Anda di halaman 1dari 23

ACARA AGAMA HINDU

KAJIAN UPACARA AGAMA HINDU DALAM LONTAR SUNDARIGAMA

Disusun Oleh :

Disusun oleh :

Nama : Ni Wayan Sri Aprilia Devi


Nim : 2011021016
No. Absen : 03
Prodi : Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali

Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Agama

Fakultas Dharma Acarya

Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

2023/2024
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu ,
Puja dan Puji Syukur Kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa , karena
dengan rahmat beliau , penulis dapat menyelesaikan makalah mengenai “Kajian
Upacara Agama Hindu Dalam Lontar Sundarigama) “ dengan baik.

Makalah ini penulis susun bertujuan untuk menyelesaikan tugas harian


dari mata kuliah Acara Agama Hindu. Penulis harap makalah ini dapat
bermanfaat baik para penulis maupun para mahasiswa dan pembaca lainnya .
Dalam menyusun makalah ini pula,penulis berusaha sebaik mungkin untuk
mendapatkan sumber – sumber informasi,baik materi – materi yang telah
diberikan oleh dosen ataupun website terpercaya.
Untuk itu , saran dan kritik penulis harapkan berkenaan dengan pembuatan
makalah ini , demi kesempurnaannya .
Atas perhatiaanya penulis mengucapkan terima kasih

Om Santih , Santih , Santih Om

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3 Tujuan......................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.1 Makna Lontar Sundarigama .......................................................................... 3
2.2 Nilai Dewa Yadnya dalam Lontar Sundarigama ........................................... 4
2.2.1 Hari Raya Galungan ............................................................................... 5
2.2.2 Hari Raya Saraswati ............................................................................... 9
2.2.3 Purnama Kapat...................................................................................... 11
2.3 Mitos Dewa Berung Saat Hari Raya Kuningan .......................................... 13
BAB III ................................................................................................................. 18
PENUTUP............................................................................................................. 18
3.1 Kesimpulan.................................................................................................. 18
3.2 Saran ............................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19
LAMPIRAN .......................................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga pilar atau pedoman
dasar Agama Hindu untuk mencapai kehidupan yang bahagia dari segi rohani
dan sehat jasmani. Untuk mencapai hal tersebut,Agama Hindu menjabarkan 3
kerangka dasar,yaitu : Tattwa(Filsafat),Etika(Susila) dan Upacara(Upakara).
Upacara adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk
memperingati Hari Raya Suci Hindu dengan menggunakan sarana
persembahan atau ritual tertentu.
Ada lima upacara/yadnya yang dikenal dalam Hindu atau yang disebut
dengan Panca Yadnya, yaitu: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya,
Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya.
Ketika kita berbicara upacara tentu ada yantra dan mantra
(persembahan/Banten dan doa). Bhagawadgita BAB IX Sloka 26 menjelaskan:
“Patram Puspam Phalam Toyam, Yo me bhaktya prayacchati, Tad aham
bhakty-upahrtam, Aasnami prayatatmanah”. Artinya, siapapun dengan sujud
bhakti kepada-ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji
buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang
yang berhati suci.
Selain dalam Kitab Bhagawadgita,tata cara pelaksanaan Upacara Agama
Hindu juga dijabarkan dalam berbagai lontar,umumnya dalam lontar
dijelaskan petunjuk pelaksanaan korban suci (Yadnya),baik mengenai jenis
banten atau sesajennya,perlengkapan,hari baik dalam pelaksanaan Upacara
dan sebagainya. Salah satu lontar yang memuat Upacara Agama Hindu ialah
Lontar Sundarigama.
Dalam makalah ini penulis akan mengkaji Hari Raya Suci Agama Hindu
dalam Lontar Sundarigama.

1
1.2 Rumusan Masalah
Dari pembahasan yang dimunculkan, setidaknya terdapat dua masalah
pokok dalam makalah ini, diantaranya adalah:
1 Apa saja makna yang terkandung dalam Lontar Sundarigama ?
2. Nilai Dewa Yadnya dalam Lontar Sundarigama ?
3. Bagaimana penjelasan mitos “ Dewa Berung dalam Lontar Sundarigama?

