Anda di halaman 1dari 10

JURNAL PANGKAJA Vol.23, No.

2 Juli-Desember 2020
PROGRAM PASCASARJANA ISSN : 1412-7474 (Cetak)
INSTITUT HINDU DHARMA ISSN : 2623-2510 (Online)
NEGERI DENPASAR http://ejournal.ihdn.ac.id

Saguna Brahman dalam Teks Kaṭha Upaniṣad dan Implementasinya


Bagi Praktik Agama Hindu di Bali

Ni Luh Komang Indah Sari


Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar
Email: indahsari@gmail.com

Diterima tanggal 4 Agustus 2020, diseleksi tanggal 6 September 2020, dan disetujui
tanggal 12 Oktober 2020

ABSTRACT

This article describes one source of Hindu theology, Kaṭha Upaniṣad. The Kaṭha Upaniṣad
is examined in the scope of scientific Brahmavidya to discover the Saguna Brahman
concept in it. The study also examined aspects of implementation in the practice of
Hinduism in Bali. The values of local wisdom in Balinese Hindu society actually have
harmony with the principles and philosophy of the Vedas. The use of Acintya as Nirguna
God in the Hindu version of Bali actually actually has the signs of the Saguna Brahman
which is the fusion of the Nirguna Brahman concept into the Saguna Brahman. The
implementation of Saguna Brahman in Balinese Hindu practices can be seen in the
manifestation of Tri Hita Karana whose principle is to manifest love for the universe, while
the universe is the embodiment of God.
Keywords: Saguna Brahman, Kaṭha Upaniṣad, Implementation

ABSTRAK

Artikel ini menguraikan salah satu sumber teologi Hindu yakni Kaṭha Upaniṣad. Kaṭha
Upaniṣad dikaji dalam ruang lingkup keilmuan brahmavidya untuk menemukan konsep
Saguna Brahman di dalamnya. Kajian juga meneliti aspek implementasi dalam praktik
agama Hindu di Bali. Nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat Hindu Bali sesungguhnya
memiliki keselarasan dengan prinsip dan filsafat Veda. Penggunaan Acintya sebagai Tuhan
yang Nirguna dalam versi Hindu Bali justru sebenarnya memiliki tanda-tanda Saguna
Brahman yang merupakan peleburan konsep Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman.
Implementasi Saguna Brahman dalam praktik Hindu Bali dapat dilihat pada
pengejawantahan Tri Hita Karana yang prinsipnya adalah mewujudkan kasih kepada
semesta, sedangkan semesta merupakan perwujudan Tuhan.
Kata Kunci: Saguna Brahman, Kaṭha Upaniṣad, Implementasi

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020 78


I. PENDAHULUAN bagi yang masih terikat dengan kesadaran
Upaniṣad merupakan salah satu badan fisiknya. Berdasarkan pandangan
sumber ajaran Teologi Hindu. Menurut Donder di atas, konsep Brahmavidya
Sarvepalli Radhakrishnan dalam buku “The meliputi unsur Saguna Brahman dan Nirguna
Principal Upaniṣad” (2008: 6) menyebutkan Brahman. Saguna Brahman adalah salah satu
bahwa Upaniṣad menguraikan ajaran jalan atau cara menghayati dan meyakini
ketuhanan, moralitas, dan realitas sejati yang Tuhan dalam berbagai aspek manifestasi-
masih relevan dengan kehidupan saat ini. Nya, baik dalam manifestasi-Nya sebagai
Selanjutnya, Radhakrishnan (2008: 5-6) deva-deva atau sebagai avatāra 'reinkarnasi
menyatakan ada 108 buah kitab Upaniṣad Tuhan'.
yang ada hanya 12 buah salah satunya adalah Dikotomi masyarakat Hindu
Kaṭha Upaniṣad. Teks Kaṭha Upaniṣad khususnya Bali tentu menyimpan berbagai
diibaratkan sebagai intan diantara permata konsep-konsep teologi lokal yang memiliki
Upaniṣad. Kaṭha Upaniṣad, juga disebut hubungan dengan Upaniṣad, walaupun secara
Kathopanishad yang termasuk dalam aliran tidak langsung mengungkapkannya karena
Taittirīya dari Vayur Veda. Kaṭha Upaniṣad sumber sastra di Bali berasal dari lontar dan
mengandung beberapa pesan penting terkait teks-teks lokal. Sebagai salah satu contohnya
ketuhanan. Dibandingkan dengan Upaniṣad adalah konsep Acintya pada masyarakat
yang lainnya, Upaniṣad ini menjelaskan Hindu Bali. Acintya selalu direpresentasikan
tentang keutamaan Veda dan hal yang sangat sebagai Tuhan tanpa wujud atau tak
substansial yang berkaitan dengan Tuhan. terjangkau oleh pikiran manusia. Kendatipun
Menurut Mohan (2006: vi), Kaṭha Upaniṣad demikian, konsep teisme lain pada Hindu
merupakan jembatan pengetahuan ketuhanan Bali relatif beragam dan cenderung memiliki
bagi seluruh Upaniṣad. Hal ini bertendensi konstruksi teisme yang sangat kompleks
bahwa keutamaan Veda dan pengetahuan (Wartayasa, 2018: 178). Budiasa (2015: 116)
Teologi memiliki keselarasan dan menambahkan bahwa tradisi Veda yang
kesinambungan. berkembang di Bali memiliki keunikan
Donder (2010: 2) menjelaskan tersendiri yang dalam praktik ritualnya dan
pengetahuan teologi sebagai brahmavidya. memang memiliki perbedaan yang cukup
Donder menguraikan menjelaskan bahwa signifikan bila dibandingkan dengan tradisi di
brahmavidya berasal dari kata “brahma” India. Namun wacana Vedic dalam tataran
berarti Tuhan dan “vidya” berarti pemahaman filsafatnya memang memiliki
pengetahuan. Jadi brahmavidya dapat prinsip yang sama. Jika demikian, maka
diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang tidaklah mungkin jika Hindu Bali tidak
ketuhanan. Konsep-konsep ketuhanan dalam memiliki konsep-konsep yang berkaitan
Upaniṣad perlu digali dari keilmuan Teologi. dengan Upaniṣad karena pada dasarnya
Adapun konsep ketuhanan Hindu yang sangat filsafat memiliki prinsip yang setara dengan
populer adalah konsep Tuhan berwujud dan Veda.
tanpa wujud. Konsep tersebut dipopulerkan Melihat fenomena di tengah umat
oleh Donder (2010: 227) menjelaskan bahwa Hindu Bali pada khususnya, pemahaman-
ada dua bentuk pengetahuan yakni Nirguna pemahaman tentang konsep ketuhanan dalam
Brahman dan Saguna Brahman. Donder Hindu Bali serta kaitannya dengan Veda
menjelaskan bahwa pengetahuan Nirguna perlu mendapat perhatian untuk memberikan
diperuntukkan bagi yang tidak terikat dengan persepsi kepada masyarakat di tengah
kesadaran badan fisik, sedangkan dinamika post-spiritualitas yakni suatu
pengetahuan Saguna Brahman diperuntukkan kesadaran palsu yang menjauhkan diri dari

