Anda di halaman 1dari 11

BARONG BRUTUK SEBAGAI REPRESENTASI PENCIPTAAN ALAM

SEMESTA DALAM KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA


TERUNYAN, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI

Putu Sabda Jayendra

Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional

sabda@stpbi.ac.id

ABSTRAK

Sasolahan Barong Brutuk merupakan suatu tarian sakran yang ikonik


Desa Terunyan, karena tidak ada di daerah lainnya. Barong Brutuk merupakan
representasi dari sistem religi dan kearifan lokal masyarakat Desa Terunyan
yang begitu kompleks dan sarat pula akan nilai-nilai pendidikan. Melalui
Barong Brutuk, dapat dianalisis bahwa tarian ini menggambarkan turunnya
dewa-dewa (Turun Hyang) dalam terminologi lokal setempat untuk memberikan
anugerah kesuburan, kesejahteraan dan bebas dari malapetaka bagi masyarakat
Desa Terunyan. Melalui adegan Metambak yang sejatinya menggambarkan
pertemuan Purusa dan Pradhana, dapat diketahui pula bahwa pertemuan dua
unsur tersebut menciptakan makrokosmos dan mikrokosmos yang menciptakan
pula keteraturan ekosistem dan berdampak pada munculnya pola-pola
kebudayaan, sistem pendidikan, hingga pembentukan karakter masyarakat
Terunyan yang konservatif dengan kearifan lokalnya dan selaras dengan alam
serta lingkungannya.

I. PENDAHULUAN

Barong Brutuk merupakan jenis tarian sakral yang hanya terdapat satu-
satunya di Desa Terunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Jenis
tarian ini sangatlah unik, karena jauh dari kesan tari-tarian Bali yang gemerlapan
pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari busana Barong Brutuk itu sendiri yang
terbuat dari daun pisang kering (keraras). Daun-daun pisang kering tersebut
dirajut dengan tali kupas (tali dari batang pohon pisang) dijadikan semacam rok
yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari
menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian
digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Penari-
penari Brutuk menggunakan pakaian dalam yang juga dibuat dari tali pohon
pisang. Dengan demikian, kostum tarian ini sangatlah tradisional, memanfaatkan
SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

bahan-bahan alami, dan sangat jauh dari kesan gemerlapan sebagaimana tari-
tarian di Bali pada umumnya.
Sasolahan Barong Brutuk merupakan salah satu bentuk tari wali (sakral),
yang pelaksanaannya merupakan bagian dari prosesi upacara Ngusaba Gede
Kapat Lanang yang merupakan piodalan di Pura Bali Desa Pancering Jagat Bali
Desa Terunyan dan digelas dua tahun sekali. Tarian ini ditarikan oleh para
penari pria yang diambil dari anggota Sekaa Teruna (pemuda) yang ada di Desa
Terunyan. Sebelum nyolahang tarian sakral ini, para pemuda tersebut harus
melewati berbagai proses sakralisasi maksimal selama 42 hari. Mereka tinggal
di sekitar Bhatara Datonta dan setiap hari bertugas membersihkan halaman
pura. Selama proses sakralisasi, para mereka tidak diperbolehkan berbuat dan
berkata-kata kotor, bahkan tidak boleh bersentuhan dan menggoda lawan jenis
(Sugata, 2004:36).
Sasolahan Barong Brutuk merupakan satu ritual yang merefleksikan
keunikan sistem religi masyarakat Desa Terunyan. Religi masyarakat Desa
Terunyan memiliki ciri khas tersendiri dalam pelaksanaannya dibandingkan
dengan daerah-daerah lainnya di Bali. Menurut Danandjaja (1985:22), liturgi
agama Terunyan tidak disangsikan lagi adalah Agama Hindu, atau lebih tepat
lagi Hindu Bali, namun bukan untuk memuja dewa-dewa Hindu yang berasal
dari terminologi India sepeti Siwa, Wisnu, dan Brahma, melainkan untuk dewa-
dewa dalam perspektif pemahaman masyarakat Terunyan, yang asalnya adalah
roh leluhur mereka sendiri, seperti Ratu Sakti Pancering Jagat, permaisurinya,
selirnya, pendetanya, para menterinya, panglima perangnya, dan anak-anaknya.
Sistem religi asli masyarakat Desa Terunyan yang direpresentasikan
melalui Barong Brutuk secara hakikat merupakan simbol terciptanya alam
semesta beserta kesuburannya. Dalam hal ini, penciptaan alam semesta yang
direfleksikan dalam tarian Barong Brutuk sebagai tarian yang sarat akan adegan-
adegan kosmis sesungguhnya mengisahkan awal mula eksistensi terciptanya
makrokosmos dan mikrokosmos dalam sudut pandang religi dan kearifan lokal
masyarakat Terunyan.
Realitas yang terjadi, pada sisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak dapat dipungkiri berpengaruh besar pada pola kehidupan
masyarakat. Masyarakat menjadi semakin dimudahkan dalam menjalankan
aktivitas hidupnya, namun di sisi lain masyarakat mengalami suatu
kecenderungan untuk kehilangan pemaknaan nilai-nilai pendidikan dan
keagamaan yang terbingkai dalam kearifan lokal yang diwariskan para
pendahulunya. Dampak dari indikasi perubahan sosial budaya di Desa Terunyan
tersebut tidak dapat dipungkiri berpengaruh besar terhadap eksistensi sasolahan
Barong Brutuk sebagai ciri budaya lokal asli Desa Terunyan yang paling ikonik.
Hal ini tampak dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam ritual sasolahan
Barong Brutuk, terutama yang menyangkut struktur dan tata cara
pelaksanaannya. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa ritual sasolahan
Barong Brutuk mengalami perubahan dan pergeseran pula secara pemahaman
dan pemaknaan filosofis, sehingga lambat laun akan berimplikasi pula terhadap
perubahan pola-pola kehidupan masyarakat Desa Terunyan. Oleh sebab itu,
upaya-upaya eksplorasi nilai-nilai luhur dan makna-makna simbolik yang

