Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AGAMA HINDU TIM AHLI D

MEMPRAKTIKAN YAJNA MENURUT KITAB


MAHABHARATA DALAM KEHIDUPAN

OLEH :
1. Arya Wirakusuma (01)
2. I Gede Putu Girindra Wardhana (05)
3. I Gusti Gede Anom Wanda Widnyana (09)
4. I Putu Gede Mahardika Adi Putra (12)
5. Made Adikku Cessa Pradana (17)
6. Ni Luh Putu Biona Mustika Putri (21)
7. Ni Made Rina Purnami (25)
8. Ni Putu Mita Kusuma Putri (29)
9. Ni Putu Syanindita Kania Iswari Yoni (30)
10.Putu Intan Anandita Putri (34)

KELAS XI MIPA 2

SEMESTER GANJIL
SMA NEGERI 1 TABANAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena atas segala karunia dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan
makalah agama tim ahli D yang bertemakan tentang “Mempraktikan Yajna
Menurut Kitab Mahabharata dalam Kehidupan”, dapat tersusun tepat hingga
selesai dan tepat pada waktunya.
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu dalam rangka pembuatan
tugas. Penulis juga tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih karena dalam
penyusunan makalah, penulis sangat banyak mendapat bantuan, dukungan,
masukan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Serta semua pihak yang telah
membantu, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan perlu pendalam yang lebih jauh dan juga perlu banyak bimbingan, itu
disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Tabanan, 27 September 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai agama Hindu kita tidak asing lagi mengenal kata Yajna. Yang
mana Yajna menurut asal katanya berasal dari bahasa sansekerta, dari kata
“Yuj” yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban. Jadi Yadnya
adalah korban suci secara tulus ikhlas dalam rangka memuja Hyang Widhi.
Pada dasarnya Yadnya adalah penyangga dunia dan alam semesta, karena
alam dan manusia diciptakan oleh Hyang Widhi melalui Yadnya. Yadnya di
dalam suatu upakara haruslah di dilandasi oleh rasa tulus ikhlas dengan rasa
yang senang. Persembahan yang tulus ikhlas dan dilandasi hati yang bersih
niscaya tuhan akan menerima persembahan yang kita haturkan kepada beliau.
Jika apa yang kita persembahkan itu ingin di terima tuhan, maka kita harus
memberinya dengan rela, tulus dan suka cita tanpa ada motivasi terselubung
dibalik itu dan jangan sampai kita memberikan dengan terpaksa atau karena
dipaksa oleh pihak lain, jika tidak, maka persembahan kita tidak akan berarti
apa-apa dihadapan tuhan dan tidak mendapatkan berkat bagi kita. Mungkin
dengan persembahan yang diberikan orang lain disenangkan, tapi belum tentu
hal itu menyenangkan hati tuhan. Dalam persembahan yang tulus ikhlas tuhan
tidak melihat besar kecilnya persembahan yang kita persembahkan, namun
motivasi dan ketulusan hati kita. Dan jangan pernah hitung-hitungan dengan
Tuhan, apalagi menahan berkat yang seharusnya kita salurkan kepada yang
berhak menerima.
Adapun dalam kisah Mahabharata dijelaskan bahwa pelaksaan yajna
setelah perang Bharatayuda usai, Pandawa melakukan Yajna untuk
menyucikan secara ritual dan spiritual negara Hastinapura dan Indraprastha
karena dipandang leteh (kotor) maka diperlukan sikap selain tulus ikhlas,
sikap kita juga harus hormat kepada pendeta yang memimpin pelaksanaan
yajna. Maka digunakanlah daksina sebagai salah satu cara penghormatan
kepada pendeta dalam memimpin pelaksaan yajna. Penghormatan ini harus
dihaturkan secara tulus ikhlas. Persembahan ini sangat penting dan bahkan
merupakan salah satu syarat mutlak agar pelaksaan Yajna berlangsung dengan
sukses dan lancar. Maka dari itu penerapan Yajna menurut kitab Mahabharata
perlu kita terapkan dalam kehidupan saat ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian Yajna?
1.2.2 Apakah Yajna menurut Kitab Mahabharata?
1.2.3 Bagaimana cara mempraktikan Yajna menurut kitab Mahabharata
dalam kehidupan ?
1.2.4 Apa saja praktik Yajna dalam kehidupan sehari-hari?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Yajna
1.3.2 Untuk mengetahui Yajna menurut Kitab Mahabharata
1.3.3 Untuk mengetahui cara mempraktikan Yajna Menurut Kitab
Mahabharata dalam Kehidupan
1.3.4 Untuk mengetahui praktik Yajna dalam kehidupan sehari-hari