1.3 Tujuan
1. Untuk menjelaskan makna yang terkandung dalam Lontar Sundarigama.
2. Untuk menjabarkan hari raya yang termuat dalam Lontar Sundarigama.
3. Untuk menjelaskan mitos “ Dewa Berung “ yang dimuat dalam Lontar
Sundarigama Saat Hari Raya Kuningan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Makna Lontar Sundarigama


Secara Etimologi , Sundarigama berasal dari 2 kata yaitu Sundari artinya
terang, dan Gama diartikan sebagai pegangan. Maka dari itu dapat diartikan
bahwa Sundarigama merupakan sebuah media atau tuntunan yang terang
untuk umat manusia. Sundarigama dapat juga disebut dengan suluh agama
atau cerminan agama yang berarti tuntunan pelaksanaan upacara agama.
Selain mengatur tentang Yadnya,Lontar Sundarigama juga termasuk ke dalam
lontar wariga karena dalam lontar tesebut berisi Upacara Agama yang
ditentukan berdasarkan wuku,wewaran dan sasih.
Sundarigama merupakan lontar yang ditulis oleh Danghyang
Dwijendra, yang merupakan bhagawanta atau purohita pada zaman Kerajaan
Waturenggong di Bali. “Jadi sangatlah jelas bahwa Sundarigama ini adalah
suatu teks lokal yang muncul pada zaman peradaban Bali,” Nyoman
Suardika. Lontar Sundarigama dimaksudkan sebagai suatu penjelasan yang
menuntun umat Hindu dalam melaksanakan tugas hidupnya untuk berbakti
kepada Sang Hyang Widhi.
Ketua Parisadha Hindu Indonesia (PHDI) Kecamatan Buleleng ,Nyoman
Suardika mengatakan “Lontar Sundarigama mengatur tata cara upacara suci
dan dibenarkan dalam melaksanakan ajaran agama sebagaimana disabdakan
oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan patut dilakukan oleh masyarakat,
Tujuannya,adalah agar negara dan pemerintahan menjadi aman dan tentram,
rakyatnya menjadi sejahtera”.
Hal tersebut termuat dalam teks lontar bait pertama yang berbunyi: “Iki
sang Hyang Sundari gama, ngaran, kaderistianing pakerti game, lingira sang
hyang Sukseme Licin, ring wateking puru ite kabeh, make derestianing praja
mandala, wenang winarah-warah, sekeramania ring sang Wisesang rat,

3
wenang nilak sahan, tekaning wang same peraja mendale kabeh,
nemitaning”.
Terjemahannya :
Inilah Sundarigama namanya, yang merupakan perantara di dalam
ketentraman agama dari sabda suci Hyang Maha Suci kepada Rsi
semuanya, yang menjadi pemuka (manggala) dalam menenangkan
suasana dan yang wajar dilaksanakan oleh masyarakat wilayah itu
semuanya, agar tentramlah negara Sang Prabhu sampai kepada
kesejahteraannya, sebab pelaksanaan yang demikian adalah suci, yakni
sangat utamanya.

2.2 Nilai Dewa Yadnya dalam Lontar Sundarigama


Dewa Yadnya adalah persembahan yang tulus ikhlas kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa beserta segala bentuk manifestasi-Nya. Dewa berasal dari
kata Div yang artinya sinar atau cahaya suci. Seperti halnya cahaya yang berasal
dari matahari, demikianlah para Dewa adalah sumber dari sang pencipta yaitu
Sang Hyang Widhi Wasa.
Pelaksanaan Dewa Yadnya adalah karena adanya hutang kepada Sang
Hyang Widhi Wasa yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya termasuk
di dalamnya adalah manusia. Manusia bisa memanfaatkan isi alam ini dengan
semuanya bersumber dan diciptakan oleh Tuhan. Hutang ini disebut dengan Dewa
Rna. Atas dasar itu umat Hindu sewajibnya berbhakti kepada Sang Hyang Widhi
dengan melaksanakan persembahan dalam bentuk Dewa Yadnya.
Pelaksanaan Dewa Yadnya dapat dilakukan dengan berbagai bentuk.
Aktivitas kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan menjadi Yadnya dengan cara
melaksanakan semua aktivitas yang didasari oleh kesadaran, keikhlasan, penuh
tanggung jawab dan menjadikan aktivitas tersebut sebagai persembahan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan tata pelaksanaan hari raya yang
sebagian besar masih dilakukan oleh umat Hindu di Bali pada saat ini. Beberapa
hari raya besar tersebut dilaksanakan berdasarkan perhitungan wewaran (hari

4
pasaran), wuku, dan sasih. Hari raya Galungan, misalnya, termuat dalam
Sundarigama sebagai hari raya yang wajib dilaksanakan menurut putaran wuku.
Ada pula hari raya kajeng kliwon, buda kliwon, tumpek, dan anggara kasih.
Dalam lontar ini juga termuat hari raya berdasarkan peredaran planet,
seperti purnama dan tilem. Lontar ini secara khusus membahas mengenai
Purnama Kapat, saat di mana Betara Parameswara melakukan yoga samadi.
Karena itulah, Purnama Kapat (Kartika) menjadi purnama yang spesial bagi umat
Hindu.