79 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020


78
prinsip Veda. Adapun keberadaan Tuhan saat
ini menjadi sangat penting untuk ditelusuri
mengingat globalisasi yang cenderung
menjauhkan diri dengan Tuhan. Saat ini,
pemahaman tentang teologi Hindu khususnya
Brahmavidya masih sangat diperlukan bagi
masyarakat Hindu Bali. Tulisan ini adalah
sebagai upaya dalam merangkai konsep
Saguna Brahman yang terkandung dalam
Kaṭha Upaniṣad sebagai salah sumber ajaran
teologi Hindu dan hubungannya dengan
praktik kehinduan di Bali. Dengan demikian,
Saguna Brahman dalam Kaṭha Upaniṣad dan Gambar 2.1. Sketsa Wilayah - Wilayah
implementasinya pada praktik agama Hindu Teologi (Donder, 2010: 34)
di Bali menjadi ruang lingkup kajian.
Mengacu pada sketsa di atas, dapat
II. PEMBAHASAN disimak bahwa wilayah Brahman dapat
2.1 Pengertian dan Konsep Saguna dibagi menjadi dua wilayah yakni Nirguna
Brahman dan Saguna. Nirguna adalah konsep Tuhan
Saguna Brahman dapat dibagi tanpa wujud yang kemudian dibagi menjadi
menjadi kata “sa”, “guṇa” dan “Brahman”. dua lagi yakni: 1) Tuhan tanpa wujud
Menurut Kamus Sansekerta Indonesia apapun, keadaannya berada di luar batas
(Surada, 2008: 290), “sa” artinya dengan, pikiran manusia; 2) Tuhan hanya
sama, sama dengan. Kata “guṇa” juga sama disimbolkan dengan sebuah huruf untuk
memiliki arti: kualitas, dasar, hak milik, menandai yang Mutlak (tanpa bentuk).
kebaikan, suatu kata sifat. Dalam hal ini, Selanjutnya adalah wilayah Saguna yakni
‘guṇa’ lebih diartikan sebagai sebuah kualitas personal God. Saguna Brahman dibatasi oleh
atau sifat. Brahman artinya Tuhan. Dalam bentuk atau wujud seperti gambar, patung
posisi ini merupakan Tuhan yang berwujud dan sebagainya. Dengan demikian, Saguna
sehingga dapat dijangkau oleh rasa atau daya Brahman adalah keadaan Tuhan yang
pikir manusia. Dalam posisi ini beliau dipuja berwujud.
menggunakan berbagai gelar. Menurut Menurut Donder (2010: 33-45),
Vireswarananda (2002: 71) menguraikan Saguna Brahman dibedakan antara; Tuhan
bahwa agar manusia mendapatkan yang berpribadi berada jauh (transendent) di
pengetahuan tentang Brahman (Tuhan), maka suatu tempat, yang menurut teologi Barat
Dia (Tuhan) harus memiliki kriteria adalah teologi monotheisme; dengan Tuhan
(beratribut), jika tidak beratribut maka Tuhan yang berpribadi dan mengenakan berbagai
yang tidak dapat dikategorikan (tidak macam atribut, yang disebut sebagai teologi
beratribut) tidak mungkin dapat dijangkau. personal God. Teologi monotheisme barat
Sebelum memberikan batasan atau dikatakan termasuk wilayah teologi Saguna
konsep Saguna Brahman yang dipergunakan Brahman, menurut Donder, karena adanya
dalam kajian ini, terlebih dahulu memetakan rasa enggan untuk mengeksplisitkan Tuhan
posisi teologi Saguna Brahman yang dikutip yang personal sebagai yang benar-benar
dari pembahasan Donder (2010: 34) sebagai personal atas pertimbangan ini ingin
berikut. memasukkan unsur Nirguna Brahman.
Berbeda dengan Saguna Brahman yang
benar-benar diwujudkan melalui atribut-
atribut sehingga disebut sebagai teologi

