitara.
dalam masa primitive culture atau Yen arep sira weruh atutakna
berada pada ranah Animisme. Lebih denta. Iki maka sadhananya
lanjut Tylor dalam Dhavamony (1995: ring baten, saweneba, yan
67) menyatakan Animisme dapat kita agung yan alit, wenang , base,
definisikan sebagai kepercayaan pada buah, sudang taluh, canang
makhluk – makhluk adikodrati yang limang tanding.
dipersonalisasikan. Manisfestasinya Sagedenya, dama lewihin,
adalah dari Roh yang maha tinggi ayam pinukang-pukang

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 103


dadiang limang buah pinang, sudang taluh,
tanding.Tĕnggĕknyane, tĕken canang limang tanding. Sarana
kibulnyane, dading yang lebih besar memaka daging
atanding.Kampidnyane maka ayam yang dibagi-bagi rata
duang aneh dadiang menjadi lima tanding. Kepala
antanding.Paannyane teken dan ekornya dijadikan satu
batisnyane dading tanding.Kedua sayapnya juga
atanding.Hirin tingkah dijadikan satu tanding, paha dan
tatandingane maka limang kakinya juga dijadikan satu
tanding.Tenggek sasayuk dadi tanding.
atanding.Ganahnya tenggek Inilah tata cara mengatur bahan
lawan kibul.Ne petang upacara tersebut. Kepala sesayut
tanding, guk cacahan. dijadikan satu tempat dengan
Telas. tandingan kepala dan ekor
Ayam ika kangge saulĕsnya. ayam.Empat tandingan yang
Apan panugrahan ida lainnya diatur sedemikian
Sanghyang Widhi Kamulan rupa.Selesai.
pangrekahan. Tingkahing Ajaran yang dijadikan sarana
abanten ring dina kang kocap upacara tidak ditentukan
ring arep bulunya (bebas).Sebab
Iti panksamane ring demikianlah anugrah sanghyang
Bhatara Sanghyang Kumulan Widhi Kamula.
pangrekahan, muang -/- Pangrekahan dalam
angaturaken banten, ma : mempersembahkan sesajen pada
hari-hari tersebut diatas.
12b. Pakulun Sanghyang Inilah puja mantra yang
Guru ring Kumulan dipersembahkan untuk
pangrekahan, angaturang mengantarkan sesajen kepada
canang apĕtik sar, Ica Ida ayu Sanghyng kemulan
sari, sidhir astu ya namah pengrekehan.
swaha. Telas. Malih ngabhakti
ngagem sekar, ma, “Ong 12b. “Pukulan Sanghyang
Mang Iswara Ya namah Guru ring kamulan pangrekehan,
swaha, manusanira ngabhakti angaturang, canang apĕtik sari,
ring Hyang Parangin”… Iccha Ida Ayub Sari, Siddhir
astu ya namah swaha.”
Terjemahannya : Selesai.
Setelah itu menghaturean bhakti
12a. Demikianlah tata cara dengan bunga.
yang mesti dilaksanakan oleh Mantranya : “ Ong Mang Iśwara
manusia untuk memuja Tuhan ya nama swaha.
dan Para leluhur. Manusia nira Ngabhakti ring
Jika engkau ingin tahu turutilah Hyang Parangin.”
ini.Ini adalah sarananya, Kutipan teks di atas telah
menggunakan banten.Sesuaikan menjelaskan bahwa dalam proses ritus
menurut besar kecilnya pemujaan leluhur, sarana yang
(upacara). Sarana yang diperlukan adalah daun sirih, buah
diperlukan adalah : daun sirih, pinang, sudang taluh, canang limang

104 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020


tanding. Dapat pula menggunakan Veda yang terdiri dari 1875 mantra
sarana ayam. Terdapat pula mantra yang dipelajari oleh 1000 sakha, Yajur
digunakan dalam proses pemujaan Veda dengan jumlah mantra 1975
tersebut yakni : “ Ong Mang Iśwara ya dipelajari oleh 109 sakha dan
nama swaha. Manusia nira Ngabhakti Atharva Veda dengan jumlah
ring Hyang Parangin.” mantra 5967 dipelajari oleh 50
sakha. Setiap sakha berada dalam
2.2 Ritus Pemujaan Leluhur Terkait pengawasan dan bimbingan seorang
Sampradaya Di Bali Maha Rsi yang telah diakui
Kehadiran Sampradaya di kredibilitasnya( Wiana, 2003 : 2 ).
Bali secara eksplisit menimbulkan Sakha adalah Vedic School
keresahan bagi masyarakat, sedangkan kitab suci Veda
terutama bagi masyarakat yang merupakan kurikulumnva.
memegang teguh kearifan lokal. Meskipun kurikulum yang
Frasa Indianisasi yang melekat pada diterapkan secara generic oleh
kaum sampradaya menimbulkan setiap sakha itu namun setiap
tafsir anti kearifan lokal yang sekolah (sakha) itu akan
berimplikatif pada friksi yang mengembangkan kekhasannya
muncul dalam masyarakat. Guna scndiri sebagai suatu ciri yang
mampu menganalisa fenomena ini, membedakan satu perguruan dengan
maka akan dijabarkan satu persatu. perguruan lainnva. Dari sekian
banyak sakha itulah kemudian
2.2.1 Pengertian Sampradaya menelorkan kitab Upanisad. Masing
Sebelum membahas tentang - masing Upanisad tentu memiliki
kehadiran sampradava di Bali, kira penekanan yang berbeda - beda.
perlu juga disinggung sccara namun perbedaan itu tidaklah
sepintas benang merah yang merupakan suatu pertentangan
menyebabkan munculnya dalam Hindu. Perbedaan dipandang
sampradaya dalam Hindu. Agama sebagai kreasi untuk mentradisikan
Hindu yang mengalir dan Veda missi dan visi Veda. Dan sakha
(Catur Veda Samhita) memiliki itulah berkembang menjadi
sifat yang universal. Sampradaya atau garis perguruan
Keuniversalannya ini merupakan Setiap garis perguruan atau
salah satu kendala, karena tidak sampradava itu akan
semua umat Hindu mampu mempertahankan ke khasnya secara
memahami isi dari kitab suci Veda turun temurun dan
itu. Guna dapat melembagakan berkesinambungan vang disebut
ajaran Veda itu secara intensif, dengan Parampara. Tiap - tiap
maka dibentuklah kelompok spiritual Sampradaya itu akan berlomba -
(Vedic School) sebagai pusat lomba secara sehat menawarkan
pengkajian yang disebut dengan kurikulumnya yang berbasis
Sakha. Pada sakha inilah masing- kompetensi sehingga ajaran Veda
masing bagian mantra Samhita itu dapat dimplementasikan dengan
dipelajari. mudah untuk meningkatkan kualitas
Kitab Suci Catur Veda yang hidup.
terdiri dari 20389 mantra, terbagi Seiring dengan bergulirnya
atas Rg Veda terdiri dari 10552 sang waktu, sampradaya tumbuh
dipelajari oleh oleh 21 Sakha. Sama pesat pada zaman Purana, hal ini

