Anda di halaman 1dari 12

MENALAR TUHAN

KELOMPOK 1 : MUHAMMAD RIDWAN


SITI NURIAULPAH
PERTANYAAN TENTANG TUHAN
• Pertanyaan Tuhan sudah sejak lama ada, manusia di mana pun berada sejak
dahulu sudah mempertanyakan keberadaan “Tuhan”.
• Pada abad 20, sejak dimulainya abad pencerahan, filsafat semakin kritis
terhadap gagasan mengenai ketuhanan. Dan sejak saat itu, ketuhanan tidak lagi
menjadi objek utama kajian filsafat .
• Ada beberapa faktor yang menyebabkan pembahasan mengenai Tuhan tidak
lagi diminati dalam objek filsafat, bahkan cenderung menghilang. Diantara
faktor-faktor tersebut adalah :
1. Para filosof tidak begitu berminat lagi membahas tentang Tuhan, sebagian
besar dari mereka adalah ateism, dan sebagian lainnya menganggap filsafat
tidak dapat menjangkau wilayah ketuhanan. Pendapat yang terakhir ini
sebagaimana dikemukakan oleh Imanuel Kant.
2. Umat beragama yang bersikap Fidiesme beranggapan bahwa penalaran
mengenai Tuhan adalah hal yang sia-sia. Hal itu dianggap sebagai penodaan
terhadap keimanan.
MEMPERTANGGUNGJAWABKAN IMAN
SECARA RASIONAL
Mempertanggungjawabkan iman secara rasional memiliki dua arti, yaitu :

1. Pertanggungjawaban secara teologis. Artinya adalah bahwa keimanan seseorang


dapat dibuktikan dengan data-data di dalam kitab suci yang dijadikan sebagai
pedoman, pertanggungjawaban secara teologis merupakan diskursus atau
refleksi didalam cakupan umat beragama yang bersangkutan, dalam arti bahwa
setiap agama memiliki pedoman dan dasar tersendiri.
2. Pertanggungjawaban secara filosofis. Artinya adalah sebuah keyakinan atau
kepercayaan harus dapat dibuktikan secara rasional dengan menggunakan
penalaran. Penalaran tersebut meninjau dari beberapa aspek, seperti :
Konsekwensi-logis, kosmologi, antropologi, dll. Tentu saja pertanggungjawaban
keimanan secara filosofis tidak berdasar pada wahyu atau kitab suci.
Filsafat ketuhanan tentu saja tidak membahas keseluruhan
aspek yang terdalam dalam keimanan atau kepercayaan
suatu agama. Filsafat ketuhanan membatasi dirinya hanya
pada pertanyaan paling mendasar, yakni “Bagaimana
kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional”
CARA MANUSIA MENGHAYATI
KETUHANAN
Penggunaan kata “ketuhanan” memiliki arti yang lebih sempit dari agama.
Penggunaan kata “ketuhanan” dipilih karena agama-agama manusia memiliki
banyak corak dalam penghayatan terhadap yang adi-duniawi. Tidak dalam semua
agama, Tuhan memainkan peranan. Kita tidak bisa berbicara tentang Tuhan dalam
semua agama. Agama dapat dimengerti sebagai penghayatan menurut pola sosial
tertentu terhadap “Yang adi kuasa”. Berikut ini akan kami paparkan beberapa
corak penghayatan terhadap ketuhanan dari beberapa agama. Beberapa
kepercayaan yang akan kami paparkan adalah sebagaimana berikut :

