SECARA FAKTUAL
Oleh Pertampilan S. Brahmana
1. Pendahuluan
Kemudian tulisan ini, sama sekali tidak bermaksud merendahkan satu sama
lain. Pikiran seperti itu jauh dari maksud penulisan ini, sebab kepercayaan
yang dimaksudkan tulisan ini adalah murni dianggap dan berasal dan
bersumber dari hasil budaya sendiri, dengan demikian kepercayaan dalam
tulisan ini bukan dimaksud bagian agama. Kalaupun ada menyebut, atau
menyinggung, atau bersentuhan dengan agama, semata-semata hal itu
disebabkan dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit membedakan secara
murni yang mana kepercayaan dan yang mana bersumber dari agama, hanya
niatnya saja kadang yang membedakannya. Sementara niat itu adalah
sesuatu yang abstrak, hanya berupa konsep yang ada di dalam kepala kita
sebagai manusia.
Fakta dan faktual adalah dua hal yang berbeda tetapi menyatu. Tidak ada
faktual tanpa fakta, faktual berasal dari fakta. Dalam KBBI dijelaskan fakta
adalah yang merupakan kenyataan, sesuatu yang benar-benar ada atau
terjadi.
Sedangkan fakta selalu berada dalam wujud pertama yaitu gagasan, dan ide.
Agama Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu dan lainnya dapat
dikategorikan bertuhan secara fakta. Pengikutnya disuruh percaya akan
ajaran-ajaran yang katanya dari Tuhan yang disampaikan oleh yang katanya
manusia yang menjadi wakil Tuhan di muka bumi ini, walau Tuhan sendiri
hingga kini, sepanjang yang kita ketahui belum pernah ada memberikan
mandat kepada seseorang menjadi wakilnya.
Maka beragama versi Kristen, Islam, Hindu itu adalah beragama secara fakta.
Sebagai fakta dia belum tentu faktual, sebab janjinya tidak dapat dibuktikan
secara material. Surga atau neraka misalnya akan terbukti kalau kita sudah
mati. Bagaimana kita membuktikan kebenarannya kalau kita sudah mati.
Bila ada kelompok yang menentang seperti ini, mereka tidak segan-segan
bertindak atas nama Tuhan, walaupun Tuhan belum pernah memberikan
mandat kepada mereka.
Padahal bobot ketiga istilah di atas intinya adalah percaya akan adanya Yang
Maha Tunggal (Tuhan), yang lebih berkuasa dari Manusia.
Tiap hati digerakkan oleh satu Tuhan.... bahwa semua nama dalam segala
bahasa dan segala bentuk yang dapat dibayangkan manusia, ditujukan
kepada yang satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau Tuhan itu diibaratkan dengan Samudera yang luas, orang yang
berbicara tentang Tuhan tidak akan pernah sempurna pengungkapannya.
Manusia membicarakan tentang Tuhan ibarat mengambil air dari Samudera
tersebut, orang hanya dapat membawanya sebanyak yang dapat dibawanya
ke pantai. Manusia tidak akan pernah mampu membawa semua air yang ada
di samudera ke pantai. Pun dengan sehebat seorang Profesor, Lima puluh
pun gelar DR, atau Profesor yang disandangkannya, pengetahuannya
tersebut baru secuil dari yang dia pahami tentang Tuhan dan Ciptaannya.
Menurut Sai Baba lebih lanjut, Tuhan realitas inti segala wujud; semua diliputi
Tuhan, semuanya adalah Tuhan. Prinsip, ilahi yang ada dalam diri tiap orang
itu bagikan aliran listrik yang menyalakan bola-bola lampu, terdiri dari
berbagai warna dan kekuatan. Walaupun terdiri dari macam-macam bola
lampu dengan berbagai voltase dan warna, dalam bola lampu itu hanya
terdapat satu aliran listrik. Meskipun kita dapat melihat macam-macam
bentuk, warna dan aneka ragam barang di dunia, suku, kepercayaan dan
kasta, kita harus tahu bahwa Tuhan hadir dalam semua itu, wujud di
dalamnya sebenarnya hanyalah satu.
Apa fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Tuhan itu ada dan dia sebagai
pemilik jagat raya ini berserta isinya? Tuhan itu menciptakan oposisi biner,
dua hal yang bertentangan tetapi menyatu dan tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya. Ini fakta hanya fakta, tetapi sudah menjadi faktual.
Baik Buruk
Terang Gelap
Putih Hitam
Bersih Kotor
Hidup Mati
Suci Kotor
Di balik opsisi biner ini, ada sesuatu yang mengatur, ada dalangnya, oleh
orang yang percaya akan adanya pencipta alam disebut Tuhan Yang Maha
Esa. Oleh mereka yang tidak percaya akan adanya pencipta alam disebut
fenomena alam.