2.2.1 Hari Raya Galungan


Hari Raya Galungan dimaknai sebagai hari kemenangan Dharma
(Kebaikan) melawan Adharma (Keburukan). Dalam hari raya ini dapat dimaknai
juga bangkitnya kesadaran sebagai titik pemusatan bathin, melenyapkan segala
bentuk kegalauan bathin,dengan cara menyampaikan persembahan kepada Para
Dewa. Upacara tersebut dilaksanakan pada pagi hari.
Makna Galungan yang lebih dalam dijelaskan di dalam lontar Sundarigama
sebagai berikut:
“Bude keliwon Galungan, ngaran mayekene sarwe biye paraning idep, aturakene
widi-widinania ring sarwe dewe, ring sanggar perebuting umah ike kabeh pade
bantenane, sapekerti, ring sanggar paryangan agung-alit, aturan tumpeng
penyajian penek wakulan, ajuman sedah woh kembang payas, wangi-wangi
pasucian, munggah ring sanggar ike”.
Terjemahannya:
Disebut Budha Kliwon Galungan keterangannya,ialah,bahwa untuk
memusatkan pikiran yang suci bersih,disertai dengan menghaturkan
upacara persembahan kepada Dewa-Dewa Parahyangan,tempat
tidur,pekarangan,lumbung,dapur,dimuka karang perumahan,tugu,
tumbal,pangulun setra,pangulun Desa Sawah,hutan munduk,lautan,sampai
pada perlengkapan rumah,semuanya itu diadakan persajian,dengan
suguhan yang dilakukan di Sanggar Parhyangan.
Banten yang digunakan dalam hari Raya Galungan ialah sebagai berikut :

5
Bebanten disanggah: Tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen.
Bebanten di balai-balai :Tumpeng pengambian, jrimpen pajegan, sodan, ikannya
jejatah babi gorengan.
Lain dari pada itu disemua bangun-bangunan, juga dilaksanakan penghayatan
dengan bebanten seperlunya.

Perayaan Hari Raya Galungan merupakan rangkaian perayaan yang paling


panjang di antara hari-hari raya Agama Hindu. Berikut rangkaian upacara
Galungan serta makna dari upacara-upacara tersebut.
1. Hari Sabtu Kliwon Wariga yang disebut dengan Tumpek Pengarah atau
Pengatag, tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya Galungan dan persembahan
ditujukan kepada dewa Sankara (nama lain Dewa Siva)sebagai penguasa
tumbuh-tumbuhan dengan mempersembahkan sesajen pada pohon-pohon
kayu yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan pada
Hari Raya Galungan.
2. Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba ; yaitu Sebuah kegiatan rohani dalam rangka
menyucikan bhuana agung (makrokosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage
Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya
membersihkan dan Jaba artinya luar, jadi Hari Sugihan Jawa tersebut
bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari jawa pasca
bubarnya Majapahit. Maksud sebenarnya adalah pembersihan Bhuana Agung
– sekala-niskala.
Dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan
“Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh” (pesucian dewa,
karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan
membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan
upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah
membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni
oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.

6
3. Sugihan Bali; Jatuh pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang (sehari setelah
Sugihan Jawa). Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam
diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri, sesuai
dengan lontar Sundarigama: “Kalinggania amrestista raga tawulan” (oleh
karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos)
yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja
terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan
Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang
harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk
menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.
4. Panyekeban – puasa I ; Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan.Panyekeban
artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini
Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda
kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar
Sunarigama disebutkan : “Anyekung Jnana” artinya mendiamkan pikiran agar
tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan “Nirmalakena”
(orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Bhuta
Galungan.
Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai
melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan
semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan
benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran,
menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki
kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang
(biu) atau tape untuk bebantenan saja.

