Anda di halaman 1dari 11

BERTUHAN SECARA FAKTA DAN BERTUHAN

SECARA FAKTUAL
Oleh Pertampilan S. Brahmana

1. Pendahuluan

Koentjaraningrat membedakan antara agama, relegi dan kepercayaan.


Agama adalah semua agama yang secara resmi diakui pemerintah, relegi
adalah sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secera resmi seperti
berbagai aliran kebatinan, sedangkan kepercayaan mempunyai arti yang
khas ialah komponen kedua dalam tiap agama maupun relegi.

Walaupun Koentjaraningrat membedakan antara agama, relegi dan


kepercayaan, perbedaan ini hanyalah memudahkan pemahaman saja,
sedangkan inti dari antara agama, relegi dan kepercayaan, sama yaitu
percaya akan adanya Yang Maha Tunggal (Tuhan), sebagai Penguasa
Tunggal.

Dalam tulisan ini ketiga istilah di atas walaupun kadang-kadang dipergunakan


secara bervariasi, maknanya dianggap sama, sebab inti yang ingin
dibicarakan tulisan ini adalah kepercayaan akan adanya Yang Maha Tunggal
(Tuhan), bukan variasi kepercayaan tersebut.

Kemudian tulisan ini, sama sekali tidak bermaksud merendahkan satu sama
lain. Pikiran seperti itu jauh dari maksud penulisan ini, sebab kepercayaan
yang dimaksudkan tulisan ini adalah murni dianggap dan berasal dan
bersumber dari hasil budaya sendiri, dengan demikian kepercayaan dalam
tulisan ini bukan dimaksud bagian agama. Kalaupun ada menyebut, atau
menyinggung, atau bersentuhan dengan agama, semata-semata hal itu
disebabkan dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit membedakan secara
murni yang mana kepercayaan dan yang mana bersumber dari agama, hanya
niatnya saja kadang yang membedakannya. Sementara niat itu adalah
sesuatu yang abstrak, hanya berupa konsep yang ada di dalam kepala kita
sebagai manusia.

2. Bertuhan Secara Fakta dan Bertuhan Secara Faktual

2.1 Fakta dan Faktual

Fakta dan faktual adalah dua hal yang berbeda tetapi menyatu. Tidak ada
faktual tanpa fakta, faktual berasal dari fakta. Dalam KBBI dijelaskan fakta
adalah yang merupakan kenyataan, sesuatu yang benar-benar ada atau
terjadi.

Faktual berdasarkan fakta mengandung kebenaran material. Sedangkan


fakta, juga mengandung kebenaran, tetapi kebenaran gagasan. Secara
material, gagasan dapat saja tidak dapat dibuktikan melalui indra perasa,
indra penglihatan.

Faktual sebagai bagian dari produk manusia (kebudayaan) selalu mempunyai


3 wujud, wujud pertama gagasan (ide) unsur yang melatarbelakangi
gagasan, ide tersebut, wujud kedua, cara bagaimana mewujudkan gagasan
tersebut, wujud ketiga hasil dari gagasan tersebut di laksanakan (faktual).

Sedangkan fakta selalu berada dalam wujud pertama yaitu gagasan, dan ide.

2.2 Bertuhan Secara Fakta.

Bila dibanding-bandingkan jumlah pengikut agama secara fakta dengan


secara faktual, jelas pengikut agama secara fakta yang banyak. Bertuhan
secara faktual lebih banyak terdapat dilakangan para ilmuwan atau filosuf,
atau para mereka yang disebut kaum sekularis, dan bila juga dibuat
perbandingan antara penganut agama secara fakta dengan secara faktual
diantara para ilmuwan atau filosuf, tetapi pengikut agama secara fakta yang
banyak.

Agama Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu dan lainnya dapat
dikategorikan bertuhan secara fakta. Pengikutnya disuruh percaya akan
ajaran-ajaran yang katanya dari Tuhan yang disampaikan oleh yang katanya
manusia yang menjadi wakil Tuhan di muka bumi ini, walau Tuhan sendiri
hingga kini, sepanjang yang kita ketahui belum pernah ada memberikan
mandat kepada seseorang menjadi wakilnya.