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 105 1


dibuktikan dengan munculnya Bali seperti apa yang disuratkan
pemujaan terhadap Brahma, Visnu oleh Bhuwana Kosa, Wrhaspati
dan Siwa sebagai suatu tawaran tattwa, Tattwa Jnana dan pustaka
kepada umat untuk memilih Ista tattwa lainnya, telah memberikan
Devatanya Penonjolan pemujaan petunjuk yang jelas bahwa Umat
kepada salah satu aspek Tuhan itu Hindu di Bali adalah penganut garis
seakan - akan memunculkan faham perguruan (sampradaya atau paksa)
yang sekterian. Karena setiap Saiwa Siddhanta. Kemudian faham
sampradaya akan menetapkan ini berafiliasi dengan Tantrisme,
ajaran teologi yang terkesan fanatik hal ini dimungkinkan mengingat
dan bersifat eksklusivisme, hal itu kedua faham atau paksa ini
terjadi sebagai akibat dan memiliki substansi ajaran yang
direduksinya ajaran pedagoginya. parallel seperti urutan penghargaan
Pada zaman Bali Kuno tidak seperti di atas memiliki kesesuaian
dikenal yang namanya Sampradaya. dengan ajaran Panca Makara ( Panca
Istilah itu parallel dengan Paksa, Ma ), yang terdiri dari ; mamsa,
yang mulanya berarti sayap matsya, maithuna, Madhya danmudra.
kemudian berarti aliran. Pada Adanya aflliasi antara
zaman itu berdasarkan penelitian Sampradaya Siwa Siddhanta
yang kemudian dituangkan dalam dengan Sampradava Tantrayana
desertasinya tahun 1926 Goris melahirkan perilaku keagamaan
menyebutkan bahwa, di Bali yang lebih membobotkan pada
berkembang sembilan sekte pelaksanaan ritual dengan berbagai
maksudnya paksa, yang terdiri dari macam simbolnya demi
Siwa Siddhanta, Pasupata, memperoleh wisesa atau daya
Bhairawa, Waisnawa, Bodha kekuatan. Sehingga timbul kesan
(Sogatha), Brahmana, Rsi, Sora sifat ajarannya sangat tertutup (
(Surya), dan Ganapatya. Kehadiran rahasia ). Hanya orang - orang
Mpu Kuturan dari Javva pada tertentu saja yang boleh
zaman itu, merupakan pelopor yang mempelajarinya. Kesimpulannya
mempersatukan seluruh paksa itu, adalah, ajaran ini terkesan tertutup,
yang diakomudasi dalam konsepsi bagi kaum awam prilaku
Tri Murti (Pemda Tk I Bali, keagamaan cukup dengan
1987:56- 58). mengadakan tindakan ritual. Ciri
Berdasarkan penelitian yang demikian ini memposisikan
Goris, menyatakan adanva urutan faham Siwa yang bercorak tantris
penghargaan dalam kegiatan ini ke dalam Agama Arkais (agama
keagamaan di Pulau Bali, dari yang Kuno).
paling rendah kepada yang paling
tinggi seperti; arcana, mudra, 2.2.2 Faktor – Faktor Penyebab
mantra, kuta mantra, pranawa yang Perkembangan Sampradaya
masih tetap terpelihara sampai saat di Bali
ini, menunjukkan bukti adanya sifat Keberagamaan Yang Bercorak
ajaran Siddhanta (dari paksaSiwa Arkais.
Siddhanta). Apa yang dinyatakan oleh
Kemudian hadirnya Siwa Robert. N. Bellah ( 2000 : 44 ) dalam
sebagai azas tertinggi sebagai bukunya yang berjudul Beyond Belief
Tuhan dalam teologi umat Hindu di menyatakan, Ciri khas agama Arkais

