sabda@stpbi.ac.id
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
Barong Brutuk merupakan jenis tarian sakral yang hanya terdapat satu-
satunya di Desa Terunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Jenis
tarian ini sangatlah unik, karena jauh dari kesan tari-tarian Bali yang gemerlapan
pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari busana Barong Brutuk itu sendiri yang
terbuat dari daun pisang kering (keraras). Daun-daun pisang kering tersebut
dirajut dengan tali kupas (tali dari batang pohon pisang) dijadikan semacam rok
yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari
menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian
digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Penari-
penari Brutuk menggunakan pakaian dalam yang juga dibuat dari tali pohon
pisang. Dengan demikian, kostum tarian ini sangatlah tradisional, memanfaatkan
SAPARI (Seminar Seri Penalaran Riset)
bahan-bahan alami, dan sangat jauh dari kesan gemerlapan sebagaimana tari-
tarian di Bali pada umumnya.
Sasolahan Barong Brutuk merupakan salah satu bentuk tari wali (sakral),
yang pelaksanaannya merupakan bagian dari prosesi upacara Ngusaba Gede
Kapat Lanang yang merupakan piodalan di Pura Bali Desa Pancering Jagat Bali
Desa Terunyan dan digelas dua tahun sekali. Tarian ini ditarikan oleh para
penari pria yang diambil dari anggota Sekaa Teruna (pemuda) yang ada di Desa
Terunyan. Sebelum nyolahang tarian sakral ini, para pemuda tersebut harus
melewati berbagai proses sakralisasi maksimal selama 42 hari. Mereka tinggal
di sekitar Bhatara Datonta dan setiap hari bertugas membersihkan halaman
pura. Selama proses sakralisasi, para mereka tidak diperbolehkan berbuat dan
berkata-kata kotor, bahkan tidak boleh bersentuhan dan menggoda lawan jenis
(Sugata, 2004:36).
Sasolahan Barong Brutuk merupakan satu ritual yang merefleksikan
keunikan sistem religi masyarakat Desa Terunyan. Religi masyarakat Desa
Terunyan memiliki ciri khas tersendiri dalam pelaksanaannya dibandingkan
dengan daerah-daerah lainnya di Bali. Menurut Danandjaja (1985:22), liturgi
agama Terunyan tidak disangsikan lagi adalah Agama Hindu, atau lebih tepat
lagi Hindu Bali, namun bukan untuk memuja dewa-dewa Hindu yang berasal
dari terminologi India sepeti Siwa, Wisnu, dan Brahma, melainkan untuk dewa-
dewa dalam perspektif pemahaman masyarakat Terunyan, yang asalnya adalah
roh leluhur mereka sendiri, seperti Ratu Sakti Pancering Jagat, permaisurinya,
selirnya, pendetanya, para menterinya, panglima perangnya, dan anak-anaknya.
Sistem religi asli masyarakat Desa Terunyan yang direpresentasikan
melalui Barong Brutuk secara hakikat merupakan simbol terciptanya alam
semesta beserta kesuburannya. Dalam hal ini, penciptaan alam semesta yang
direfleksikan dalam tarian Barong Brutuk sebagai tarian yang sarat akan adegan-
adegan kosmis sesungguhnya mengisahkan awal mula eksistensi terciptanya
makrokosmos dan mikrokosmos dalam sudut pandang religi dan kearifan lokal
masyarakat Terunyan.
Realitas yang terjadi, pada sisi lain kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak dapat dipungkiri berpengaruh besar pada pola kehidupan
masyarakat. Masyarakat menjadi semakin dimudahkan dalam menjalankan
aktivitas hidupnya, namun di sisi lain masyarakat mengalami suatu
kecenderungan untuk kehilangan pemaknaan nilai-nilai pendidikan dan
keagamaan yang terbingkai dalam kearifan lokal yang diwariskan para
pendahulunya. Dampak dari indikasi perubahan sosial budaya di Desa Terunyan
tersebut tidak dapat dipungkiri berpengaruh besar terhadap eksistensi sasolahan
Barong Brutuk sebagai ciri budaya lokal asli Desa Terunyan yang paling ikonik.
