Anda di halaman 1dari 17

FUNGSI DAN PERANAN AIR DALAM UPACARA

AGAMA HINDU

Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti


kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Disamping itu pelaksanaan agama juga
di laksanakan dengan Karma dan Jnyana. Bhakti, Karma dan Jnyana Marga
dapat dibedakan dalam pengertian saja, namun dalam pengamalannya
ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara dilangsungkan dengan penuh rasa
bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga,
biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Untuk melaksanakan upacara dalam kitab suci sudah ada sastra-sastranya
yang dalam kitab agama disebut Yadnya Widhi yang artinya peraturanperaturan beryadnya. Puncak dari Karma dan Jnyana adalah Bhakti atau
penyeraha diri. Segala kerja yang kita lakukan pada akhirnya kita
persembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan cara seperti
itulah Karma dan Jnyana Marga akan mempunyai nilai yang tinggi.
Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbul-simbul atau sarana.
Simbul - simbul itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masingmasing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu
pemahaman agama dan pertumbuhan rokhaninya belum begitu maju, dapat
menggunakan cara Bhakti yang disebut Apara Bhakti. Sedangkan bagi
mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang
disebut Para Bhakti.
Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-simbul
dari benda-benda tertentu. Sarana-sarana tersebut merupakan visualisasi
dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. Menurut
Bhagavadgita IX, 26 ada disebutkan : sarana pokok yang wajib dipakai dasar
untuk membuat persembahan antara lain:
- Pattram = daun-daunan,
- Puspam = bunga-bungaan,
- Phalam = buah-buahan,
- Toyam = air suci atau tirtha.
Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang berwujud dipa dan
dhpa merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama Hindu.

Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara yang


telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana
yang dipergunakan dalam membuat upakara adalah sama, namun bentukbentuk upakaranya adalah berbeda-beda dalam fungsi yang berbeda-beda
pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.

Arti dan Fungsi Tirta


Air merupakan sarana persembahyangan
yang penting, ada dua jenis air yang
dipakai dalam persembahyangan yaitu :
air untuk membersihkan mulut dan
tangan, kedua air suci yang disebut tirtha.
Tirtha inipun ada dua macamnya yaitu :
tirtha yang didapat dengan memohon
dengan Tuhan dan bhatara bhatari dan tirtha yang dibuat oleh pendeta
dengan puja.
Tirtha itu berfungsi untuk membersihkan diri dari kotoran maupun
kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala,
diminum dan diusapkan dimuka, simbolis pembersihan bayu, sabda, idep.
Selain sarana itu, biasanya dilengkapi juga dengan wija, dan bhasma yang
disebut gandhaksta. Bija adalah biji beras yang direndam dengan air
cendana sedangkan bhasma adalah serbuk atau abu cendana. Cara
pemakain bija dan bhasma itu biasanya disatukan, ditempelkan pada dahi di
tengah kedua alis dan pada tempat yang lain. Wija adalah lambang
kehidupan sebagai benih dari Tuhan, sedangkan bhasma adalah lambang
peleburan dosa.
Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang sakral dan
mampu menumbuhkan perasaan, pikiran yang suci. Untuk membuktikan
kesuciannya tirtha itu dasarnya adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan
umat Hindu tidak akan dapat membuktikan bahwa itu bukan air biasa. Tirtha
adalah sarana agama. Membuktikan kebenaran agama, dasar utamanya
adalah kepercayaan. Ratio hanya sebagai pembantu saja.(Sura, 1992:71)
Kalau tirtha itu dipandang secara rational semata, tidaklah lebih dari air
biasa, kalau diuraikan secara ilmu kimia adalah H2O yaitu dua hydrogen dan
satu Oksigen. Karena itu kesucian dari pada tirtha hanya dapat dibuktikan
kalau dia diyakini sebagai benda agama, dimana didalamnya terdapat
kekuatan spiritual dari para dewa sebagai manifestasi Tuhan/Ida Sang Hyang
Widi Wasa. Karena itu umat Hindu didalam melakukan persembahyangan,
sikap yang paling penting ditumbuhkan pada diri sendiri adalah kepercayaan

pada sarana-sarana tersebut, sebagai bukti sarana yang memiliki kekuatan


magis, religius yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.
Demikianlah peranan ratio untuk menunjang keyakinan kita. Tidaklah tepat
keyakinan itu secara membabi bhuta. Siapkanlah segala badan dan alat-alat
yang berhubungan dengan pembuatan tirtha itu, yang memenuhi syaratsyarat kesehatan. Kalau hal ini sudah dilakukan dengan pertimbanganpertimbangan rational setelah air itu berstatus menjadi tirtha, barulah dasar
utamanya untuk menghayati kesuciannya dengan dasar keyakinan. Inilah
pola berpikir agama yang dikatakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan
pola berpikir Sekala Niskala. Berpikir secara nyata atau tidak nyata, untuk
lebih meningkatkan keyakinan kita kepada Tirtha sebagai sarana
persembahyangan dan saran keagamaan yang bernilai sakral ini selanjutnya
akan dijelaskan asal usulnya, kata tirtha sebagai istilah keagamaan.
Demikian pula jenis dan fungsinya dalam upacara keagamaan Hindu.