(20 Oktober 2019).


SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

terkandung dalam tarian Barong Brutuk harus terus digali dan disosialisasikan
agar tetap dipahami dan dijaga sebagai salah satu warisan kearifan lokal yang
adiluhung.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dimana data dikumpulkan
dengan teknik wawancara, observasi, studi dokumen, dan studi kepustakaan.
Dalam menganalisis data, dilakukan dengan melakukan reduksi, penyajian, dan
penarikan kesimpulan. Reduksi data merujuk pada proses pemilihan,
penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian data mentah (Emzir,
2010:129). Reduksi data dilakukan dengan merangkum atau membuat ringkasan,
menelusuri masalah, membuat satuan-satuan data yang lebih kecil sesuai dengan
masalah yang dikaji. Satuan-satuan yang dibuat kemudian diberi kode untuk
memudahkan pemaparan data. Selama proses pengumpulan data, dilakukan
kegiatan penyeleksian, atau memilah-milah hasil observasi dan wawancara serta
memusatkan perhatian sesuai dengan tema penelitian.
Langkah kedua dalam proses analisis data yaitu penyajian data.
Penyajian data merupakan bagian dari analisis untuk merangkai atau menyusun
informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
mengambil tindakan (Basrowi dan Suwandi, 2008:209). Dalam tahapan ini, data
disajikan secara sistematik agar memudahkan memahami dan memberikan alur
agar keseluruhan data dipahami tidak sebagai bagian-bagian segmental atau
fragmental yang terlepas satu sama lain, melainkan sebagai satu bagian yang
utuh dan saling terkaitan satu sama lain.
Langkah ketiga dalam aktivitas analisis data adalah penarikan
kesimpulan. Emzir (2010:133) menyatakan bahwa dari permulaan pengumpulan
data, peneliti kualitatif mulai memutuskan apakah makna sesuatu, mencatat
pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur kausal, dan proposisi-
proposisi. Setelah mencermati hasil maka kegiatan penelitian ditutup dengan
menarik suatu kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung. Makna-makna yang muncul dari data harus selalu diuji
kebenaran dan kesesuaiannya sehingga kesahihannya dapat terjamin.
Data yang sudah terkumpul selanjutnya akan disajikan dalam bentuk
penulisan deskriptif kualitatif. Hal ini dilakukan karena dari keseluruhan data
yang diperoleh sebagian besar berupa kata-kata yang bersifat uraian. Teknik
penyajian data dengan deskriptif kualitatif merupakan cara penulisan dengan
menggunakan kata-kata atau narasi untuk menggambarkan topik yang dibahas,
sehingga diharapkan dapat tema penelitian dapat dipahami secara utuh dan
menyeluruh.