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020 80


personal God. Sederhananya, Tuhan yang pengorbanan itu sendiri. Jadi barang siapa
berpribadi dapat dijabarkan menjadi 2 yang melaksanakan, memahami, mempelajari
keadaan yakni; 1) keadaan Tuhan yang akan arti upacara pengorbanan api
berpribadi tetapi jauh dari tempat ciptaannya Nachiketas (Agni Hotra) selama tiga kali dan
yang bersifat transent dan tidak dapat di- disatukan dengan tiga jenis Agni Hotra serta
duakan, 2) keadaan Tuhan yang disimbolkan tiga kewajiban, maka ia akan melampaui
dengan berbagai macam atribut serta dekat kelahiran dan kematian. Bagi yang telah
dengan ciptaannya. Berangkat pemahaman melewati hal tersebut akan menyadari akan
Donder tersebut, maka konsep Saguna hakikat sang jati diri (Sang Brahman).
Brahman yang dipergunakan dalam kajian ini Pada permintaan ketiga Naciketa
adalah keadaan Tuhan yang berpribadi dan memohon untuk memberikan penerangan
memiliki sifat serta disimbolkan dengan mengenai keberadaan seseorang setelah
berbagai atribut. orang tersebut meninggalkan raga yang fana
ini dan transmigrasi ke loka-loka yang
2.2 Analisis Konsep Saguna Brahman lainnya. Maka dari itu, Naciketa ingin
dalam Teks Kaṭha Upaniṣad mengetahui manusia yang telah tiada, masih
Kaṭha Upaniṣad secara umum berisi dapat disebut eksis (ada) atau sudah tidak
tentang percakapan antara seorang putra eksis (tiada). Dari pertanyaan ini Dewa Yama
bernama Naciketa dan Dewa Yama (Dewa tidak bisa mengelak dari pertanyaan
Kematian). Dalam percakapan ini Dewa Naciketa, untuk itu Dewa Yama
Yama dengan berkenannya meminta menyampaikan bahwa dalam memahami
Naciketa memberikan tiga hal, sebagai akan hakikat sang jati diri. Seseorang harus
pengganti akibat tiga hari tidak menyantap memahami ilmu pengetahuan yang disebut
makanan apapun (berpuasa). Naciketa Brahma-Vidya (ilmu pengetahuan tentang
berucap akan permintaan pertamanya yakni Tuhan). Melalui itu, seseorang akan
agar ayahku (Gautama) bersikap welas asih, mengetahui dua faktor yang menjadi
bajik dan jauh dari rasa amarah terhadap tujuannya antara kenikmatan dan
diriku dan agar ia mengenalku dan penderitaan. Dari sekian pengetahuan
menyambutku, sewaktu aku pulang dari Brahma-Vidya akan dapat diterangkan secara
kediamanku ini. Dari ucapan tersebut terlihat sempurna tanpa keraguan akan hakikat sang
bahwa Naciketa memberikan sifat-sifat jati diri, sepanjang seseorang mampu menalar
Brahmin yang sejati. Tanpa memikirkan sifat yang teramat lembut dari Sang Ātman
dirinya pribadi malah memikirkan kebajikan akan memberikan penyatuan diri kepada-
bagi ayahnya. Pada permintaan kedua Nya. Kebenaran abadi yang sangat lembut
Naciketa meminta kepada Dewa Yama untuk dari totalitas pikiran akan mampu mencapai
memberikan ajaran pembebasan secara dan menyadari “Inilah Aku” (Ayam Aham
spiritual dari ilusi duniawi termasuk Asmi) suatu bentuk kemanunggalan yang
swargaloka itu sendiri yang sebenarnya begitu inti dan penuh karunia dengan Sang
bukan tujuan sejati pada kehidupan manusia Jati Diri. Menurut Mohan (2006: 38),
di bumi ini. Bentuk ajaran spiritual yang seseorang yang membaca, mempelajari,
sangat rahasia demi kebebasan umat manusia menghayati, dan melaksanakan apa yang
untuk menyatu dengan Sang Ātman. Dengan tersirat di Kaṭha Upaniṣad seharusnya pun
ucapan tersebut, Dewa Yama berkeuntungan sama dengan Naciketa. Untuk
mengungkapkan rahasia alam yang disebut menyatakan kebenaran jauh dari dharma dan
Agni-Vidya (ilmu pengetahuan atau pemujaan adharma dapat disimbolkan sebagai Om. Di
kepada Dewa Agni) yang sesungguhnya di masa lalu, para Rsi telah menyimbolkan
puja sebagai pembebasan dunia ini dalam Tuhan Yang Maha Esa dengan simbol
menghayati arti dan makna dari suatu Omkara agar Beliau dapat dipuja sebagai