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat yang bisa kita dapat yaitu kita menjadi lebih tau bagaimana
cara mempraktikan Yajna menurut kitab Mahabharata dalam kehidupan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Yajna


Secara etimologi, kata yajña berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kata
“yaj” yang berarti memuja atau memberi penghormatan. Kata “yaj” juga
diartikan mempersembahkan dan bertindak sebagai perantara. Sehingga kata
Yajna ini dapat diartikan sebagai suatu bentuk pengorbanan yang tulus ikhlas.
Dari akar kata yajna tadi, timbul kata yaja (kata-kata dalam pemujaan), yajata
(layak memperoleh penghormatan), yajus (sakral, retus, agama), dan yajña
(pemujaan, doa persembahan) yang masing-masing memiliki arti sama dengan
Brahma.
Upacara dalam ajaran Hindu merupakan bagian dari yajna, bukan yadnya
yang bagian dari upacara. Selama ini yadnya dipahami sebatas piodalan atau
menghaturkan banten. Pandangan umat yang awam, setiap mendengar kata
yajña, dalam benaknya selalu terbayang bahwa di tempat yajña itu terdapat
berbagai jenis sajen, asap dupa mengepul, bau bunga dan kemenyan, ada
pujastawa sulinggih atau pemangku, suara kidung, tabuh gamelan yang
meriah dan berbagai atraksi seni religius lainnya. Bayangan itu tidak salah,
tetapi keliru, yajña tidak selalu identik dengan kegiatan upacara keagamaan,
karena yadnya sebenarnya adalah pengorbanan atau persembahan secara tulus.
Segala yang dikorbankan atau dipersembahkan kepada Tuhan dengan penuh
kesadaran, baik itu berupa pikiran, kata-kata dan prilaku yang tulus
demi  kesejahtraan alam semesta disebut dengan yajna. Tujuan dari yajña itu
adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup umat
manusia beserta makhluk hidup yang lainnya.
Inti dari yadnya adalah pesembahan dan pengorbanan. Sedangkan upacara
adalah sebuah wujud bhakti manusia kepada Tuhan untuk  mendekatkan diri
kepadaNya. Sarana upacara inilah disebut dengan upakara/Banten. Melalui
sarana berupa upakara/banten ini umat Hindu menyampaikan bhaktinya
kepada Tuhan.
Dasar pelaksanaan upacara Yadnya adalah Tri Rna yang merupakan tiga
utang yang telah dibawa sejak lahir, eliputi:
1. Dewa Rna, utang kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya
sebagai para dewata yang telah memberikan anungrahnya kepada setiap
mahluk.
2. Pitra Rna, utang kepada para leluhur termasuk orang tua, sehubungan
dengan kelahiran kita serta perhatiannya semasa hidup.
3. Rsi Rna, utang kepada para sulinggih, pemangku dan para guru lainya atas
bimbingannya
Untuk melepaskan diri dari keterikatan akan utang tersebut, umat Hindu
melakukan yadnya salah satunya berupa upacara dengan memakai sarana
upakara/banten. Dalam Lontar Agastya Parwa yadnya ini dibagi menjadi lima
sebagai berikut:
1. Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas
kehadapan para dewa-dewa.
2. Butha Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas
kehadapan unsur-unsur alam.
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada
manusia.
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi
manusia yang telah meninggal.
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kehadapan
para orang suci umat Hindu.
Hutang – hutang tersebut kemudian dibayar dengan yadnya, yang
kemudian diaplikasikan dengan Panca Yadnya. Adapun cara pembayaran
tersebut yaitu:
1. Dewa Rna, dibayar melalui Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya, misalnya
melakukan kegiatan persembahyangan secara rutin dan melakukan ngejot
2. Pitra Rna, dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, misalnya
melakukan kegiatan pengabenan untuk jasad orang tua dan melakukan
potong gigi
3. Rsi Rna, dibayar melalui Rsi Yadnya, misalnya menghormati orang suci
Disebutkan dalam kitab suci Bhagavad Gita bab XVII sloka 11, 12 dan 13,
bahwa ada tiga Yajna yang dipandang dari segi kualitasnya, yaitu
1. Tamasika Yajña, yaitu yajña tanpa memperhatikan petunjuk-
petunjuk sastra Veda
2. Rajasika Yajña, yaitu yajña yang dilakukan dengan penuh harapan
akan hasilnya dan bersifat pamer
3. Satwika Yajña, yaitu yajña yang dilakukan kebalikan dari tamasika
dan rajasika yajña
Terdapat tujuh syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan Yajna,
meliputi:
1. Sradha, artinya ada keyakinan atau kepercayaan ketika beryajna
2. Lascarya, artinya semua bentuk yajna dilandasi dengan keikhlasan
3. Sastra,  artinya pelaksanaan yajna harus mengacu pada sastra atau ajaran-
ajaran agama
4. Mantra atau gita, artinya yajna diiringi dengan mantra dan nyanyian suci
yan biasanya berupa kidung
5. Daksina, artinya suatu penghormatan dan penghargaan dalam bentuk harta
benda atau uang yang dihaturkan secara tulus ikhlas kepada pemimpin
upacara (pandita, pinandita atau pemangku) yang telah berjasa sehingga
upacara berjalan aman, lancar dan sukses
6. Anasewa, artinya memberi jamuan pada tamu, sifatnya tidak memaksa,
disesuaikan dengan kemampuan.
7. Nasmita, artinya tidak dilakukan semata-mata bertujuan untuk pamer atau
mencari sensasi.

