Anda di halaman 1dari 17

PENGERTIAN AGAMA & FUNGSI AGAMA

1. Pengertian Etimologis dan Definitif


Secara etimologi kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta. Dari
ensiklopedia Indonesia diperoleh yang terdiri dari dua kata yaitu a dan
gama. "A" berarti tidak dan “gama" berarti kacau.
Agama berarti tidak kacau, tidak berantakan atau sesuatu yang tersusun
rapi dan teratur secara sistematis.

Dari etimologi ini dapat dipahami bahwa agama menggambarkan suatu


suasana yang teratur dan tidak kacau-balau. Maksudnya, agama adalah
peraturan yang mengatur keadaan manusia, baik dalam hubungannya
kepada yang Ilahi maupun kepada yang menyangkut budi pekerti dan
pergaulan orang lain.
Jadi bila dikaitkan dengan tingkah laku, maka agama merupakan tidakan
dan cara hidup yang teratur, aman dan tenteram.

Pengertian etimologi lain dikemukakan oleh H.Bahrum Rangkuti dengan


mengatakan bahwa "a" berarti cara dan "gama" berarti jalan. Jadi
menurut H.Bahrum Rangkuti agama merupakan cara berjalan atau cara-
cara supaya sampai kepada Tuhan.

Sedangkan menurut Kamus Jawa Kuno-Indonesia yang disusun oleh L.


Mardiwarsito, agama adalah ilmu, pengetahuan dan pelajaran agama.

Dan menurut Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S.


Poerwadarminta agama merupakan segenap kepercayaan (kepada
Tuhan, Dewa, dsb.) serta dengan kebaktian dan kewajiban-kewajiban,
yang bertalian dengan kepercayaan itu.
Dari ensiklopedia Indonesia diperoleh keterangan bahwa akar kata agama
adalah "a" dan "gama". "a" artinya tidak dan "gama" artinya pergi.
Kemudian dijelaskan bahwa dengan agama berarti pada umumnya
manusia mengakui adanya sesuatu yang "Suci" terdapat di dalam agama.
Pada umumnya manusia menyadari bahwa ada sesuatu "kuasa" yang
memungkinkan dan melebihi segala sesuatu yang ada. Kekuasaan ini
yang dianggap manusia sebagai sumber atau pencipta segala sesuatu
yang ada. Kekuasaan ini dibayangkan manusia dengan aneka fantasi dan
kemudian secara yakin manusia mempersonifikasikannya dengan sesuatu
wujud dan bentuk yang tidak dapat dibayangkan keberadaannya. Dengan
pemahaman ini Allah dipahami manusia sebagai sesuatu tenaga
supranatural dan rohani yang meliputi seluruh alam semesta.

Dalam bahasa Latin kata agama disebut dengan istilah religio. Istilah yang
serupa disebut dalam bahasa Inggris, Prancis, Spanyol dan Jerman:
religion; Dalam bahasa Belanda disebut: religie. Dari istilah ini timbul
istilah religi.
Istilah religio berasal dari kata kerja religare yang artinya
memperlihatkan dengan seksama. Dari istilah ini agama dipahami
sebagai suatu sikap yang memperhatikan dengan seksama bentuk
peraturan yang berlaku dalam suatu religi tertentu. Sikap ini muncul
sebagai akibat adanya rasa takut individu atau kelompok terhadap suatu
daya yang supranatural, yang dipahami sebagai kekuatan ilahi, dewa
ataupun Tuhan.

Dari etimologi di atas dapat disimpulkan bahwa secara definitif agama


merupakan suatu sarana individu atau kelompok untuk memperoleh
ketenangan hidup melalui suatu proses ibadat yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Dalam proses ibadat terjalin hubungan individu atau
kelompok dengan suatu "kuasa" yang statusnya lebih tinggi dari individu
atau kelompok tersebut. Proses ibadat ini terjadi akibat adanya daya
tarik individu atau kelompok pada sesuatu yang dianggap dapat
memberikan bantuan atau perlindungan pada setiap individu yang
membutuhkannya.
Dengan dasar ini ibadat dilakukan oleh setiap individu atau kelompok
berdasarkan kriteria yang dituntut oleh "kuasa" yang maha tinggi
tersebut. Seluruh proses kepercayaan hingga upacara ibadat yang
dilakukan individu atau kelompok inilah yang disebut dengan istilah
"agama". Karena itu agama merupakan bentuk keimanan individu atau
kelompok kepada yang maha kuasa. Bentuk keimanan ini dipergunakan
untuk suatu pedoman hidup individu atau kelompok agar mereka terluput
dari berbagai kekacauan hidup melalui perlindungan yang maha kuasa.
Dengan prinsip inilah muncul aneka ragam agama yang sesuai dan
dilandasi oleh iman setiap inividu atau kelompok tertentu.