106 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020


1
adalah munculnya pemujaan sejati (2003 : 35) dalam bukunya yang
dengan jaringan dewa - dewa, para berjudul Psikologi Agama Sebuah
imam, penyembahan, pengorbanan, dan Pengantar menyatakan bahwa, definisi
dalam beberapa kasus, raja yang substantif suatu agama
sekaligus memegang wewenang menghubungkan agama dengan Tuhan
kepemimpinan agama (pandita- ratu) dengan konsep - konsep sejenis,
Di samping ciri di atas yakni adanya definisi fungsional menghubungkan
pembobotan pada pemujaan ( agama dengan upaya manusia
pelaksanaan ritual / divine or priestly menjawab masalah - masalah
kingship ). Kemudian ciri organisasi kehidupan, masalah
keagamaannya ( ibid : 47 ) dinyatakan eksistensial.Adanya fenomena seperti
masih menyatu dengan struktur yang ditunjukkan di atas, menyebabkan
lainnya. Kemunculan sistem dua klas, terjadinva konversi agama. Apakah
yang terkait dengan meningkatnya konversi internal ataupun konversi
kepadatan penduduk yang eksternal. Banyaknya pengikut
dimungkinkan oleh agrikultur. Sampradaya di Bali seperti Sai Baba,
Kelompok status atas, yang condong Hare Krsna. Ananda Marga, Brahma
memonopoli kekuasaan militer dan Kumaris, menandakan adanya konversi
politik, biasanya mengklaim status internal pada umat Hindu di Bali.
keagamaan yang lebih tinggi. Keluarga
- keluarga ningrat bangga dengan garis Rutinitas Keagamaan Yang
keturunan mereka yang berasal dari Menjemukan.
dewa - dewa yang kerapkali Di samping factor di atas,
memainkan peran - peran keimaman. factor lain yang menyebabkan umat
Pandita Ratu ( divine king), yang Hindu melakukan konversi internal
merupakan penghubung utama antara adalah untuk menghapus kejenuhan
rakyat dan para dewa. rutinitas yang berkepanjangan.
Memasuki era global, dimana Keaneka ragaman budaya rohani
telah terjadi revolusi berpikir disemua yang ditawarkan oleh sampradaya
belahan bumi ini, setiap yang ini diharapkan mampu memberikan
dikerjakan menuntut suatu keefisienan kegairahan hidup, seperti apa yang
serta kepraktisan. Demikian pula dalam disampaikan oleh M.K Gandhi
kehidupan beragama, bagi sebagian (dalam Wiana, 2003 : 12)
orang yang lebih menekan pada bahwa,Hindu itu selalu harus tampil
rasionalisasi, keberagamaan model remaja dan sehat agar selalu
arkais tidaklah menjadi pilihan, atau memberikan hidangan spiritual pada
bahkan secara perlahan - lahan mulai umatnya dengan penuh gairah. Hal
ditinggalkan. Agama tidak cukup tersebut senada dengan apa yang
didefinisikan secara substantif disampaikan oleh Sri Swami
(merekam agama dalam keadaan statis Siwananda (1996: 138) dalam
),- apakah agama itu ? - bukan agama bukunya yang berjudul All About
dalam geraknya- apa yang dilakukan Hinduism ( Terj. Intisan Ajaran
agama ? Oleh karena itu orang - orang Hindu) menyatakan,Hinduisme
lebih menekankan hidupnya pada menampung segala tipe manusia dan
budaya nalar akan melirik agamadalam memberikan hidangan spiritual bagi
praktek yang lebih mengutamakan setiap orang, sesuai dengan
fungsionalnya. kemampuan dan pertumbuhannya
Menurut Jalaluddin Rakhmat masing masing. Hal itu merupakan

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 107 1


keindahan dari Agama Hindu yang memiliki sifatSanatana dan Anutana.
menarik hati ini, yang merupakan Sanatana artinya kekal abadi, yang
kemuliaan Hinduisme. dimaksud disini adalahbahwa,
Adanya komitmen di dalam dharma atau kebenaran isi Veda itu
ajaran Hindu untuk menampilkan bersifat mutlak atau absolut.
ajaran yang senantiasa remaja KemudianAnutana artinya berubah,
(penuh gairah) seperti apa yang yang dimaksudkan dalam istilah ini
disampaikan oleh M. K Gandhi adalah bahwa dalampenerapan
sebagai akibat dari universalnya ajaran Veda ini memiliki sifat
ajaran Hindu sebagai suatu brosur relativitas, disesuaikan dengan
kehidupan manusia di bumi yang perubahandan perkembangan zaman
terdiri dari segala tipe, seperti apa dan konsep ajaran Anutana inilah
yang dinyatakan oleh Sri Swami berkembang konsep Ista Devatadan
Siwananda Realita yang seperti ini konsep Adhikara. Dari konsep Ista
akan membawa pada suatu Dewata berupa kebebasan yang
konsekuensi timbulnya varian diberikan olehagama Hindu kepada
dalam ajaran Hindu. Varian inilah para pemeluknya untuk memilih
kemudian disebut dengan nama dan bentuk Tuhan, yangtelah
Sampradaya, yang merupakan diterangkan oleh kitab Suci Veda,
kelebihan dari pada Hindu untuk baik Personal God maupun
selalu tampil menggairahkan dalam Impersonal God,yang ingin mereka
upaya mengeksiskan Hindu secara puja, disesuaikan dengan
berkesimabungan. kesenangan dan kemantapan
Memindahkan pilihan dan satu hatinuraninya ( atmanastusti ).
sampradaya ke sampradaya lain Konsep Ista Devata ini
yang oleh Clifford Geert disebut bukanlah ajaran yang direkayasa
dengan "konversi internal". Lain lagi oleh Para MahaRsi, hal tersebut
pendapat Rodney Stark (2003: 127 - memamg telah disuratkan dalam
128) Sosiolog yang ahli ilmu kitab Rg Veda I. 146. merupakan
perbandingan agama dari sabda suci Tuhan yang berbunyi
universitas Washington, sebagai berikut:
menyatakan perubahan dalam
lingkungan budaya yang sama "Indram mitram Warunam
(perubahan internal) tidak Agnim ahur Atho divyah sa
diidentifikasi sebagai misionarisme Suparno Garutman Ekam sat
(konversi agama) tetapi sebagai vipraa bahudhaa wadanti
evanjelisme, yakni sebuah upaya untuk Agnim Yamam Maatarisvaanam
mengintensifkan komitmen publik ahuh."
terhadap agama (agama) konvensional
dan suatu masyarakat. Hal ini
Artinya:
merujuk pada kebangkitan kembali
misi - misi Kristen yang bercorak Mereka menyebut Indra,
sekterian. Mitra, Varuna, Agni dan
Dia yang bercahaya, yaitu
Kebebasan Memilih Jalan Garutman yang bersayap
Spiritual elok , Yang Maha Esa itu
Semangat ajaran Veda yang (Tuhan YME) oleh orang -
meresapi seluruh ajaran Hindu orang bijaksana