Maka beragama versi Kristen, Islam, Hindu itu adalah beragama secara fakta.
Sebagai fakta dia belum tentu faktual, sebab janjinya tidak dapat dibuktikan
secara material. Surga atau neraka misalnya akan terbukti kalau kita sudah
mati. Bagaimana kita membuktikan kebenarannya kalau kita sudah mati.

Sedangkan faktual adalah sebaliknya, berdasarkan amatan, perasaan,


pemikiran seseorang, dia merasakan ada Yang Maha Esa. Pengakuan ini
bukan berdasarkan agama tersebut di atas tetapi berdasarkan fakta-fakta
(faktual) yang ada. Misalnya oposisi binner adalah faktual.

Adapun produk bertuhan secara fakta, adalah keinginan untuk meneggakkan


Syariat Islam (bagi Muslim), hidup sesuai dengan ajarannya seperti Kristen,
Budha dan Hindu dan lainnya.

Bila ada kelompok yang menentang seperti ini, mereka tidak segan-segan
bertindak atas nama Tuhan, walaupun Tuhan belum pernah memberikan
mandat kepada mereka.

2.3 Bertuhan Secara Faktual.

Apakah agama termasuk ke dalam kebudayaan?. Apakah relegi atau


kepercayaan juga termasuk kebudayaan? Membedakannya secara jelas-
jelas, agak sulit, sebab ritual-ritual agama seperti berdoa, berbakti,
sembahyang, berkurban dan lainnya adalah termasuk kepada bagian dari
kebudayaan. Sehingga ada kesan bahwa saat ini telah terjadi mengagamisasi
dunia, bukan menduniasisasi agama. Akibat lebih jauh dari mengagamisasi
dunia ini adalah penghayatan umat beragama saat ini, terutama terhadap di
luar dari agama yang dianutnya, cenderung menjadi tidak kontekstual. Bukan
kelompok Islam, atau bukan kelompok Kristen, atau bukan kelompok Hindu,
atau bukan kelompok Budha dan sebagainya. Islam, Kristen, Hindu, Budha
dan kepercayaan lainnya, sama-sama mengaku adanya Tuhan Yang Maha
Esa, sebagai pemilik bumi beserta isinya.

Pada umumnya pandangan agama terhadap relegi dan kepercayaan selalu


bernada negatif. Agama selalu tidak mengenal kompromi terhadap cara-
cara/tradisi masyarakat dalam mengekspresikan keberadaan Yang Maha Esa
(Tuhan).

Agama selalu mengatakan kepercayaan seperti animisme, dinamisme,


amulet, fetsji, pemujaan arwah nenek moyang, pemujaan alam, politeisme
dan lain sebagainya sama dengan atau adalah penyembah berhala. Padahal
animisme, dinamisme, amulet, fetsji, pemujaan arwah nenek moyang,
pemujaan alam, politeisme dan lain sebagainya tersebut sebenarnya adalah
hasil kebudayaan yang bersifat kumulatif yang diperoleh melalui perjalanan
panjang dari hasil pemikiran nenek moyang bangsa/etnis. Tak ubahnya
seperti kita percaya atau beranggapan hanya melalui pendidikanlah
(sekolah) kita bisa maju.

Padahal bobot ketiga istilah di atas intinya adalah percaya akan adanya Yang
Maha Tunggal (Tuhan), yang lebih berkuasa dari Manusia.

2.3.1 Tuhan Dalam Pandangan Universal

Untuk membicarakan eksistensi Tuhan dalam konteks budaya, ada baiknya


saya kemukakan pandangan Sai Baba berikut ini.

Menurut Sai Baba (Anonim, 1989:110-111) semua agama mengajarkan satu


dasar disiplin yaitu menyingkirkan pikiran dan sifat yang menentingkan diri,
mengejar kesenangan tak berarti. Tiap agama mengajar manusia untuk
mengisi dirinya dengan kemuliaan Tuhan dan mengusir kepalsuan yang tidak
ada maknanya, dan melatihnya dalam cara melepaskan diri serta
kemampuan untuk membedakan, agar manusia bertujuan tinggi dan
mencapai kebebesan.