5. Penyajaan – puasa II ; jatuh pada hari Senin Pon Dungulan. Pada hari ini umat
mengadakan Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata.
Penyajaan dalam lontar Sundarigama disebutkan : “Pangastawaning Sang
Ngamong Yoga Samadhi” upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon
Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat

7
memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata
membuat kue untuk upacara.
6. Penampahan – puasa III ; jatuh pada hari Selasa Wage Dungulan tepat sehari
sebelum hari Raya Galungan. Penampahan berasal dari kata tampah atau
sembelih artinya ; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran
melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan
upacara pokok yakni Mabyakala yaitu memangkas dan mengeliminir sifat-
sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan
korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (Sad Ripu, Sad Atatayi,
Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat hewani
tersebut.
Ini sesuai dengan lontar Sundarigama yaitu ; “Pamyakala kala malaradan”.
Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua
bentuk Ahamkara – kegelapan yang bercokol dalam diri.
7. Galungan – lebar puasa ; Jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, Hari
ini merupakan hari kemenangan dharma terhadap adharma setelah berhasil
mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik
agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan
dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai
anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk
yang berwiweka.
8. Manis Galungan; Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan
nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara
mesima krama dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan
ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari
ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada
semua manusia inilah misi umat Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran
kebenaran adalah dengan Satyam Vada yaitu mengatakan dengan
kesungguhan dan kejujuran.
9. Pemaridan Guru; Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, maknanya pada hari ini
dilambangkan dengan kembalinya Dewata-dewati, pitara-pitari, para leluhur

8
ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan anugrah berupa
kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat menikmati
waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan
dengan sarana banten “tegen-tegenan” yang berisi hasil bumi berupa padi,
buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk
memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke sunya
loka.
10. Pemacekan Agung; Jatuh pada hari Senen Kliwon wuku Kuningan. Tepat
pada hari ini merupakan hari pertengahan dari rangkaian panjang hari raya
Galungan. Hari ini tepat 30 hari dari sejak hari Tumpek Pengarah, dan 30 hari
menjelang hari Pegat Uwakan (Buda Kliwon Pahang). Pada hari ini umat
menancapkan dan meneguhkan tekadnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dalam menghadapi dan mengarungi kehidupan selanjutnya dengan
senantiasa berjalan dalam koridor dharma. Pada hari ini dibeberapa wilayah
dibali dilakukan persembahyangan dengan sarana raka ajengan tipat pesor
sebagai rasa syukur dan sujud bakti kehadapanNya.

2.2.2 Hari Raya Saraswati


Hari Raya Saraswati adalah satu hari raya agama Hindu di Bali. Pada saat
tersebut dipercaya sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan, nah tentunya dengan
kepercayaan masyarakat seperti itu, semua orang butuh ilmu pengetahuan, karena
ilmu itu bisa menuntun kehidupan manusia dan menjadi bekal dalam mengarungi
kehidupan.
Dengan ilmu pengetahuan, manusia bisa terhindar dari kegelapan,
berbagai teknologi tercipta juga karena ilmu pengetahuan, dengan tuntunan Ida
Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati, sehingga
nantinya diharapkan tercipta kemajuan, perdamaian, kemakmuran dan
peningkatan peradaban umat manusia.
Untuk itulah manusia terutama umat Hindu, wajib memperingati hari turunnya
ilmu pengetahuan itu dengan melakukan persembahan kepada Sang Hyang Aji
Saraswati (Dewi Saraswati), mengucapkan terima kasih dan syukur atas anugerah