III. PEMBAHASAN
3.1 Prosesi Tarian Barong Brutuk
Sasolahan Barong Brutuk bertempat di Pura Bali Desa Pancering Jagat
Bali, yang merupakan mother of temple-nya Desa Terunyan. Pementasan
tariannya terbagi menjadi dua prosesi atau ritual, yakni prosesi Penolak Bala dan
prosesi Metambak. Prosesi pementasan yang menggambarkan ritual penolak

(20 Oktober 2019).


SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

bala dimulai sekitar pukul 10.00 Wita. Prosesi ini dibagi menjadi dua sesi,
dimana sesi pertama bertempat di areal Penaleman Jaban dan menjelang sore
harinya dilangsungkan sesi kedua yang mengambil tempat di areal Tempek
Semangen.
Barong Brutuk mengawali tariannya dengan melakukan putaran
purwadaksina mengelilingi areal Penaleman Jeroan (bagian tersuci dari Pura
Bali Desa Pancering Jagat Bali) dari arah tembok terluar. Setelah menyelesaikan
tiga kali putaran purwadaksina, maka para penari Barong Brutuk bebas berlarian
dan memenuhi areal Penaleman Jaban yang merupakan tempat masolah
pertama. Dalam menari, Barong Brutuk pakem-pakem tari Bali yang baku justru
tidak berlaku pada Barong Brutuk. Gerak tariannya hanya terdiri dari berlarian
mengejar para penonton dan mencambuki mereka. Pada masa inilah para penari
Barong Brutuk merasa dirinya dimasuki kekuatan suci para dewa, sehingga tidak
merasakan sakit pada kakinya yang tidak memakai alas tersebut, serta sangat
kuat dalam nyolahang Barong Brutuk dalam rentang waktu yang sangat lama.
Menarikan Barong Brutuk tidak dalam kondisi kesurupan atau kerauhan
(trance) yang biasanya umum terjadi dalam menarikan beberapa jenis tari-tarian
Bali yang bersifat sakral atau wali, seperti misalnya Tari Sanghyang. Yang
dirasakan adalah bertambahnya kekuatan fisik dan emosi yang berbeda dari
kondisi biasanya. Fenomena ini menurut pandangan masyarakat Desa Terunyan,
sudah tentu disebabkan oleh adanya penyatuan jiwa raga antara para Teruna
penari Barong Brutuk dengan dewa-dewa yang diperankan. Artinya para dewa
tersebut berkenan ikut masolah dengan selaras dan seirama dengan gerak badan
para penari. Dengan kata lain, yang terjadi pada Teruna yang nyolahang Barong
Brutuk adalah penyatuan jiwa raga, bukan diambil alih raganya (trance) yang
biasanya membuat manusia tidak sadar sepenuhnya. Dalam pementasan ritual
penolak bala inipun tidak diiringi dengan suara musik gamelan atau iring-iringan
nyanyian suci yang lainnya. Adegan ini dapat dilihat dalam gambar berikut.

(20 Oktober 2019).


SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

Gambar 1
Barong Brutuk Melecutkan Cambuknya Sebagai Simbol Penolak Bala

(Sumber: Dok. Jayendra, 2018).

Diantara anggota masyarakat ada pula yang sengaja meminta untuk


dicambuk karena diyakini mampu mengobati penyakit, baik medis maupun non
medis serta diyakini agar segera memperoleh keturunan. Keyakinan ini juga
ditunjukkan dalam tindakan nunas surudan dari para penari Barong Brutuk.
Nunas surudan bermakna meminta sisa persembahan kepada Barong Brutuk
yang tadinya dipersembahkan oleh masyarakat untuk mendapatkan anugerah
keselamatan dan kesembuhan dari penyakit. Prosesi ini selesai dilakukan
menjelang pukul 16.00 Wita.
Prosesi Metambak dimulai sekital pukul 16.00 Wita dan berlangsung di
areal Kompleks Tempek Semangen. Adegan ini hanya dilakukan oleh penari
Barong Brutuk yang memerankan dewa tertingginya, yakni Bhatara Ratu Sakti
Pancering Jagat beserta Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar sebagai permaisurinya.
Adegan ini dapat dilihat pada gambar berikut.

