Oleh :
Kadek Andre Roy Nata (18.1.3.9.1.01)
OM SWASTIASTU
Penyusun
Kadek Andre Roy Nata
DAFTAR ISI
Cover……………………………………………………………. 1
Kata Pengantar………………………………………………….. 2
Daftar Isi……………………………………………………….... 3
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………. 4
BAB 2 PEMBAHASAN………………………………………… 5
Struktur Teks Lontar Sang Hyang Mahajnana…………... 6
Fungsi Teks Lontar Sang Hyang Mahajnana……………. 7
Konsep Ketuhanan dalam Lontar Sang Hyang
Mahajnana……………………………………………….. 8
BAB 3 PENUTUP………………………………………………. 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang agama , maka tentunya kita akan mengacu pada aspek-aspek
dasar yang ada di dalamnya . Agama Hindu adalah salah satu agama yang mana
menganut keyakinan ajaran-nya bersumber dari kitab suci Weda. Weda merupakan
nama kitab suci agama Hindu yang sudah disepakati sekaligus dihayati oleh setiap
pemeluk agama Hindu. Tentunya dalam Weda , terdapat berbagai nilai-nilai yang
bersifat Universal dan dapat diterima oleh berbagai kalangan mana pun, nilai-nilai
tersebut jika dianalisis lebih mendalam maka akan mengacu pada ketiga aspek besar
yaitu Tri Kerangka Agama Hindu, yang terdiri dari Tattwa ( filsafat ), Susila ( Etika),
dan Upacara ( Ritual).
Tri kerangka dasar agama Hindu inilah yang menjiwai sekaligus memberikan
aspek pokok dalam pelaksanaan atau praktek ajaran agama Hindu. Jika tattwa maka
akan selalu mengacu berbagai sastra-sastra suci yang sering dijadikan sebagai rujukan
atau sumber dalam ber-agama, sedangkan Susila merupakan aspek yang membatasi
tattwa agar tidak keluar dari substansi-nya , lebih tepatnya sebagai pengontrol Tattwa,
dan berikutnya Upacara , tentunya merupakan wujud aktivitas manusia yang
mengaplikasikan sekaligus pelaksanaan dari Tattwa.
Banten atau Upakara merupakan salah satu wujud pelaksanaan Tri Kerangka
dasar agama Hindu bagian dari Upacara. Banten sering juga disebut Upakara, sangat
sering dijumpai dan dilihat , terutama pada saat pelaksanaan hari hari suci agama
Hindu, banyak masyarakat yang sudah sibuk membuat berbagai sarana upakara yang
akan digunakan pada saat puncak hari suci. Jika dilihat lebih mendalam maka Banten
atau Upakara ini sejati-nya tidak hanya sebuah wujud benda atau karya manusia yang
tidak memiliki nilai di dalam-nya. Banten ini sesungguhnya dapat dianalisis sekaligus
dimaknai sebagai sebuah hasil karya ,cipta,rasa, dan karsa manusia yang penuh akan
nilai filsafat dan Teologi agama Hindu.
Di dalam Weda kaya atau sarat akan berbagai ajaran yang mulia, ajaran-ajaran
ini tentunya akan disebarkan guna memberikan pencerahan sekaligus pemahaman
akan agama yang diyakini. Bentuk cara penyebaran ajaran Weda ini ada yang melalui
metode penciptaan berbagai karya sastra yang erat kaitan-nya dengan nilai agama
Hindu, terdapat juga metode penyebaran yang melalui penciptaan tradisi pada suatu
masyarakat , serta ada juga melalui pembuatan berbagai simbol atau Niyasa yang
penuh dengan makna . dan, banten merupakan salah satu bentuk media dari
penyebaran sekaligus pengejawantahan ajaran Weda itu sendiri. Seperti yang sudah
dipaparkan diatas , jika melihat pada realita atau kenyataan di masyarakat, Umat
Hindu terkhususnya Umat Hindu di Bali, sudah sangat sering melakukan berbagai
ritual yang selalu berhubungan dengan banten. Penulis melihat di lapangan , jika
masih sangat banyak masyarakat atau Umat Hindu di Bali yang masih belum
memahami hakekat sekaligus makna dari pelaksanaan upacara yang mempergunakan
Banten. Seringkali Banten hanya dianggap sarana biasa , sama hal-nya seperti benda-
benda yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, padahal jika ditinjau lebih
jauh maka banten ini merupakan bentuk sarana spiritual yang dibuat untuk
menghubungkan diri dengan sang maha pencipta , serta pada setiap komponen banten
tersebut mengandung berbagai nilai-nilai yang kaya akan makna .