Asal usul kata tirtha


Kata tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekertha. Para akhli
bahasa dalam kamusnya mengatakan, memberikan arti yang berbeda-beda,
namun kalau kita cari intinya akhirnya mempunyai arti dan makna yang
sama. Para akhli tersebut misalnya : Max Muller, Sir Monier William, Y.
Kersten Svo. Dalam bahasa Bali, Tata Bahasa Bali, Kamus Bahasa Lumrah,
DR. H.N. Van Der Tuuk dalam kamus Bali Kawinya, L. Mardi Warsito dalam
kamus Sansekerta Indonesia yang diterbitkan oleh Pemda Tk. I Bali,
menyebutkan arti kata tirtha sebagai berikut : pemandian atau sungai,
kesuciaan atau setitik air, toya atau air suci, sungai yang suci,
permandian/sungai/air suci, tempat perziarahan, mengunjungi tempattempat suci, bersuci dengan air, air suci, permandian, tempat mandi atau
tempat yang dapat disebrangi. Demikian arti tirtha menurut buku-buku,
Kamus, baik kamus Sansekerta, Jawa Kuna, Bahasa Kawi, maupun Kamus
Bahasa Bali.
Kalau kita coba simpulkan semua arti kata itu mempunyai arti, makna yang
sama yaitu tirtha itu bermakna menyucikan atau membersihkan. Dalam
lontar Paniti Agama Tirtha disebutkan, tirtha ngaran amrta artinya tirtha
adalah hidup. Sedangkan dalam lontar Agama Tirtha menyebutkan sebagai
berikut : u ngaran uddhakam ngaran gangga, ngaran tirtha suci. Uddhaka
dalam Bahasa Sansekerta artinya laut. Fungsi laut dalam Agama Hindu
adalah sebagai tempat penyucian atau tempat peleburan segala kotoran.

Macam-macam Tirtha

Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha


pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Tirtha pembersihan berfungsi untuk
menyucikan upakara (bebanten) yang akan dipakai saran persembahyangan
dan juga dipakai untuk menyucikan diri dari segala kekotoran. Tirtha
pembersihan ini dipergunakan sebelum inti persembahyangan dilakukan.
Setelah upakara dan diri sendiri diperciki tirtha pembersihan, barulah
dilangsungkan persembahyangan. Sebagai penutup persembahyangan
barulah dilakukan, dipergunakan tirtha Wangsuhpada dari Ida Bhatara
yang disembah. Tirtha Wangsuhpada ini adalah lambang karunia atau wara
nugraha Ida Bhatara kepada umat yang memuja berupa Amrta artinya
kehidupan yang sejahtera.
Dalam hubungannya dengan persembahyangan ini, fungsi tirtha sebagai
pembukaan dan penutup persembahyangan. Tirtha sebagai pembukaan
persembahyangan disamping berfungsi menyucikan upakara seperti :
canang, kwangen, bungan dan diri sendiri juga berfungsi untuk
mengantarkan persembahyangan kepada yang dipuja. Dan tirtha sebagai
penutup persembahyangan tirtha wangsuhpada. Tirtha ini dipercikan
dikepala, diminum dan diraupkan pada muka. Dalam hal ini tirtha
Wangsuhpada ini bertujuan sebagai lambang anugrah dari yang dipuja/Ida
Bhatara. Bertujuan untuk member dan memelihara kehidupan, para pemuja
dan yang bersembahyang. Selanjutnya tirtha dapat dibedakan dari cara
memperolehnya yaitu :
1. Tirtha yang dibuat oleh Sulinggih / Pengarga (Arga)
Tirta pengarga ini adalah tirta yang dibuat oleh seorang pendeta Hindu
dengan kekuatan cipta beliau karena telah memiliki jnana yang tinggi
(telinganing ambek). Beliau secara otomatis adalah seorang Yogi sebab
pada waktu beliau menciptakan tirta
melalui kekuatan yoganya. Demikian
juga pada saat itu beliau memohon
kehadapan Hyang Widhi agar dikaruniai
sesuatu
kekuatan
melalui
bhatin
(Adnyana Sukla), sehingga air tersebut
berubah menjadi tirta. Kekuatan Hyang
Widhi dalam hal ini adalahdominan
kekuatan imanen (Widhi di Buana Alit).
Jadi tergantung dari pada kemampuan
serta kesucian batin dari masingmasing pendeta. Yang membuat tirta tersebut perbedaan kedua tirta ini
sesungguhnya dapat dibedakan hanya pada cara memohonnya saja
sedangkan dipandang dari religinya adalah sama hanya tergantung dari
kemampuan sang pendeta (Sulinggih) dalam menjalanka swdharmanya
sebagai seorang Sulinggih. Kenapa tirta itu dikatakan sama dari segi
religinya?. Karena kedua tirta tersebut diciptakan sama sama melalui