81 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020


78
Saguna Brahman (Tuhan yang berwujud). seseorang yang mampu memahami makna
Namun pada saat ini simbol Omkara yang ada dibalik Om kara, melalui tapa dan
digunakan untuk menyatukan umat Hindu meditasi, seseorang akan memahami realitas
dimana saja, dan tidak ada pemujaan atau Tuhan yang ada dalam dirinya. Kaṭha
mantra yang tidak di mulai dengan Om. Upaniṣad bersabda:
Meninjau percakapan antara Naciketa etadd hy evākṣaram brahma, etadd
dan Dewa Yama, tampak bahwa Kaṭha hy evākṣaram param, etadd hy
Upaniṣad menguraikan tentang prinsip- evākṣaraṁ jñātvā yo yad icchati tasya
prinsip Brahman dan hubungannya dengan tat.
ciptaan/alam material. Tujuan utamanya (Kaṭha Upaniṣad, I.2.16)
adalah untuk mengenali realitas tertinggi dari Terjemahaan:
Brahman itu sendiri yang mana pengetahuan Suku kata ini sesungguhnya
ini disebut dengan Brahmavidya tattva. mempunyai semangat yang tidak
Kaṭha Upaniṣad secara langsung kunjung habis. Dan suku kata ini
menjelaskan tentang realitas tertinggi dari adalah tujuan yang Maha Tinggi,
semua pustaka suci Veda. Hal ini ditunjukkan dengan mengerti suku kata ini apapun
melalui dalam sloka berikut. diinginkan seseorang akan menjadi
Sarve vedā yat padam āmananti, terwujud (Radhakrishnan, 2008: 479)
tapāṁsi sarvāṇi yad vadanti, yad Apabila Om kara ditinjau dari aspek
iccanto brahmacaryaṁ caranti, Saguna Brahman, tampak jika aksara Om
tat te padaṁ saṁgraheṇa merupakan wujud atau bentuk nyata dari
bravīmi, aum ity etat. pikiran untuk menandakan yang tidak
(Kaṭha Upaniṣad, I.2.15) berwujud (Nirguna Brahman). Berdasarkan
Terjemahan: hal tersebut, Om mendapatkan dua posisi
(Yama berkata): kata itu yang semua tergantung keadaannya yakni; 1) Om dapat
veda menyebutkannya, yang semua berarti Saguna Brahman jika dilihat dari
tapa mengkajinya, menginginkan bentuk/rupa-Nya (yang lahir oleh pikiran
yang mana orang-orang menempuh manusia) karena segala sesuatu dari pikiran
hidup brahmacharya, kata itu akan manusia merupakan suatu bentuk; 2) Om
kuceritakan kepada anda dengan dapat berarti Nirguna Brahman jika di
singkat. Itulah Aum (Radhakrishnan, kontemplasikan ke dalam praktik meditasi,
2008: 478). dihayati dan mengalami suatu proses
Merujuk pada mantra di atas, bahwa kesadaran batin.
Aum atau Om adalah tanda untuk Apabila mengulas Tuhan yang
menunjukkan Brahman sebagai realitas berbentuk dan tanpa bentuk, atribut dan tanpa
tertinggi. Mantra di atas bertendensi bahwa atribut, terdapat sedikit perbedaan antara
Om adalah tujuan dan inti dari ajaran agama konsep Saguna Brahman yang diutarakan
Hindu karena Om merupakan puncak dari oleh Mehta dengan konsep Saguna Brahman
segala pencarian. Meminjam pemahaman yang diutarakan oleh Donder. Menurut
Mehta (2007: 78), Om tidak hanya Mehta (2007: 81), Konsep Saguna Brahman
melukiskan tentang yang tersurat melainkan berangkat dari “bentuk dan rupa” dalam
juga hal yang tersirat di dalamnya. Tuhan pengertian aslinya. Om merupakan bentuk
Yang Maha Mutlak tidak dapat digambarkan pikiran manusia yang terlahir dari inspirasi
dengan cara apapun sehingga Om adalah Nirguna Brahman sehingga Om dapat
sebuah petunjuk (dari yang dikatakan sebagai Saguna. Secara
berwujud/Saguna) untuk dapat mengenal Dia interpretasi, aksara Om itu sebenarnya
yang mutlak (tanpa wujud/Nirguna). Menurut Brahman. Aksara Om merupakan puncak
Mehta, Kaṭha Upaniṣad menunjukkan bahwa tertinggi sebagai tujuan utamanya. Siapapun