Tiap hati digerakkan oleh satu Tuhan.... bahwa semua nama dalam segala
bahasa dan segala bentuk yang dapat dibayangkan manusia, ditujukan
kepada yang satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Kalau Tuhan itu diibaratkan dengan Samudera yang luas, orang yang
berbicara tentang Tuhan tidak akan pernah sempurna pengungkapannya.
Manusia membicarakan tentang Tuhan ibarat mengambil air dari Samudera
tersebut, orang hanya dapat membawanya sebanyak yang dapat dibawanya
ke pantai. Manusia tidak akan pernah mampu membawa semua air yang ada
di samudera ke pantai. Pun dengan sehebat seorang Profesor, Lima puluh
pun gelar DR, atau Profesor yang disandangkannya, pengetahuannya
tersebut baru secuil dari yang dia pahami tentang Tuhan dan Ciptaannya.

Demikian juga halnya dengan pengetahuan manusia sebagai pribadi, individu


tentang Tuhan. Manusia sebagai pribadi, individu itu hanya dapat mengetahui
dan memahami tentang Tuhan itu, sebanyak seperti dia mengambil air dari
samudera dan membawanya ke pantai. Ini bermakna apapun yang dikatakan
manusia tentang Tuhan hanya sedikit yang dia ketahui, hanya sedikit yang
dapat dia pahami.

Pengetahuan manusia tentang Tuhan ini, bagaikan orang buta yang


membicarakan seekor gajah. Ada yang mengatakannya seperti tiang, ada
yang mengatakannya seperti kipas, seperti tali atau seperti dinding. Hal ini
disebabkan karena mereka masing-masing hanya dapat memegang salah
satu anggota badan gajah itu sehingga tidak dapat menerangkan keseluruhan
tentang gajah tersebut.

Bagian-bagian anggota badan gajah yang tampaknya terpisah dan berbeda-


beda itu, bagi pencari kebenaran yang buta, telah dianggapnya dapat
diketahuinya semua.

Demikianlah manusia dengan agama yang dianutnya dia bicara tentang


Tuhan, namun hanya secuil saja yang diketahuinya, namun sudah berani
mengklaim bahwa pandangan mereka itu sempurna dan menyeluruh. Mereka
lupa bahwa Tuhan adalah seluruh Rupa dan seluruh Nama, seluruh Sifat dan
seluruh Kekuatan.

Menurut Sai Baba lebih lanjut, Tuhan realitas inti segala wujud; semua diliputi
Tuhan, semuanya adalah Tuhan. Prinsip, ilahi yang ada dalam diri tiap orang
itu bagikan aliran listrik yang menyalakan bola-bola lampu, terdiri dari
berbagai warna dan kekuatan. Walaupun terdiri dari macam-macam bola
lampu dengan berbagai voltase dan warna, dalam bola lampu itu hanya
terdapat satu aliran listrik. Meskipun kita dapat melihat macam-macam
bentuk, warna dan aneka ragam barang di dunia, suku, kepercayaan dan
kasta, kita harus tahu bahwa Tuhan hadir dalam semua itu, wujud di
dalamnya sebenarnya hanyalah satu.

Demikian pandangan universal Sai Baba tentang Tuhan. Konsekwensi


pandangan di atas adalah Tuhan itu bersikap tidak memihak terhadap semua
manusia, sebagai hasil ciptaannya, Tuhan itu tidak mengenal birokrasi
seperti yang kita hadapi sehari-hari, Tuhan itu bukan pendendam, dan bukan
pula pembenci, seperti yang kita bayangkan, untuk memahami siapa dan
bagaimana Tuhan itu, Tuhan dapat pelajari melalui akal pikiran kita. Akal dan
pikiran diberikan Tuhan kepada kita sebagai manusia, untuk kita pergunakan
secara arif dan bijaksana, untuk kita pergunakan untuk lebih mengenal dan
memahami hasil ciptaanNya, bukan untuk merobek-robek, merusak kreasinya
yang lain, sebagai yang maha kuasa dan maha sempurna, konsekwensinya
Tuhan itu telah selesai bekerja untuk dunia. Pengelolaan dunia ini
diserahkannya sepenuhnya kepada manusia sebagai mahluknya yang
katanya paling sempurna yang diciptakannya. Kalau Tuhan belum selesai
bekerja untuk ciptaannya (dunia ini), berarti Tuhan Itu belum dapat dikatakan
Maha Sempurna.