kekuatan yoganya sang pendeta, oleh karena itu maka, sang pendeta acap
kali diberi julukan di masyarakat Hindu adalah sebagai Bethara Siwa
Sekala. Dari kata Bethara Siwa Sekala sudah jelas mengandung pengertian
bahwa sekala dengan niskala adalah sama (identik) inilah disebut
keseimbangan nyata dengan tidak nyata (Wahya Dyatmika).(Sudarsana,
2008:68)
Pembuatan tirtha oleh Sulinggih/Sang Diksita/Sang Dwijati, khusus untuk
tirtha pembersihan, sebagai dasar untuk menggunakan berbagai jenis tirtha
yang lainnya. Adapun cara pembuatannya secara garis besarnya adalah
sebagai berikut : Pertama-tama semua bahan atau alat pembuatan tirtha
dipersiapkan terlebih dahulu dalam keadaan bersih dan sehat (hygienis).
Bahan dan alat-alat tersebut misalnya : air yang diambil dari tempat yang
betul-betul bersih, dhupa dan dipa, asaban cendana, wija (bija) daun alangalang dan lainya.Mula-mula oleh Ida Sulinggih (pendeta) air diasapi dan
dituangkan pada Siwambha disertai dengan puja mantra Nama Gangga
kemudian dilanjutkan dengan puja kuta mantra, setelah itu diisi dengan
wangi-wangian. Proses berikutnya dengan menulisi air dalam Siwambha
memakai bunga dengan tulisan. : Am, Um, Mam, disertai dengan puja Tri
Purusa Mantra, dilanjutkan dengan menulis huruf Im. Ditulis melintang dari
utara ke selatan, air dalam Siwambha diputar tiga kali, mengarah putaran
jarum jam disertai dengan puja Amrta Saptawaja. Perputaran air tiga kali
ini untuk menyatukan unsur-unsur : Am, Um, Mam ke tengah menjadi Om
dan aliran air itu ke kanan menunjukan lambang amrta (air kehidupan).
2. Tirtha yang didapatkan melalui jalan memohon (Wasuwapada)
Tata cara untuk mendapatkan tirta ini adalah dengan cara, menaruh air
bersih ditempat pemujaan (bangunan suci) disertai sesajen dengan ukuran
manista, madia, utama dan diiringi permohonan kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi atau manifestasinya berupa pujaan pujaan atau doa doa.
Pengertian Wasuwapada berasal dari kata Wasua dan Pada, dimana
kata Wasua berarti Wangsuan (Bahasa Bali) atau bilasan, sedangkan kata
Pada artinya kaki, dengan demikian kata Wasuapada artinya bekas bilasan
kaki Ida Sang Hyang Widhi. Jadi tirta Wasuapada yang dimagsud adalah tirta
anugrah dari Idha Sang Widhi Wasa atau manifestasi-Nya yang dominan
berasal dari kekuatan Transenden (Widhi Buana Agung).
Jenis tirta dengan jalan memohon (Nuur), oleh Pemangku/Pinandita/Dalang,
Sang Yajamana (Penyelenggaraan Upacara). Jenis tirtha ini disebut tirtha
Wangsuhpada, kekuluh atau banyuh cokor. Kalau tirtha itu dimohon di suatu
pura atau tempat suci lainnya, dimana telah ada pemangkunya. Permohonan
tirtha Wangsuhpada Kekuluh atau Banyuh Cokor dilaksanakan oleh
Pemangku yang bersangkutan. Pada waktu piodalan di pura. Pemangku
dalam tugasnya juga memohon tirtha pengelukatan, banten yang dipujanya
biasanya diambil dari puja dalam lontar Kesuma Dewa. Disamping itu tirtha