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020 82


yang mengetahui kebenaran aksara Om ini. Konteks ini membicarakan tentang sifat
Seseorang akan mendapatkan semua yang Ātman sendiri yang abadi sebagai kesadaran
diinginkan olehnya. Demikian Om itu murni. Dengan demikian antara Ātman dan
disamakan dengan Brahman. Aksara Om Brahman tiada bedanya. Bait Kaṭha
merupakan pertemuan antara bagian Upaniṣad berikut menyebutkan tentang
termanifestasikan dengan tak eksistensi dari Ātman itu sendiri. Berikut
termanifestasikan atau terucapkan dan tidak petikan mantranya:
terucapkan. Jadi Om dapat diartikan juga
sebagai bunyi yang diwujudkan menjadi dua aṇguṣṭha-mātraḥ puruṣo madhya
bagian yakni Om meliputi dari seluruh bunyi ātmani tiṣṭhati; īśāno bhūta-
sampai bunyi yang tidak terucapkan dan Om bhavyasya na tato vijigupsate; etad
dapat disebut Dia yang terucapkan semua vai tat. añguṣṭha-mātraḥ puruṣo jyotir
bunyi lain diaktualisasikan. ivādhūmakaḥ; īśāno bhūta-bhavyasya
Terlepas dari interpretasi makna yang sa evādya sa u śvaḥ; etad vai tat.
terkandung dari Om sebagai simbol Tuhan, (Kaṭha Upaniṣad, II.1.12-13)
pembahasan mengenai wujud Saguna Terjemahan:
Brahman dimulai dari sifat antara ātman Makhluk sebesar jempol bersemayam
dengan penciptanya adalah sama. Berikut di pertengahan ruang tubuh. Setelah
teks Kaṭha Upaniṣad bersabda. memahami dia yang merupakan
penguasa yang lampau maupun yang
agnir yathaiko bhuvanam praviṣṭo akan datang, seseorang tidak akan
rūpam prati-rūpo babhuva, ekas tathā meninggalkan-Nya. Begitulah
sarva-bhūtāntar-ātmā rūpaṁ rūpam keadaan sesungguhnya. Makhluk
prati-rūpo bahiś ca, sebesar jempol bersemayam di
tengah-tengah
) ruang tubuh, seperti
Terjemahan: nyala tanpa asap. Dia adalah
Seperti api yang memang satu, saat penguasa yang lampau yang akan
memasuki dunia ini menjadi berbagai datang. Dia tetap saja sama, sekarang
macam bentuk sesuai dengan objek dan besok. Begitulah keadaan
(yang dibakarnya), demikian pula sesungguhnya (Radhakrishnan, 2008:
ātman yang satu ini menjadi berbagai 493).
bentuk sesuai dengan (apa yang Merujuk mantra-mantra yang telah
dimasukinya), dan juga tetap berada disebutkan di atas, apabila dianalisis kembali
di luar semua itu (Radhakrishnan, menyiratkan bahwa Tuhan yang ada di dalam
2008: 496). ciptaan (imanent) dan Tuhan yang ada di luar
Teks Kaṭha Upaniṣad di atas ciptaan adalah sama (transent) sesungguhnya
menjelaskan bahwa Ātman diibaratkan adalah sama. Dengan pendekatan yang
sebagai energi api yang satu dan berbeda, dapat dikatakan bahwa Tuhan yang
menyesuaikan dengan objek yang transent sesungguhnya merupakan Nirguna
dimasukinya. Demikian juga analogi lain Brahman, sedangkan Tuhan yang imanent
menyebutkan, segumpal tanah liat akan dapat sesungguhnya adalah Saguna Brahman.
dibentuk menjadi kendi dan bentuk lainnya, Pendapat ini didukung oleh mantra Kaṭha
tetapi kendi dipecahkan yang ada hanya Upaniṣad berikut:
tanah liat. Analogi tersebut menyiratkan
bahwa, sang Ātman adalah abadi dan hanya agnir yathaiko bhuvanam praviṣṭo
Ātman yang tetap eksis kendatipun sang rūpam prati-rūpo babhuva, ekas tathā
tubuh sudah hancur. Ātman tidak dapat sarva-bhūtāntar-ātmā rūpaṁ rūpam
dilukai dengan apapun dan Ātman kekal. prati-rūpo bahiś ca,

