ISBN: 978-602-6428-11-0
Ni Wayan Sukerti1, Cokorda Istri Raka Marsiti2, NDMS.Adnyawati3, Luh Joni Erawati
Dewi4
1, 2 , 3, 4
Fakultas Teknik dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Ganesha
Email: Wayansukerti71@yahoo.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah: (a) melakukan penelusuran literature, dan menggali melalui observasi
lapangan terhadap kegiatan upacara adatataupun nonupacara adatyang mengadakan tradisi megibung; (b)
melakukan identifikasi terhadap persiapan, pengolahan, penyajian, dantata cara makan diwilayah
sampelpenelitian yaitu di Desa Selat Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem Bali. Jenis penelitian ini
adalah survei. Metode pengumpulan data melalui Telaah Pustaka (Literatur), Wawancara, dan Observasi,
kemudian dianalisis secara deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan: (1)Tradisi megibung sebagai tradisi yang
memiliki nilai –nilai etika, moral, dan kesopanan yang tinggi untuk meningkatkan rasa kekeluargaan dan
semangat kebersamaan tanpa membedakan derajat, status sosial.; (2) Proses persiapan, pengolahan, dan
penyajian hidangan dilakukan bersama-sama oleh anggota banjar (krama) laki-laki, dan dipimpin oleh seorang
juru patus atau belawa, hal bermakna semangat gotong royong yang sangat tinggi.; (3) Perkembangan zaman
dan kemajuan IPTEK selain membawa dampak positif, juga membawa dampak negatif yang berimbas pada
tradisi atau budaya, khususnya tradisi megibung, yang nilainya sudah mulai bergeser kearah kepunahan.;
(4)Adanya opini masyarakat tradisi megibung kurang mewah, kurang praktis, pemborosan, berakibat beralihnya
pola makan bersama ke pola prasmanan, padahal pola megibung memiliki makna mendalam diajarkan
secara tidak langsung para leluhur (5) Untuk mengatasinya maka strategi yang paling tepat melalui prarem
(awig-awig desa ) sebagai peraturan yang wajib dilaksanakan pada acara-acara adat. Selain itu peranan,
internet menjadi sangat penting. Oleh karena itu strategi lainnya yaitu pengenalan tradisi megibung pada situs
website, sehingga dikenal luas oleh masyarakat Bali secara khusus dan masyarakat lainnya secara umum.
Dengan demikian tradisi ini akan tetap lestari sepanjang masa.
1. Pendahuluan
Megibung adalah merupakan salah satu tradisi warisan leluhur,dimana merupakantradisi makan
bersama dalam satu wadah. Selain makan bisa sampai puas tanpa rasa sungkan, megibung penuh
nilai kebersamaan, bisa sambil bertukar pikiran,saling mengenal, lebih mempererat persahabatan
sesame warga. Makan bersama atau megibung ini, dalam setiap satu wadah terdiri dari 6-8orang,
memang merupakan wujud kebersamaan tidak ada perbedaan antara orang kaya maupun miskin
juga perbedaan kasta ataupun warna, semua duduk berbaur dan makan bersama, tapi pada
perkembangan berikutnya antara laki dan perempuan dipisahkan, tapi kalau masih dalam satu
keluarga ataupun tetangga, mereka memilih bergabung.
Tradisi megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama
(Hindu), seperti upacara potong gigi,otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, dan piodalan
di Pura. Seiring dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang saat ini, tradisi megibung mengalami
pergeseran dimana masyarakat mencari aspek kepraktisan dengan mengadopsi tata cara makan
secara nasional yaitu prasmanan.
Strategi dalam penelitian ini adalah suatu kesatuan rencana yang komprehensif dan
terpadu untuk mencapai keunggulan bersaing dalam mencapai tujuan yang diwujudkan dalam bentuk
program-program pengembangan. Siagian ,(2004)
Dalam hal ini pengembangan tradisi megibung untuk mampu dilestarikan sebagai bagian dari
pelestarian budaya yang adiluhung( Hurlock, E. B., 1997)(Setiawan, 2007).
2. Metode
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Selat Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem
ISBN: 978-602-6428-11-0
Selama kurun waktu penelitian, selain melakukan penggalian data secara intensif maka langkah-
langkah yang ditempuh dalam melakukan analisis meliputi identifikasi, klasifikasi, dan sekaligus
mengadakan analisis terhadap berbagai informasi yang diperoleh dilapangan dengan mengacu pada
kajian teori yang digunakan. Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah Jro Bendesa desa
adat selat dan beberapa orang juru patus(belawa).