108 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020


menyebutnya dengan kemantapan hatinya, dimana agama
banyak nama seperti : Agni, Hindu itu berkembang. Dalam
Yama, dan Maatarisvan" ( konteks ini dimungkinkan
Titib, 1989 : 7 ). mengakomudir budaya lokal dan
Konsep pemujaan leluhur kearifan lokal sehingga
selaku kearifan local dihadapkan menimbulkan keaneka ragaman
pada tantangan berat pada bagian bentuk dan cara pelaksanaan ritual
ini. Konsep Ista Dewata memberi agama. Dengan demikian pemeluk
warna baru ditambah penggalan Hindu senantiasa dimotivasi untuk
kitab Bhagavad Gita sebagai terus berkreasi mengembangkan
berikut: tradisi Weda. Kreasi dalam tradisi
Yànti deva- vratà devàn harus tetap membawa misi dan visi
pitæn yànti pitå-vratàh, Weda. Terkait dengan tradisi yang
bhùtani yànti bhùtejyà yànti sering dirancukan visi Veda,
mad-yajino’pi màm Mahatma Gandhi mengatakan,
(Bhagavad- Gità IX-25) berenang di lautan tradisi adalah
Terjemahannya: suatu kehindahan. Namun kalau
Yang memuja Devatà pergi sampai tenggelam di lautan tradisi
kepada para devatà, kepada adalah suatu ketololan (Wiana,
leluhur perginya yang 2003: 3). Kreasi yang
memuja leluhur mereka, dan mengakomodasi tradisi yang
kepada roh alam perginya bervarisi hanyalah sebagai jalan
yang memuja roh alam; tapi untuk memudahkan umat
mereka yang memuja-Ku, melakukan kebaktian kepada-Nya.
datang kepada-Ku. Terhadap jalan ataupun tradisi yang
bervariasi ini memang telah
Kutipan sloka di atas sangat digariskan oleh kitab suci seperti
memberi pengaruh terhadap konsep yang tertuang dalam Pustaka suci
pemujaan leluhur dikarenakan Bhagavad Gita sebagai berikut:
adanya makna implisit yang "Ye yathaa maam
merumuskan sebuah stratifikasi prapadyante,tamss tathai ‘
dalam tingkatan pemujaan spiritual vaa bhajamy aham,
yang sehingga ada semacam niatan mama vartma ‘ nuvartante
masyarakat dalam manushyah paartha
mentransformasikan aktivitas sarvasah"
pemujaan leluhur menuju pemujaan ( B.G. IV. 11 )
Ista Devata Artinya:
Di zaman Purana penamaan "Jalan manapun
Tuhan yang beraneka ragam itu ditempuh manusia ke
tidak terbatas pada abhiseka di atas arah-Ku semuanya Ku-
melainkan lebih berkembang lagi terima dan mana - mana
dan terfokus pada pemujaan dewa – semua mereka menuju
dewaTri Murti, dari ajaran Adhi jalan-Ku oh Partha" (S.
Kara, memberikan kebebasan Pendit 1986: 86).
kepada penganut agama Hindu
untuk memilih disiplin, tatasusila Yo-yo yaam - yaam tanum
dan tatacara yang sesuai dengan bhaktaah sraddhaya’rcitum,
budaya, kemampuan dan icchati,

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 109 1


tasya- tasvaa calam pendapat Robert. N Bellah, harus
sraddham tam eva diupayakan adanya pencerahan
vidadhamv aham. melalui pelembagaan
(B.G. VII.21). (institusionalisasi) yang utuh sesuai
dengan teks dan konteks zamannya
Artinya: dari nilai - nilai (value) yang ada
Apapun bentuk kepercayaan ada pada masing - masing faham
yang ingin dipeluk oleh atau sampradaya itu, mulai dari
penganut agama, dengan aspek cognitifnya, psikomotor,
bentuk apapun keyakinan afektif dilanjutkan dengan
yang tak berubah itu pendalaman Dengan demikian tidak
sesungguhnya Aku sendiri ada kata saling bunuh dalam
yang mengajamya" (G. pengamalan agama. Sehingga
Pudja, 1981: 180). tujuan agama secara sosial benar -
Sangat jelas sekali kedua benar dapat mengaktualisasikan
makna sloka di atas bahwa, Sri agama dalam difinisi operasional
Krsna sebagaiPurna Avatara untuk mengarahkan manusia pada
memberi peluang untuk penciptaan moral luhur , mencintai
tumbuhkembangnya suatu bentuk kedamaian, saling mengasihi
keyakinan, sebagai suatu pilihan. artinya tidak ikut membuat semakin
Dengan demikian hadirnya bcrbagai runyamnya tatanan kehidupan,
sampradaya dalam Hindu justru agama memberikan
menandakan suatu bukti bahwa kontribusi positif terhadap
keberagamaan seseorang merupakan permasalahan sosial yang
sesuatu hal yang paling azasi dalam dihadapan oleh manusia. Dengan
hidup manusia, yang tidak dapat cara seperti itu maka, setiap insan
dipengaruhi oleh orang lain.Dengan penganut sampradaya itu akan
konsep Ista Dewata dan Adhi Kara mempunyai kekebalan teologis,
ini terlihat agama Hindu terdiri alas sehingga isu politik sebagai faktor
banyak sekte ataupun ideologi. eksternal tidak mampu
Namun yang jelas, semua kreasi dan membangkitkan kembali pandangan
tradisi itu dianggap sebagai primordialisme yang memecah
interpretasi yang berbeda atas satu belah. Oleh sebab itu isu - isu
Reality yang sama, yang pada agama tidak akan laku dijual untuk
hakikatnya semua kreasi dan tradisi kepentingan politik. Kekebalan
yang berbeda itu merupakan jalan teologis ini dapat diwujudkan
untuk mencapai goal atau tujuan apabila masyarakat telah memiliki
yang sama. Religious Literacy.Religious Literacy
secara leksikal dapat diartikan
2.2.3 Solusi Friksi Masyarakat sebagai keberaksaan beragama, yang
terhadap Fenomena secara maknawi dapat diartikan
Sampradaya sebagaikemelakan ataukedewaan
Guna menghindari pertikaian beragama. Mewujudkan Religious
antara penganut sampradaya yang Literacy ini, tidaklah mudah, seperti
dituding menerapkan doktrin membalikkan tclapak tangan,
indianisasinya versus penganut diperlukan suatu rencana strategis
Hindu tradisional di Bali dengan yang meliputi:
corak Arkaisnya, merujuk pada