1. Penghayatan ketuhanan dalam pandangan agama aseli.


2. Penghayatan ketuhanan dalam pandangan hinduisme.
3. Penghayatan Ketuhanan dalam pandangan Buddhisme.
4. Penghayatan ketuhanan dalam pandangan agama Tiongkok
5. Penghayatan ketuhanan dalam pandangan agama Abrahimistik
PENGHAYATAN TUHAN DALAM
PANDANGAN AGAMA ASELI
• Peter Wihelm Schmidt (1868- 1954) berpendapat bahwa suku-suku yang memeluk kepercayaan
aseli beranggapan bahwa alam ini diresapi oleh kekuatan yang non-inderawi. Adanya berbagai
peristiwa di bumi, menunjukan adanya kekuatan itu. Mereka menganggap bahwa kekuatan-
kekuatan tersebut bisa merupakan roh-roh yang bersemayam di tempat-tempat tertentu atau
bahkan personal yang memiliki kekuatan diatas semua kekuatan yang ada. Suku aseli di Polinesia
menamai kekuatan luar biasa tersebut dengan sebutan mana. Dalam pandangan suku Jawa aseli,
bahwa alam memiliki dua dimensi, yakni Lahiriah (dunia yang tampak) dan Bathin (Dunia gaib).
Dalam pandangan suku Jawa kuno, dunia lahir hanya dapat difahami dari dunia batin, artinya
bahwa keteraturan alam lahiriah berdasarkan pada kekuatan-kekuatan dari dunia batin, asal
dasar tersebut mereka mengadakan ritual, sesajen, perhitungan/primbon, dan lain-lain.
• Kepercayaan agama aseli memiliki corak yang khas, yaitu bahwa antara Tuhan dengan Alam
bukanlah intensitas yang berbeda. Tuhan dan alam adalah menyatu. Artinya bahwa alam lahiriah
tidak difahami secara inderawi atau empiris belaka, melainkan ada kekuatan ghaib bersifat Adi –
kuasa yang meresap pada seluruh elemen alam semesta.
PENGHAYATAN TUHAN DALAM
PANDANGAN AGAMA HINDUISME
• Pemeluk agama Hindu memiliki dua kitab pedoman, yakni : Vera dan Upanishad. Ajaran mereka
meyakini bahwa segalanya adalah dat yang satu, mereka menyebutnya “Brahman”. Brahman
adalah jiwa yang meliputi seluruh unsur alam semesta. Dalam pandangan yang lebih umum, dat
yang satu tersebut mengungkapkan diri menjadi trimurti yang memilik tiga wajah. Yang
kemudian diyakini sebagai tiga dewa, yaitu Siwa, Wisnu dan Brahma. Dalam keyakinan
Hinduisme realitas sesungguhnya adalah dat yang satu, yakni Brahman. Sedangkan alam semesta
dengan segala bentuk rupanya merupakan maya (tipuan). Sedangkan dewa-dewi juga
merupakan personifikasi dari dat yang satu tersebut. Kehadiran dewa-dewi akan memenuhi
kehadiran “Tuhan” dalam kehidupan nyata.
• Ajaran Hinduisme berbeda dengan agama aseli. Perbedaan tersebut terlihat jelas pada konsep
hubungan antara “Tuhan” dan alam semesta. Jika agama aseli masih menganggap bahwa
kemajemukan itu adalah sebuah subtansi dan realitas yang nyata, dengan kata lain Tuhan dan
alam semesta adalah sebuah entitas yang berbeda. Hal itu tidak sama dengan ajaran Hinduisme,
karena mereka menganggap bahwa alam semesta tidak memiliki subtansi. Karena pada dasarnya
alam semesta adalah maya, atau bayangan dari pancaran sinar Brahman.
PENGHAYATAN TUHAN DALAM PANDANGAN
AGAMA HINDUISME
• Budhisme berbeda dengan Hinduisme. Walaupun pada kenyataannya, Budhisme merupakan
refleksi mendalam tentang ajaran Hindu. Budhisme dibawa oleh “Sang Budha” yang berarti “yang
tercerahkan”, sosok tersebut bernama Pangeran Sidharta Gautama (560-480 sM). Ajaran Budhisme
dalam beberapa persoalan sangat berbeda dengan Hinduisme. Perbedaan tersebut seperti :
Budhisme menolak dewa-dewi dan juga menolak kasta yang merupakan ajaran dari Hinduisme itu
sendiri (Mungkin karena dua hal tersebut, Budhisme diusir dari India). Perbedaan mencolok lagi
diantara keduanya adalah kutab suci yang menjadi dasar kepercayaaan mereka. Kitab suci
Hinduisme hanya berisikan tentang penggalan cerita, nasihat, ajaran dan mitos. Berbeda dengan
kitab Suci Budhisme yang bulat dan lengkap dari ajaran Sang Budha.
• Budhisme sering dianggap ateisme, khususnya dikalangan pengikut agama Hindu. Hal tersebut
didasarkan pada anggapan mereka terhadap diamnya Sang Budha mengenai urusan dewa-dewi.
Anggapan itu tentu tidak benar adanya, karena jika dilihat gagasan Ateisme menolak hal-hal yang
ada dibelakang dunia inderawi. Tentu ini berbeda dengan Budhisme, karena Sang Budha selalu
mengajarkan kepada pengikutnya untuk selalu berusaha melepaskan diri dari belenggu duniawi
dengan melakukan Semedhi. Diamnya Sang Budha terhadap Dewa-dewi bukanlah sebuah
penolakan terhadap Tuhan, justru Sang Budha lebih menekankan pengikutnya agar bisa sampai
kepada Tuhan itu sendiri. Ketuhanan dalam pandangan Budhisme bukan hanya sebuah teori
tentang keberadaannya melainkan juga sebuah usaha dan pengorbanan agar sampai menuju-Nya.
PENGHAYATAN TUHAN DALAM
PANDANGAN AGAMA-AGAMA
TIONGKOK
Agama-agama’ Tiongkok memiliki ciri khas dalam penghayatan religiusitas mereka, diantara lain :
• Mereka meyakini keharusan adanya keselarasan kosmis. Artinya adalah jika seluruh aspek yang
berada alam semesta dan manusia memiliki keselarasan maka itu adalah keselamatan. Maka dari
point ini, ketuhanan dihayati sebagai dasar dan makna segala-galanya , sehingga manusia harus
menempati posisi yang tepat bagi dirinya.
• Karena mereka sangat mengharuskan adanya keselarasan, mereka sangat menghormati terhadap
neenk moyang. Penghormatan terhadap nenek moyang menurut mereka adalah sebagai bentuk
memasukkan diri kedalam keselarasan zaman.
• Mereka mempercayai adanya dao sebagai sumber kekuatan, hukum tertinggi, dan Sumber segala-
galanya. Tugas manusia adalah mencari dao dengan melakukan berbagai macam latihan jiwa dan
Semedhi sampai memasuki puncak konsentrasi tertinggi. Dao merupakan penentu tujuan akhir
seseorang, apakah ia menuju kebahagiaan atau kesengsaraan.
• Mereka meyakini dua prinsip yang berlawan, yakni Yin dan Yang. Yang adalah prinsip yang
mewujudkan sikap aktif, seperti langit dan kekuatan. Sedangkan Yin adalah prinsip
keperempuanan yang mewujudkan sikap pasif, seperti bumi dan kerelaan.
PENGHAYATAN TUHAN DALAM PANDANGAN
AGAMA-AGAMA ABRAHIMISTIK