9
ilmu pengetahuan yang telah diberikan sehingga menjadi manusia yang beradab
dan berbudaya.
Pawedalan atau piodalan Hari Raya Saraswati itu setiap 6 bulan sekali
(210) menurut kalender Bali berdasarkan pawukon, tepatnya di hari Saniscara
(Sabtu) Umanis, wuku Watugunung. Seperti yang dikutip dari lontar Sundarigama
tentang hari Saraswati, maka pemujaan terhadap dewi Saraswati dilakukan pada
pagi hari atau siang hari.
Seperti yang dimuat dalam lontar Sundarigama :
Watugunung, saniscare Umanis, puje walin betare Saressuati widi-widanania,
nistania, suci peras daksine, penek ajuman sesayut sare suati, banten sare suati,
segare gunung, perangkat putih kuning, tansah wangi-wangi, daksine,
pengadegan abesik, kembang payas sekar cane, canang yase, sadulurania
sehananing pustake, makelingganing aksare pine hayu, puje walinin, sahe
aturaken puspe wangi, astawukene tirthe pakuluh ring Sang Hyang surye samane
tan wenang angereke, aksare, amace, anulis, Tuwi makidung muang kekawin,
tuwi arerasan saluwiring tatuwe aksaree sukseme, kewalia amuje-muje walinin
betara Saresuait juge wenang, apan sang pinuje sire amdalaning sarwe dewe,
kewale meneng juge sire ayoge, enjang-enjingnia mebanyu penaruh, asuci
laksane ring biji kewala perebate, ajejamas, dening kum-kuman, aturakene muah
labaan, ring betare sege peradnyan, muang jaja sarwa merik, nuli paridania bukti
nen.
Terjemahan:
Saniscara Umanis, adalah hari pujawali Bhatara Saraswati adapun upacaranya :
Suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang cane dan kembang
biasa, sesayut saraswati, prangkatan )rantasan) putih kuning, serta raka-raka tidak
terkecuali dengan runtutannya, Sang Hyang pustaka (Lontar-lontar keagamaan),
tempat menuliskan Aksara, itulah yang patut diatur yang sebaik-baiknya, dipuja,
dan diupacarai dengan puspa wangi : inilah yang disebut memuja Sang Hyang
Bayu (gerak, kata-kata dan pikiran).
Pada umumnya waktu keadaan yang demikian (dalam memuja dengan
bebanten), tidak wajar menulis surat, tak wajar membaca buku-buku weda, dan

10
kidung kekawin, melakukan kewajarannya ialah melakukan yoga. Brata yang
dilakukan adalah dari pagi sampai siang hari tersebut tidak diperkenankan
membaca ataupun menulis. Bagi mereka yang melakukan brata penuh mereka
melaksanakannya selama 24 jam penuh, bahkan pada malam harinya dilengkapi
dengan semadi.

2.2.3 Purnama Kapat


Agama Hindu merupakan agama bhakti. Dalam mewujudkan bhakti pada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kita tidak pernah terlepas dari bunga. Sebab bunga
merupakan simbol kesucian. Karena itulah, di saat bunga-bunga bermekaran, hari
menjadi spesial untuk menggelar ritual keagamaan.
Purnama Kapat, dalam bahasa Sansekerta disebut dengan Kartika. Selain
itu, Purnama Kapat ini juga disebut dengan suba dewasa atau hari yang sangat
baik selain Purnama Kedasa. Di mana dalam konsep realita alam semesta, sama
sesuai dengan nyanyian kidung Warga Sari, ‘’Kartika panedenging sari’’.
Artinya, Purnamaning Kapat merupakan musim semi, dimana bunga-bunga
sedang bermekaran.
Namun ketika kita berbicara dari sudut pandang astronomi, khususnya di
Bali, matahari dalam Purnama Kapat tepat berada pada garis katulistiwa. Dalam
bahasa Bali matahari itu disebut dalam posisi majeg atau berada di atas ubun-
ubun. Nah ketika berbicara di atas ubun-ubun, di situlah titik nol (0). Titik nol itu
adalah simbol daripada sunya (tidak ada) atau niskala. Keadaan ini akan dimulai
dari 15 hingga 21 Oktober.
Selama rentang hari tersebut, masyarakat diharapkan melakukan
pembersihan dan membangun sifat-sifat kedewataan, sehingga tumbuh
berkembang ibaratkan bunga. Hal tersebut tidak hanya dilakukan pada raga
manusia itu sendiri. Namun juga harus dilakukan pada alam semesta beserta
isinya. Dimana hal tersebut dilakukan dengan ritual.
Karena itulah, kenapa setiap Purnama Kapat, pulau Bali dipenuhi oleh
kegiatan-kegiatan keagamaan. Sejatinya, kegiatan upacara atau bhakti yang kita