2. Ciri-ciri Agama
Ciri-ciri umum yang terdapat dalam semua agama dapat dilihat dari kitab
atau petunjuk-petunjuk yang dipedomani oleh umatnya. Jadi di dalam
setiap agama terdapat doktrin yang jelas dan mengikat dalam segala
aspek kehidupan umatnya.
Sebagian agama sudah menuangkan doktrinnya di dalam suatu kitab,
misalnya agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi. Namun sebagian
agama masih belum menuangkannya di dalam bentuk kitab, melainkan
masih dalam bentuk lisan ataupun pedoman. Selain itu setiap agama
memiliki suatu sistem kultus agama yang sudah dapat diterima dan
diamalkan di dalam pelaksanaan agamanya. Namun masih perlu
dikembangkan penelitan yang serius menyangkut, apakah semua agama
telah menuangkan sistem kultus tersebut dalam bentuk tulisan atau masih
dalam bentuk lisan.

Ciri-ciri lain dapat dilihat dari kenyataan bahwa setiap agama mengandung
ajaran tentang iman kepada Allah dan atau sang Pencipta. Inilah ciri-ciri
umum yang terdapat pada setiap agama.

Selain ciri-ciri umum di atas, masih terdapat beberapa ciri-ciri khusus


sesuai dengan konteks dari awal lahirnya suatu agama antara lain:
sebagian agama menekankan pentingnya ratio atau akal.
Mereka sangat menekankan penggunaan akal sebagai ukuran untuk
menanggapi doktrin doktrin agama. Bagi penganut agama ini seolah-olah
terlihat bahwa ratio lebih tinggi dari ajaran yang dianutnya. Bahkan bagi
mereka, akal adalah segala-galanya.

Sebagian agama ada yang lebih menekankan ciri emosi atau perasaan.
Penganut agama ini lebih mengutamakan aspek kejiwaan dalam menghayati
kehidupan keagamaan. Dengan ini, para pemeluk agama ini lebih diarahkan
pada suatu kehidupan rohani. Sehingga bagi mereka, segala sesuatu yang
mempunyai kaitan dengan agama harus dipahami dari segi kerohanian.

Sebagian agama ada yang lebih menonjolkan ciri aktivitas yang riel. Bagi
penganut agama ini tuntutan moralitas sebagai wujud kehidupan umat
beragama jauh lebih utama dari yang lain. Sehingga agama ini mengarahkan
umatnya agar benar-benar menaati hukum-hukum dan aturan-aturan.
Pelanggaran terhadap suatu hukum dan aturan merupakan pelanggaran
terhadap hakikat agama.
3. Sejarah Terjadinya Agama
Sejarah terjadinya agama sangat sulit dijabarkan dengan baik. Sebab
selain kealpaan bahan sejarah untuk suatu proses penyelidikan asal-
usul terjadinya agama, keanekaan agama juga merupakan faktor yang
dominan penyebab sulitnya menentukan bagaimana dan kapan
terjadinya agama secara eksplisit.

Namun proses terjadinya suatu agama dapat diketahui melalui suatu


penelitian terhadap ajaran dan ritus-ritus agama serta tingkah laku para
pemeluk agama tersebut. Dengan menganalisis ajaran, ritus-ritus dan
tingkah laku individu atau kelompok suatu umat beragama akan jelas
diketahui sejarah terjadinya agama yang dianutnya.

Di bawah ini akan dipresentasikan beberapa pikiran para ahli tentang


sejarah terjadinya agama-agama purba berdasarkan penyelidikan atas
ajaran dan ritus-ritus agama serta tingkah laku para pemeluk agama
tertentu.
R. Maret seorang ahli kesusastraan Yunani berpendapat bahwa agama
yang ada di dunia ini berasal dari emosi atau getaran jiwa manusia.
Secara alami emosi manusia akan menimbulkan perasaan kagum atas
berbagai kejadian-kejadian yang supranatural yang diyakini sebagai
akibat pengaruh suatu "daya" yang terdapat di luar manusia. "Daya" ini
kemudian menjadi sentral perhatian manusia yang dikemudian hari
dipersonifikasikan menjadi "sesuatu" yang ditakuti dan disembah. Sikap
takut dan proses penyembahan manusia terhadap personifikasi daya
tersebut merupakan awal dari terjadinya suatu agama bagi manusia.