• Agama-agama Abrahamistik mempercayai bahwa yang tertinggi adalah yang maha esa
(dengan segala nama dan interpretasi nya), Tuhan yang satu itu adalah penguasa seluruh
alam, dirinya menjanjikan sebuah keselamatan bagi orang-orang yang mau mengikuti
perintah dan larangannya.
• Dalam keyakinan Abrahamistik, Tuhan adalah entitas yang berbeda dengan alam, dirinya
bukanlah alam itu sendiri, dan tidak terikat dengan alam semesta. Tuhan adalah entitas yang
berbeda dengan keseluruhan.
• Agama-agama Abrahamistik mempercayai bahwa ada orang-orang pilihan dari Tuhan, untuk
menyampaikan perintah menyembahnya.
KESIMPULAN
Tinjauan sederhana terhadap pola-pola utama penghayatan ketuhanan di umat manusia
memperlihatkan betapa besar variasi penghayatan umat manusia terhadap ketuhanan itu. Yang
mencolok bahwa tidak ada wilayah dan masyarakat yang tidak dalam salah satu bentuk
menghayati ketuhanan. Kenyataan ini memang tidak membuktikan bahwa mesti ada Tuhan.
Namun bagaimana pun juga, mengingat bahwa yang langsung ada dalam lingkup pengalaman
manusia hanyalah alam inderawi dan alam batin masing-masing sendiri, universalitas
penghayatan ketuhanan cukup mengherankan. Pendapat bahwa kepercayaan akan ketuhanan
menandakan tahap perkembangan manusia yang secara intelektual belum dewasa, akan
dibahas dalam bab berikut. Tinggal dicatat bah- wa transendensi dan imanensi Yang Ilahi yang
sering dianggap saling mengecualikan sebetulnya tidak boleh dipertentangkan satu sama lain,
melainkan dua-duanya hakiki bagi pengertian tentang hubungan antara Yang Ilahi dan alam
raya
DAFTAR PUSTAKA
Karen Amstrong. Berperang demi Tuhan, terj. Satrio Wahono, dkk. (Bandung & Jakarta: Mizan & Serambi Ilmu
Semesta, 2000)

A’la, Abd., Agama Tanpa Penganut, Yogyakarta: Kerjasama penerbit Impulse dan IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2009.

Daja, Burhanuddin, “Sejarah Agama-agama; Beberapa Pengertian” dalam, Djam’annuri, (ed.), Agama Kita,
Perspektif Sejarah Agama-agama; Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta & LESFI, 2002.

Greenwood Press. 1997. Aminah, Ruhul, “Konflik Antar Agama Dalam Pandangan Karen Armstrong”, Skripsi
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2005, tidak diterbitkan.

Durkheim, Emile, Sejarah Agama, terj. Inyiak Ridhwan Mudzir, Yogyakarta: Ircisod, 2003. .

Anda mungkin juga menyukai