Hal ini tampak dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam ritual sasolahan
Barong Brutuk, terutama yang menyangkut struktur dan tata cara
pelaksanaannya. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa ritual sasolahan
Barong Brutuk mengalami perubahan dan pergeseran pula secara pemahaman
dan pemaknaan filosofis, sehingga lambat laun akan berimplikasi pula terhadap
perubahan pola-pola kehidupan masyarakat Desa Terunyan. Oleh sebab itu,
upaya-upaya eksplorasi nilai-nilai luhur dan makna-makna simbolik yang
terkandung dalam tarian Barong Brutuk harus terus digali dan disosialisasikan
agar tetap dipahami dan dijaga sebagai salah satu warisan kearifan lokal yang
adiluhung.
III. PEMBAHASAN
3.1 Prosesi Tarian Barong Brutuk
Sasolahan Barong Brutuk bertempat di Pura Bali Desa Pancering Jagat
Bali, yang merupakan mother of temple-nya Desa Terunyan. Pementasan
tariannya terbagi menjadi dua prosesi atau ritual, yakni prosesi Penolak Bala dan
prosesi Metambak. Prosesi pementasan yang menggambarkan ritual penolak
bala dimulai sekitar pukul 10.00 Wita. Prosesi ini dibagi menjadi dua sesi,
dimana sesi pertama bertempat di areal Penaleman Jaban dan menjelang sore
harinya dilangsungkan sesi kedua yang mengambil tempat di areal Tempek
Semangen.
Barong Brutuk mengawali tariannya dengan melakukan putaran
purwadaksina mengelilingi areal Penaleman Jeroan (bagian tersuci dari Pura
Bali Desa Pancering Jagat Bali) dari arah tembok terluar. Setelah menyelesaikan
tiga kali putaran purwadaksina, maka para penari Barong Brutuk bebas berlarian
dan memenuhi areal Penaleman Jaban yang merupakan tempat masolah
pertama. Dalam menari, Barong Brutuk pakem-pakem tari Bali yang baku justru
tidak berlaku pada Barong Brutuk. Gerak tariannya hanya terdiri dari berlarian
mengejar para penonton dan mencambuki mereka. Pada masa inilah para penari
Barong Brutuk merasa dirinya dimasuki kekuatan suci para dewa, sehingga tidak
merasakan sakit pada kakinya yang tidak memakai alas tersebut, serta sangat
kuat dalam nyolahang Barong Brutuk dalam rentang waktu yang sangat lama.
Menarikan Barong Brutuk tidak dalam kondisi kesurupan atau kerauhan
(trance) yang biasanya umum terjadi dalam menarikan beberapa jenis tari-tarian
Bali yang bersifat sakral atau wali, seperti misalnya Tari Sanghyang. Yang
dirasakan adalah bertambahnya kekuatan fisik dan emosi yang berbeda dari
kondisi biasanya. Fenomena ini menurut pandangan masyarakat Desa Terunyan,
sudah tentu disebabkan oleh adanya penyatuan jiwa raga antara para Teruna
penari Barong Brutuk dengan dewa-dewa yang diperankan. Artinya para dewa
tersebut berkenan ikut masolah dengan selaras dan seirama dengan gerak badan
para penari. Dengan kata lain, yang terjadi pada Teruna yang nyolahang Barong
Brutuk adalah penyatuan jiwa raga, bukan diambil alih raganya (trance) yang
biasanya membuat manusia tidak sadar sepenuhnya. Dalam pementasan ritual
penolak bala inipun tidak diiringi dengan suara musik gamelan atau iring-iringan
nyanyian suci yang lainnya. Adegan ini dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 1
Barong Brutuk Melecutkan Cambuknya Sebagai Simbol Penolak Bala
Gambar 2
Prosesi Metambak
harum, yang selama ini populer di kalangan masyarakat umum. Secara lebih
otentik yang dapat mendukung pernyataan tersebut, dapat dilihat dari tata cara
penyebutan kata “Turuñan” dalam prasasti-prasati yang ada. Apabila dicermati
dalam penulisan abjad “n” yang jika ditambahkan tanda “~“ pada bagian atasnya
menjadi “ñ” akan diucapkan dan ditulis sebagai “ny” sehingga “Turuñan”
menjadi “Turunyan”. Pernyataan Turuñan sebagai asal nama Terunyan dijumpai
dalam prasasti Trunyan sebagai berikut.
