Anda di halaman 1dari 18

KELOMPOK 3

OM SWASTYASTU
I GEDE PUTU SUSILA (07)
I G AGUNG AYU RATIH SARI DEWI (08)
I GUSTI NGURAH ADI PRATAMA (10)
I KADEK IMAN YUDI PRASETYA (12)
NI KADEK WINTARI (24)
NI PUTU ANGGI DAMAYANTI (28)
NI RAI JAYANTI (33)
PENGERTIAN UPAKARA
Upakara sering dikenal dengan sebutan banten, upakara berasal dari kata
“Upa” dan “Kara”, yaitu Upa berarti berhubungan dengan, sedangkan Kara berarti
perbuatan/pekerjaan (tangan). Upakara merupakan bentuk pelayanan yang
diwujudkan dari hasil kegiatan kerja berupa materi yang dipersembahkan atau
dikurbankan dalam suatu upacara keagamaan. Dalam kehidupan agama Hindu di
Bali, setiap pelaksanaan upacara keagamaan selalu mempergunakan upakara atau
banten sebagai sarana untuk berhubungan/mendekatkan diri dengan pujaannya
yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya yang akan dihadirkan.
Dalam pustaka Bhagawadgita Bab IX Sloka 26 menyebutkan tentang unsur-
unsur pokok persembahan itu :

“ Patram Puspam phalam to yam yo me bhaktya prayacchati tad aham


bhaktyupahrtam asnami prayatatmanah”

Artinya :
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-
buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku
terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.
BAHAN DALAM UPAKARA

Mengenai bahan-bahan upakara untuk persembahan atau korban suci


tersebut, semuanya diambil dari ciptaan Ida Hyang Widhi Wasa di dunia
ini dan kesemuanya itu dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :

1. Mataya adalah sesuatu yang tumbuh. Bahan-bahan ini terdiri dari


tumbuh-tumbuhan yang dipakai sarana upakara terdiri dari berbagai
jenis daun, bunga dan buah-buahan.
2. Mantiga adalah sesuatu yang lahir dari telur seperti telur itik, ayam,
angsa dan lainnya.
3. Maharya adalah sesuatu yang lahir sekali langsung menjadi
binatang, seperti binatang-binatang berkaki empat misalnya sapi,
babi, kerbau dan lain sejenisnya.
4. Logam atau datu yaitu sesuatu yang berasal dari perak, logam dan
lainnya.
FUNGSI UPAKARA
1. Sebagai alat konsentrasi
Upakara sebagai alat konsentrasi, hal ini disebabkan oleh kemampuan yang
dimiliki oleh manusia sangat terbatas adanya, dalam usaha untuk mendekatkan
hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasi-Nya, untuk
menyampaikan rasa terima kasih karena berbagai anugrah yang diberikan. Dengan
melihat banten/upakara, pikirannya sudah teringat dan terarah pada yang
dihadirkan atau dipuja.

2. Upakara sebagai persembahan atau korban suci


Upakara sebagai persembahan, apabila ditujukan kehadapan yang lebih tinggi
tingkatannya dari manusia. Disebut korban suci apabila ditujukan kepada yang
tingkatannya lebih rendah daripada manusia seperti dalam pelaksanaan upacara
bhuta yadnya. Maksud dan tujuan dari persembahan atau korban suci itu adalah
sebagai pernyataan dari perwujudan rasa terima kasih manusia kehadapan Ida
Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasi-Nya.
FUNGSI UPAKARA
3. Upakara sebagai sarana pendidikan memuja tuhan
Upakara yang telah dapat diwujudkan, merupakan hasil dari pengendalian diri
terhadap keterikatan akan benda-benda duniawi. Rasa rela dan rasa tulus ikhlas
telah diamalkan, sekaligus perbuatan yang demikian itu telah termasuk dalam
upaya penyucian diri secara lahiriah dijiwai dengan rasa bathiniah. Usaha untuk
membebaskan diri dari keterikatan pada hawa nafsu guna mencapai kesucian
secara lahir dan bathin, sangat diperlukan untuk mendekatkan diri kehadapan Ida
Hyang Widhi Wasa.