(20 Oktober 2019).


SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

Gambar 2
Prosesi Metambak

(Sumber: Dok. Karang 2014).

Gerakan kedua penari dalam Metambak adalah mengibas-ngibaskan


keraras bagian atasnya, sehingga tampak seperti ayam hutan yang tengah berahi.
Dalam adegan ini Sang Dewa tertinggi berusaha menghalang-halangi Sang Dewi
atau permaisuri melewati garisnya, dan berulang kali berusaha menangkapnya
saat ada kesempatan. Sang Dewa Tertinggi tidak perlu melewati garis
jagaannya, namun Sang Dewilah yang berusaha melewati garis pemisah
tersebut, sehingga Sang Dewa harus sigap. Di satu sisi Sang Dewa diharuskan
berusaha menangkap Sang Dewi, sedangkan di sisi lain, Sang Dewi diharuskan
sedapat mungkin menghindari tangkapan Sang Dewa. Suatu ketika, saat Sang
Dewi berusaha melewati garis pembatas, maka secepat kilat Sang Dewa berhasil
menyergapnya, sehingga keduanya bersatu dalam pelukan yang erat sekali. Hal
inilah yang melambangkan terjadinya persetubuhan, sehingga masyarakat Desa
Terunyan akan masuryak (bersorak-sorai) diliputi kegembiraan yang luar biasa.
Dengan tertangkapnya Sang Dewi oleh Sang Dewa, maka diyakini akan ada
anugerah kesuburan yang berlimpah kepada masyarakat Desa Terunyan,
sehingga desanya menjadi gemah ripah loh jinawi, dalam artian diliputi
kemakmuran, kesejahteraan, keselamatan, dan melimpahnya hasil panen, baik
pertanian, perkebunan, dan juga peternakan serta perikanan yang digarap
masyarakat.

3.2 Barong Brutuk Sebagai Representasi Penciptaan Alam Semesta


Sasolahan Barong Brutuk melambangkan turunnya dewa-dewa Terunyan
yang disebut Turun Hyang, untuk memberi anugerah kesuburan, yang juga
secara implisit menjelaskan asal-usul nama Desa Terunyan. Hal ini berarti
bahwa nama Desa Terunyan lebih identik berasal dari kata Turun Hyang yang
artinya tempat turunnya Hyang, atau dewa-dewi, sesuai dengan penuturan para
informan, bukan dari kata Taru Menyan yang artinya nama pohon yang berbau

(20 Oktober 2019).


SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

harum, yang selama ini populer di kalangan masyarakat umum. Secara lebih
otentik yang dapat mendukung pernyataan tersebut, dapat dilihat dari tata cara
penyebutan kata “Turuñan” dalam prasasti-prasati yang ada. Apabila dicermati
dalam penulisan abjad “n” yang jika ditambahkan tanda “~“ pada bagian atasnya
menjadi “ñ” akan diucapkan dan ditulis sebagai “ny” sehingga “Turuñan”
menjadi “Turunyan”. Pernyataan Turuñan sebagai asal nama Terunyan dijumpai
dalam prasasti Trunyan sebagai berikut.

pircintyangkuto a nak banwa di turuñan, jalan anakatba


kadahulu...(Prasasti Trunyan Kelompok I.1b. Bagian 1 dan 2 yang oleh
R. Goris diberi nomor 003 Trunyan AI).

Terjemahannya:
Ketahuilah olehmu semua tua muda Dinganga bernama Cakra
Nayakan Makarun bernama Cagu Mañuratang jñ bernama Kamaja
Basudewa Dakap, yang menjadi pemikiranku ialah penduduk banwa di
Turuñan yang hilir mudik ke bawah dan ke atas ... (Budiastra dan
Wardha, 1990:11).

