Anda di halaman 1dari 2

Mengutip buku Hukum Perkawinan dan Waris Hindu oleh I Putu Gelgel, dkk.

, sumber
hukum itu terdiri dari sila, acara (sadaraca), dan atmanastuti. Berikut penjelasan
lengkapnya:
1. Sila
Sila adalah tingkah laku baik yang biasa dilakukan orang-orang suci bersumber pada
kitab Weda. Tingkah laku tersebut adalah norma-norma yang dapat dijadikan dasar
dalam menilai watak seseorang.
Tingkah laku dalam sila meliputi perbuatan dan perkataan orang-orang suci yang
mengetahui Weda, seperti para Maharesi, Bhegawan, dan Sulinggih atau Pandita.
Dalam Kitab Sarasamuscaya Sloka Pasal 157 disebutkan:
Ikang kapatyaning sarwabhawa,
Haywajugenulahaken
Maka sadanang trikaya
Nang kaya, wak, manah,
kunang prihen ya ring trikaya anugraha lawan dana juga,
apan ya ika cila ngaranya,
ling sang pandita.
Artinya: "Yang menyebabkan matinya segala mahluk, Jangan sekali-kali dilakukan.
Sebagai jalan gunakan Trikaya, yaitu tingkah laku, kata-kata dan pikiran. Adapun
yang harus diusahakan dengan Trikaya hanyalah pemberian dan sedekah saja.
Sebab itulah yang dinamakan Sila, kata pendeta."
2. Acara (sudacara)
Tiwi Etika dalam buku Penuturan Simbolik Panca Sraddha dalam Kitab Suci
Panuturan karya menyebutkan, acara adalah adat istiadat yang muncul dalam
kehidupan masyarakat. Acara memiliki kedudukan yang jelas, yakni sebagai sumber
pelaksanaan ajaran agama Hindu.
Acara mencakup bidang yang berkaitan dengan ritual terutama tentang yadnya, hari-
hari suci keagamaan, tempat suci atau tempat pemujaan, dan orang suci. Oleh karena
itu, istilah acara dalam konsep Tri Kerangka Dasar agama Hindu identik dengan
pelaksanaan upacara agama Hindu itu sendiri.
3. Atmanastuti
Secara bahasa, Atmastusti berasal dari kata ‘atma’ yang berarti jiwa dan ‘tusti’ yang
berarti kepuasan. Jadi, atmanastusti adalah sesuatu yang dapat memberi kepuasan
pada hati nurani.
Rasa puas merupakan ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia. Namun, jika
diukur pada diri seseorang, maka akan menimbulkan berbagai kesulitan. Ini karena
setiap manusia memiliki rasa puasnya masing-masing.
Oleh karena itu, rasa puas tersebut harus diukur atas dasar kepentingan publik atau
umum. Sebagai pedoman umat Hindu, Weda menggunakan sistem kemajelisan sebagai
dasar untuk mewujudkan rasa puas atmanastuti.

Anda mungkin juga menyukai