juga bisa didapat dari tempat-tempat yang dianggap suci. Pengambilan


tirtha jenis ini dapat dilakukan oleh rang yang menyelenggarakan upacara
(Sang Yajamana) dengan dilengkapi oleh banten tertentu. Jenis tirtha
tersebut misalnya mohon tirtha di Tirtha Empul, Tampaksiring Gianyar Bali.
Di Tirtha Empul Tampaksiring itu ada beberapa jenis tirtha, tergantung dari
penggunaanya. Di Tampaksiring ada lima macam tirtha seperti : Tirtha
Pamarisudhan, Tirtha Penglukatan, Tirtha Sudamala, Tirtha Tegteg, dan Tirtha
Banyun Cokor. Di Kabupaten Karangasem tempatnya di Gunung Lempuyang,
ada juga sumber tirtha yang disebut Tirtha Tunggang. Tirtha inipun dapat
dimohon oleh umat dengan tidak melalui Sulinggih atau Pemangku, dapat
dilakukan oleh Umat yang membutuhkan (Sang Yajamana) untuk
kepentingan suatu upacara keagamaan.
Tirtha yang dapat dimohon dipura oleh Pemangku bersangkutan seperti
tirtha pembersihan atau penglukatan bebanten/upakara dan umat yang akan
bersenbahyang berfungsi sebagai pembersih atau penyucian. Tirtha ini
adalah simbolis untuk mendorong umat untuk menyucikan diri dengan
mengheningkan rohaninya untuk dapat lebih mudah mendekatkan dirinya
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan Tirtha Wangsuhpada,
Kekuluh, Banyuh Cokor dimohon oleh Pemangku adalah suatu berkah suci
atau waranugraha Ida Sang Hyang Widhi serta manifestasinya dari beliau.
Tirtha yang didapatkan dengan membuat, yang hanya boleh dibuat oleh
Sulinggih, atau Pendeta (Dwijati) disamping tirtha pembersihan yang dibuat
oleh Sulinggih di Bali yang disebut Ngarga Tirtha dan tirtha pengelukatan
pada setiap upacara, juga banyak jenisnya, tergantung dari jenis
upakaranya. Jenis tirtha yang dibuat oleh Sulinggih, inilah yang paling
banyak. Upacara yang paling banyak mengunakan tirtha adalah upacara
Pitra Yadnya. Sedangkan untuk upacara Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Bhuta
Yadnya dan Rsi Yadnya umunya menggunakan dua macam tirtha yaitu :
tirtha pembersihan dan tirtha penglukatan. Tirtha jenis ini digunakan dalam
tingkatan upacara yang kecil dan biasa. Sedangkan untuk upacara yang
lebih besar misalnya untuk upacara Dewa Yadnya seperti Padudusan maka
ada tambahan-tambahan tirtha yang disebut Tirtha Padudusan yang hanya
boleh dibuat oleh Pendeta/Dwijati.
Demikianlah jenis tirtha yang didapat berdasarkan cara memperolehya.
Sedangkan pembagian tirtha dari segi fungsinya dalam upacara Panca
Yadnya secara umum dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Tirtha Pembersihan

2. Tirtha Pengelukatan
3. Tirtha Wangsuhpada/Banyun Cokor, Kekuluh
4. Tirtha Pemenah
5. Tirtha Penembak
6. Tirtha Pengentas
Dari jenis tirta tersebut, ada hanya dapat digunakan pada Upacara Pitra
Yadnya saja yaitu : Tirta Pemanah, Tirtha Penembak, Tirtha Pengentas.
Sedangkan Tirtha Pembersihan dan Tirtha Pengelukatan dan Tirtha
Wangsuhpada hampir semua upacara yadnya mempergunakannya.
a.

Tirta Pembersihan
Fungsi

tirta

pembersihan

membersih-sucikan

upakara

sesuai

dengan

(bebanten)

yang

namanya
dipakai

adalah
sebagai

untuk
sarana

persembahyangan dan juga diri sendiri agar terbebas dari kekotoran. Karena
itu

penggunaan

tirta

pembersihan

ini

dilakukan

sebelum

inti

persembahyangan dimulai. Biasanya di jaba sebuah pura akan disediakan


jenis tirta ini dan di jeroan sebelum pemimpin upacara ngantebang
upakaraning bebanten akan menyiratkan tirta pembersihan ini.
b.

Tirta Pengelukatan
Tirta yang digunakan untuk pensucian terhadap bangunan, alat upacara

atau diri seseorang. Air ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita
melalui pasupati. Tirta pengelukatan biasanya dicipratkan tiga kali yang
mengandung arti sebagai simbol pensucian yang kedua atau menengah.
Tirta ini juga biasanya digunakan untuk mensucikan canang sari serta banten
lainnya.
c.

Tirta Wangsuhpada/ Banyun Cokor/ Kekuluh


Tirtha wangsuhpada atau kekuluh atau banyun cokor Ida Bhatara ini

adalah sebagai penutup persembahyangan yang menyimboliskan bahwa


atas sembah-bhakti kita beliau berkenan memberikan waranugraha-Nya
berupa amrta yaitu kerahajengan dan kerahayuan hidup kepada umat
yang sujud sembah-bhakti memuja beliau.

d.