2.2 Yajna Menurut Kitab Mahabharata


Kitab Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis
oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Terdiri dari 18 kitab, maka
dinamakan Astadasaparwa. Terdiri dari kata asta yang berarti 8delapan, dasa
yang berarti 10, dan parwa berarti kitab. Menceritakan kisah konflik Panca
Pandawa dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai
sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Selain berisi cerita
kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-
nilai Hindu, mitologi, yajnya, dan berbagai petunjuk lainnya.
Pada zaman Mahabharata dikisahkan Panca Pandawa
melaksanakan Yadnya Sarpa (pengorbanan ular) yang sangat besar dan
dihadiri seluruh rakyat dan undangan yang terdiri atas raja-raja terhormat dari
negeri tetangga. Undangan juga datang dari para pertapa suci yang berasal
dari hutan atau gunung. Tidak dapat dilukiskan betapa meriahnya pelaksanaan
upacara besar yang mengambil tingkatan utamaning utama. Menjelang puncak
pelaksanaan Yadnya, datanglah seorang Brahmana suci dari hutan ikut
memberikan doa restu dan menjadi saksi atas pelaksanaan upacara besar itu.
Setiap tamu yang hadir dihidangkan berbagai macam makanan yang lezat
dalam jumlah yang tidak terhingga. Setelah melalui perjalanan yang sangat
jauh dari gunung ke ibu kota Hastinapura, Sang Brahmana sangat lapar dan
pakaiannya mulai terlihat kotor. Begitu dihidangkan makanan oleh para
dayang kerajaan, Sang Brahmana Utamapun langsung melahapnya dengan
cepat bagaikan orang yang tidak pernah menemukan makanan. Bersamaan
dengan itu melintaslah Dewi Drupadi yang tidak lain adalah
penyelenggara Yajna besar tersebut. Melihat cara Brahmana Utama
menyantap makanan dengan tergesa-gesa, berkomentarlah Drupadi sambil
mencela. “Kasihan Brahmana Utama itu, seperti tidak pernah melihat
makanan, cara makannya tergesa-gesa,” kata Drupadi dengan nada mengejek.
Walaupun jarak antara Dewi Drupadi dengan Sang Brahmana Utama cukup
jauh, tetapi karena kesaktiannya ia dapat mendengar dengan jelas apa yang
diucapkan oleh Drupadi. Sang Brahmana Utama diam, tetapi batinnya
kecewa. Drupadi pun melupakan peristiwa tersebut.
Dalam ajaran agama Hindu, disampaikan bahwa apabila seseorang
melakukan tindakan mencela, maka pahalanya akan dicela pula, terlebih lagi
apabila mencela seorang Brahmana Utama. Dalam kisah berikutnya, Dewi
Drupadi mendapatkan penghinaan yang luar biasa dari saudara iparnya yaitu
Duryadana dan adik-adiknya. Di hadapan Maha Raja Drestarata, Rsi Bisma,
Guru Drona, Kripacarya, dan Perdana Menteri Widura serta disaksikan oleh
para menteri lainnya, Dewi Drupadi dirobek pakaiannya oleh Dursasana atas
perintah Pangeran Duryadana. Perbuatan biadab merendahkan kehormatan
wanita dengan merobek pakaian di depan umum, berdampak pada kehancuran
bagi negeri para penghina. Terjadinya penghinaan terhadap Drupadi adalah
pahala dari perbuatannya yang mencela Brahmana Utama ketika menikmati
hidangan. Dewi Drupadi tidak bisa ditelanjangi oleh Dursasana, karena
dibantu oleh Krisna dengan memberikan kain secara ajaib yang tidak bisa
habis sampai adiknya Duryadana kelelahan lalu jatuh pingsan. Krisna
membantu Drupadi karena Drupadi pernah berkarma baik dengan cara
membalut jari Krisna yang terkena Panah Cakra setelah membunuh Supala.
Berdasarkan paparan cerita di atas dapat disimpulkan, bahwa apabila
melaksanakan yajnya seharusnya dilaksanakan dengan tulus ikhlas dan tidak
boleh mencela orang lain, dengan demikian pahala baik pulalah yang akan
didapat. Begitu juga sebaliknya, jika beryajna tidak sesuai dengan aturan,
maka pahala yang didapatpun juga tidak akan maksimal. Dengan yajna, secara
tidak langsung kita juga akan menyadari adanya karma phala dalam
kehidupan.