2.3.2 Oposisi Biner dan Sang Penguasa

Apa fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Tuhan itu ada dan dia sebagai
pemilik jagat raya ini berserta isinya? Tuhan itu menciptakan oposisi biner,
dua hal yang bertentangan tetapi menyatu dan tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya. Ini fakta hanya fakta, tetapi sudah menjadi faktual.

Yang Beroposisi Biner


Positip Negatif

Baik Buruk

Terang Gelap

Putih Hitam

Bersih Kotor

Hidup Mati

Suci Kotor

Opisisi Biner dalam bentuk lain

Tuhan Tidak Tuhan

Ada Tuhan Tidak Ada Tuhan

Percaya Tuhan Tidak Percaya Tuhan

Yang Maha Kuasa Tidak Maha Kuasa

Yang Maha Tahu Tidak Maha Tahu

Yang Maha Esa Tidak Maha Esa

Yang Maha Segala Tidak Maha Segala Maha


Maha

Agama Tidak Agama

Islam Tidak Islam

Kristen Tidak Kristen

Hindu Tidak Hindu

Budha Tidak Budha

Aliran Kepercayaan Tidak Aliran Kepercayaan

Rahmatan lil'Alamin' Tidak Rahmatan lil'Alamin'

Terang Dunia Tidak Terang Dunia

Garam Dunia Tidak Garam Dunia

Dan lain-lain. Tidak dan lain-lain.

Di balik opsisi biner ini, ada sesuatu yang mengatur, ada dalangnya, oleh
orang yang percaya akan adanya pencipta alam disebut Tuhan Yang Maha
Esa. Oleh mereka yang tidak percaya akan adanya pencipta alam disebut
fenomena alam.

2.3.3 Contoh Produk Bertuhan Secara Faktual: Contoh Kasus


Kepercayaan Masyarakat Karo.

Ini hanya sekedar contoh, anda dapat mengambil contoh dari etnis anda
sendiri.

Kepercayaan Karo jelas berbeda dengan agama Kristen, Islam atau Hindu.
Kalau agama-agama tersebut dapat dikategorikan fakta, maka kepercayaan
Karo maupun kepercayaan etnis lain sama-sama bersifat faktual.

Fakta maksudnya, agama seperti Kristen, Islam, Hindu itu adalah fakta.
Sebagai fakta dia belum tentu faktual, sebab janjinya tidak dapat dibuktikan
secara material. Surga atau neraka misalnya akan terbukti kalau kita sudah
mati. Kalau kita sudah mati, apa masih bisa kita membuktikannya, karena
tampaknya wacana surga neraka, dipakai, dilatarbelakangi (ukuran) keadaan
duniawi.

Sedangkan faktual adalah sebaliknya, berdasarkan amatan, perasaan,


pemikiran seseorang, dia merasakan ada Yang Maha Esa. Pengakuan ini
bukan berdasarkan agama tersebut di atas tetapi berdasarkan fakta-fakta
(faktual) yang ada. Misalnya oposisi binner adalah faktual. Contoh lain,
keinginan manusia yang macam-macam yang dipanjatkan melalui doa-doa
kepada Tuhan Yang Maha Esa banyak yang tidak terkabul, dikatakan tidak
dikabulkan Tuhan..