110 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020


1
1. Pendalaman Ajaran Agama dengan apa yang dinyatakan oleh
Gandi bahwa, Hindu harus tampil
Dewasa ini kehidupan beragama remaja dan sehat agar selalu
khususnya di Bali oleh sebagian orang memberikan hidangan spiritual pada
yang ingin memperoleh pencerahan umatnya dengan penuh gairah. Agama
masih dirasakan sebagai suatu ruotinitas dalam sifatnya yang relatif imlah
yang menjemukan. Dalam kaidah memberikan ruang adanya
keberagamaan, mudah didapatkan pemaknaan ulang, sehingga selalu
contoh - contohnya, seperti kegiatan tampil muda seperti kata Gandhi di
upacara yang marak dan meriah tanpa atas.
mengusik tingkat pemahaman umatnya Kejenuhan akan terjadi
dalam hal arti dan makna ritual tersebut. manakala agama selalu dimaknai
Kemeriahan acara, banvaknya tamu sebagai sesuatu ajaran yang bersifat
yang hadir, bila perlu dihadiri oleh absolut semata , dan yang lebih
pejabat nomor satu di vvilayah di mana celaka lagi terjadinya pola pikir
upacara itu digelar, banyaknya dana memutlakan yang relatif. Artinya
yang dipakai menjadi ukuran kelas yang Anutana dx-Sanatana-kan. Bukti
sosial baru serta kcbcrhasilan sustu adanya rekontruksi tafsir serta
upacara. Tempat - tempat suci selalu interpretasi dalam ajaran Hindu
ramai dikunjungi umat sebagai dalih dapat dilihat dari kitab Smerthi
tirtha yatra, tetapi praktek asusila dan yang berbeda - beda pada masing-
korupsi berjalan terus. masing zaman. Manu Smerthi
Bersembahyangan untuk memohon belaku pada zaman Krtha, pada
rekomendasi agar Tuhan senantiasa Trita Yuga berlaku kitab Gautama
mengokohkan jabatannya bagi yang Smerthi, Sankha Likita Smerthi
telah menduduki jabatan. Situasi seperti bcrlaku untuk zaman Dwapara,
itu rupanya sampai saat ini masih kemudian di zaman Kali Yuga
sedang, terus dan akan berlangsung. berlaku kitab Parasara Smerthi.
Oleh karenanya dibutuhkan Demikian pula dalam
suatu tindakan dalam wujud penerapannya, Rg Veda X.71:11
pembenahan internal agama melalui menyatakan:
pemaknaan pemaknaan ulang atau "Sebarkanlah ajaran Veda ini
reinterpretasi agama yang dianggap dengan jalan
anakronistik (tidak cocok dengan cerita,sebarkanlah dengan
zaman) serta rekontruksi tafsir - jalan bernyanyi,sebarkanlah
tafsir fanatis dalam setiap ajaran dengan jalan berjapa, dan
sampradaya, sehingga tafsir itu sebarkanlah dengan jalan
dapat membangun rasa empati upacara " ( Jendra, 2002 : 11
bukan antipati. Reinterpretasi dalam )
ajaran Hindu bukanlah suatu Apa yang diterangkan oleh
tindakan yang ditabukan. Adanya Rg Veda di atas memberikan
konsep Sanatana dan Anutana telah landasan kepada Pancamo Veda bab
memberikan pengertian kepada kita IV, 11 dan VII, 21 untuk
bahwa Hindu tersebut bersifat memberikan jaminan kepada Umat
Absolut / mutlak dan juga bersifat Hindu, bahwa setiap jalan yang
relatif . Mutlak dalam tataran dipilih ataupun ditempuh akan
konsep dan relatif dalam tataran bermuara pada satu titik yang sama
implementasinya. Hal ini senada , yakni Tuhan. Kemudian secara

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 111 1


terinci lagi seiring dengan Ciri - ciri buruk zaman Kali tersebut
pembagian zaman ( catur Yuga ) dapat dilihat pada kitab Bhagavata
telah digariskan untuk menghadapi Purana I. 1: 10, Hidup manusia
setiap tantangan zaman ada cara - sangat pendek , mereka suka
eara teknis operasional yang tidak bertengkar, malas, salah pimpin,
selalu sama, artinya selalu tidak beruntung dan di atas segala-
disesuaikandengan situasi galanya, mereka selalu gelisah (
kontekstualnya. Hal itu dibuktikan, Dharmayasa, 1995 : 13 ).
bahwa setiap zaman memiliki ciri Walaupun apa yang telah
atau cara operasional tersendiri, disajikan oleh Kalisamtara
dapat dilihat dalam Srimad Upanisad maupun Srimad
Bhagawatam XII.3; 51- 52 (dalam Bhagawatam telah demikian
Jendra, 1997: 56-7 ) sebagai jelasnya, namun hal itu tidak lantas
berikut: menimbulkan penilaian yang minor
"Kaler dosa nidhe raajanam, atau mempertentangkannya bagi
asty hy eko mahan gunah umat Hindu yang masih menekuni
kiirtanad eva Krshnasya upacara. Jalan yang dipilih oleh satu
muka, bandhah param vrajet" sampradaya tidaklah mutlak dan
final bagi sampradaya lainnya. Pada
Krte yad dhyayato Visnum, masyarakat agraris, prilaku
Tretayam yajato makhaih keagamaan dalam bentuk upacara
Dvapare pariciaryayam, masih dibutuhkan. Karena melalui
kalau tad kiirtanat." upacara masyarakat petani dapat
menumbuhkan emosi keagamaannya
Artinya: serta mengaktualisasikan
Hai sang raja walaupun Kali keimanannya, yang perlu disadari
Yuga penuh dosa, namun dalam keberagamaan model ini
memeiliki silat yang baik, tidak hanya berhenti pada simbol
yaitu dengan kirtana simbol itu saja, melainkan apa yang
(bernyanyi) saja orang dapat ada dibalik simbol itulah yang perlu
mencapai moksa. diketahui. Sebab dalam faham Siva
Hasil pada zaman Krta Tantris yang berkembang di Bali,
diperoleh dengan samadhi upacara yang menggunakan banyak
pada Wisnu, zaman Trita simbol merupakan visualisasi dari
dengan Yajna, zaman ajaran teologi dan moralitas faham
Dvapara dengan pelayanan Siwa yang dapat dirasionalisasikan
pada kaki padma, zaman Kali di samping itu mengandung ajaran
di dapat dengan kirtanam mistikisme sebagai hasrat pemenuhan
(bernyanyi). manusia mengalami dan merasakan
emosi bersatu dengan Tuhan.
Di dalam Kalisamtarana
Guna mengimplementasikan
Upanisad, yang termasuk dalam
ajaran mistik ini, maka setiap
kelompok Krsna Yajur Veda
upacara mengandung lima unsur
merupakan upanisad yang berisi
yang terpadu yang terdiri dari ;
ajaran pembebasan yang
Mantra (doa -doa suci ), Yantra
dikhususkan untuk zaman Kali.
(simbol - simbol yang diyakini
Maksud khusus dan upanisad ini
mempunyai kekuatan spiritual),
adalah untuk melindungi manusia
Tantra ( pembangkitan kekuatan suci
dari pengaruh buruk zaman Kali.