Tirta pamanah
Tirta pemanah adalah satu jenis air suci yang diperoleh dari sumber air

suci pada waktu upacara ngening. Orang-orang mencari air suci dengan
membawa panah yang dibuat dan diberikan mantra oleh pendeta. Air suci
itu akan dipakai saat jenazah dimandikan.
e.

Tirta panembak
Tirta penembak yaitu tirta yang digunakan saat memandikan mayat. Tirta

ini mengandung makna membersihkan jasad orang yang meninggal dari


kotoran-kotoran lahir batin. Tirta ini diperoleh pada tengah malam dan
mengambilnya pertama dari hilir ke hulu secepat kilat. Saat memandikan
mayat, tirta panembak akan dipergunakan dari hulu ke hilir
f.

Tirta pangentas
Kata pangentas berasal dari kata tas yang berarti putus. Dalam upacara

pengabenan

ada

istilah

tiuk

pangentas

yang

artinya

pisau

untuk

memutuskan tali pengikat gulungan jenazah. Tirta pangentas merupakan air


suci yang dibuat dengan mantra sulinggih sang pamuput , bertujuan
memutuskan ikatan purusa dengan prakerti sang mati guna dikembalikan
kepada sumbernya masing-masing. Pada pelaksanaan ngaben yang besar,
tali pengikat purusa dan prakerti dilukiskan sebagai naga banda yang berarti
naga pengikat. Dalam lontar Tutur Suksma ada disebutkan bahwa yang
dimaksud naga adalah bayu atau energi yang muncul sebagai akibat
menyatunya purusa dan prakerti .
Tanpa tirta pangentas itu, ikatan purusa dengan prakerti tak akan bisa
diputuskan. Tirta pangentas sangat prinsipil kehadirannya dalam upacara
ngaben. Bila ditinjau dari sisi materialnya, tirta pangentas tak banyak
berarti, namun dari sudut spiritual tirta inilah yang menentukan berhasil atau
tidaknya upacara ngaben dimaksudkan mencapai tujuan. Seberapa besar
upacara ngaben dilaksanakan, jika tak memakai tirta pangentas , maka
upacara itu akan sia-sia.

Fungsi Tirta
Tirta menurut kepercayaan agama Hindu adalah memiliki beberapa fungsi
antara lain adalah.
1. Fungsi sebagai pengesengan
Tirta yang berfungsisebagai pengesengan pada umumnya dilaksanakan pada
waktu upacara pitra yadnya, contohnya Tirta Pengentas. Kat pengentas
berasl dari suku kata pe, ngen dan tas. Pe berasal dari pengertian Pegat
(Bahasa Bali) atau putus, sedangkan ngen berasal dari kata ngen ngen
yang artinya ingatan dan tas mengandung pengertian musnah atau hangus (
habis tanpa bekas ). Dengan demikian tirta pengentas tersebut mengandung
pengertian dan makna untuk memutuskan ingatan ingatan ( tresna ) antara
keluarga yang ditinggalkan dengan yang meninggalkan ( yang diupacarai ).
Kalau secara mendalam bahwa tirta Pengentas tersebut mengandung
konsep tujuan Moksrtham Aatmanam

2. Berfungsi sebagai pebersihan.


Tirta berfungsi sebagai pebersih, dalam pengertian pebersihbsecara ritual,
diumpamakan seperti air untuk cuci rambut ( keramas ), berbeda dengan air
untuk bercebok contoh : tirta pryascita, tirta padudusan, tirta pawintenan
dan sebagainya.
Tirta pebersih ini memiliki tujuan untuk merubah awidya menjadi widya
terhadap alam semesta dan khususnya terhadap umat Hindu. Setelah diteliti
lebih lanjut ternyata tirta pebersih ini mengandung kosep tujuan
Moksrtham Jagadhita Ye Ca Iti Darmah aan Moksrtham Atmanam.
Petikan Puja Pebersihan :
Ong Ngadeg Bethara Guru anepung tawari, anglelengeni, akejamas,
amrayascitaning prewateking sarwa pinuja, lumilangaken sarwa papa, sarwa
ala, geleh pata leteh, sebel kandelan ring sariran ipun matemahan sudha
nirmala yenamah, Ong Sri Wenamu Namah Suaha.
( Puja Pali Pali, 24 )
3. Berfungsi sebagai pengelukatan.