Wujud tertinggi Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan berbagai nama
seperti Dibata (Karo), Debata (Toba), Allah (Islam), Tuhan Allah (Kristen),
Sang Hiyang Widi Wasa (Hindu),

Masyarakat WUJUD TERTINGGI Disebut


Karo Dibata
Toba Debata
Penganut Islam Allah
Penganut Kristen Tuhan Allah, Allah Bapa
Penganut Hindu Sang Hiyang Widi Wasa
Flores Timur Lera Wulan Tanah Ekan (?)
Lembata Lera Wulan Tanah Ekan (?)
Sikka Ina Niang Tana Wawa/ Ama
Lero Wulang Reta (?)
Ende/Lio Wula Leja Tana Watu (?)
Ngadha Deva zeta-Nitu zale (?)
Manggarai Mori Kraeng, bergelar: Tana
wa awang eta//Ine wa ema eta
(?)

Dibandingkan dengan etnis lain, sebenarnya kebudayaan etnis Karo,


termasuk kepada salah satu budaya yang sudah tinggi tingkatannya.
Dikatakan demikian sebab budaya etnis Karo tersebut sudah sampai kepada
tingkat ketuhanan. Sebelum kedatangan Hindu, Islam/Kristen ke Tanah Karo,
peradapan masyarakat Karo sudah mencapai tingkatan tersebut yaitu
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan segala yang ada
di bumi dan di jagat raya ini. Bukti adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa ini adalah dilakukannya penghormatan secara periodik pada
tempat-tempat tertentu yang dianggap tempat tersebut representasi dari Yang
Maha Esa seperti di bawah pohon kayu yang besar, pada batu-batu yang
besar dan sebagainya.

Tingkat kebudayaan tertinggi ini ditandai dengan adanya tiga perwujudan


Tuhan (Dibata). Dalam buku Darwan Prints dan Darwin Prints Sejarah dan
Kebudayaan Karo dijelaskan:
1. Dibata Kaci-Kaci (Dibata Datas). Tuhan yang menguasai alam yang di
atas.
2. Dibata Padukah Ni Aji (Dibata Tengah). Tuhan yang menguasai alam
bagian tengah yaitu Bumi.
3. Dibata Banua Koling (Dibata Teruh). Tuhan yang menguasai bawah tanah.

Kenyataan ini jelas menunjukkan bahwa nenek moyang masyarakat Karo


telah percaya akan adanya Yang Maha Tunggal (Tuhan). Percaya kepada
kekuasaan yang berada di luar batas kemampuannya. Kekuasaan ini mampu
mengatur pola pikir dan pola gerak kehidupan mereka.
Upacara Yang Bersifat Kepercayaan Dalam Masyarakat Karo

Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Karo adanya Dibata Kaci-Kaci


(Dibata Datas), Tuhan yang menguasai alam yang di atas, Dibata Padukah
Ni Aji (Dibata Tengah). Tuhan yang menguasai alam bagian tengah yaitu
Bumi dan Dibata Banua Koling (Dibata Teruh). Tuhan yang menguasai
bawah tanah.

Berdasarkan kepercayaan masyarakat Karo ini, maka yang termasuk ke


dalam kepercayaan antara lain adalah Silan. Pagar. Buah Huta-Huta,
kemudian ada lagi seperti Ndilo Tendi, Erpangir Kulau, Perumah Begu,
Nengget, Ngarkari, Perselihi, Ngulakken, Ngeluncang, Njunjungi Beras Piher,
Katika, Raleng Tendi, Mere Buah Uta-Uta, dan lainnya.

Selain masyarakat Karo juga percaya kepada peranan Guru, percaya kepada
ada Jinujung.

Semua ini membuktikan bahwa masyarakat Karo dahulu adalah masyarakat


yang relegius, masyarakat yang percaya adanya Yang Maha Esa .

Variasi kepercayaan di atas tentu diperoleh dari perjalanan batin nenek


moyang masyarakat Karo itu sendiri, jadi dia bersifat akumulatif. Bukan
rangkaian dari animisme atau dinamisme. Kepercayaan yang diperoleh ini
adalah hasil dari perjalanan batin etnis Karo. Dia tidak berasal dari proses
"pencucian otak", namun merupakan hasil kesadaran dan kerendahan hati.

Hal inilah penyebab maka dahulu banyak penyebar agama sulit


mengembangkan misinya kepada masyarakat Karo, selain memang struktur
adat dan budaya masyarakat Karo yang kontekstual dengan
kenyataan/kebutuhan hidup sehari-harinya, para penyebar agama terpaksa
terlebih dahulu "mencuci otak" masyarakat Karo, agar misi mereka dapat
diterima oleh masyarakat Karo sendiri.