83 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020


(Kaṭha Upaniṣad, II.2.9) Sama dan Yajur Veda. Dan bagi alam
Terjemahan: semesta ini Aku adalah Bapak, Ibu,
Seperti api yang memang satu, saat Kakek, tujuan, pemelihara, Tuhan
memasuki dunia ini menjadi berbagai Yang Maha Kuasa, saksi, tempat
macam bentuk sesuai dengan objek tinggal, tempat terlindung, kawan
(yang dibakarnya), demikian pula yang paling akrab, pencipta, pelebur,
ātman yang satu ini menjadi berbagai tempat bersandar, gudang dan juga
bentuk sesuai dengan (apa yang benih abadi (Dharmayasa, 2012: 460).
dimasukinya), dan juga tetap berada Walaupun Tuhan merasuki setiap
di luar semua itu (Radhakrishnan, unsur alam semesta, Tuhan menurut Kaṭha
2008: 496) Upaniṣad tidaklah tenggelam ataupun
Menurut teks di atas, Tuhan terpengaruh oleh alam material. Tuhan
dianalogikan seperti api yang satu, memasuki tetaplah Tuhan tanpa kehilangan
semua unsur dunia dengan berbagai macam kemurniannya. Sama halnya air yang ada di
perwujudan sesuai dengan objeknya. Dengan sebuah selokan dengan air yang ada di dalam
kata lain, teks di atas menunjukkan tentang kendi, walau dia tercampur oleh zat lain,
konsep perwujudan Tuhan atau Saguna esensi air tidaklah hilang. Dengan demikian,
Brahman. Hal ini menyiratkan bahwa setiap ujung pemahaman Tuhan dalam Kaṭha
alam semesta beserta sifatnya yang Upaniṣad sesungguhnya mengarah pada
merupakan perwujudan dari Tuhan itu konsep pantheisme dan monisme.
sendiri. Sesuai dengan konsep Saguna Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik
Brahman yang diterangkan oleh Donder sebuah ‘benang merah’ bahwa Saguna
bahwa Saguna Brahman memiliki berbagai Brahman menurut Kaṭha Upaniṣad adalah
macam atribut dan sifat. Alam material tentu seluruh perwujudan Tuhan.
memiliki sifat serta atribut. Sebagaimana
dicontohkan oleh Kaṭha Upaniṣad bahwa 2.3 Implementasi Saguna Brahman
manusia diumpamakan seperti perangkat dalam Praktik Hindu Bali
kereta lengkap dengan kusir dan kuda. Setiap orang memilih jalannya sendiri
Perangkat tersebut terhubung oleh insan untuk mendekatkan diri dengan Sang
Tuhan di dalam diri budhhi, manas dan Pencipta. Dalam perjalanan menuju sang
ātman (Kaṭha Upaniṣad, I.3.3-4). Menelaah pencipta, manusia berusaha untuk mengerti
konsep yang diutarakan oleh Kaṭha Upaniṣad dan memahami siapa yang menciptakan alam
tersebut, tampaknya juga mengarah bahwa semesta ini. Sebagian orang mendefinisikan
manusia tiada lain adalah bentuk dari Saguna Tuhan sebagai sesuatu yang berwujud,
Brahman. Hal ini senada dengan yang tinggal di suatu tempat yang jauh di sana
diungkapkan oleh Bhagavadgīta, IX.17-18 yang sangat indah. Sebagian lagi
yang menguraikan tentang Tuhan yang mendefinisikan Tuhan sebagai sesuatu yang
imanen dalam berbagai wujud diantaranya. maya, tidak konkrit, tidak berwujud. Dalam
Hindu Tuhan didefinisikan bisa berwujud
pitāhamasya jagato, mātā dhātā yang disebut sebagai Saguna Brahman, bisa
pitāmahaḥ, vedyaṁ pavitram oṁkāra, pula tidak berwujud disebutkan Nirguna
ṛk sāma yajur eva ca, gatir bhartā Brahman, Beliau berada dimana-mana, di
prabhuḥ sākṣī, nivāsaḥ śaraṇaṁ dalam ciptaan-Nya, maupun di luar ciptaan-
suhṛt, prabhavaḥ pralayaḥ sthānaṁ, Nya.
nidhānaṁ bījam avyayam. Konsep dan ajaran Hindu Bali dengan
Terjemahan: menyebutkan Tuhan sebagai Acintya yang
Aku adalah aksara suci Om yang artinya “tidak terpikirkan”. Bagaimanapun
patut diketahui, Aku juga adalah Rg, manusia mendefinisikan tentang Tuhan,