11
lakukan di Purnama Kapat ini, pahala yang akan kita tuai akanlah sangat
maksimal. Sebab matahari tepat berada di garis khatulistiwa atau yang disebut
dengan Wiswayana. Apapun kegiatan ritual atau dana punia yang akan dilakukan,
itu selalu mendapatkan limpahan karunia kelipatan yang berlimpah daripada hari-
hari ketika kita melakukan yadnya tidak di musim kapat. Inilah sebenarnya makna
filosofis, makna astrologi di dalam kita melakukan pelaksanaan perayaan
Purnama Kapat..
Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan tentang Purnama Kapat,ialah
sebagai berikut;
Nahane luwirnian ring peretiti mase, atare kartike purnama kunang, ayoge-yoge
betara perama-Suare, sire Sang Hyang Purusangkere, sadgane lawan betari,
iniring dening watek dewata kabeh, tekeng widia dari, tumutang resi gane, ate
samone wenang sang puroita ngarge puje, pasang lingge, separ keramania,
Muah de gelaraken keramaning candere sewane, nguniweh aturakene puje
tarpane ring Hyang kawitan, widi widane sarwa pawitre, saside, muang ring
Hyang ulan aturakene penek jenar, perayascita luwih, muang reresik, iwaknia,
sate putih siungan ring sor sege agung.

Terjemahannya :
Beginilah prihalnya menurut perhitungan masa yaitu pada masa sasih kapat
(oktober), pada saatnya bulan penuh(Purnama) maka beryogalah Bhatara
Paramecwara, Sag Hyang Purusangkara, (setahun untuk Hyang Widhi
sebagai Mahadewa dan Maha Purusa), manunggal dengan
Bhatari(mewujudkan wisesa Nya), diikuti oleh golongan Dewa semuanya,
serta golongan widyadara-widyadari dan Resing langit semuanya sejak
dahulu kala. Dalam halnya yang demikian, sepatutnyalah orang-orang suci
(Pandita dan pinandita), melakukan puja stuti dengan memakai
tanda/busana sebagaimana mestinya, dan bersiap-siap melakukan puja bakti
kehadapan Sang Hyang Candra. Demikian pula kepada Hyang Kawitan
mengaturkan bebanten serba suci.

12
Dalam lontar Sundarigama diatur pula banten yang dihaturkan kehadapan Hyang
Ratih, (sebutan terhadap Hyang Widhi sebagai Soma), ialah : Penek kuning,
prayascita luwih, pangreresik, serta daging dalam penek itu, ialah ayam putih
siyungan. Adapun banten yang di Sor (bawah), ialah :
Segehan agung 1 soroh.
Lain daripada itu, orang-orang (umat bersangkutan), hendaknya melakukan
bhakti dengan muspa dihadapan Sanggar dan Perhyangan, demikian juga pada
Pelinggih-pelinggih di pedarman, yang menjadi penyungsungnya. Akhirnya pada
malam hari itu usahakanlah melakukan renungan suci, dengan dyana dan
samadi. (Sundarigama 5.a)

2.3 Mitos Dewa Berung Saat Hari Raya Kuningan


Kuningan berasal dari kata ning yakni pikiran suci sebagai
suksmaning idep kita menjadi umat manusia untuk menerima anugrah.
Kuningan sejatinya adalah hari tumpek (Tumpek Kuningan) yang jatuh pada
saniscara kliwon wara kuningan. Kuningan secara filosofi terlepas dari rangkaian
Galungan. Tapi karena harinya berdekatan sehingga tampak sebagai sebuah
rangkaian dan dirayakan sebagai Galungan – Kuningan.
Tumpek Kuningan sebagai hari pemujaan khusus kehadapan Dewa (Betara) dan
Leluhur (Pitara). Sebagai tonggak pemujaan khusus, Tumpek Kuningan bahkan
lebih “rumit” dan “rimit” dibandingkan dengan Galungan. Seperti sarana tebog,
selangi, ceniga dengan daun kayu sedikitnya lima macam, tamiang, ter, endongan,
sampian gantung dengan bentuk khusus, tumpeng kuning, nasi kuning, sodan,
segehan, dll.
Dan semua sarana tersebut sebelum dihaturkan mesti dikuningkan dan disucikan
dengan sarana gerusan / tumbukan daun intaran dan kunyit yang diisi air. Dalam
lontar Sundarigama, pada hari Saniscara Kliwon wara Kuningan Ida Hyang Siwa
Mahadewa diikuti oleh para Dewa dan Pitara (leluhur) turun dari “kayangan”
menuju “mercapada” untuk “mesuci” dan “amukti sarining banten”. Oleh karena