2.3 Mempraktikan Yajna Menurut Kitab Mahabharata dalam Kehidupan


Pada bagian ini, penulis akan membahas upaya mempraktikan yajna
menurut kitab Mahabharata. Mempraktikan itu sendiri berarti melakukan atau
melaksanakan. Dalam mempraktikan yajnya menurut kitab Mahabharata,
didukung oleh salah satu cerita yang berjudul “Daksina dan Pemimpin
Yadnya”. Mendengar kata daksina, dalam benak orang Hindu Bali yang awam
akan terbayang dengan salah satu jejahitan yang berbentuk cerobong (silinder)
terbuat dari daun kelapa yang sudah tua, dan isinya berupa beras, uang,
kelapa, telur itik, dan perlengkapan lainnya. Daksina adalah sesajen yang
dibuat untuk tujuan kesaksian spiritual. Daksina adalah lambang Hyang
Guru (Dewa Siwa) dan karena itu digunakan sebagai saksi Dewata. Makna
kata daksina secara umum adalah suatu penghormatan dalam bentuk upacara
dan harta benda atau uang kepada pendeta atau pemimpin upacara.
Namun, dalam konteks upakara di Bali, Daksina bermakna lingga sthana
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Daksina merupakan tapakan, palinggih
atau sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa saat dipuja (Arwati: 2005:15).
Sebagai sebuah palinggih atau tembat bersthananya Ida Sang Hyang Widhi
saat upacara dilangsungkan, maka unsur-unsur yang ada dalam Daksina
merupakan simbol-simbol religius dari Ida Sang Hyang Widhi beserta
manifestasi Beliau. Terdapat terdapat tiga belas unsur dalam daksina sebagai
simbol religius dari tiga belas dewata yang hadir sebagai saksi suatu yadnya
yang bergelar Sang Hyang Triyo Dasa Saksi, adapun tiga belas unsur
tersebut adalah:
a. Serembeng, bebedogan, wakul adalah simbol Sang Hyang Pertiwi yaitu
penguasa bumi/tanah.
b. Tampak dara adalah simbol Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu penguasa
keseimbangan, siang-malam.
c. Porosan silih asih adalah simbol Sang Hyang Semara Ratih yaitu
penguasa cinta kasih.
d. Beras adalah simbol Sang Hyang Bayu yaitu penguasa kekuatan, energy
dan pangan.
e. Papeselan adalah simbol Sang Hyang Sangkara yaitu penguasa tumbuh-
tumbuhan.
f. Gegantusan/ Bijaratus adalah simbol Sang Hyang Indra yaitu penguasa
kekuatan magis, dan segla biji-bijian (sarwa wija).
g. Pangi adalah simbol Sang Hyang Baruna yaitu penguasa lautan, dan
segala isi lautan.
h. Kelapa adalah simbol Sang Hyang Surya Raditya yaitu penguasa
matahari.
i. Telor itik adalah simbol Sang Hyang Candra yaitu penguasa bulan.
j. Uang Kepeng adalah simbol Sang Hyang Windu Sunia yaitu penguasa
ruang angkasa.
k. Kemiri/tingkih adalah simbol Sang Hyang Tranggana yaitu penguasa
bintang.
l. Benang Tebus adalah simbol Sang Hyang Akasa yaitu penguasa langit.
m. Canang Sari adalah simbol Sang Hyang Siwa yaitu Tuhan itu sendiri.
Penghormatan ini haruslah dihaturkan secara tulus ikhlas. Persembahan ini
sangat penting dan merupakan salah satu syarat mutlak agar Yadnya yang
diselenggarakan berkualitas (satwika Yadnya).