Atas dasar latar belakang inilah penulis menjadi tertarik sekaligus mencoba
menguraikan hasil pemikiran penulis dalam bentuk karya tulis makalah, yang
nantinya hasil dari penelitian ini penulis akan sampaikan pada acara Vedic Disscusion
program Studi Teologi Hindu.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang diangkat dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.2.3 Bagaimana Fungsi Upakara atau Banten jika dilihat sebagai media
pengejawantahan ajaran Weda ?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.3.3 Untuk Mengetahui Bagaimana fungsi Upakara atau banten jika dilihat
sebagai media pengejawantahan Ajaran Weda.
BAB II
PEMBAHASAN
Lontar Sang Hyang Mahajnana Tattwa adalah salah satu lontar dari sekian
banyak lontar yang memuat ajaran tentang ajaran Tattwa.jika dilihat dari isinya
Lontar ini merupakan lontar yang bercorak Siwaistik dimana terlihat dari adanya
penjelasan- penjelasan yang menunjukan adanya pemaparan ajaran Siwaisme. Dalam
sudut pandang sejarah, agama Hindu di Bali adalah Hindu yang bercorak Siwa
Siddhanta.
Sedangkan Jika dilihat dari segi Fisiknya Lontar ini terdiri dari 87 Sloka
dengan terjemahannya memuat bahasa Jawa-Kuna, ditulis dalam huruf/aksara Bali
dan gaya penyampaian dalam lontar Sang Hyang Mahajnana disajikan dalam bentuk
dialog ( percakapan antara dua orang tokoh atau lebih ).
Dalam lontar ini menguraikan tentang ajaran tattwa yang disajikan dalam
bentuk tanya jawab antara Sang Hyang Siwa ( Bhatara Guru ) dengan putra-nya yakni
Bhatara Kumara. Kedua tokoh ini mengambil peran primer dalam isi lontar, keduanya
juga jika dilihat secara seksama menunjukan adanya proses aguron-guron ( proses
berguru ) dimana Bhatara Siwa berperan selaku narasumber ( guru) dan Bhatara
Kumara sebagai Sisya ( murid). Cerita proses mengalirnya pengetahuan ini lah yang
dinamakan Sang Hyang Mahajnana, ajaran yang maha agung .
pada sub ini akan dijelaskan tentang Fungsi lontar Sang Hyang Mahajnana,
terutama dalam kehidupan beragama umat Hindu. Jika berbicara tentang fungsi maka
ini tidak akan lepas dari eksistensi lontar ini sendiri. Seperti yang diketahui
bahwasannya lontar Sang Hyang Mahajnana ini merupakan lontar yang sering
dijadikan sebagai acuan sekaligus sebagai rujukan terutama oleh para peneliti agama,
Rohaniawan, serta masyarakat umumnya. Dan berikut beberapa fungsi dari lontar
Sang Hyang Mahajnana Tattwa.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa Tattwa adalah bagian dari filsafat
Hindu yang dimana sifat tattwa yaitu bersifat doktrin dan mutlak. Lontar-lontar yang
memuat ajaran Tattwa sering dijadikan sebagai pedoman oleh umat Hindu, terutama
dalam hal menjabarkan asas-asas mendasar dalam agama-nya. Filsafat Hindu yaitu
sebuah filsafat yang penerapan dan penggunaannya dikaitkan dengan ajaran-ajaran
keagamaan Hindu. Asas dasar yang sebelumnya dijelaskan ialah konsep Panca
Sradha. Panca Srada adalah lima kepercayaan mendasar agama Hindu yang dijadikan
sebagai dasar dalam beragama. ( Titib , 1996 : 32 ). Pada lontar Sang Hyang
Mahajnana seperti yang diketahui merupakan lontar yang kaya akan nilai tattwa dan
nilai tattwa ini tentunya dapat dijadikan sebagai pedoman dasar oleh umat Hindu
dalam usaha memperdalam keyakinan serta pengetahuan akan agama Hindu.
Ajaran tattwa ini secara tidak langsung akan masuk dalam sendi-sendi
kehidupan masyarakat Hindu, dan lama-lama akan mendarah daging dan tewujud
dalam bentuk susila serta Upacara. Hal tersebut erat kaitannya dengan ajaran Tri
kerangka agama Hindu, yang terdiri dari Tattwa, Susila, dan Upacara. Atas dasar
inilah lontar Sang Hyang Mahajnana dapat difungsikan sebagai media penjabaran
ajaran Tattwa.