Dengan menganalisis bentuk suatu agama di tanah Toraja, A.C. Kruyt


(1869-1949), seorang Pendeta Belanda yang pernah melayani jemaat
Toraja di Sulawesi, berpendapat bahwa "manusia purbakala percaya
akan adanya sesuatu zat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak
kepada banyak hal di dunia ini". Dari hasil penemuannya ini Kruyt
berpendapat bahwa terjadinya agama adalah sebagai akibat adanya
anggapan bahwa di dunia ini terdapat "sesuatu kekuatan" yang dapat
memberikan "sesuatu" terhadap manusia dan alam semesta..
Kekuatan ini berada di segala tempat, bahkan di dalam diri hewan,
tumbuhan dan di dalam diri manusia itu sendiri. Keyakinan manusia
akan adanya daya yang berada di berbagai tempat menjadi sumber
terjadinya suatu agama.

Rudolf Otto (1869-1937) dalam bukunya "Das Heilige" menjelaskan


bahwa terjadinya agama berkaitan dengan kepercayaan manusia akan
adanya dunia gaib yang dianggap manusia sebagai sesuatu kekuatan
yang dahsyat dan keramat. Kedahsyatan kekuatan ini mendorong
manusia ingin menyatukan dirinya dengan dunia gab tersebut. Proses
penyatuan diri manusia dengan kekuatan gaib ini dilakukan dengan
berbagai upacara seremonial yang mistis. Lama kelamaan tindakan ini
menjadi suatu kebiasaan manusia dan akhirnya merupakan suatu
agama resmi manusia.
Edward B.Tyler (1832-1917) seorang archeolog Inggris dalam bukunya
mengemukakan bahwa agama terjadi akibat adanya suatu "kekuatan" yang
bergerak dalam diri manusia. Kekuatan ini dipahami sebagai jiwa yang sudah
lepas dari manusia melalui proses kematian. Menurut Tyler, jiwa-jiwa ini bergerak
secara bebas menurut kehendaknya di berbagai tempat di alam semesta. Jiwa-
jiwa ini disebut dengan "Makhluk halus" yang dapat bertindak di luar kemampuan
manusia. Karena itu semua manusia menghormati dan takut kepada jiwa jiwa ini
dan berupaya menyelaraskan diri dengan kehendaknya melalui berbagai upacara
seremonial. Kemungkinan dari konsepsi ini kemudian muncul pemahaman akan
adanya Tuhan yang maha esa. Kekuatan ini berada di segala tempat, bahkan di
dalam diri hewan, tumbuhan dan di dalam diri manusia itu sendiri. Keyakinan
manusia akan adanya daya yang berada di berbagai tempat menjadi sumber
terjadinya suatu agama.

Wilhelm Schmidt (1868-1954) seorang guru besar Anthropologi Austria


berpendapat bahwa agama terjadi dari adanya titah Tuhan kepada manusia
ketika Dia muncul di dunia ini sebagai dewa pencipta. Menurut Schmidt Tuhan
pencipta ini adalah satu dan Dialah yang mahakuasa dari segala yang ada di
bumi.
Bila kita simak apa yang dikemukakan para ahli di atas ini, maka ada
suatu kesan yang muncul bagi kita, yaitu bahwa sejarah terjadinya
agama sangat kompleks dipahami. Banyak ahli yang berbeda pendapat
tentang proses terjadinya suatu agama. Namun dari apa yang
dikemukakan para ahli, ada suatu hal yang menjadi pedoman untuk
memahami sejarah terjadinya agama yaitu bahwa agama terjadi sebagai
akibat adanya keinginan manusia itu sendiri. Artinya ide suatu agama
bersumber dari pihak manusia, bukan dari Tuhan ataupun daya
kekuatan yang supranatural. Manusia menginginkan suatu suasana
hidup yang aman dan tenteram. Sehingga manusia mengupayakan jalan
dan cara untuk memperolehnya melalui pempersonifikasian suatu daya
kekuatan yang supra natural. Manusia menginginkan suatu suasana
hidup yang aman dan tenteram. Sehingga manusia mengupayakan jalan
dan cara untuk memperolehnya melalui pempersonifikasian suatu daya
yang diyakini sebagai sesuatu yang dapat memberi manfaat keamanan
dan kesejahteraan.
4. Fungsi Agama
Secara sistematis dan umum agama berfungsi sebagai berikut:
1. Agama membimbing umatnya mengenal Penciptanya
2. Agama menyadarkan umatnya agar melaksanakan kehendak
penciptanya dalam memelihara dan menyelamatkan karya ciptaan
tersebut.
3. Agama membimbing umatnya kejalan yang benar
4. Agama menyadarkan umatnya memperjuangkan persatuan masyarakat
dan mengupayakan harmonisasi seluruh masyarakat yang beraneka
suku, bahasa, agama dan kebudayaan.