Terjemahannya:
Ketahuilah olehmu semua tua muda Dinganga bernama Cakra
Nayakan Makarun bernama Cagu Mañuratang jñ bernama Kamaja
Basudewa Dakap, yang menjadi pemikiranku ialah penduduk banwa di
Turuñan yang hilir mudik ke bawah dan ke atas ... (Budiastra dan
Wardha, 1990:11).
Gambar 3
Skema Pergerakan Unsur-unsur Panca Mahabhuta
dalam Siklus Hidrologi dan Penciptaan Kesuburan
Gambar 4
Alur Penciptaan dan Hubungan Antara Alam Semesta,
Pola-pola Kebudayaan, Sistem Pendidikan, Hingga Pembentukan Karakter
Masyarakat Desa Terunyan
abiotik dan makhluk hidup akan saling bersimbiosis, dalam artian saling
membutuhkan dan menunjang eksistensi satu sama lain, sehingga terciptalah
ekosistem yang teratur.
Manusia sebagai makhluk hidup yang dibekali akal budi mampu
mengeksplorasi, mengolah, dan memanipulasi alam lingkungan sekitarnya.
Dengan daya cipta, rasa, dan karsanya, manusia menciptakan pola-pola
kebudayaannya yang selaras dengan alam lingkungan tempat tinggalnya. Pola-
pola kebudayaan tersebut terdiri dari; ; (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3)
organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata
pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) sistem kesenian. Melalui pola-pola
kebudayaan tersebut, manusia senantiasa menjaga keteraturan ekosistem agar
komunitasnya mampu bertahan eksistensinya.
Pola-pola kebudayaan pada akhirnya akan melahirkan sistem pendidikan.
Sistem pendidikan pada dasarnya dibuat selaras dengan kebudayaan yang dianut
komunitas manusia, serta selaras pula dengan ekosistem tempat tinggalnya.
Karenanya, melalui pendidikan dapat memperkuat dan menjaga kebertahanan
sistem kebudayaan serta menjaga kelestarian alam lingkungannya, sehingga
antara alam, kebudayaan, dan sistem pendidikan memiliki hubungan timbal
balik yang saling memperkuat eksistensi satu sama lain. Berlandaskan pada hal
tersebut, inilah yang membentuk karakter kehidupan masyarakat Desa
Terunyan. Dengan menyadari alur penjabaran tersebut dapat dipahami faktor
penyebab masyarakat Desa Terunyan menjadi sangat konservatif terhadap
sistem religi dan kearifan lokal yang dimilikinya, meskipun hingga saat ini
masih kurang terekplorasi dan tersistematisasi dengan baik dalam pemahaman
setempat.
IV. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sasolahan
Barong Brutuk dalam sudut pandang filsafat merupakan representasi dari
penciptaan alam semesta sampai pada awal mula eksistensi peradaban Desa
Terunyan. Dalam terminologi lokal religi Terunyan, semua tercipta berkat
adanya pertemuan antara dewa tertinggi Terunyan beserta permaisurinya, yakni
Bhatara Ratu Sakti Pancering Jagat dan Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar. Hal
inilah yang difilosofikan sebagai Lanang dan Wadon atau Purusa dan Pradhana.
Dalam terminologi kearifan lokal Terunyan sesungguhnya telah merefleksikan
secara lengkap sekali penjabaran mengenai terciptanya alam semesta dengan
begitu kompleks. Dengan memahami hal tersebut, maka diharapkan konsep-
konsep kearifan lokal lainnya di berbagai daerah dapat diekplorasi dan
disosialisasikan kembali agar tetap dapat dipahami oleh umat Hindu umumnya,
serta masyarakat pemilik kearifan lokal tersebut khususnya. Selain itu, melalui
penelitian yang intensif, diharapkan agar dapat menemukan pula nilai-nilai
pendidikan dalam praktik kearifan lokal tersebut agar nilai-nilai luhurnya tidak
tergerus kemajuan jaman.
DAFTAR PUSTAKA