2.4 Praktik Yajna dalam Kehidupan Sehari-hari


Dalam Pelaksanaan Panca Yadnya dalam kehidupan sehari-hari tidak
dapat dipisah- pisahkan. Artinya, dalam melaksanakan satu yadnya pasti
yadnya yang lain dilaksanakan juga. Dalam melakukan yadnya banyak
pengorbanan yang dilakukan yaitu,pengorbanan segala aktivitas dan
pengorbanan harta benda(kekayaan).
1. Dewa Yadnya
Contoh-contoh penerapan:
a. Melakukan Tri Sandhya tiga kali dalam sehari.
b. Selalu berdoa terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan.
c. Menjaga kebersihan tempat suci.
d. Mempelajari dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-
hari.
e. Melaksanakan persembahyangan pada hari-hari suci seperti
Purnama,Tilem,Galungan,Kuningan,dll.
f. Ikut dalam kegiatan ngayah di Pura ketika ada piodalan di Pura
tersebut dengan penuh keikhlasan.
2. Pitra Yadnya
Contoh-contoh penerapan:
a. Berpamitan kepada orang tua ketika pergi
b. Menghormati orang tua
c. Menuruti nasehat orang tua
d. Membantun dengan rela pekerjaan yang dilakukan orang tua
e. Merawat orang tua yang sedang sakit
3. Rsi Yadnya
Contoh-contoh penerapan:
a. Menghormati guru dan perintah yang diberikannya
b. Menjaga kesehatan dan kesejahteraan orang suci .
c. Membangun tempat-tempat pemujaan untuk orang suci 
d. Memberi sesari atau punia kepada orang suci 
4. Manusa Yadnya
Contoh-contoh penerapan:
a. Upacara bayi selama didalam kandungan (Garbha Wadana /
pagedong-gedongan )
b. Upacara bayi yang baru lahir kedunia
c. Upacara bayi kepus puser
d. Upacara bayi berumur 42 hari (Tutug Kambuhan)
e. Upacara bayi berumur 105 hari (nyambutin) atau biasanya di sebut
telu bulan karena lama nya hari itu 3 bulanan wuku bali
f. Upacara oton (otonan) yang biasanya di rayakan setiap 6 bulan sekali
di dalam kalender wuku bali
g. Upacara potong gigi (Mepandas , metatah , mesangih)
h. Upacara perkawinan (Pawiwahan)
5. Bhuta Yadnya
Contoh-contoh penerapan:
a. Upacara Mecaru (Membersihkan area baik itu pura maupun natah di
rumah)
b. Ngaturang segehan untuk menetralkan sifat-sifat negatif yang berada
di bumi
c. Upacara panca wali krama (10 tahun sekali) di laksanakan di pura
agung besakih
d. Upacara eka dasa rudra (100 tahun sekali) dilaksanakan di pura agung
besakih (Anonim, 2019).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Yajna merupakan suatu bentuk pengorbanan yang tulus ikhlas . Pada
dasarnya Yadnya adalah penyangga dunia dan alam semesta, karena alam
dan manusia diciptakan oleh Hyang Widhi melalui Yadnya.adapun kisah
Mahabharata yang menjelaskan bahwa pelaksanaan yajna yang di lakukan
setelah terjadinya perang Bharatayudha, para pandawa melakukan Yajna
untuk menyucikan dua negara yaitu Hastinapura dan indraprastha secara
ritual maupun spiritual , kita juga harus memiliki sikap yang tulus ikhlas
dan juga sikap hormat kepada pendeta yang memimpin pelaksanaan yajna
tersebut. Salah satu cara penghormatan kita terhadap pendeta yaitu dengan
menggunakan daksina yang digunakan dalam upacara yajna tersebut.
Daksina itu sendiri merupakan tapakan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa ,
dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina
juga memiliki beberapa tujuan salah satunya yaitu Permohonan kehadapan
Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa agar Beliau berkenan melimpahkan wara
nugrahaNya sehingga mendapat keselamatan.
3.2 Saran
Pembaca disarankan untuk mempelajari dan melaksanakan kewajiban
beryadnya sehingga kita sebagai umat hindu bisa mewujudkan hidup yang
seimbang dan damai.Dan penulis menyarankan walaupun kita sekarang
berada pada kondisi yang berbeda dari cerita yang dimuat pada Kitab
Mahabrata. Kita harus mampu mengikuti kemampuan-kemampuan
mereka yang semangat menjalani hidup ini
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2019. Pengertian panca Yadnya, bagian-bagiannya, beserta contohnya.


https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/pengertian-panca-yadnya-bagian-
bagiannya-beserta-contohnya-79. (Sabtu, 28 September 2019 pukul 12.11)

Anda mungkin juga menyukai