Tirta berfungsi sebagai pengelukatan, adalah mengandung pengertian dan


tujuan untuk menetralisir kekuatan gaib yang negatif kearah positif sehingga

mencapai keseimbangan kembali. Sebagai contoh : tirta pebaya kawonan,


tirtan caru, tirta pengelukatan orang sakit, orang hamil dan sebagainya. Tirta
ini memiliki konsep tujuan mengembalikan keseimbangan sesuai dengan
konsep Rta (Dharma).
Petikan Puja Pengelukatan :
Ong Ganggayem Gangga Pawitren. Ana gunung Maha Luhur, Cumunung
Prabanira. Metu Merta Saking Rengating Pertwi, Winadahing Kundi Manik,
Tinampa DeningPrewateking Dewata Kabeh Trinasrening Dening Sang
Brahmana, Tinastuning Dening Hyang Brahma, Wisnu iswara Manadi Tirta
Pengelukatan, Anglukat Sarwa Pape petaka, geleh Pate Letehing Sarira, Ong
Sidhirastu Tattastu Astu yenamah suaha.
( Weda Parikrama Semapta. 38.).

Demikianlah yang penulis dapat jelaskan beberapa fungsi tirta berdasarkan


sumber sumber yang ada, semoga para pembaca pada umumnya dan
khsusnya umat Hindubagar lebih mantap dalam pelaksanaan ajaran agama.
Kalau secara spesifik tirta itu adalah selalu berfungsi sebagai pengelukatan
dan pebersihan berlaku terhadap setiap permohonan tirta baik untuk di
pemerajan maupun di Pura-pura. (Sudarsana, 2003 :49-54)

Tata Cara Metirta


Tata cara metirta harus juga dilandasi dengan pengertian yang berhubungan
dengan etika metirta, karena sangat besar hunungannya dengan anugrah
( kesidhian tirta). Pada hakekatnya umat Hindu harus mengetahui dan
mengerti tentang tirta juga mengetahui tujuan metirta, sehingga dapat
dihayati serta dirasakan faedahnya baik secara sekala maupun niskala.
Sesungguhnya manusia memiliki badab yang berlapis tiga yang disebutTri
Sarira (Tattwa Darsana). Yaitu :
1. Stula Sarira
Stula Sarira ini adalah badan kasar yang dapat dilihat secara nyata dan
berasal dari Panca Maha Butha, badan ini perlu dipelihara dengan menjaga
kebersihan serta kesehatannya. Agar selalu dapat mengikuti keserasian dan
keseimbangan dengan alam. Stula Sarira berada dalam tingkatan Tri Buana
pada Buana Alit ( Mikrokosmos ) adalah pada tingkat Bhur Loka. Stula
Sarira perlu kehidupan , bukan hanya kehidupan sekala saja seperti makanan
dan minuman tetapi juga memerlukan kehidupan niskala berupa kekuatan

supra natural, hal ini akan didapatkan melalui kekuatan yoga atau kekuatan
Hyang Widhi yang adapada Tirta tadi.
2. Antakarana Sarira (Jiwa)
Lapis badan yang lebih dalam dan tidak dilihatnsecara nyata , yang
merupakan badan penyebab dari segala getaran pada diri manusia,
termasuk penggerak pikiran manusia. Badan ini memiliki sifat purusa hanya
kesucianny dapat dipengaruhi oleh kekuatan Panca Maha Bhuta ( Pakerti )
sehingga badan ini ikut menjadi kotor atau sifat purusanya semakin
berkuurang. Maka dengan demikian badan ini perlu dibersihkan dan
disucikan keembali melalui perbuatan yang baik ( kebijakan) termasuk
metirta, agar sifat purusanya dapat dicapi kembali. Tidak ubahnya seperti
magnint yang penuh tertutup lumpur, daya magnitnya tidak akan keluar.
Badan ini berada dalam tingkat bhuana loka.
3. Suksma Sarira (Atman)
Suksma Sarira merupakan sumber kehidupan dari Antkarana Sarira (jiwa)
dan Stula Sarira (badan kasar) , karena bersifat Atman yang merupakan
percikan kecil dari Sang Hyang Widhi. Badan ini lebih halus dar pada jiwa dan
memiliki sifat ketuhanan yang murni, badan ini tidak bisa dilekati oleh
kekotoran, tidak bisa dipengaruhi oleh pengaruh prakerti, badan ini suci,
hanya terbungkus didalam badan prakerti. Untuk mempertahankan
keserasian serta keseimbangannya dengan Antakarana Sarira (jiwa) dan
Stula Sarira (badan kasar) maka perlu dipelihara dengan tindakan kebijakan,
santapan rohani termasuk juga metirta. Apabila tindakan ketiga badan
tersebut telah menemukan keseimbangan maka, telah tercapainya pula yg
disebut Moksrtham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma. Kalau tingkatan ini dapat
dipertahankan oleh seseorang berarti, mereka mampu mendekati diri
kehadapan sifat sifat Sang Hyang Widhi ( purusa ) dan niscaya mereka
mampu mencapai Moksrtham Atmanam ( moksa).
Dalam Bisma Parwa disebutkan :
Kadi rupa Sang Hyang Aditya an prakasan Iking sarwa loka.
Mangkana ta Sang Hyang Atma an prakasakan iking sarira marginin wenang
maprewrtti.