4. Upakara sebagai perwujudan ida sang hyang widhi


Dalam berbagai manifestasi suci yaitu rontal “Yadnya Prakerti, Tegesing Arti
Bebantenan”, semua sarana yang dipakai mempunyai arti simbolis. Dalam proses
pelaksanaan pemujaan terhadap Tuhan/Hyang Widhi, sangat wajib hukumnya
dilakukan dengan pikiran yang hening dan suci dan atas dasar hati yang tulus
ikhlas dengan tanpa berharap akan pahala, karena semua yang dilakukan ini
merupakan suatu kewajiban atas ciptaan-Nya.
ARTI DAN FUNGSI DARI SARANA UPAKARA

Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbol – simbol


atau sarana. Simbol – simbol itu semuanya penuh arti sesuai
dengan fungsinya masing-masing. Menurut Bhagavadgita IX,
26 ada disebutkan : sarana pokok yang wajib dipakai dasar
untuk membuat persembahan antara lain :

1. Pattram = daun-daunan
2. Puspam = bunga-bungaan
3. Phalam = buah-buahan
4. Toyam = air suci atau tirtha
1. Arti dan fungsi bunga

Arti bunga dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan :


“….sekare pinako katulusan pikayunan suci.”
Artinya :
Bunga itu sebagai lambang ketulus ikhlasan pikiran yang suci.

Untuk fungsi bunga yang penting yaitu ada dua dalam


upacara. Berfungsi sebagai simbol, Bunga diletakkan
tersembul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan
pada saat menyembah. Dan fungsi lainnya yaitu Bunga
sebagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk
mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa ataupun roh suci leluhur.
2. Arti dan fungsi DHUPA/DIPA

Dhupa/Dipa berbentuk batang kayu tipis yang dibungkus


dengan serbuk harum - haruman yang berasal dari bunga-
bunga dan akar wangi yang kalau dibakar akan berasap dan
berbau harum. Api dari dhupa adalah perwujudan Hyang
Agni – Tuhan dalam manifestasiNya sebagai api yang
berfungsi sebagai :
a. Sebagai pendeta pemimpin upacara
b. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja
dengan yang dipuja
c. Sebagai pembasmi hawa negatif dan pengusir roh jahat
d. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.
1. Arti dan fungsi Tirtha

Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kotoran


maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah
dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan pada muka,
simbolis pembersihan bayu, sabda, dan idep. Selain sarana
itu, biasanya dilengkapi juga dengan bija, dan bhasma yang
disebut gandhaksta. Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah
benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan
perasaan dan pikiran yang suci. Untuk asal usul kata Tirtha
sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekerta.
1. Arti dan fungsi MANTRA

Mantra yang digunakan sebagai pengantar upacara disebut :


Brahma. Nama ini kemudian digunakan untuk menyebutkan,
Ia yang maha kuasa. Mantra yang ditujukan kepada Tuhan
dalam salah satu manifestasinya disebut ”Stawa” misalnya
”Siwastawa, Barunastawa, Wisnustawa, Durghastawa, dan
sebagainya. Mantra pada umumnya memakai lagu dan irama,
sehingga mantra juga disebut ”Stotra”. Dalam sekian banyak
mantra, contoh dua buah mantra yaitu mantra ”Puja
Trisandhya” dan mantra ”Apsudewastawa” dapat diambil
kesimpulan bahwa mantra adalah sebagai sarana
persembahyangan yang berwujud bukan benda (non
material) yang harus diucapkan dengan penuh keyakinan.
MAKNA DARI UPAKARA
Berbicara mengenai Makna Upakara Yadnya atau banten, dapat dipetik
dari pustaka Bhagawadgita Bab III pada sloka 10 sampai 16, dalam
pembicaraan Sri Krisna dengan Arjuna, mengenai pentingnya upacara yadnya
itu. Pemaknaannya diawali dari yadnya yang dipergunakan oleh Prajapati pada
jaman dahulu kala menciptakan manusia untuk mengembangkannya guna
memenuhi semua keinginannya.
Apabila dihayati secara mendalam, mengenai diciptakannya manusia
dengan yadnya mengingatkan pada kita akan peranan dan kedudukan manusia
dalam kehidupannya bila dibandingkan dengan mahluk-mahluk hidup yang
lainnya sesama ciptaan-Nya, maka manusia dinilai mempunyai peranan
mampu sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam memaknai Yadnya itu.
Melalui peranan manusia sebagai manusia sebagai subyek dan obyek, akan
mampu mengantarkan mencapai tujuan agama Hindu itu yaitu “Mokshartham
Jagadhita ya ca iti Dharma. Singkatnya mencapai kesejahteraan lahir dan
kebahagiaan batin melalui jalan dharma.
Penggunaan Busung Ibung dan Kacip Dalam Pembuatan Banten di Masyarakat
Busung (janur) ini berasal dari Sulawesi dan memang menjadi sorotan
masyarakat dalam pembuatan sarana upakara. Karena mahalnya harga busung Bali ,
sehingga masyarakat menggunakan busung ibung sebagai alternatif pengganti. Selain
harganya lebih murah, hasil jaritannya pun lebih tahan lama. Hal ini sangat bermanfaat
apabila kita mengadakan upacara besar dan bisa mempersiapkan jauh-jauh hari.
Variasi warna yang terdapat pada busung ibung membuat hasil jaritannya begitu
indah. Warna sebenarnya dari busung ibung yaitu agak kecoklatan. Namun kini untuk
memperindah hasil jaritan, maka sudah dilakukan proses pewarnaan. Ada cara
tersendiri jika menggunakan busung ibung yaitu harus dicuci terlebih dahulu hal ini
dilakukan agar tangan tidak panas atau gatal saat memegangnya.
Penggunaan Busung Ibung dan Kacip Dalam Pembuatan Banten di Masyarakat