ISBN: 978-602-6428-11-0
c. Menata/Penyajian Gibungan
Dalam menata nasi dan daging karangan (terdiri dari berbagai adonan lawar) dilaksanakan
secara teratur mulai penempatan sayur,adonan lawar, daging serta sate ditempatkan sedemikian rupa
karena pada saat akan menurunkan setiap jenis hidangan ada urutannya tersendiri, ada tahapan-
tahapannya, yang mesti dilakukan secara berurutan/tidak sembarangan,seperti tersaji pada gambar
berikut:
ISBN: 978-602-6428-11-0
Sedangkan untuk penataan karangan (lawar dan kelengkapannya) dapat disajikan seperti gambar
berikut:
Gambar: contoh penataan hidangan gibungan untuk satu sela yang masih menggunakan alas
tradisional (aled) untuk alas nasi.(dokumentasi pribadi)
ISBN: 978-602-6428-11-0
arah mata angin dan ditengah adalah hidangan (gibungan). Kalau diperhatikan secara philosofi dapat
diartikan bahwa pengaturan tempat duduk sudah mengandung nilai tinggi yaitu 8 terkait dengan
astadala ditambah di tengah menjadi Sembilan (9) yang artinya kita selalu ingat akan Sembilan
kekuatan yang disebut Dewata Nawa Sanga yang menciptakan keseimbangan dan keharmonisan
alam semesta ini artinya sebelum kita memulai menyantap makanan/hidangan gibungan itu, selalu
didahului dengan memohon kehadapan Beliau yang telah menciptakan alam dengan segala isinya,
memberikan kebahagiaan, keselamatan dan kesejahteraan bagi mahluk yang ada di buana (dunia) ini.
Artinya setiap pelaksanaan tradisi megibung harus didahului dengan memohon keselamatan alam
beserta isinya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun seiring perkembangannya sekarang
jumlah anggota dalam satu sela terdiri dari 6 orang , dengaan alasan factor kenyamanan duduk
berenam, walaupun secara etika tidak mengurangi arti atau makna megibung itu sendiri.
Dari penataan tempat duduk yangmelingkar itu yang terdiri dari 8 (delapan) orang ada keunikan
dan etika di dalamnya yaitu: (1) Diantara 8 (delapan) orang yang duduk melingkar itu kemungkinan
belum saling kenal; (2)Tradisi yang masih kental di masyarakat masih berlaku golongan-golongan
/strata sosial tertentu, dimana tempat duduk di saat megibung kondisi strata tidak berlaku; (3) Bagi
golongan tertentu yang dianggap tinggi atau krama yang dianggap lebih tua selalu dipersilahkan
duduk terlebih dahulu dan posisinya di arah utara atau timur tepatnya timur laut sebagai
penghormatan.;(4)Krama yang lainnya dipersilahkan duduk selanjutnya menempati posisi yang sudah
tersedia;(5) Anggota yang duduk di posisi timur laut berperan sebagai pengenter artinya yang
bertugas mengisi lauk pauk perjenis lauk ke atas nasi gibungan sesuai urutan/tahapannya, dilanjutkan
dengan mengucapkan sampun sayaga (sudah siap untuk menikmati).; (6) Menikmati hidangan
didahulukan orang yang lebih tua, dilanjutkan oleh anggota yang lain.
Pada saat mulai megibung ada aturan-aturan yang harus diikuti antara lain; (1)
nurunkan/membagikan daging karangan didahului dengan sayur, adonan lawar, daging/balung,
terakhir sate.;(2) Pada saat makan tidak boleh menaruh sisa makanan tersebut di atas tempat
gibungan,melainkan harus ditaruh dibawah/ di muka tempat duduk kita.;(3)makanan tidak boleh
berserakan, apalagi lewat ke tempat duduk di sebelahnya;(4) Nasi atau daging hanya boleh diambil
yang ada dihadapan kita dan tidak boleh mengambil makanan di tempat atau wewidangan orang lain
di sebelah kita.;(5).Membagi daging/lauk tidak boleh menggunakan mulut;(6). Air minum yang
disediakan pada kendi (Caratan), pada saat minum, bibir tidak boleh menyentuh mulut kendi; (7).