13
itu, sang gama tirtha di mercapada menyambut kehadiran “Betara” dan “Pitara”
dengan persembahan pesucian, canang wangi, disertai “selangi”, “tebog”, haturan
sesaji, dan segehan, sebagai simbol tapa dan ketulusan memuja Hyang Maha Suci
untuk memohon amerta, kemakmuran, kepradnyanan / kebijaksanaan. Pada hari
Kuningan bangunan agar “mesawen” dipasangi “tamiang” (tameng / pelindung)
sebagai tanda kemeriahan dan keindahan menyambut kehadiran Betara dan Pitara
di mercapada.
Dalam perayaan ini, menurut Babad Bali, hari raya Kuningan merupakan
perayaan turunnya Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan
dewa pitara ke dunia yang bertujuan :
Untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok, sehingga pada hari itu
dibuat, nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan yadnya
sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat)
menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang, dan pangan
yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-
kasihnya.
Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan
sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran
kepada kita semua.
Hari raya kuningan jatuh pada hari sabtu (Saniscara) Keliwon Wuku Kuningan
(hari raya atau Tumpek Kuningan) atau 10 hari setelah hari rayaGalungan.
Dalam merayakan Kuningan, Ida Bagus Gede Agastia yang ditulis pada artikel
“Sampian Tamiang” dalam Kuningan di halaman Hindu-Indonesia.com
mengatakan, bentuk ekspresi budaya masyarakat didominasi warna kuning.
Perayaan Kuningan mengambil waktu pagi hari, ketika matahari mulai terbit.
Memang, pancaran kesucian atau situasi keheningan didapat pada waktu
tersebut.
Pada saat itu dipasang hiasan ter atau panah (senjata). Panah itu sesungguhnya
simbol ketajaman pikiran (manah) atau tingkat kualitas pikiran.
Kata kunci dalam Kuningan adalah
• suddha jnana, atau

14
• kesucian pikiran.
Orang yang memiliki tingkat suddha jnana akan menemukan siddha
(keberhasilan) yang disebut siddhi. Dengan demikian umat tak akan memiliki
berantha jnana atau pikiran kotor alias diselimuti kebingungan.
Hal itu didapat ketika masyarakat memenangkan musuh yang ada dalam tubuh
yang disebut dasa indria yang pada intinya Hari Raya Kuningan ini memuja
Tuhan dalam keheningan. Dalam keheningan itu diharapkan muncul div atau
sinar suci Tuhan.
Selain panah, dalam Kuningan dipasang endongan yang merupakan simbol
perbekalan (logistik) dalam perang. Sementara dalam konteks keberagamaan,
endongan itu bermakna bekal dalam mengarungi kehidupan seterusnya. Bekal itu
tiada lain adalah karma atau hasil dari perbuatan, yakni,
• subha karma (perbuatan baik), atau
• asubha karma (perbuatan buruk). Jadi, hanya karma diri sendirilah sebagai
bekal utama untuk menuntun menuju perjalanan selanjutnya.
Adapun beberapa jenis sampian yang digunakan pada Hari Raya Kuningan :
• Endongan (simbol kebijaksanaan, etika dan peraturan dalam satu
wadah) sebagai persembahan kepada Hyang Widhi.
• Tamiang sebagai simbol penolak malabahaya.
• Kolem/Pidpid sebagai simbol linggih hyang Widhi, para Dewa dan leluhur
kita.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini
hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat
tengah hari. Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan”
kembali ke Swarga Loka (Dewa mur mwah maring Swarga).
Berikut ini kutipan dari lontar Sundarigama :
”Saniscare keliyon Kuningan, tumurun watek dewate kabeh, muang sang
dwe-pitare, asuci laksane, nehher mamukti be banten, sege selanggi, tebog,
sahe rake dene sangkep. Gegantungan, tamiang candige ring teretepaning
sarwe wewangunan, aje amujaning bebanten kelangkahaning jegjeg surye,
sewatek dewate kabeh, mantuke maring sunia taye, ane muah pengacining

15
janme manuse sesayut perascite luwih, penek kuning, iwa itik putih.
Pakenaning akene cite nirmale, tan pegating semadi, sehana segeh agung
abesik, ring natar sanggar.”

Terjemahan :
Pada hari saniscara kliwon kuningan, turunlah lagi para Dewata
sekalian, serta sang dewa pitara (leluhur) untuk melakukan pensucian,
lalu menikmati upacara bebanten, yakni :
Sege dan selanggi, tebog, serta raka-raka selengkapnya, pebersihan,
canang wangi-wangi dan runtutannya, dan menggantungkan sawen
tamiang dan gegantungan caniga, sampai pada tempat / kandang segala
binatang ternak. Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah
hari, melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau
pada tengah hari, Dewa-Dewa telah kembali ke sorga.