Fungsi kacip dalam banten / jejahitan adalah untuk memperekatkan material


satu dengan material yang lainnya. Biasanya terbuat dari material dan berbentuk
seperti U. Di jaman modern ini, kacip tidak hanya digunakan sebagai perlengkapan
kerja kantor atau di warung-warung saja. Karena penggunaan kacip yang mudah dan
menghemat waktu. Sehingga kini masyarakat beralih menggunakan kacip dalam
pembuatan banten. Dan hasilnya bahkan dikatakan lebih rapi dibandingkan semat
yang mudah patah. Semat sendiri adalah tiing (bambu) yang dibilah menjadi kecil.
Sehingga karena sulitnya mencari tiing dan pengolahannya, maka tak jarang
masyarakat beralih menggunakan kavip baik untuk banten yang dipakai ataupun yang
dijual.
Tanggapan dan Solusi dari Penggunaan Busung Ibung dan Kacip

Penggunaan busung ibung dan kacip sebenarnya melenceng dari adat dan
istiadat di Bali sejak dahulu. Di jaman dahulu orang-orang menggunakan busung
Bali dan semat sebagai pembuatan banten / jejahitan. Karena dinilai lebih alami
dan maknanya lebih mendalam karena berasal dari bahan alam langsung tanpa
campuran bahan lainnya. Bahkan keindahan dan seni dari pembuatannya begitu
alami. Namun kini mulai tergantikan dengan busung ibung dan kacip. Sedikit
sekali kita temukan orang – orang yang mau menggunakan busung Bali dan semat.
Alasannya karena lebih murah, mudah didapat dan menghemat waktu. Tak jarang
kini masyarakat beralih fungsi baik untuk dipakai sendiri maupun dijual. Untuk
tetap menjaga adat dan tradisi kita di Bali maka langkah yang harusnya dilakukan
masyarakat adalah tetap menggunakan semat dan busung Bali sebagai bahan utama
Banten. Bahkan perlu diwarisi kepada anak-anak muda Bali dan diajarkan mejaitan
dengan semat dan Busung Bali.
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa upakara adalah
semua bentuk perangkat upacara yang merupakan simbul perwujudan Sang Yang
Widhi melalui kekuatan sinar suci-Nya. Upakara adalah wujud korban suci kepada Ida
Hyang Widhi. Upakara sederhana (alit) tidaklah berati nilainya lebih rendah daripada
yang madya dan utama, demikian sebaliknya. Yang menentukan sukses tidak
suksesnya upacara Yadnya tidaklah terletak pada banten saja, tetapi yang lebih penting
adalah niat berkorban dalam kesucian yang tulus dan iklas sebagaimana hakekat
pengetian “Yadnya.”
Adapun upaya yang harus dilakukan supaya mencegah masyarakat yang lebih
cenderung membeli Upakara dari pada membuat adalah seperti : Memberikan
pemahaman-pemahaman yang jelas kepada masyarakat terkait betapa pentingnya
makna yang terkandung dari setiap upakara. Dengan upaya menanyakan terlebih
dahulu jika ingin membeli apakah bahan yang dipakai itu suci. Dengan upaya
memberikan penyuluhan-penyuluhan atau pelatihan pembuatan upakara bagi
generasi umat Hindu agar masyarakat belum bisa membuat menjadi lebih paham
dalam pembuatan upakara tersebut.
OM SHANTI , SHANTI , SHANTI OM

Anda mungkin juga menyukai