Bila disimak keempat fungsi ini, akan diperoleh kesan bahwa fungsi
agama merupakan jawaban manusia terhadap Tuhan dan realitas sosial.
4.1 Agama merupakan jawaban manusia kepada Tuhan
Agama ditandai dengan penampakan hubungan antara manusia dengan
Tuhan atau dengan suatu kuasa yang dianggap lebih tinggi dari manusia
status dan kekuasaannya. Untuk kuasa yang supranatural ini manusia
memberi nama: Allah, Yahwe, Dewa atau Dewi, Kurios dsb.

Ada juga agama yang mengajarkan bahwa awal hubungan manusia


dengan Tuhan terjadi akibat kesadaran manusia tentang dirinya dan
tentang alam semesta.

Namun yang pasti, bagaiman pun awal hubungan manusia dengan


Allah, agama ditandai dengan adanya hubungan antara pemeluk-
pemeluknya dengan Tuhan yang diperkenalkan agama tersebut.

Manusia mempunyai hubungan yang mutlak dan langsung kepada Allah.


Hal ini dipahami dengan adanya penggambaran antropomorphisme
manusia terhadap Allah.
Misalnya:
Manusia menggambarkan adanya tahta Allah, tempat Allah tinggal;
Manusia menggambarkan adanya tangan Allah yang membimbing hidup
dan kehidupan manusia; Manusia juga menggambarkan adanya mata
Tuhan yang dapat melihat manusia yang hidup dan bertindak di setiap
saat dan di segala tempat. Dengan penggambaran antropomorpisme
seperti ini dapat dipahami bahwa tindakan Allah sangat konkrit dalam
segala aspek hidup dan kehidupan manusia.

4.2 Agama merupakan realitas sosial


Agama lahir, tumbuh dan berkembang di suatu daerah tertentu yang
mempunyai budaya dan sistem pengaturan kehidupan masyarakat.
Agama yang lahir, tumbuh dan berkembang di suatu daerah tentu
dipengaruhi oleh budaya dan sistem kehidupan masyarakat setempat.
Dari tempat asalnya ini agama kemudian hari berkembang secara luas
ke berbagai daerah yang tentu sudah memiliki budaya dan sistem
pengaturan kehidupan masyarakat.
Dengan pengembangan ini, agama yang sudah memiliki pengaruh
budaya dan sistem kehidupan masyarakat di mana ia lahir, akan
bertemu dan berinteraksi dengan budaya dan sistem kehidupan
masyarakat di mana agama itu kemudian berkembang. Sulit ditentukan
seberapa jauh agama tersebut dapat mempengaruhi budaya dan sistem
kehidupan masyarakat di mana dia kemudian berkembang. Demikian
halnya, sulit diukur seberapa jauh budaya dan sistem kehidupan
masyarakat di tempat perkembangan agama yang baru tersebut dapat
mempengaruhi nilai-nilai yang terdapat di dalam agama tersebut.

Dengan pertimbangan pemikiran ini dapat dipahami bahwa agama


merupakan suatu realitas sosial yang dapat berguna untuk memberikan
suatu pranata baru atau sedikitnya mengukuhkan nilai-nilai yang sudah
ada pada suatu masyarakat tertentu. Kehadiran suatu agama dalam
suatu masyarakat dapat melahirkan suatu pranata sosial yang baru yang
berbeda atau bertentangan dengan sistem pengaturan masyarakat yang
selama ini berlaku. Agama tersebut secara cepat atau lambat akan
menggeser sistem kehidupan masyarakat yang lama karena tidak sesuai
dengan misi agama tersebut.
Memang ada kemungkinan bahwa agama tersebut tidak menggeser
pranata yang lama, melainkan hanya memadukan (mensintesekan)
unsur-unsur agama tersebut dengan pranata telah ada. Ataupun,
kehadiran agama tidak menggeser atau pranata yang sudah ada, tetapi
tetap menggunakan yang lama dengan beberapa pembaruan dan
modifikasi yang tertentu.

Anda mungkin juga menyukai