112 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 1


), Yajna ( pengabdian yang tulus Hindu ini semakin dirasakan untuk
ikhlas) dan Yoga (penyatuan suci dilaksanakan. Mengingat dalam
dengan Adi Kodrati ). Dengan suatu sampradaya sering muncul
adanya varian ini merupakan sikap mengklaim kebenaran sebagai
keindahan dari agama Hindu, yang miliknya melalui gerakan - gerakan
mengundang daya tarik tersendiri. yang mengatasnamakan pemurnian
Sebab agama menurut Hindu tidak (back to Vedic), dengan menyebut
hanya sesuatu yang dapat ditangkap sampradaya lain sebagai suatu
oleh rasio dan intelek (manas dan bentuk penyimpangan, akibatnya
vijnana), namun sesuatu yang dapat muncullah fanatisme dan
membangkitkan emosi ataupun intuisi eksklusivisme bahkan menghakimi
serta mengantarkan manusia pada sampradaya lainnya.
kondisi Ananda (kebahagiaan batin). Realita tersebut di atas
Kehadiran sampradaya sebagai semestinya tidak terjadi di
suatu sistem relegi diharapkan Indonesia khususnya Bali. Kita
mampu melembagakan ajaran seharusnya belajar pada sejarah
agama secara utuh, sehingga terjadi yang terjadi di masa lampau, dua
proses transformasi mlai baik pada paham (Hindu versus Budha) di
ranah kognitif maupun ranah afektif tanah kelahirannya India dapat
ataupun psikomotoriknya. Dengan hidup rukun berdampingan bahkan
demikian keberagamaan seseorang secara sinergi memberikan landasan
tidak saja menyangkut keyakinan moral bagi Kerajaan Majapahit, hal
yang benar pada Tuhan dengan ini dibuktikan dengan hadirnya
segala dalilnya, yang dapat karya sastra Sutasoma gubahan Mpu
diterangkan dengan rasio dan nalar Tantular. Dan semangat karya sastra
tetapi perbuatan seseorang. Hal - itu dewasa ini, tidak hanya
hal semacam inilah yang dimaknai dalam ranah teologis
seyogyanya menjadi renungan Hindu - Budha, tetapi lebih dari
dalam konteks pendalaman ini. pada itu sebagai spirit pemersatu
2. Kesediaan Mengadakan Dialog bangsa yang pluralisdan multi
Keagamaan kultural.
Sudah merupakan suatu realita Kemudian secara regional
sejak zaman Upanisad, Hindu sejarah telah mencatat, kehadiran
sebagai Sanatana Dharma ( dalam Mpu Kuturan di Bali yang berasal
konsep ) dan Nutana Dharma ( dari Daha (Jawa Timur) di abad X,
dalam konteks ) melahirkan telah membawa perubahan besar
berbagai macam kreasi dan tradisi dalam tata keagamaan. Masyarakat
kerohanian yang disebut dengan Bali pada waktu itu yang bercorak
Sampradaya. Dengan demikian sekterian telah disatukan Oleh Mpu
dalam perspetif Hindu harus Kuturan dengan mengakomudasi
dipahami bahwa, di luar semua paksa - paksa itu dalam
sampradayaku ada sampradaya konsepsi Tri Murti di bawah paksa
lain. Dari kenyataan ini tidak dapat / sampradayaSiwa Siddhanta.
dihindari akan adanya pluralisme Kesepakatan dari semua paksa -
dan multi kultural di dalam Hindu. paksa itu merupakan keputusan
Guna mewujudkan universalitas politik keagamaan demi terciptanya
religius intern Hindu ini, maka masyarakat yang rukun dalam
dialog antar sampradaya dalam bernegara dan beragama. Spirit dari