Arti bebas :
Sebagai rupanya Sang Hyang Aditya menerangi dunia, demikianlah Atman
menerangi badan, dialah yang menyebabkan kita dapat berbuat.

Melihat isi sloka diatas bahwa, dalam setiap makhluk hidup, atman
itulahyang menjadi sumber hidupnya, sedangkan jiwa dan badan kasarnya
adalah, sebuah alat agar kelihatan ada kehidupan di dunia untuk bisa
bermakna. (Sura,1981:74-75)
Dengan uraian diatas dapat disimak maknanya sehubungan dengan tata
cara metirta, agar cepat bisa dimengerti bahwa magsud dan tujuan
memercikkan tirta adalah sebanyak tiga kali, minum sebanyak tiga kali dan
meraup tiga kali juga.

Sikap Metirta
Sikap metirta harus betul betul dihayati dan dilaksanakan dengan benar,
mengingat isi dari uraian diatas bahwa tirta tersebut memiliki makna dan
tujuab pengelukatan dan pebersihan.
Caranya :
1. Tirta dipercikan ke ubun ubun sebanyak
mengucapkan mantra dalam hati (japa).

tiga

kali

sambil

Mantranya :
Ong Hrang Hring Sah Parama Siwa Merta Yenamah Suaha
( memohon peleburan dosa agar dikaruniai kebahagiaan lahir dan bathin ).

2. Minum tirta sambil mengucapkan doa didalam hati.


Minum pertama mantra :
Ong Atma Paripurna enamah suaha
Minum keduan mantra :
Ong Jiwata Paripurna Yenamah Suaha
Minum ketiga, mantra :
Ong Sarira Paripurna Yenamah Suaha

Pada waktu meraup digunakan tangan tangan yang diusapkan dimulai dari
dahi turun sampai ke dagu ( artinya mohon pengelukatan), kemudian dari
dagu naik keatas sampai ke ubun ubun (artinya memohon pebersihan),
demikian berulang kali sebanyak tiga kali. Dan terakhir ke dadasambil
mengucapkan mantra dalam hati (japa)
(Informan. Ida Pedanda Gede Pemaron)
Mantranya :
Raup pertama :
Ong Ksemung Siwa Merta Yenamah
Raup kedua :
Ong Ksemung Sadha Siwa Yenamah
Raup ketiga :
Ong Ksemung Parama Siwa Mertha Yenamah
Diusapkan di dada :
Ong Sarira Parisudhamam suaha
Demikian tata cara metirta yang baik di pemerajan atau di Pura sesuai
dengan etika menurut sumber sumber sastra yang ada. mudah mudahan
atas Asung Kertha Nugraha Hyang Widhi, para umat Hindu dapat
meningkatkan pengetahuan agamanya setelah mendapat membaca buku
ini, sehingga pelaksanaan persembahyangan jauh lebih mantap dan jauh
lebih meyakini kebesaran Sang Hyang Widhi.
Dalam naskah Silakrama disebutkan upaya penyucian stula sarira,
antakarena sarira dan suksma sarira, semasih hidup sebagai berikut :
Adbhir Gatrani Sudyanthi
Manah Satyena Sudyanthi
Widyattapobhyam Bhrtatma Budhir
Jnanena Sudyati
Tubuh dibersihkan dengan air (Tirta)

Pikiran dibersihkan dengan kejujuran


Rokh (Atma) dibersihkan denganilmu,
Akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Sloka Suci Bhagawadgita Bab IX Sloka 26
Patram puspam phalam toyam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhakty-upahrtam
Asnami prayatatmanah
Artinya:
Apa yang dipersembahkan kepadaku, sehelai daun, setangkai bunga, setetes
air, buah atau biji-bijian dengan cinta bhakti dan kesadaran yang murni, akan
Ku terima.
Kata-kata yo me bhaktya prayacchati berarti menawarkan kepadanya
dengan mencintai pengabdian. Bahkan jika umatnya menawarkan dengan
pikiran yang bersih dan hati yang murni meskipun tanpa melakukan usaha
yang tidak terlalu berat seperti mempersembahkan air, sehelai daun atau
buah yang dijiwai dengan pengabdian maka akan dianggap sakral oleh
Tuhan yang maha tinggi sehingga ia akan menjadi senang dan merasa
berhutang budi pada pemuja tersebut. Tindakan apapun yang dilakukan
dengan bhakti atau pengabdian kepadanya , ia menerimanya dengan cinta
bhakti.
Kata bhakti disebutkan dua kali dalam sloka ini yang mempertegas
bahwa satu-satunya cara yang mudah dilaksanakan oleh umat untuk
melakukan

pendekatan

kepadanya

adalah

melalui

pelayanan

bhakti.