Ini hanya sekedar contoh, anda dapat mengambil contoh dari etnis anda
sendiri.
Kepercayaan Karo jelas berbeda dengan agama Kristen, Islam atau Hindu.
Kalau agama-agama tersebut dapat dikategorikan fakta, maka kepercayaan
Karo maupun kepercayaan etnis lain sama-sama bersifat faktual.
Fakta maksudnya, agama seperti Kristen, Islam, Hindu itu adalah fakta.
Sebagai fakta dia belum tentu faktual, sebab janjinya tidak dapat dibuktikan
secara material. Surga atau neraka misalnya akan terbukti kalau kita sudah
mati. Kalau kita sudah mati, apa masih bisa kita membuktikannya, karena
tampaknya wacana surga neraka, dipakai, dilatarbelakangi (ukuran) keadaan
duniawi.
Wujud tertinggi Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan berbagai nama
seperti Dibata (Karo), Debata (Toba), Allah (Islam), Tuhan Allah (Kristen),
Sang Hiyang Widi Wasa (Hindu),
Selain masyarakat Karo juga percaya kepada peranan Guru, percaya kepada
ada Jinujung.
Padahal dalam pandangan masyarakat lama Karo keberadaan Tuhan itu, bila
diibaratkan dengan manusia, maka setiap jengkal tubuhNya baca
kekuasaanNya, ada dirasakan getaran zat Tuhan tersebut. Pohon kayu, batu-
batu besar atau benda-benda yang dianggap keramat yang masih bagian
dari ciptaanNya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, maka bila ada
yang menyembah di sana, justru karena dirasakan ada zatNya di sana, bukan
dalam kaitan menyembah berhala. Bukankah seumpama pohon kayu, batu-
batu besar atau benda-benda yang dianggap keramat tersebut masih tetap
bagian dari ciptaan Tuhan, dan di dalam ciptaanNya tersebut masih tetap
terdapat zatNya.
3. Kesimpulan
Bertuhan secara fakta dan bertuhan secara faktual adalah dua hal yang
berbeda. Bertuhan secara fakta, seseorang itu dapat saja percaya ada Tuhan
itu, berdasarkan pengalaman orang lain, namun bertuhan secara faktual,
seseorang itu percaya Tuhan karena memang dirasakannya ada
keterbatasan dalam dirinya yang tidak dapat dipahaminya. Seseorang itu
menyadari di balik opisisi biner, ada yang mengaturnya yang mungkin banyak
yang menyebutnya dengan sebutan Tuhan.
Nenek moyang etnis Karo sama juga dengan nenek moyang etnis lain, sadar
benar ini. Sehingga para nenek moyang tersebut menyembah, menghormati
daerah-daerah yang dianggapnya “angker”.
Bila terus-menerus kita musuhi budaya tradisional kita ini dengan alasan
bertentangan dengan agama, maka dimasa depan kita akan kehilangan salah
satu unsur pendukung jatidiri kita sebagai etnis Karo (mungkin juga etnis lain).
Padahal di masa depan, tidak tertutup kemungkinan, kemungkinan besar
budaya seperti ini dapat menjadi salah satu sumber mata air bagi penyejuk
bagi batin kita. Dalam beberapa kasus budaya tradisional yang mengandung
unsur kepercayaan dan masih berkait ke bidang pengobatan, kini malah mulai
diteliti orang untuk dikombinasikan dengan pengobatan moderen. Dalam
prediksi dan kondisi serta posisi seperti ini, kebudayaan tradisional termasuk
yang bersifat kepercayaan akan mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan
masyarakat, baik masyarakat awam, terlebih-lebih masyarakat ilmiah di masa
depan. Masalahnya sekarang, haruskah kita musuhi terus produk budaya,
hasil perjalanan batin nenek moyang kita ini?
Kalau seandainya agama itu seperti instansi misalnya polisi, maka mereka
yang bekerja untuk instansi ini dibekali surat tugas dari pimpinan instansi
polisi. Maka bila ada seorang polisi mengaku polisi dan dibuktikan dengan
surat tugasnya sebagai polisi, benar adanya. Namun bila ada seseorang yang
bukan polisi dia mengaku-ngaku polisi, lalu bertindak atas nama polisi, orang
seperti ini dikatakan tidak tau malu, dan wajar ditangkap. Lalu bagaimana
dengan mereka yang mengaku-ngaku “sebagai wakil” Tuhan, tetapi tidak
dapat dibuktikannya surat tugasnya dari Tuhan?
Ref.
Anonim. 1989. Sai Baba Manusia Luar Biasa. Jakarta: Sri Sathya Centre.
Jakarta.