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 113


1
keputusan Mpu Kuturan ini tanpa menyertakan emosi
hendaknya senantiasa direnungkan yang berakibat pada
kembali, kemudian diangkat ketersinggungan teman
nilainya sebagai suatu bentuk dialognya. Di samping itu
kontribusi dalam kehidupan konflik yang dihadapi adalah
beragama intern Hindu dewasa ini. bersifat internal , maka
Kesepakatan sampai dialog ini terjadi antara
berlanjut pada keputusan yang paham - paham yang lahir
dihasilkan di zaman Mpu Kuturan dari rahim agama yang sama
tentunya tidak lahir begitu saja dan bahasa yang sama pula
secara serta merta. Tentunya kita yakni ; Hindu dan Sanskerta.
dapat memprediksikan hal itu Bisa saja timbulnya
sebagai suatu produk dari sebuah pemahaman yang berbeda
dialog idiologis dan teologis. akibat perbedaan interpretasi
Adakah kesepakatan semacam itu bahasa.
akan diulang kembali di zaman 2) Kesiapan intelektual untuk
ini?Seperti apa yang ditawarkan meyakini secara obyektif
penulis untuk mengelemenir nilai - nilai positif yang ada
kontlik intern Umat Hindu pada sampradaya yang lain.
kesediaan untuk melakukan dialog Ini tidak berarti dalam
keagamaan merupakan suatu sebuah dialog, salah satu
kebutuhan yang bersifat urgen. pihak yang terlibat
Permasalahannya di sini terletak menghapuskan pandangan
pada: Bahan yang di dialogkan, teologis dan idiologisnya
kemudian substansi yang demi mendengar dan
didialogkan dan strategi di dalam menerima pandangan teman
melakukan dialog. dialognya. Namun yang
Dalam kepemimpinan paling mungkin dilakukan
paternalistik, seorang tokoh agama adalah menghindari diri agar
adalah figur pimpinan yang peserta dialog tidak berada
kharismatik, yang mampu pada posisi berlavvanan
mengobarkan atau meredam emosi dengan lawan dialognya.
keagamaan pengikutnya. Dalam 3) Sikap apologetik (ksamawan /
mengelemenir kontlik intern Hindu pemaaf) dalam keberagamaan
ini pimpinan dari sampradaya untuk mencegah timbulnya
inilah sebagai front terdepan yang pcndapat paham
semestinya memiliki kesiapan sampradayanya paling benar,
untuk melakukan dialog. Guna dan resistensi terhadap nilai
memperoleh hasil yang maksimal luar. Sebuah dialog tidak
dalam suatu dialog maka, tokoh - akan menghasilkan sesuatu
tokoh sampradaya ini memerlukan yang bermanfaat, sementara
tiga hal untuk menyiasati pelaku dialog tersebut masih
berhasilnya suatu dialog. Adapun dipengaruhi oleh pengaruh
ketiga hal itu adalah: pikirannya maupun
1) Kesiapan komunikator yaitu prasangkanya sendiri. Oleh
kemampuan menyampaikan karena itu peserta dialog
sesuatu secara bijaksana hams keluar dari kegelisahan
dengan bahasa yang lugas diri dan merdeka dari

114 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020


1
kumkungan jiwa dan tuntutan zaman. Demikian halnya
mengubah subyektivitasnya dengan agama Hindu di Bali yang
agar dapat menyesuaikan diri secara tradisional kita warisi secara
dengan lawan atau turun temurun hingga kini, dalam
penentangnya. strategi pembenahan internal ini,
Kemudian menyangkut ternyata kita kalah start. Umat yang
urgensi sebuah dialog terletak pada haus akan siraman rohani sesuai
esensi dan dengan perkembangan inteleknya
pelaksanaannya.Berdasarkan kurang direspon. Karena banyak
pengamatan tema pokok yang dapat dari mereka menentukan pilihannva
didialogkan adalah menyangkut hal terhadap sampradaya yang baru
- hal yang bersifat sakral berupa berkembang sesuai dengan
paham - paham ideologis dan kebutuhan batinnya. Kehadiran
bayang - bayang doktriner yang sampradava - samparadaya baru di
nihil dan menyesatkan dengan Bali lebih dirasakan memiliki
strategi politik tertutup dan tercipta kompetitif yang tinggi, hal ini
untuk kepentingan intimidasi. Di dikarcnakan mengingat
samping itu bertukar pengalaman kchadirannya sebagai bentuk
dan pengetahuan dalam aspek profan resistensi dari suatu kondisi sekuler
termasuk materi yang perlu pluralis dan ideologi kapital liberal.
didialogkan. Sebagai goal yang Situasi zaman dan persaingan
hendak dicapai dari dialog ini ini memungkinkan sampradaya -
adalah adanva perubahan pandangan sampradaya baru itu memakai
dan peran bagi peserta dialog metode - metode penyebaran yang
menjadi seorang budayawan modern dipakai oleh agama - agama semitis
yang merenungkan urgensi risalah yang telah menguasai Eropa
ke- Tuhan - an bagi dirinya sendiri berabad - abad. Pengalaman sampai
melampaui eksistensi diri, sekarang menunjukkan bahwa
kehidupan, realitas dan wajah dan nuansa keberagamaan
kemanusiaan, serta menciptakan mewujud pada tiga aspek, yakni; 1)
faktor positif bagi din dan peran agama yang membangun dunia
yang dimainkannya. (world formalive religion), 2) agama
yang menghindari dunia (world
3. Menampilkan Prilaku Agama averiive religion ) 3) wajah agama
Yang Humanis yang radikalisme telologis -
Kehadiran Hindu dengan idiologis. Di era yang penuh
kitab suci Vedanya sebagai brosur kompetitif ini, jenis keberagamaan
pertama manusia dalam sejarah 2 dan 3 sama - sama memberikan
dunia, telah menunjukkan dampak negatif, sehingga kurang
pleksibilitas dan elastisitasnya, cocok dalam menjaga kelangsungan
sehingga mampu bertahan sampai masyarakat yang multi cultural
saat ini. Sementara sistem relegi seperti Indonesia. Kalau kita
yang lahir se/aman dengannya bermaksud mempertahankan
hanya tinggal sebagai kenangan. eksistensi Hindu secara
Survivalnva Hindu hingga kini berkesinambungan sesuai dengan
sebagai akibat sifat Hindu yang tuntutan zaman maka, pilihan
senantiasa siap mengadakan nomor 1 adalah sangat ideal. Baik
pembenahan internal sesuai dengan bagi sampradaya yang baru