Padahal dalam pandangan masyarakat lama Karo keberadaan Tuhan itu, bila
diibaratkan dengan manusia, maka setiap jengkal tubuhNya baca
kekuasaanNya, ada dirasakan getaran zat Tuhan tersebut. Pohon kayu, batu-
batu besar atau benda-benda yang dianggap keramat yang masih bagian
dari ciptaanNya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, maka bila ada
yang menyembah di sana, justru karena dirasakan ada zatNya di sana, bukan
dalam kaitan menyembah berhala. Bukankah seumpama pohon kayu, batu-
batu besar atau benda-benda yang dianggap keramat tersebut masih tetap
bagian dari ciptaan Tuhan, dan di dalam ciptaanNya tersebut masih tetap
terdapat zatNya.

Kesadaran seperti inilah yang menjadi latarbelakang bervariasinya


kepercayaan manusia dan bervariasinya tempat-tempat pemujaan.
Dikaitkan pandangan universal tentang eksistensi Tuhan di atas, jelas bahwa
kepercayaan masyarakat Karo lama sama sekali tidak bertentangan dengan
eksistensi Tuhan. Malah melalui kepercayaan tersebut, justru eksistensi
Tuhan dapat lebih diresapi sebagai bagian dari penghayatan pribadi tentang
ada tidaknya Tuhan, dan ada tidaknya kekuasaan Tuhan.

Jadi kepercayaan masyarakat Karo lama, sama sekali tidak bertentangan


dengan keyakinan bahwa Tuhan itu esa (Yang Maha Esa). Tuhan hanya satu,
kebiasaan memuja terhadap pohon-pohon kayu besar, batu-batu besar
misalnya, menunjukkan di tempat itu juga ada dirasakan getaran dari ZAT
Tuhan. Hal ini wajar saja sebab Tuhan adalah Penguasa seluruh Jagat Raya,
sebagai penguasa jagat raya tentu ZATnya terdapat di setiap ciptaannya
agar manusia dapat merasakan kekuasaannya dan menyadari Tuhan itu
dimana saja bisa ada, tanpa sepengetahuan manusia itu, dengan cara begitu
diharapkan manusia tidak mudah menjadi angkuh, dan sombong serta
takabur. Dan ini adalah faktual.

3. Kesimpulan

Bertuhan secara fakta dan bertuhan secara faktual adalah dua hal yang
berbeda. Bertuhan secara fakta, seseorang itu dapat saja percaya ada Tuhan
itu, berdasarkan pengalaman orang lain, namun bertuhan secara faktual,
seseorang itu percaya Tuhan karena memang dirasakannya ada
keterbatasan dalam dirinya yang tidak dapat dipahaminya. Seseorang itu
menyadari di balik opisisi biner, ada yang mengaturnya yang mungkin banyak
yang menyebutnya dengan sebutan Tuhan.

Nenek moyang etnis Karo sama juga dengan nenek moyang etnis lain, sadar
benar ini. Sehingga para nenek moyang tersebut menyembah, menghormati
daerah-daerah yang dianggapnya “angker”.

Kepercayaan masyarakat Karo seperti ini tentu tidak dapat dipertentangkan


atau disamakan dengan ajaran agama. Kepercayaan masyarakat Karo
adalah bagian dari kebudayaan Karo yang bersifat kumulatif yang bersumber
dari perjalanan batin nenek moyang masyarakat Karo itu sendiri (faktual),
yang bertujuan membantu masyarakat Karo dalam memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi sehari-hari, sedangkan agama yang banyak dianut
masyarakat Karo bukanlah berasal dari hasil perjalanan batin nenek moyang
masyarakat Karo dan itu dianggap fakta.

Kepercayaan masyarakat Karo tidak bertentangan dengan prinsip Keesaan


Tuhan, tidak bertentangan dengan eksistensi Tuhan Yang Maha Sempurna,
tetapi boleh jadi tidak seiring sejalan dengan ajaran Nabi. Masalahnya Nabi
bukan Tuhan, dan Tuhan sendiri belum ada bukti memberikan mandat
kepada siapapun di dunia ini untuk membela kepentingan Tuhan .