Meskipun ada cara lain seperti menjadi brahmana, sarjana, orang kaya dan
filsuf besar, tanpa adanya prinsip bhakti kepadanya semuanya itu hanya
akan sia-sia belaka, karena bhakti bersifat kekal, semua kepercayaan apapun
pasti melakukan bhakti untuk memuja Tuhan mereka.

Dalam

sloka

ini

juga

sangat

dijelaskan

Tuhan

menginginkan

persembahan dalam bentuk vegetarian, jadi apa yang tidak diinginkan tidak
disebutkan dalam sloka ini seperti persembahan daging, ikan dan telur.
Tuhan hanya ingin pelayanan bhakti berupa persembahan seperti sehelai
daun,

setangkai

bunga,

setetes

air,

buah

atau

biji-bijian

yang

depersembahkan dengan tulus iklas maka ia akan menerimanya. Artinya


Tuhan meminta agar umatnya memakan makanan seperti apa yang
dipersembahkan kepadanya (vegetarian) sehingga manusia memiliki pikiran
yang jernih dan jiwa yang bersih serta terbebas dari siklus reinkarnasi yang
tiada ahir dan mencapai kebebasan atau kebahagian yang kekal.
Pada Bhagawadgita sloka 3.13 Tuhan menjelaskan Para penyembah Ku
dibebaskan dari segala jenis dosa karena mereka makan makanan yang
dipersembahkan terlebih dahulu untuk korban suci. Orang yang menyiapkan
makanan untuk kenikmatan indria-indria pribadi, sebenarnya hanya makan
dosa saja. Magna sloka ini mirip dengan sloka diatas, dimana Tuhan
mengampuni

dosa

umatnya

dengan

hanya

memakan

sisa-sisa

hasil

persembahan yang ditujukan dengan tulus iklas kepadanya. Tetapi umat


yang makan tanpa melakukan persembahan justru akan mendapatkan dosa,
karena tidak bersyukur atas segala apa yang ia makan semuanya adalah
pempberian darinya. Tuhan tidak membutuhkan makanan, karena segalanya
telah ia miliki, ia hanya menerima persembahan karena cinta bhakti
umatnya terhadap dirinya bukan karena makanan tersebut.
Aktualisasi setetes air pada sloka Bhagavadgita 9.26 dapat dilihat ketika
menggunakan tirtha sebagai salah satu sarana persembahyangan. Tirtha
pada dasarnya adalah air yang telah melalui proses pembersihan dan
penyucian secara ritual sehingga bersifat sakral dan diyakini dapat
menumbuhkan perasaan dan atau pikiran yang suci. Untuk mendapatkan
tirtha ada dua macam cara yaitu: Pertama, dengan cara naur (memohon)
yang dapat dilakukan oleh pinandita (pemangku, dalang, balian termasuk
sang yajamana (umat yang sedang menyelenggarakan upacara yajna).
Penggunaan air yang kemudian diproses ritual menjadi tirtha, bukanlah

sekedar pemanfaatan benda cair itu secara fisikal. Lebih jauh dari itu adalah
nuansa sakral dari air suci itu dalam menumbuhkan jiwa spiritual umat agar
dirinya terbebas dari segala kekotoran baik yang disebabkan oleh unsur
material (badan kotor) maupun unsur immaterial (rohani kotor). Itu
sebabnya, meski nampak sepele percikan air suci yang disebut tirtha itu
merupakan lambang kehidupan yang di dalam lontar Paniti Agama Tirtha
disebut tirtha ngaran amrta: tirtha adalah hidup. Artinya, tirtha itulah
penyebab umat dan agama Hindu itu tetap eksis. Tanpa tirtha umat dan
agama Hindu akan kering lalu mati. Sebaliknya dengan tirtha, dahaga lahir
dan batin akan terpuaskan dalam kehidupannya.

Sumber
https://kadekyunii.wordpress.com/2015/01/14/tirtha/
https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/arti-dan-saranaupakara/469297929759525
http://phdi.or.id/artikel/arti-sarana-persembahyangan
http://niluhsusilawati94.blogspot.co.id/2014/11/arti-dan-fungsi-air-dalamhindu.html?m=1

Nama : I Putu Yogi Pradana


NIM

: 201506010

Prodi

: Desain Komunikasi Visual

Anda mungkin juga menyukai