Sehari setelah Hari Raya Kuningan (Manis Kuningan),bahkan menjelang Hari


Raya Kuningan yang dikutip dari artikel penyon jegu,di desa lain sudah
menyelenggarakan suatu tradisi malelawang (mala=letuh,lawang=pintu masuk
pekarangan) dengan perwujudan barong bangkung yang di dominasi anak-anak
disamping untuk meramaikan suasana hari raya.
Kuningan selalu menautkan Tamiang,yang mana sebagai simbol memohon
perlindungan dan keselamaran kehadapan Ida Bethara dan Pitara.
Sang Gama Tirtha juga melaksanakan “prayascita” memohon penyucian diri
kehadapan Betara dan Pitara dengan sesayut prayascita disertai hening “adnyana”
/ bhatin. Ditetapkan bahwa pada hari Kuningan, Ida Betara dan Pitara turun ke
dunia pada pagi hari. Setelah memberkati anugrah semua haturan, maka pada
tengah hari Ida Betara dan Pitara kembali ke kayangan.
Oleh karena itu pemujaan Kuningan dilakukan pada pagi hari. Tidak boleh
“kelangkaran surya” (dilangkahi matahari / lewat tengah hari). Apabila pemujaan
Kuningan lewat tengah hari, maka yang akan dihaturkan pemujaan adalah “Dewa
Berung” yakni sosok dewa yang kotor, borok, dan bau. Mitologi Dewa Berung ini

16
dinarasikan oleh para leluhur agar pemujaan Kuningan sesuai dengan ketentuan,
agar tidak sia-sia. Demikian leluhur mewariskan.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pelaksanaan Yadnya dalam Upacara Agama Hindu,berlandaskan pada
berbagai sumber seperti,nyanyian suci,tutur,palawakya,geguritan dan lain
sebagainya yang disajikan ke dalam bentuk lontar. Salah satu lontar yang memuat
tentang Upacara Agama Hindu ialah Lontar Sundarigama. Dalam lontar tersebut
dimuat tata cara pelaksanaan Upacara Agama Hindu yang ditentukan berdasarkan
perhitungan wewaran,wuku,sasih,purnama,tilem dan lain sebagainya. Serta dalam
lontar tersebut juga memuat tata laksana Umat Hindu dalam melaksanakan
Upacara dan banten apa saja yang digunakan atau disajenkan pada saat merayakan
masing-masing Upacara Agama tersebut.

Selain itu pula,lontar tersebut juga memuat keunikan dalam beberapa hari
Raya seperti halnya,pada saat Kuningan tidak boleh melaksakan eedan atau
runtutan Upacara melewati jam 12 siang. Ada pula hari raya Purnama Kapat yang
dipercayai sebagai hari baik untuk melaksanakan Piodalan dalam tempat suci
karena dipercayai sebagai hari Kartika(banyak bunga),bisa disebut juga musim
semi.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan agar pembaca atau masyarakat
Hindu dapat melestarikan budaya Hindu dari segi keunikan Hari Raya Hindu dan
menerapkan Upacara Agama beserta sarana yang pelaksanaannya diatur di dalam
Lontar Sundarigama.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata penulis,maka
kritik dan saran diperlukan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

------- Website

Komang Putra. Tatacara Pelaksanaan Upacara dalam Lontar Sundarigama.


Komang Putra Blogspot

Diunduh dari URL

https://www.komangputra.com/tatacara-pelaksanaan-upacara-dalam-lontar-
sundarigama.html/5#top

I Made Gambar.2017. Salinan Lontar Sundarigama

Diunduh dari URL

https://w-wiratmadja.blogspot.com/2017/01/salinan-lontar-sundari-
gama.html?m=1

I Komang Gede Doktrinaya.2022. Lontar Sundarigama Jadi Pegangan


Melaksanakan Yadnya.Bali Express

Diunduh dari URL

https://www.google.com/amp/s/baliexpress.jawapos.com/balinese/amp/67118029
9/lontar-sundarigama-jadi-pegangan-melaksanakan-yadnya

---------Buku

Sundhari Gama Pdf. Dewa Sanisca.2020.42pages

Diunduh dari URL

https://www.scribd.com/document/448206924/Sundhari-Gama-pdf

19
LAMPIRAN

20

Anda mungkin juga menyukai