Hindu merupakan agama yang kaya akan kesusastraan, hal ini tidak dapat
dipungkiri lagi mengingat Hindu adalah agama yang memulikan Sastra. kesusastraan
yang dimaksud ialah kesusastraan yang memuat tentang ajaran-ajaran agama, dan
dalam Hindu disebut dengan Susastra. berdasarkan sumber data inventaris yang
secara khusus menangani hal ini, disebutkan bahwasannya jumlah susastra Hindu
yang ada di Nusantara terutama di daerah Bali hampir jumlahnya ratusan, hal ini
dapat menjadi kebanggan tersendiri sebagai umat Hindu yang berdomisili di Bali,
karena dengan banyak-nya sumber-sumber susastra yang ada ini akan berakibat pada
mudah-nya melakukan penelitian-penelitian agama yang nantinya dapat membantu
supaya Hindu menjadi lebih maju untuk kedepan-nya. keberadaan susastra-susastra
ini tidak hanya perlu dibanggakan saja, akan tetapi juga perlu diimbangi dengan
peningkatan sumber daya manusia yang memadai.
Lontar Sang Hyang Mahajnana sebagai salah satu lontar yang kerap kali
dijadikan acuan oleh umat , perlu tetap dipertahankan eksistensinya sehingga
keberadaan lontar ini tidak akan hilang dikemduian hari.
Budaya dalam bahasa popular disebut dengan Culture, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia , disebutkan bahwa Budaya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas ( Tim Penyusun, 1988 : 95 ) .
Koentjarantningrat dalam Bukunya Pengantar Antropologi ( 1959 : 66 ) menjelaskan
bahwa Budaya merupakan bagian dari aktivitas manusia yang sudah terwujud dari
awal kelahiran di dunia sampai ke kematian. Kedua pernyataan diatas tentunya sangat
masuk akal, mengingat seperti yang diketahui bahwa Budaya itu memang tercipta
karena adanya aktivitas manusia . aktivitas sejatinya tercipta dari adanya proses
berpikir , dan manusia lah satu-satunya makhluk yang mampu berpikir secara
rasional.
Lontar Sang Hyang Mahajnana Tattwa juga dapat dikategorikan sebagai salah
satu wujud Budaya hasil aktivitas manusia, terutama yang berkaitan dengan ranah
keagamaan. Dalam lontar ini, menggambarkan bagaimana majunya dunia tulis
menulis, atau pembuatan sastra pada saat itu, dalam lontar ini juga dapat dilihat
bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat pada saat itu yang tergambarkan dari
berbagai hal , baik itu yang dijelaskan secara tersurat maupun tersirat dalam lontar
Sang Hyang Mahajnana Tattwa.
Dan disinilah fungsi lontar Sang Hyang Mahajnana sebagai salah satu lontar
yang memuat ajaran Siwaisme , diuraikan tentang bagaimana ajaran Siwaisme dan
pengimplementasian-nya. Lontar ini juga berfungsi sebagai media yang dipergunakan
manusia pada saat itu untuk menggambarkan , menjelaskan tentang keadaan sosial
budaya masyarakat . sekiranya lontar ini dapat tetap dijadikan sebagai pedoman
beragama serta dilestarikan keberadaanya oleh umat Hindu sendiri serta pemerintah
atau bidang , lembaga yang terkait mengurus tentang permasalahan ini .
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Lontar Sundarigama adalah salah satu lontar yang memiliki eksistensi yang penting
dalam kehidupan beragama masyarakat terkhususnya bagi umat Hindu di Bali, lontar
ini secara sederhana merupakan lontar yang memuat tentang bentuk-bentuk perayaan
hari Suci dan upakara-upakara apa saja yang diperlukan serta makna yang terkandung
di dalam upacara tersebut. Sundarigama itulah nama lontar ini yang berarti sinar yang
mencerahkan dan memberikan pemahaman akan aspek-aspek dalam keagamaan .
3. Mengenai konsep Totemisme dalam lontar Sundarigama secara jelas itu diuraikan
melalui adanya pelaksanaan haru suci yang berdasarkan pawukon / wuku yaitu hari
suci Tumpek Uye dan Tumpek Wariga. Dimana kedua hari ini adalah salah satu
wujud adanya ajaran konsep Totemisme dalam Agama Hindu terkhususnya pada
lontar Sundarigama.
3.2 Saran
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca agar
semoga kedepannya penulisan karya tulis berupa makalah dapat lebih ditingkatkan
dan juga penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila di dalam karya tulis ini
terdapat kata-kata ataupun kalimat yang kurang sesuai dan tidak berkenan di hati para
pembaca.
Daftar Pustaka
https://kumparan.com/berita-hari-ini/mengenal-totemisme-sistem-kepercayaan-
manusia-praaksara-1unWIbPWn6s/full DIAKSES PADA TANGGAL 02
JANUARI 2021 JAM 18.00
file:///C:/Users/HP%20Laptop/Downloads/Lontar%20sundarigama
%20lengkap.pdf DIAKSES PADA TANGGAL 03 JANUARI 2021 JAM 15.00