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 115


menyemaikan benihnya maupun sikap ingin menang sendiri, dialog
bagi sampradaya yang telah tumbuh dan kerja sama sulit untuk
berkembang seperti sampradaya diwujudkan. Segala bentuk simbol
Siwa Siddhanta wajib merevitalisasi agama, secara arif tidak ditafsirkan
keimanannya melalui reposisi wajah secara dokriner; pemaknaan dari
keagamaanya. Karena dengan cara semua simbol itu diarahkan untuk
itu semua umat manusia akan melihat demensi humanisnya,
memiliki tanggung jawab untuk sehingga muncul celah untuk
menciptakan keselamatan dan merevisi bersama - sama supaya
perdamaian dunia beserta isinya lebih partisipasif dan transformatif.
secara integral (lahir batin). Guna mencari kesepahaman
Dalam situasi seperti ini dan kesepakatan dalam konteks ini,
semua sampradaya maupun agama maka semua sampradaya yang
diajak untuk berkompetitif membangun Hindu itu harus
mewujudkan wajah keberagamaan kembali prda tataran konsep
melalui tindakan yang saleh (godly Sanatoria yang universal dimiliki
behavior subha karma). Dengan Hindu, yakni Tat Twam Asi,
demikian inti dari wajah merupakan Maha Wakya dari
keberagamaan dalam aspek ini Chandogya Upanisad. Kemudian
adalah lebih ditekankan pada konsep ini direaktualisasikan dalam
dimensi kemanusiaannya tataran etis oleh Sri Krsna dalam
dibandingkan dimensi teosentris Bhagavad Gita XII. 13 dan 18 yang
maupun dimensi ritual simboliknya. berbunvi sebagai berikut:
Dimensi teosentris akan menjadikan
agama itu melangit, sedangkan "Advesta sarva bhutanam,
dengan aspek kemanusiaan maitrah karuna eva cha,
menjadikan agama itu membumi nirmamo mrahamkara, sama
berwajah anthroposentris (Adiputra, duhkha sukhah kshami
2003: 4). Paham atau sampradaya Samah satrau cha mitre cha.
di dalamnya, seperti paham fanatis, tatha manapamanayoh
pandangan bahwa kebenaran hanya Sitoshna sukhaduhkhesu,
ada dalam agamaku / samah sangavivarjitah."
sampradayaku, yang paling
sempuma adalah agamaku / Artinya:
sampradayaku, semua hanya simbol Beretikad baik terhadap
yang tidak patut dilakukan. semua mahluk, bersahabat
Humanisme agama- agama / dan kasih sayang, tidak
sampradaya akan melahirkan umat merasa memiliki dan tidak
yang terbuka, toleran serta angkuh, sama dalam suka
demokratis. Sebab pada semua dan duka, pemaaf.
agama / sampradaya, dimensi Sama terhadap kawan dan
kemanusiaan merupakan sesuatu lawan, sama dalam
yang paling hakiki mengantarkan kehormatan dan kecemaran,
manusia pada kualitas kehidupan sama dalam panas dan
yang lebih baik. Tanpa dingin, suka dan duka bebas
mengedepankan dimensi dari semua keterikatan.
humanisme agama/ sampradaya, Jika semua sampradaya di
selalu akan muncul ke permukaan Bali menjadikan Tat Twam Asi

116 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020


1
sebagai tataran konsep menjadi sampradaya itu yang diharapkan
jiwanya serta dan melahirkan sebuah kesepahaman
mengkontekstualkan sebagai yang akirnya mewujud pada
operasionalnya sesuai dengan sloka kesepakatan, serta yang tidak kalah
Bhagawad Gita di atas, niscaya pentingnya adalah agar sampradaya
wajah keagamaan akan bersifat itu dapat hidup dengan rukun dan
humanis maka pertentangan antara damai, maka wajah
sampradaya di Bali tidak akan keberagamaannya haruslah humanis
terjadi dan persaingan untuk
membangun Bali ke depan yang DAFTAR PUSTAKA
lebih baik senantiasa akan menjadi Adiputra.2003.Psikologi Agama;
prioritas utama di kalangan Satu Pandang Pribadi
sampradaya itu. Bali yang penuh Terhadap apa Yang Terjadi
kreasi dan dinamis akan mewujud. Saat Ini.
Bakta - bakta sampradaya bersaing Bellah,Robert N. 2000. Beyond
dengan sehat serta hidup Belief. Jakarta: Paramadina.
berdampingan dengan damai. Darmayasa.1995. Kali Santarana
Upanisad. Denpasar: Shabari
III.KESIMPULAN Ashram.
Agama merupakan sarana Dhavamony, Mariasusai.1995.
menghubungkan diri dengan Tuhan Fenomenologi Agama.
selaku sosok yang adikodrati. Cara Yogyakarta;Kanisius.
menghubungkan diri ini dapat Goris, R. 1986. Sekte-sekte di Bali.
melalui proses pemujaan leluhur Jakarta: Bhrata Karya
yang tatacaranya dapat diketahui Aksara.
melalui lontar Bhuana Mahbah. Hendropuspito.1983.Sosiologi
Timbulnya Sampradaya di Bali Agama.Jakarta: PT. Raja
merupakan suatu warisan yang Grafindo Persada.
diletakkan oleh sejarah pada bali Imron Ali. 2015. Agama-agama di
kun. Kemudian muncul nya Dunia.Yogyakarya: IRCIsod.
sampradaya baru di era ini Jalaludi, H. 2002. Psikologi Agama.
merupakan suatu bentuk konversi Jakarta: PT. Raja Grafindo
internal terhadap agama yang Persada.
dilakoni bercorak arkais, keinginan Jendra.1998. Cara mencapai
memperoleh hidangan spiritual Mokasa di Zaman Kali.
yang segar akibat kejenuhan Denpasar: Yayasan Dharma
mendorong masyarakat beralih pada Narada.
jalan spiritual yang berkonsep Ista Pals, Daniel L. 2005. Seven
Devata. Theories of Religion.
Solusi yang dapat ditawarkan Pemda Tk I Bali. 1987. Sejarah
untuk mengeleminir konflik Perkembangan Agama Hindu
tersebut melalui pendalaman ajaran di Bali. Denpasar. Proyek
agam, di samping mengadakan Penyuluhan dan Penenrbitan
pebenahan internal pada setiap Buku Agama.
sampradaya melalui rekontruksi Rakhmat Jalaludin. 2003. Psikologi
tafsir – tafsir fanatic yang dianggap Agama Sebuah Pengantar.
anakrotistik, kemudian kesediaan Bandung: Mizan Media
mengadakan dialog antar Grup.

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 117


1
Sivananda, Sri Swami. 1997. All
About Hinduisme.Surabaya:
Paramita.
Stark, Rodney. 2003. One True
God.Yogyakarta;Qalam.
Titib.1989. Ketuhanan Dalam
Weda. Denpasar: Yayasan
Panti Asuhan Hindu Dharma
Jati.
Wiana, I Ketut.2003. Sampradaya
Dalam Agama Hindu.
(Makalah Dalam Penyegaran
Dharma Duta se- Indonesia
PHDI Pusat. Denpasar.

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO 1, JANUARI-JUNI 2020 118


1

Anda mungkin juga menyukai