Setelah selesai megibung tidak boleh mendahului bangun atau pergi, melainkan harus terlebih dahulu
menunggu semua kelompok yang megibung sudah selesai makan,artinya mulai bersama-sama,
selesaipun bersama-sama.Berikut Gambar pelaksanaan megibung:
Gambar: tata cara megibung (dilakukan oleh sekeha gong) sehingga pakainnya seragam
(sumber: dokumentasi pribadi)
ISBN: 978-602-6428-11-0
ISBN: 978-602-6428-11-0
4. Simpulan
Tradisi megibung adalah salah satu tradisi yang memiliki nilai –nilai etika, moral, dan
kesopanan yang tinggi yang sangat mulia yang di dalamnya banyak terkandung makna yang dapat
meningkatkan rasa kekeluargaan dan semangat kebersamaan tanpa membedakan derajat, status
sosial.; Proses persiapan, pengolahan, dan penyajian hidangan megibung secara umum dilakukan
bersama-sama oleh anggota banjar (krama) utamanya krama laki-laki, dan dipimpin oleh seorang juru
patus atau belawa, hal bermakna semangat gotong royong yang sangat tinggi.Selanjutnya adanya
opini masyarakat yang menganggap tradisi megibung kurang elegan atau kurang mewah dari sisi
status sosial, kurang praktis, pemborosan, berakibat beralihnya pola makan bersama ke pola
prasmanan, padahal sesungguhnya pola megibung jauh memiliki makna yang mendalam yang
diajarkan secara tidak langsung oleh para leluhur terdahulu. Oleh karena itu sudah seharusnya
menjadi kewajiban generasi muda untuk melestraikan, menjaga tradisi-tradisi yang luhur, syarat
makna. Sejalan dengan itu hasil penelitian (Everett & Aitchison, 2008)Korelasi ditemukan antara
meningkatnya tingkat minat wisata makanan dan retensi dan pengembangan identitas regional,
peningkatan kesadaran dan keberlanjutan lingkungan, peningkatan manfaat sosial dan budaya yang
merayakan produksi makanan lokal dan konservasi warisan tradisional, keterampilan dan cara. hidup
(Mustika, 2017). Khusus di desa Adat Selat, tradisi megibung akan dimasukkan dalam prarem
(awig-awig desa) sebagai salah satu peraturan yang wajib dilaksanakan minimal pada acara-acara
adat. Selain itu seiring kemajuan IPTEKS di era globalisasi saat ini, peranan media sosial, internet
menjadi sangat penting. Oleh karena itu strategi lainnya yaitu melalui pengenalan tradisi megibung
pada situs website, sehingga tradisi megibung bisa dikenal luas oleh masyarakat Bali secara khusus
dan masyarakat lainnya secara umum. Dengan demikian tradisi ini akan tetap lestari sepanjang masa.
Daftar Rujukan
Everett, S., & Aitchison, C. (2008). The Role of Food Tourism in Sustaining Regional Identity: A Case
Study of Cornwall, South West England. Journal of Sustainable Tourism.
https://doi.org/10.2167/jost696.0.
Geriya, I Wayan. 1996. Partisipasi masyarakat. Laporan Bali Urban infrastructureprogram.Denpasar:
DHV Consultan.
Hurlock, E. B., 1997, Developmental Psychology, A Life-Span Approach, FifthEdition, Alih Bahasa:
Istiwidayanti dan Soedjarwo, Cetakan keenam, Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat.1997. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Madya. I.W. 2007 pelestarian tradisi megibung di karangasem sebagai media komunikasi
pmersatu bangsa dengan pendekatan partisipasi masyarakat. Artikel popular.
Mustika,J.B.2017. Tradisi Megibung. Artikel popular.
Setiawan, Putu. 2007. Magibung Biu, Tradisi Makan Pisang Bersama. Diakses tanggal 17 Mei 2017
tersedia http://www.liputan6.com/view/3,139873,1,0,1.html.
Suyadnya. 2006. “Magibung” dan Persatuan ala Bali Lombok. Diakses tanggal 17 Mei 2017 tersedia
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/12/3/topik.html.
Wisarja, I Ketut. 2002. Bali dalam Dialektika Filsafat, Agama dan Budaya. Pankaja, jurnal agama
Hindu.Nomer 4. Tahun III. Maret 2002