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020 84


tentunya tidak lepas dari buah pikirannya, menggambarkan dengan satu kaki (kaki kiri
semua pernyataan keluar dari pikirannya. dibawah, kaki kanan terangkat). Posisi tangan
Semua definisi tentang Tuhan kemudian yang membentuk Amustikarana, Dewa
dipertanyakan, diperdebatkan, didiskusikan, Pratistha, Anjali Mudra dan ada juga
diseminarkan, semua itu adalah digambarkan satu tangan di dada, sedangkan
menggunakan pikiran dan logika. satunya menjulur kebawah. Variasi hiasan
Mendefinisikan Tuhan sama saja dengan tersebut sering ditemui pada simbol Acintya
membatasi Tuhan itu sendiri. misalkan pada Aksara suci “Om, Mang, Ung
Acintya sebagai suatu istilah yang ada dan Ong”. Meskipun simbol Acintya
di dalam kitab suci Bhagawad-gita II.25, bervariasi, namun maknanya tetaplah sebagai
XII.3 atas Manawa Dharmasastra I.3 disebut ekspresi penghayatan umat Hindu untuk
dengan kata: Acintyah, Acintyam atau menggambarkan Hyang Widhi yang tidak
Acintyasa yang berarti memiliki sifat yang terpikirkan itu melalui media (gambar, relief
tidak dapat dipikirkan. Dalam lontar dan patung).
Bhuwana Kosa, “Acintyam” diartikan sebagai Keterkaitan konsep Acintya dalam
“Sukma tar keneng angen-angen” yang Hindu Bali dengan konsep Saguna Brahman
artinya Amat gaib dan tidak dapat dipikirkan. menurut Kaṭha Upaniṣad tidaklah jauh
Sedangkan sifat yang tidak dapat dipikirkan berbeda. Berangkat dari pemahaman Saguna
disebut sebagai Sang Paramatman (Hyang Brahman versi Mehta (2007: 78-79) bahwa
Widhi) termasuk Sang Ātman itu sendiri. Tuhan diberikan tanda melalui pikiran
Jadi, suatu istilah,”Acintya” mengandung manusia sebagai wujud dari pikiran manusia,
makna sebagai salah satu sifat dan tidak ada bentuk dari Nirguna yang
kemahakuasaan Tuhan. otentik di dunia ini sebab semua konsep
Simbolisasi Acintya yang sebenarnya Tuhan beserta nama-Nya, diciptakan melalui
tidak dapat dipikirkan, ternyata dapat pikiran dan penalaran manusia. Demikian
diwujudkan melalui media gambar, relief juga dengan konsep Acintya dalam Hindu
atau pematungan. Hal ini sering ditemui pada Bali yang memiliki tanda-tanda Saguna
gambar Acintya diatas selembar kain putih Brahman. Jika di bedah menggunakan
sebagai “ulap-ulap” ketika melakukan pemikiran Mehta, Acintya Hindu Bali juga
prosesi upacara melaspas atau ngenteg merupakan Saguna Brahman. Acintya
linggih pada sebuah pelinggih atau pura. dikatakan sebagai penanda dari Yang Maha
Adapun relief Acintya yang berada di bagian Kuasa (Nirguna), namun tetap juga dibuatkan
“ulon” (Singgasana) Padmasana atau dalam bentuk atau wujud Tuhan berupa manusia
bentuk patung/arca tersendiri. Bentuk simbol telanjang dengan segenap mulacakra di
Acintya yang diwujud-nyatakan itu sekelilingnya. Sama dengan Om dari Kaṭha
mengandung makna sebagai penggambaran Upaniṣad yang merupakan penanda dari
dari kemahakuasaan Tuhan. Dengan Nirguna Brahman namun memiliki
mewujud-nyatakan simbol yang sebenarnya aktualisasi yang berbeda sesuai dengan
“tidak terpikirkan” itu diharapkan agar umat kesadaran penalaran manusia itu sendiri.
Hindu memiliki emosi religi yang sangat Aksara Om juga merupakan pertemuan antara
dekat dengan Tuhan (Paduarsana, 2012) bagian dari termanifestasikan dengan tak
Jika diperhatikan bentuk simbol termanifestasikan. Oleh sebab itu, unsur
Acintya yang dapat dijumpai sangatlah Acintya juga merupakan aktualisasi dari yang
bervariasi, namun pada umumnya Acintya termanifestasikan dan tak termanifestasikan.
merupakan gambaran dari sosok anatomi
manusia tanpa jenis kelamin (tidak laki-laki, 2.4 Tri Hita Karana sebagai
tidak perempuan, ataupun tidak banci) berdiri Implementasi Saguna Brahman
dengan dua kaki (dwi pada) ada pula yang Istilah Tri Hita Karana saat ini begitu

85 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020


populer di kalangan masyarakat Bali. Konsep Berkaitan dengan konsep Tri Hita
dasar Tri Hita Karana tercantum dalam kitab Karana sesungguhnya memiliki
suci Bhagavadgīta, III.10 yang menyebutkan keterhubungan dengan konsep Saguna
sebagai berikut : Brahman menurut Kaṭha Upaniṣad karena
pada dasarnya konsep Tri Hita Karana
saha-yajñāḥ prajāḥ sṛṣṭvā, purovāca sesungguhnya berpuncak pada pemahaman
prajāpatiḥ, anena prasaviṣyadhvam, kasih kepada seluruh aspek dengan
eṣa vo ̍stv iṣṭa-kāma-dhuk. menyadari bahwa semua aspek adalah
Terjemahan: meliputi kesadaran Tuhan. Aspek
Pada zaman dahulu kala, Prajāpati, parhyangan misalnya merupakan kesadaran
Sang Pencipta, telah menciptakan manusia untuk menyadari Tuhan dengan
alam semesta beserta makhluknya segala manifestasinya. Kemudian aspek
melalui persembahan suci yajñā, dan pawongan adalah kesadaran untuk menyadari
bersabda, “Sejahterakanlah semuanya bahwa sesama manusia hendaknya saling
melalui perbuatan suci ini. mengasihi (Tat Twam Asi). Sedangkan aspek
Melaksanakan perbuatan sebagai palemahan adalah kesadaran manusia untuk
persembahan suci seperti ini akan mengasihi makhluk hidup dan alam semesta.
dapat memenuhi segala sesuatu yang Bentuk-bentuk Tri Hita Karana dalam
engkau inginkan.” (Dharmayasa, keseharian umat Hindu Bali seperti
2012: 282) melaksanakan banten saiban,
Berdasarkan sloka tersebut, mempersembahkan canang sari di pohon
dinyatakan bahwa yadnya-lah yang menjadi beringin, batu, sesungguhnya untuk
dasar hubungan Tuhan Yang Maha Esa menyadari bahwa Tuhan mewujud di segala
(prajapati), manusia (praja) dan alam bentuk material karena pada prinsipnya
(kamaduk) (dalam Wiana, 2004: 264). Tuhan ada di mana-mana, meresapi di segala
Berdasarkan pernyataan itu dapat dinyatakan alam semesta, dan pada akhirnya memahami
bahwa Tri Hita Karana adalah dasar untuk bentuk dari semua “kejamakan wujud”
mendapatkan kebahagiaan hidup apabila adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa
mampu melakukan hubungan yang harmonis (Saguna Brahman).
berdasarkan yadnya (ritual, korban suci)
kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud III. PENUTUP
bakti (tulus) kepada sesama manusia dalam Konsep Saguna Brahman menurut Kaṭha
wujud pengabdian dan kepada alam Upaniṣad sebenarnya memiliki dua keadaan
lingkungan dalam wujud pelestarian alam yakni: pertama, Saguna Brahman tanpa sifat
dengan penuh kasih. Harmonisasi dan dan atribut, yakni Omkara itu sendiri yang
dinamisasi berdasarkan yadnya-nya dari tiga merupakan aktualisasi dari yang
unsur sebagai sebab (karana) datangnya termanifestasikan dan tak termanifestasikan;
kebahagiaan hidup (hita) atau “tiga penyebab kedua, Saguna Brahman dengan sifat dan
kedatangan kebahagiaan”. Berdasarkan atributnya yakni seluruh alam semesta dan
rumusan dalam Bhagawad Gita, III.10 di atas segala ciptaannya yang merupakan wujud
dapat dinyatakan bahwa, secara filosofis Tri dari Tuhan itu sendiri. Setiap ciptaan-Nya
Hita Karana adalah membangun kebahagiaan sudah tentu memiliki sifat dan atribut karena
dengan mewujudkan sikap hidup yang berada dalam pengaruh maya atau alam
seimbang antara berbakti kepada Sang Hyang material. Implementasi Saguna Brahman
Widhi, mengabdi kepada sesama umat dalam umat Hindu Bali terlihat dari aktivitas
manusia dan menyayangi alam lingkungan sehari-hari yang merupakan pengejawantahan
berdasarkan yadnya. dari konsep Tri Hita Karana, seperti
mebanten, mempersembahkan canang sari di

JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020 86


pohon beringin, batu dan sebagainya. Semua Putra, N. P., 2008. Tuhan Upaniṣad
aktivitas tersebut adalah sebagai usaha Menyelamatkan Umat Manusia. Jakarta:
manusia untuk menyadari bentuk dan Media
kesadaran Tuhan bahwa semuanya adalah Hindu.
Tuhan. Dengan kata lain, konsep ketuhanan Pradopo, R. D. (2018, Juni 4). SEMIOTIKA:
dalam Kaṭha Upaniṣad tersebut sebenarnya TEORI, METODE, DAN
berpuncak pada pandangan pantheisme dan PENERAPANNYA DALAM
monisme. PEMAKNAAN SASTRA. From 26 Mei
2020: https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-
DAFTAR PUSTAKA humaniora/article/view/628
Budiasa, I. M., 2015. Kontestasi Ideologi Radhakrishnan, S., 2008. Upanisad-
Gerakan Spiritual Sai dalam Budaya Upanisad Utama. Surabaya: Paramita.
Hindu Bali. Vidya Samhita, pp. 110- Thabroni, G. (2007, Desember 5). Semiotika
119. – Komunikasi tanpa Kata, Pengertian
Donder, I. K. (2006). Brahmavidya Teologi Simbol dan Tanda-tanda. From 27
Kasih Semesta. Surabaya: Paramita. Mei 2020: https://serupa.id/semiotika-
Donder, I. K., 2010. Teologi: Memasuki pengertian-simbol-dan-tanda-tanda/
Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah Vireswarananda, S., 2004. Brahmasutra.
Tentang Tuhan Paradigma Sanatana Surabaya: Paramita.
Dharma. Surabaya: Paramita. Wartayasa, I. K., 2018. Kebudayaan Bali dan
Drs. I Made Purana, M. (2006). Pelaksanaan Agama Hindu. Ganaya: Jurnal Ilmu
Tri Hita Karana Dalam Kehidupan Sosial dan Humaniora, Volume I
Umat Hindu . Jurnal Kajian Nomor 2, pp. 173-192.
Pendidikan Widya Accarya FKIP Wiana, I Ketut, 1993. Kasta Dalam Hindu
Universitas Dwijendra , 67-68. Kesalahanpahaman Berabad-Abad,
Maswinara, ed., 2008. Pesan-Pesan Denpasar: Offset BP
Upanisad. Surabaya: Paramita.
Mehta, R., 2007. Menemukan Tuhan Dalam
Diri. Denpasar: Sarad.
Mohan, M. S. (2006). Kathopanisad.
Denpasar: Panakom Publishing.
Paduarsana. (2012, September 12). Makna
Acintya. From 12 Juni 2020:
https://paduarsana.com/2012/09/12/m
akna-acintya/
PakarKomunikasi.com`. (2020, Mei 26).
Teori Semiotika Charles Sander
Peirce – Sign – Object – Interpretant.
From
https://pakarkomunikasi.com/teori-
semiotika-charles-sanders-peirce
Palmer, R. E., 2016. Hermeneutika - Teori
Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Pandit, B., 2005. Pemikiran Hindu.
Surabaya: Paramita.
Pendit, I. N. S., 1994. Bhagavad-Gīta.
Jakarta: Hanuman Sakti.

87 JURNAL PANGKAJA VOL 23, NO.2, JULI-DESEMBER 2020

Anda mungkin juga menyukai