Istilah Turun Hyang yang menggambarkan turunnya dewa-dewa inilah


yang digambarkan melalui tarian Barong Brutuk. Ideologi utama dari Barong
Brutuk adalah memberi anugerah kesuburan melalui turunnya dewa-dewa dalam
terminologi lokal Terunyan, sehingga wilayahnya selalu ada dalam keadaan
subur dan sejahtera masyarakatnya.
Adegan Metambak yang jelas menggambarkan pertemuan dua unsur
Lanang dan Wadon (Purusa-Pradhana) atau laki dan perempuan juga
mengisyaratkan bahwa Barong Brutuk menggambarkan penciptaan alam
semesta. Sasolahan Barong Brutuk sebagai visualisasi penciptaan alam semesta
menurut teologi lokal masyarakat Desa Terunyan, memulai proses penciptaan
dari aspek Purusa dan Pradhana (Prakrti) langsung menuju kepada konsep
Panca Mahabhuta. Hal ini karena orientasi sasolahan Barong Brutuk setelah
adanya penciptaan adalah pemeliharaan keseimbangan unsur-unsur Panca
Mahabhuta yang diidentikkan dengan kesuburan. Panca Mahabhuta sebagai
komponen abiotik merupakan salah satu faktor timbulnya kesuburan. Peranan
unsur-unsur Panca Mahabhuta sebagai komponen abiotik dalam terciptanya
kesuburan dapat disimak dalam gambar berikut.

(20 Oktober 2019).


SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

Gambar 3
Skema Pergerakan Unsur-unsur Panca Mahabhuta
dalam Siklus Hidrologi dan Penciptaan Kesuburan

(Sumber: Jayendra, 2018).

Termin kearifan lokal Terunyan sendiri menggambarkan alur penjabaran


dari awal penciptaan alam semesta hingga terciptanya pola-pola kebudayaan dan
mempengaruhi sistem pendidikan yang pada akhirnya membentuk karakter
umum komunitas masyarakat Desa Terunyan. Apabila dibuat alur bagannya,
maka dapat diterangkan sebagai berikut.

(20 Oktober 2019).


SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

Gambar 4
Alur Penciptaan dan Hubungan Antara Alam Semesta,
Pola-pola Kebudayaan, Sistem Pendidikan, Hingga Pembentukan Karakter
Masyarakat Desa Terunyan

(Sumber: Modifikasi dari bagan Jayendra, 2018).

Berdasarkan bagan tersebut, dapat diuraikan bahwa menurut kearifan lokal


masyarakat Desa Terunyan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan
Purusa/Lanang (unsur laki-laki) dan Pradhana/Wadon (unsur perempuan).
Pertemuan kedua unsur tersebut menghasilkan unsur-unsur Panca Mahabhuta
yang terdiri dari; (1) Akasa (ether atau ruang), (2) Bayu (gas), (3) Teja (sinar
atau cahaya), (4) Apah (air), dan, (5) Prthiwi (tanah). Kelima unsur-unsur
tersebut berevolusi membentuk alam semesta atau makrokosmos (komponen
abiotik) beserta segala isinya berupa makhluk hidup atau mikrokosmos.
Keteraturan siklus pergerakan unsur-unsur Panca Mahabhuta pada
makrokosmos akan menghasilkan kesuburan, sehingga dapat menunjang
keseimbangan Panca Mahabhuta yang ada pada mikrokosmos. Dengan kata lain
keteraturan pergerakan komponen abiotik di alam semesta akan menunjang
keberadaan berbagai makhluk hidup sebagai komponen biotik. Komponen

(20 Oktober 2019).


SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

abiotik dan makhluk hidup akan saling bersimbiosis, dalam artian saling
membutuhkan dan menunjang eksistensi satu sama lain, sehingga terciptalah
ekosistem yang teratur.
Manusia sebagai makhluk hidup yang dibekali akal budi mampu
mengeksplorasi, mengolah, dan memanipulasi alam lingkungan sekitarnya.
Dengan daya cipta, rasa, dan karsanya, manusia menciptakan pola-pola
kebudayaannya yang selaras dengan alam lingkungan tempat tinggalnya. Pola-
pola kebudayaan tersebut terdiri dari; ; (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3)
organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata
pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) sistem kesenian. Melalui pola-pola
kebudayaan tersebut, manusia senantiasa menjaga keteraturan ekosistem agar
komunitasnya mampu bertahan eksistensinya.
Pola-pola kebudayaan pada akhirnya akan melahirkan sistem pendidikan.
Sistem pendidikan pada dasarnya dibuat selaras dengan kebudayaan yang dianut
komunitas manusia, serta selaras pula dengan ekosistem tempat tinggalnya.
Karenanya, melalui pendidikan dapat memperkuat dan menjaga kebertahanan
sistem kebudayaan serta menjaga kelestarian alam lingkungannya, sehingga
antara alam, kebudayaan, dan sistem pendidikan memiliki hubungan timbal
balik yang saling memperkuat eksistensi satu sama lain. Berlandaskan pada hal
tersebut, inilah yang membentuk karakter kehidupan masyarakat Desa
Terunyan. Dengan menyadari alur penjabaran tersebut dapat dipahami faktor
penyebab masyarakat Desa Terunyan menjadi sangat konservatif terhadap
sistem religi dan kearifan lokal yang dimilikinya, meskipun hingga saat ini
masih kurang terekplorasi dan tersistematisasi dengan baik dalam pemahaman
setempat.

IV. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sasolahan
Barong Brutuk dalam sudut pandang filsafat merupakan representasi dari
penciptaan alam semesta sampai pada awal mula eksistensi peradaban Desa
Terunyan. Dalam terminologi lokal religi Terunyan, semua tercipta berkat
adanya pertemuan antara dewa tertinggi Terunyan beserta permaisurinya, yakni
Bhatara Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar. Hal
inilah yang difilosofikan sebagai Lanang dan Wadon atau Purusa dan Pradhana.
Dalam terminologi kearifan lokal Terunyan sesungguhnya telah merefleksikan
secara lengkap sekali penjabaran mengenai terciptanya alam semesta dengan
begitu kompleks. Dengan memahami hal tersebut, maka diharapkan konsep-
konsep kearifan lokal lainnya di berbagai daerah dapat diekplorasi dan
disosialisasikan kembali agar tetap dapat dipahami oleh umat Hindu umumnya,
serta masyarakat pemilik kearifan lokal tersebut khususnya. Selain itu, melalui
penelitian yang intensif, diharapkan agar dapat menemukan pula nilai-nilai
pendidikan dalam praktik kearifan lokal tersebut agar nilai-nilai luhurnya tidak
tergerus kemajuan jaman.

(20 Oktober 2019).


SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka


Cipta.
Budiastra, Putu dan I Wayang Wardha. 1990: Prasasti Desa Trunyan
Kintamani. Denpasar: Museum Bali.
Danandjaja, James. 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya.
Danandjaja, James. 1985. Pantomim Suci Betara Berutuk Dari Trunyan, Bali.
Jakarta: Balai Pustaka.
Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Jayendra, Putu Sabda. 2018. “Konsep Lanang dan Wadon Sebagai Simbol
Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Religi dan Sosio-kultural
Masyarakat Hindu di Desa Trunyan Bangli”. Pangkaja: Jurnal Agama
Hindu, 21 (1).
Jayendra Putu Sabda. 2018. “Sasolahan Barong Brutuk di Desa Terunyan,
Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli: Suatu Kajian Etnopedagogik”.
Disertasi Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Jayendra, Putu Sabda. 2019. Barong Brutuk Penjaga Jiwa Dari Tanah Bali
Kuno. Badung: Nilacakra.
Jayendra Putu Sabda. 2019. “Praktik Raja Yoga Dalam Rangkaian Pementasan
Barong Brutuk di Desa Terunyan, Kintamani, Bangli: Studi Teologi
Hindu dalam Terminologi Kearifan Lokal”. Pangkaja: Jurnal Agama
Hindu 21 (2).
Sugata I Nyoman. 2004. “Pertunjukan Barong Brutuk Sebagai Pemujaan Ratu
Pancering Jagat di Desa Trunyan (Analisis Bentuk Fungsi dan Makna)”
. Tesis Program Pascasarjana IHDN Denpasar.

(20 Oktober 2019).

Anda mungkin juga menyukai