Pengembangan Kepercayaan masyarakat Karo dapat mendorong


masyarakat Karo menjadi rendah hati. Sifat rendah hati ini adalah salah satu
dasar daripada tujuan agama.
Karena kepada Tuhan adalah tujuan akhir pemujaan agama, maka Tuhan itu
bebas nilai terhadap ciptaannya. Kalau disebut bebas nilai, maka Tuhan itu
tidak mempunyai sifat memihak diantara hasil ciptaannya. Bila ada manusia
membuat Tuhan memihak dirinya (sebagai manusia pribadi), sifat Tuhan
tersebut dalam pandangannya bukan lagi esa.

Tuhan menciptakan manusia agar manusia dapat menjadi bijaksana bukan


berperilaku sebaliknya, pijaksana, pijaksini.

Walaupun kepercayaan masyarakat Karo lama tidak dapat dimasukkan ke


dalam agama universal, tetapi inti semangatnya sama dengan semangat
agama yaitu percaya akan adanya Yang Maha Tunggal (Tuhan) (dalam
agama), menyadari ada yang lebih berkuasa dari manusia (kepercayaan).

Bila terus-menerus kita musuhi budaya tradisional kita ini dengan alasan
bertentangan dengan agama, maka dimasa depan kita akan kehilangan salah
satu unsur pendukung jatidiri kita sebagai etnis Karo (mungkin juga etnis lain).
Padahal di masa depan, tidak tertutup kemungkinan, kemungkinan besar
budaya seperti ini dapat menjadi salah satu sumber mata air bagi penyejuk
bagi batin kita. Dalam beberapa kasus budaya tradisional yang mengandung
unsur kepercayaan dan masih berkait ke bidang pengobatan, kini malah mulai
diteliti orang untuk dikombinasikan dengan pengobatan moderen. Dalam
prediksi dan kondisi serta posisi seperti ini, kebudayaan tradisional termasuk
yang bersifat kepercayaan akan mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan
masyarakat, baik masyarakat awam, terlebih-lebih masyarakat ilmiah di masa
depan. Masalahnya sekarang, haruskah kita musuhi terus produk budaya,
hasil perjalanan batin nenek moyang kita ini?

Kemudian bila ada yang komplain terhadap pensejajaran kepercayaan


dengan agama dengan alasan, agama mempunyai kitab suci, sedang
kepercayaan tidak mempunyai kita suci sebagai panduan, pertanyaan
terhadap komplain seperti ini, hingga hari ini, belum pernah terungkap bahwa
Tuhan sebagai pemilik alam ini beserta isinya, ada memberikan surat
perintah kepada salah seorang untuk mengatakan bahwa yang tertulis di
dalam yang kita sebut kitab suci itu adalah benar-benar perintah Tuhan Yang
Maha Esa. Belum ada. Yang ada hanyalah tafsir. Seseorang menafsirkan
kemudian mengklaim untuk macam-macam kepentingan atas nama Tuhan,
walaupun Tuhan tidak ada memberikan surat tugas atau surat perintah untuk
melakukannya.

Kalau seandainya agama itu seperti instansi misalnya polisi, maka mereka
yang bekerja untuk instansi ini dibekali surat tugas dari pimpinan instansi
polisi. Maka bila ada seorang polisi mengaku polisi dan dibuktikan dengan
surat tugasnya sebagai polisi, benar adanya. Namun bila ada seseorang yang
bukan polisi dia mengaku-ngaku polisi, lalu bertindak atas nama polisi, orang
seperti ini dikatakan tidak tau malu, dan wajar ditangkap. Lalu bagaimana
dengan mereka yang mengaku-ngaku “sebagai wakil” Tuhan, tetapi tidak
dapat dibuktikannya surat tugasnya dari Tuhan?
Ref.

Anonim. 1989. Sai Baba Manusia Luar Biasa. Jakarta: Sri Sathya Centre.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai