Anda di halaman 1dari 30

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG SPIRITUALITAS

A. Pengertian Spiritualitas

Menurut perspektif bahasa ‘spiritualitas’ berasal dari kata ‘spirit’ yang


berarti ‘jiwa’.1 Dan istilah “sipiritual” dapat didefinisikan sebagai pengalaman
manusia secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan
moralitas.2

Menurut sebagian ahli tasawuf ‘jiwa’ adalah ‘ruh’ setelah bersatu


dengan jasad penyatuan ruh dengan jasad melahirkan pengaruh yang
ditimbulkan oleh jasad terhadap ruh. Sebab dari pengaruh-pengaruh ini
muncullah kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun oleh ruh.3 Oleh karena
itu, bisa dikatakan bahwa jiwa merupakan subjek dari kegiatan “spiritual”.
Penyatuan dari jiwa dan ruh itulah untuk mencapai kebutuhan akan Tuhan.
Dalam rangka untuk mencerminkan sifat-sifat Tuhan dibutuhkan standarisasi
pengosongan jiwa, sehingga eksistensi jiwa dapat memberikan keseimbangan
dalam menyatu dengan ruh.

Jiwa sebagaimana yang telah digambarkan oleh seorang tokoh sufi


adalah suatu alam yang tak terukur besarnya, ia adalah keseluruhan alam
semesta, karena ia adalah salinan dari-Nya segala hal yang ada di dalam alam
semesta terjumpai di dalam jiwa, hal yang sama segala apa yang terdapat di
dalam jiwa ada di alam semesta, oleh sebab inilah, maka ia yang telah

1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1986,
hlm. 963
2
Charles H. Zastrow, The Practice Work, University of Wisconsin, An International
Thompson Publishing Company, White Water, 1999, hlm. 317
3
Sa’id Hawa, Jalan Ruhaniah, terj : Drs. Khairul Rafie’ M. dan Ibnu Tha Ali, Mizan,
Bandung, 1995, hlm. 63

16
17

menguasai alam semesta, sebagaimana juga ia yang telah diperintah oleh


jiwanya pasti diperintah oleh seluruh alam semesta.4

Ruh merupakan jagat spiritualitas yang memiliki dimensi yang


terkesan Maha Luas, tak tersenuth (untouchable), jauh di luar sana (beyond).5
Disanalah ia menjadi wadah atau bungkus bagi sesuatu yang bersifat rahasia.
Dalam bahasa sufisme ia adalah sesuatu yang bersifat esoterisme (bathiniah)
atau spiritual. Dalam esoterisme mengalir spiritualitas agama-agama. Dengan
melihat sisi esoterisme ajaran agama atau ajaran agama kerohanian, maka
manusia akan dibawa kepada apa yang merupakan hakikat dari panggilan
manusia.

Dari sanalah jalan hidup orang-orang beriman pada umumnya


ditujukan untuk mendapatkan kebahagiaan setelah kematian, suatu keadaan
yang dapat dicapai melalui cara tidak langsung dan keikutsertaan simbolis
dalam kebenaran Tuhan, dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang
telah ditentukan.

Dalam dunia kesufian ‘jiwa’ atau ‘ruh’ atau ‘hati’ juga merupakan
pusat vital organisme kehidupan dan juga, dalam kenyataan yang lebih halus,
merupakan “tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk
pribadi.6 Para sufi mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang
sangat dekat kepada apa yang ada dalam al-Qur'an dan ekspresi ringkas
terpadu mereka yang telah mencakup seluruh esensi ajaran.

Kebenaran-kebenaran ajarannya mudah mengarah pada perkembangan


tanpa batas dan karena peradaban Islam telah menyerap warisan budaya pra
Islam tertentu, para guru sufi dapat mengajarkan warisannya dalam bentuk
lisan atau tulisan. Mereka menggunakan gagasan-gagasan pinjaman yang telah

4
Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan sekarang, terj : Abdul Hadi W.M., Mengutip
dari Syaikh al-‘Arabi al-Darqawi, Letter of a Sufi, hlm. 4
5
Seyyed Hossein Nasr, Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual ;
Antara Tuhan, Manusia, dan Alam, terj : Ali Noer Zaman, IRCISoD, Yogyakarta, hlm. 7
6
Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1984,
hlm. 17
18

ada dari warisan-warisan masa lalu cukup memadai guna menyatakan


kebenaran-kebenaran yang harus dapat diterima jangkauan akal manusia
waktu itu dan yang telah tersirat dalam simbolisme sufi yang ketat dalam
suatu bentuk praktek yang singkat.

Dari warisan-warisan yang telah ada – yaitu kebenaran-kebenaran


hakiki – dari para kaum sufi, maka terciptalah prilaku-prilaku yang memiliki
tujuan objektif (Tuhan) tidak lain seperti halnya esoterisme dalam agama-
agama tertentu, langkah awal untuk menjadikan umatnya mencari tujuan yang
objektif, mereka memiliki metode-metode khusus untuk menggali tingkat
spiritualitasnya.

Oleh karena itu, penelitian mengenai pengalaman keagamaan


merupakan kegiatan yang tidak pernah surut dari sejarah. Hal ini disebabkan
karena pengalaman keagamaan, tidak akan pernah hilang, dan tidak pernah
selesai untuk diteliti. Dari pengalaman-pengalaman keagamaan (religiusitas)
itulah akan memberikan dampak positif bagi individu yang menjalaninya.

Sebagaimana telah tampak bahwa kegersangan spiritual semakin


meluas hal itu terdapat pada masyarakat modern, maka pengalaman
keagamaan semakin didambakan orang untuk mendapatkan manisnya
spiritualitas (the taste of spirituality).7 The taste of spirituality, bukanlah
diskursus pemikiran, melainkan ia merupakan diskursus rasa dan pengalaman
yang erat kaitannya dengan makna hidup.8

Dalam khazanah Islam, pengalaman keagamaan tertinggi yang pernah


berhasil dicapai oleh manusia adalah peristiwa “mi’raj” Nabi Muhammad
SAW., sehingga peristiwa ini menjadi inspirasi yang selalu dirindukan hampir
semua orang, bahkan apapun agamanya.

7
Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik ; Pengalaman Keagamaan Jama’ah
Maulid al-Diba’ Giri Kusuma, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Bekerja Sama dengan Walisongo
Press, Semarang, 2003, hlm. 17
8
ibid.,
19

Di sinilah muncul salah satu alasan bahwa pengalaman spiritualitas


sangat didambakan oleh manusia dengan berbagai macam dan bentuknya. Dan
untuk menggapai pengalaman-pengalaman spiritualits itu, maka diperlukan
upacara-upacara khusus guna mencapainya. Sebab dari pengalaman
keagamaan itu, umumnya muncul hati yang mencintai yang ditandai dengan
kelembutan dan kepekaan.9 Sehingga sifat cinta itu akan melahirkan “kasih”
kepada sesama makhluk tanpa membedakan ras serta keberagamaan yang
berbeda.

Secara substansi (esoterisme) agama-agama pada hakekatnya sama dan


satu. Perbendaannya terletak pada aplikasi dari esoterisme yang kemudian
memunculkan “eksoterisme” agama. Pada aspek eksoterik inilah muncul
pluralitas agama. Di mana setiap agama memiliki tujuan yang sama dan
objektif yaitu untuk mencapai kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Antropologi spiritual Islam memperhitungkan empat aspek dalam diri


manusia, yaitu meliputi ;
1. Upaya dan perjuangan “psiko-spiritual” demi pengenalan diri dan disiplin.
2. Kebutuhan universal manusia akan bimbingan dalam berbagai bentuknya.
3. Hubungan individu dengan Tuhan, dan
4. Dimensi sosial individu manusia.

Jika dalam agama Budha, hidup adalah untuk menderita, namun dalam
pandangan Islam hidup adalah sebagai perjuangan, bekerja keras untuk
terlibat jihad setiap saat dan dalam berbagai tingkat.

Model analisis klasik tentang jiwa manusia meletakkan ‘hati’ manusia


sebagai pusat perjuangan, yakni tarik menarik yang ketat antara “spirit”
(kebaikan) dan “ego” (kejahatan).10

Kebutuhan manusia akan Tuhan-nya merupakan fitrah yang tidak bisa


dinisbatkan manusia. Jika manusia menisbatkan fitrahnya itu berarti manusia

9
ibid., hlm. 23
10
M.W. Shafwan, Wacana Spiritual Timur dan Barat, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2000,
hlm. 7
20

tersebut telah memarjinalkan potensi beragamanya atau spiritualnya. Seperti


halnya firman Allah SWT dalam surat ar-Ruum ayat 30 ;

ÝóÇóÞöãú æóÌúåóßó áöáÏøöíúäö ÍóäöíúÝðÇ


ÝöØúÑóÊó Çááåö ÇáøóÊöíú ÝóØóÑó
ÇáäøóÇÓó ÚóáóíúåóÇ áÇóÊóÈúÏöíúáó
áöÎóáúÞö Çááåö Ðóáößó ÇáÏøöíúäõ
ÇáúÞóíøöãõ æóáóßöäøó ÇóßúËóÑó ÇáäóÇÓö
áÇóíóÚúáóãõæúäó. (ÇóáÑøõæúã : ٣٠)
Artinya : “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah
SWT)., (tetaplah atas) fitrah Allah SWT., yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah
SWT., itulah agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya”.11 (Q.S. ar-Ruum : 30)
Jiwa atau ruh – dalam istilah kesufian – “tidak diciptakan” dalam
hakikat yang abadi, tapi ia diciptakan karena ia adalah kesatuan alam pertama.
Ruh dapat diibaratkan “pena agung” (al-qolam al-a’la) yang dengannya,
Tuhan menggoreskan nasib setiap makhluk-Nya di atas “lembaran
terpelihara” (al-lauh al-mahfudh). “Pena” itu sendiri sesuai keadaannya
dengan ruh universal (an-nafs al-ruhiyah).12

11
Yayasan Penyelenggara Penterjemah, al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama
RI, Jakarta, 1983, hlm. 645
12
Ruh individu dipengaruhi oleh tubuh ; sedangkan ruh universal mutlak tanpa bentuk.
Dalam masalah lain, perbandingan jiwa dengan ruh adalah seperti substansi dengan esensi atau
sebagai esensi yang “formatif”. Demikianlah individu-individu dibedakan oleh kebajikan ruh,
karena pada hakekatnya bersatu di dalamnya, dan secara substansial bersatu dengan ruh universal.
Sedangkan individu-individu berbeda berdasarkan kebajikan bentuk-bentuk mereka yang
merupakan dukungan “kenyal” terdapat apa yang terdapat apa yang tepatnya disebut jiwa
universal atau jiwa keseluruhan. Sejauh ruh – dalam pengertian tertentu – terpilih-pilih dalam
hubungannya dengan setiap wujud tertentu, maka kita dapat berbicara tentang banyaknya “ruh-
ruh”. Ketunggalan hakikat “ruh” sekali-kali tidak berarti, bahwa ruh manusia dengan pasti bersatu
kembali dengan ruh Tuhan setelah kematian tubuh. Karena jiwa yang mengakibatkan terjadinya
21

Namun ada yang mengistilahkan bahwa, jiwa atau ruh merupakan


hakikat pada diri manusia yang abadi, yang perenial, dan tidak akan berubah
sepanjang masa, yaitu fitrahnya, yang membuat selamanya merindukan
kebenaran, dengan puncaknya ialah kerinduan kepada Tuhan. Seperti yang
telah digambarkan dalam al-Qur'an surat al-Fajr ayat 27-30 ;

íóÇóíøóÊõåóÇÇáäøóÝúÓõ
ÇáúãõØúãóÆöäøóÉõ ÇöÑúÌöÚöí Çöáìó
ÑóÈøößö ÑóÇÖöíóÉð ãøóÑúÖöíøóÉð
ÝóÇÏúÎõáöí Ýöí ÚöÈóÇÏöí æóÇÏúÎõáöí
ÌóäøóÊöí (ÇáÝÌÑ : ٢٧–٣٠)
Artinya : “Hai jiwa yang tenang ! kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhai-Nya. Kemudian, masuklah ke dalam
kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”.13
Oleh karena itu, pengalaman keagamaan, dalam arti merasakan
kenikmatan religiusitas sangat didambakan oleh setiap pemeluk agama. Ini
terjadi karena pengalaman keagamaan terkait erat dengan pemenuhan
kebutuhan (puncak) kehidupan manusia.14

Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang bersifat universal, yaitu


yang merupakan kebutuhan kodrati setelah kebutuhan-kebutuhan fisik
terpenuhi, yakni kebutuhan cinta dan mencintai Tuhan, dan kemudian
melahirkan kesediaan pengabdian kepada Tuhan. Hal ini yang kemudian
disinyalir sebagai jiwa keagamaan atau kejiwaan agama.

Para peneliti saling berbeda pendapat tentang darimana sumber jiwa


keagamaan yang menimbulkan keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan

individualisasi ruh, sedangkan jiwa itu sendiri bersifat tidak abadi. Titus Burckhardt, op.cit., hlm.
94
13
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 1059
14
Ahmad Anas, op.cit., hlm. 43
22

tersebut. Namun secara umum terdapat tiga teori psikologi agama yang
mencoba untuk memberikan jawaban atas persoalan di atas. Diantaranya teori
monistik, teori faculti, beberapa pemuka teori fakulti.

1. Teori Monistik (mono = satu)

Teori ini berpendapat bahwa hanya terdapat satu sumber kejiwaan


(sumber tunggal) dalam keagamaan. Dari teori ini disebutkan sumber
kejiwaan agama adalah sebagai hasil proses berfikir oleh Thomas Van
Aquino dan Fredrick Hegel, rasa ketergantungan kepada yang mutlak
(sense of depend) oleh Fredrick Schleimaceher, perasaan kagum yang
berasal dari “yang sama sekali lain” (the wholly other) Rudolf Otto yang
kemudian diistilahkan numinous. Proses libido sexuil atas proses odepus
complex dan father image oleh Sigmund Freud, dan karena sekumpulan
instink pada diri manusia oleh William Mac Dougall. Namun pandangan
William ini dipandang lemah oleh para psikolog.15

2. Teori Faculti (faculty theory)

Teori ini yang memandang bahwa sumber kejiwaan agama bukan


bersifat tunggal, namun terdiri dari berbagai fungsi. Menurut teori ini
sumber jiwa keagamaan berasal dari cipta (reason), rasa (emotion), dan
karsa (will). Dari teori dasar ini, para psikologi aliran ini menyebutkan
bahwa sumber kejiwaan keagamaan adalah adanya konflik pada diri
manusia yang diperlopori G. M. Straton, sebagai akibat gabungan dari
enam kebutuhan pokok, yaitu rasa kasih sayang, rasa aman, harga diri,
bebas, sukses, ingin tahu, dalam hal ini untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan itulah manusia memerlukan agama menurut Zakiyah
Daradjat.16

3. Teori the Four Whises

15
Drs. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, Raja Gravindo Persada, Jakarta,
2004, hlm. 54-56
16
ibid., hlm. 59-62
23

Melalui teori ini W. H. Thomas mengemukakan bahwa sumber kejiwaan


agama adalah karena adanya empat macam keinginan dasar dalam diri
manusia, yaitu ; keselamatan (security), mendapat penghargaan
(recognition), untuk ditanggapi (response), dan keinginan akan
pengetahuan atau pengalaman baru (new experience).

Dari ketiga teori mengenai sumber jiwa keberagamaan di atas pada


kenyataannya, antara satu sumber dengan sumber yang lain, kadang saling
terkait, kadang juga saling berbeda antara satu orang dengan orang lain. Jadi
tidak bisa dipastikan sumber mana yang paling kuat dan dominan. Tapi
terdapat pengaruh antar sumber jiwa keagamaan dengan sikap beragama yang
ditempuh, dan juga akan menghasilkan pengalaman yang berbeda, akan
memunculkan kembali sikap-sikap yang berbeda pula.

B. Sejarah dan Spiritualitas Islam

1. Sejarah Islam

Sebelum kita mengorek lebih jauh tentang sejarah dan


perkembangan spiritualitas Islam, kita akan sejenak untuk membawa diri
kita ke dunia Arab pada permulaan abad ke-7 M. di sana, kita dapati
sebuah komunitas suku-suku Arab yang saling bercerai berai, bahkan
selama berabad-abad mereka terkungkung oleh tradisi peperangan,
penyembahan patung-patung serta nilai-nilai kesukuan lain yang sangat
“kumuh”. Sekalipun penduduk Arab kala itu banyak melakukan transaksi
perdagangan dengan luar (Arab), mereka sedikit sekali terpengaruh dan
terwarnai oleh budaya-budaya asing.

Dapat dilihat bahwa kala itu kita menemukan komunitas Arab


sebagai masyarakat yang gigih memegang pola hidup tradisional mereka
dari satu abad ke abad dengan perubahan (perkembangan) yang sangat
lamban.

Kemudian ada sebuah fenomena atau keajaiban yang sangat luar


biasa di tengah-tengah mereka, yakni cahaya kenabian. Cahaya itu mula-
24

mula mengidentifikasi secara jelas dan menghancurkan inhumanitas dan


ketidakadilan dalam masyarakat. Sosok keajaiban pembawa cahaya
tersebut tidak lain adalah Nabi Muhammad saw., selama dua puluh tiga
tahun Muhammad saw., memperjuangkan kebenaran abadi, bahwa
manusia dilahirkan dalam penyerahan diri kepada realitas,17 maksudnya
kembali ke sumbernya, yakni “Khaliq”. Sekalipun pada dasarnya manusia
adalah bebas, namun tetap “dipaksa” dan dibatasi oleh hukum-hukum
sebelah luar yang “menguasai” eksistensi.

Kesadaran kenabian Muhammad saw., yang muncul dalam


missinya, adalah berdasar pada pengalaman-pengalaman mistik yang
sangat pasti, jelas lagi kuat, yang dilukiskan atau disinggung secara
singkat dalam al-Qur'an ;

ÓõÈúÍäó ÇáøóÐöí ÇóÓúÑìÈöÚóÈúÏöåö áóíúáÇðãøöäó


ÇáúãóÓúÌöÏöÇáúÍóÑóÇãö ÇöáìóÇáúãóÓúÌöÏö ÇáÇóÞúÕóÇ ÇáøóÐöí
ÈÑóßúäóÇ Íóæúáóåõ áöäõÑöíóåõ ãöäú ÇíÊöäóÇ Çöäøóåõ
åõæóÇÓøóãöíúÚõ ÇáÈóÕöíúÑõ (ÇáÇöÓúÑóÇúÁö : ١)

Artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambanya pada


suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha
yang telah kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”.18 (Q.S. al-Isra’ : 1).
Deskripsi di atas merupakan hasil pengalaman menarik ketika
Muhammad saw., dalam periode Makkah. Dalam periode Madinah kita
melihat pengungkapan yang progresif dari cita “religio-moral” dan
pendasaran tata kemasyarakatan dari komunitas muslim yang baru
terbentuk itu ; tetapi kita hampir-hampir tak menemukan alusi-alusi
apapun dalam al-Qur'an tentang pengalaman-pengalaman batin19/spiritual.

17
Syaikh Fadhalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, Terj ; Ibnu Burdah dan Shohifullah,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 101
18
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 424
19
Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 2000, cet. IV, hlm. 183
25

Nabi Muhammad saw., hadir untuk menjelaskan secara rinci


tentang kebenaran abadi kepada masyarakat yang tengah diliputi gelapnya
“kebodohan” (jahiliyah) yang pekat selama berabad-abad. Setelah
berupaya keras selama bertahun-tahun, Nabi Muhammad saw., hanya
memperoleh pengikut yang sangat sedikit, yang sebagian besar dari
mereka diperlukan secara kejam oleh masyarakatnya dan terpaksa
“melarikan diri” ke Ethiopia guna mencari proteksi dari seorang penguasa
Kristen yang bernama Negus (Najazi). Setelah peristiwa terjadinya Hijrah
Nabi Muhammad saw., dari Makkah ke Madinah pada tahun 662 M.
Tahun ini yang merupakan titik balik dalam keberuntungan kaum muslim.
Dan Tahun ini juga dipandang sebagai awal era Islami.20 Dari Hijrahnya
Nabi Muhammad saw., tidak sia-sia, karena pada kala itu Nabi diterima
dengan senang hati dan gembira dari pada orang-orang Yatsrib.

Disinilah Nabi Muhammad saw., mulai membangun komunitas


masyarakat baru, yang terdiri dari berbagai golongan yang sangat beragam
di tanah Arab, terutama yang berasal dari Makkah. Kiblat masyarakat ini
dalam beribadah adalah “Ka’bah”. Akan tetapi kiblat hidup masyarakat
tersebut dalam hidup keseharian adalah sosok Nabi itu sendiri. Mereka
mengikuti sosok tersebut, ajarannya maupun berbagai penjelasan yang
beliau kemukakan mengenai perintah-perintah al-Qur'an, yang telah
diwahyukan kepadanya, yang mengarah pada orientasi sebelah dalam
(esoterisme), yakni kepada sang pencipta. Mereka menyembah Allah
SWT., dan mengikuti Nabi yang hidup dalam makrifat dan cinta Allah
SWT.

Nabi Muhammad adalah sosok manusia yang patut di jadikan


teladan, karena dia dinyatakan manusia yang mempunyai akhlak mulia.21
Tidak menutup kemungkinan, bahwa prilaku Nabi selalu menjadi teladan

20
Neal Robinson, Ph.D, Pengantar Islam Komprehensif, terj : Anam Sutopo, dkk., Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hlm. 28
21
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2000, hlm. 20
26

dan pelajaran bagi umatnya dulu, kini, dan yang akan datang, baik dalam
bidang agama, politik, dan sosial budaya.

Muhammad berbicara kebenaran abadi, sama dengan yang


dibicarakan oleh ribuan utusan langit yang datang sebelumnya. Ia
berbicara kebenaran dengan bahasa kontemporer pada zamannya, yakni
sebuah bahasa yang telah mencapai prestasi kultural paling mengesankan,
dan barangkali itu juga merupakan kado bagi masyarakat Arab. Yang
jelas, bangsa Arab tidak memiliki warisan artistik yang lebih
membanggakan daripada bahasa.

Pada kehidupan sepuluh tahun terakhir dari hidup Nabi


Muhammad saw., lebih-lebih tiga tahun terakhir, berbagai perubahan
terjadi secara sangat cepat. Selama periode ini, ribuan orang suku Badui
yang memiliki kecondongan kepada mereka yang memiliki kekuasaan,
memandang Islam semakin mendominasi wilayah mereka. Baru semangat-
semangatnya para pemeluk Islam itu mengikuti jejak Nabi, akhirnya beliau
wafat pada tahun 632 M, komunitas muslim yang dapat dikatakan berusia
sangat belia ini menderita shock berat. Dari pada wafatnya Nabi
Muhammad saw., ini menimbulkan kejadian yang mengkhawatirkan umat
Islam khususnya di suku Badui yang baru saja mendapatkan pencerahan
dari sosok Nabi yang membawa misi Islam tersebut.

Akhirnya terjadilah transisi kepemimpinan umat Islam yaitu


dengan mencari sosok pemimpin yang dianggap dapat menggantikan
posisi Nabi seperti pada waktu sebelumnya. Dalam suasana yang sangat
terkesan terburu-buru dan menegangkan ini masyarakat Islam akhirnya
mengadakan pemilihan mendadak. Kemudian melalui pemilihan ini
diantara empat22 sahabat yang sama-sama memiliki kekuatan nilai
kepemimpinan yang kuat diantaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali
– yang kerapkali dijuluki sebagai khulafa ar-rasyidin – dan akhirnya dari
pemilihan tersebut umat Islam melahirkan satu sosok pemimpin yang

22
Neal Robinson, Ph.D, op.cit., hlm. 33
27

pantas untuk memimpin umat Islam di masa selanjutnya, waktu itu Abu
Bakar (632-634) yang terpilih dari empat calon tersebut.

Namun dari segolongan umat Islam ada juga yang tidak sepakat
atas terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin mereka. Bagaimanapun,
ketidaksepakatan terhadap terpilihnya Abu Bakar muncul, apakah karena
alasan Nabi Muhammad saw., secara khusus telah menunjuk imam Ali
sebagai pengganti beliau atau pun karena Nabi secara tidak langsung telah
menyebut diri Ali sebagai sahabat teragung dalam pengetahuan maupun
kesalehan.

Kepemimpinan Abu Bakar berlangsung hanya selama dua tahun.


Namun dari kepemimpinan Abu Bakar ini tidak semulus apa yang pernah
dirasakan pada waktu kepemimpinan Nabi Muhammad saw., akhirnya
pro-kontra terjadi diantara mereka (suku-suku Arab), sehingga sebagian
besar masa tersebut dihabiskan dalam pertikaian internal yang
menegangkan. Satu periode kepemimpinan yang banyak dihiasi dengan
perselisihan internal menjadikan Islam terpecah belah dan membentuk
kubu sendiri-sendiri.

Sudah menjadi watak orang Arab bahwa mereka tidak suka


“dipaksa” untuk hidup dalam satu jalan, karena jiwa mereka sangat bebas
dan tak mudah dikekang. Salah satu fakta dari “pemaksaan” pada masa
kepemimpinan Abu Bakar menurut mereka, adalah kewajiban membayar
zakat kepada yang lain. Dimana Abu Bakar akan memaksa orang-orang
yang menolak untuk membayarnya ditafsirkan oleh sementara mereka
sebagai satu hal yang tak dapat mereka terima.

Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa khalifah Abu


Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah SAW, bersifat sentral
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah.23
Oleh karena itulah, sebagian besar suku-suku Arab yang belum lama

23
Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam ; Dirasah Islamiyah II, raja grafindo
persada, Jakarta, 2001, hlm. 36
28

memeluk Islam tiba-tiba menemui kenyataan bahwa mereka diharuskan


membayar sesuatu secara penuh. Inilah salah satu sebab perselisihan
dalam umat Islam yang kemudian secara sangat cepat meluas ke
masyarakat muslim yang lain.

Cerminan dari pembayaran zakat dalam pemerintahan Abu Bakar


merupakan kepedulian dalam bermasyarakat. Karena dengan
mengeluarkan zakad maksudnya sebagai pembersihan jiwa, kemurnian
hati, belajar hidup ikhlas24 dan lain sebagainya.

Dari sikap tegasnya kepemimpinan Abu Bakar tersebut disambut


pula oleh golongan tebesar kaum muslimin. Dengan sikap bijaksananya,
beliau memberikan peringatan kepada para pembangkang agar kembali
kepada ajaran kebenaran yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.25

Kemudian pada tahun 634 M, Abu Bakar wafat, tapi sebelum Abu
Bakar wafat ia sudah menunjuk Umar (634-644) untuk menggantikannya.
Karena Umar adalah sosok sahabat Nabi yang ikut berhijrah dari Makkah
ke Madinah, maka Abu Bakar sangat yakin kepada Umar untuk dapat
memimpin masyarakat Islam setelah ia wafat.

Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar tersebut, orang-oang


muslim menaklukkan sebagian besar kerajaan Mesir, Persia, maupun
Byzantium, termasuk Yerussalem. Dua pertempuran kunci adalah
kekalahan Byzantium di Yarmuk pada tahun 634 dan Persia di Qadisiyah
pada tahun 637.26 Bahkan kunci Yerussallem diserahkan sendiri oleh
seorang Kristiani kepada Umar bin Khattab. Umar adalah sosok yang patut
diteladani dalam kesederhanaan dan sifat kekhasan pada dirinya,27 serta

24
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., Menggugat Tasawuf ; Sufisme dan Tanggung
Jawab Sosial Abad 21, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 31
25
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2000, hlm. 33
26
Neal Robinson, op.cit., hlm. 34
27
Ahmad Musyafiq, M.Ag., Reformasi Tasawuf al-Syafi’i, Admaja, Jakarta, 2003, hlm.
33
29

hidup sangat bersahaja. Pada akhirnya, Umar ditikam oleh seorang budak
Persia ketika tengah menunaikan shalat di masjid pada tahun 644 M,
hingga beliau wafat.

Pemimpin umat Islam berikutnya adalah Utsman 644-656. Beliau


dipilih dari salah satu diantara enam orang yang ditunjuk28 Umar guna
memimpin pemerintahan yang akan menggantikan posisinya. Beliau
adalah keturunan dari Bani Umayyah, dimana sebagian anggotanya dahulu
adalah orang-orang yang memusuhi Nabi saw., kebanyakan warga Bani
Umayyah memeluk Islam setalah Makkah ditaklukkan oleh Nabi dan para
pengikutnya. Sebuah situasi yang tidak menyisakan pilihan bagi mereka
selain memeluk agama Islam. Mereka menerima Islam secara enggan, dan
bahkan secara luas di masa lalu. Beliau membiarkan banyak anggota Bani
tersebut menjalani pola hidup sebagaimana yang mereka sukai. Beliau
banyak sekali mengangkat orang-orang Bani Umayyah sebagai
Gubernur,29 di daerah-daerah yang baru ditaklukkan. Karena itulah, sering
muncul tudingan nepotisme dialamatkan kepada beliau.

Dengan pola hidup yang bebas –menjalani pola hidup sebagaimana


yang disukai oleh umat Islam– nampaknya Islam mengalami kemunduran
dalam kepemimpinan. Karena kepemimpinan kala itu lebih dekat kepada
ketamakan ketimbang melanjutkan pola kepemimpinan Islam yang
ditandai dengan keilmuan dan kesalehan.

Selama dua belas tahun kepemimpinan Utsman,30 akhirnya banyak


umat Islam yang terbalik kepada cara hidup Jahiliyah, tahayul serta nilai-
nilai kesukuan. Kala itu lahirlah era yang disebut “kebobrokan di balik
topeng kemewahan”. Banyak istana-istana megah didirikan dan
masyarakat mulai bersaing satu sama lain dalam hal kemegahan bangunan.

28
Neal Robinson, loc.cit.,
29
Ibid., hlm. 35
30
Dr. Badri Yatim, op.cit., hlm. 38
30

Dari pola kehidupan bebas itulah yang menyebabkan ketidakpuasan,31


meluas sehingga mengarah pada pembunuhan atas dirinya.32

Setelah terbunuhnya Utsman pada tahun 656 M, ketika beliau


tengah membaca al-Qur'an. Kemudian masyarakat secara luas berarmai-
ramai membaiat Ali bin Abi Thalib33 sebagai pemimpin umat Islam
berikutnya. Periode pemerintahan beliau belangsung kurang lebih selama
enam tahun34 dengan diwarnai berbagai perang dan pertikaian internal.
Pada masa itu, banyak orang mengklaim diri mereka sebagai muslim,
tetapi mereka tidak mengetahui dan “mereguk” jalan hidup Muhammad
dengan baik. Banyak dijumpai umat Islam kala itu bersumpah dengan al-
Qur'an namun mereka melawan pesan-pesan al-Qur'an. Pada tahun 656 M
inilah, terjadi sumpah palsu massa untuk pertama kalinya.

Peristiwa sumpah palsu ini pun terjadi lagi pada masa perang
Shiffin tahun 675, Setelah Imam Ali gugur syahid pada tahun 661 M,
lantaran ditikam ketika besujud dalam shalat, maka putra lelakinya Imam
Hasan yang paling layak memegang posisi sebagai pemimpin umat Islam
berikutnya. Namun demikian, muawiyah, gubernur Syria,35 tidak tinggal
diam untuk menarik tuntutannya Hasan sebagai khalifah. Beliu sebenarnya
mengetahui kelemahan orang-orang tesebut, namun ia tidak ingin terjadi
pertikaian diantara mereka. Bahkan beliau juga menyadari benar
kecerdikan dan sikap khianat Muawiyah. Beliau hanya ingin agar darah
umat Islam tidak tumpah lagi secara sia-sia. Karena itu, beliau menerima
gencatan senjata yang ditawarkan pihak Muawiyah, dengan jalan beliau
mengorbankan hak klaimnya sebagai pemimpin umat Islam, tanpa
melepaskan status spiritualnya yang istimewa. Sikap “menerima” gencatan

31
Ibid.,
32
Neal Robinson, loc.cit.
33
Dr. Badri Yatim, loc.cit. hlm. 39
34
Ibid.
35
Neal Robinson, op.cit. hlm. 35
31

senjata ini bukan berarti hilangnya status spiritual yang sejati, bahkan
berarti sebaliknya. Sejak itulah, tidak mungkin menerjemahkan kebesaran
hatinya dalam statemen-statemen lahiriyah kecuali dengan perang antar
saudara muslim, sebuah alternatif untuk menerima tidaknya gencatan
senjata yang disana antara lain ditetapkan bahwa, setelah Muawiyah
lengser, saudara Hasan, yakni Imam Husain, akan memimpin umat Islam
berikutnya.

Namun demikian, Muawiyah secara licik mengkhianati seluruh


poin gencatan senjata setelah membunuh Imam Hasan pada tahun 661 M
dan mengangkat anak laki-lakinya Yazid sebagai gantinya. Dari pergantian
tersebut bararti terbentuk dinasti baru.36 Oleh karena itu, Imam Husain
bangkit melawan Muawiyah dan Yazid.

Imam Husain suatu ketika diundang oleh penduduk Kufah di Irak


untuk bersama-sama mereka dan dijanjikan kepadanya dukungan yang
besar untuk melawan Muawiyah. Masyarakat Kufah dapat dikatakan
sebagai komunitas baru dengan kadar interest yang lebih kecil
dibandingkan dengan masyarakat Makkah dan Madinah. Mengingat pada
masa itu, Makkah menjadi pusat penting bagi produksi minuman anggur,
musik atau gadis-gadis penari yang kesemuanya merupakan “menu
harian” yang trend pada masa itu. Bahkan Kufah, kota baru dengan
komunitas muslimnya yang relatif baru juga, sebagian penduduknya juga
terpengaruh kembali ke jalan hidup pra Islam. Sekalipun situasinya
demikian, beribu-ribu orang Kufah yang memiliki fisik kuat menyuarakan
dukungan mereka kepada Imam Husain dan menghendaki beliau
memimpin mereka. Karena itulah, Imam Husain pergi ke Kufah untuk
melanjutkan kepemimpinannya, baik secara “spiritual” maupun
pemerintahan.

Ketika sampai di tengah jalan menuju kota Kufah, Imam Husain


menerima berita bahwa utusannya dibunuh oleh para tentara Yazid.

36
Ibid., 36
32

Namun demikian, tetap tak ada pilihan lain baginya kecuali meneruskan
perjalanannya ke kota Kufah. Pasukan Yazid akhirnya menghadang beliu
dan memaksanya mengakui bahwa kepemimpinan Yazid –seorang
pemabok yang terang-terangan mencemooh syari’at Islam– adalah syah.37
Namun Imam Husain tidak gentar dengan mendengarkan pengakuan
Yazid bahwa ia sebagai pemimpin yang syah. Akhirnya Imam Husain
tidak ada pilihan lain, selain perang melawan pengkhianatan tersebut.
Akhirnya pada tahun 661 terjadilah perang “Karbala”.38

Tragedi perang Karbala ini merupakan titik yang sangat penting


dalam sejara Islam. karena ia menjadi peringatan penting bagi orang Islam
yang meninggalkan syari’at ajaran agamanya kemudian untuk merenungi
ketidak beradaban itu agar kembali kepada ajaran Islam. Akhirnya jalan
Islam kembali bangkit lantaran gugurnya Imam Husain. Sejak itu pulalah,
banyak orang tersadarkan akan perlunya mengikuti “pemimpin spiritual”,
bukan menghamba kepada “pemimpin duniawi” yang seringkali
merupakan raja-raja yang tamak, tetapi menghamba kepada kedaulatan
Allah SWT di muka bumi ini dengan menapaki jejak ajaran dari Nabi
Muhammad saw.

Dari peristiwa Karbala ini pula yang mengingatkan kepada siapa


saja yang terpilih sebagai pemimpin temporal, bahwa ia juga harus
memenuhi kualitas “spiritual” yang mantap. Dia harus seorang yang paling
dalam kesadaran hatinya, kesalehan, kesederhanaan serta dapat diterima
masyarakat agar dia memuliakan rakyatnya, bukan pemimpin yang justru
menakut-nakuti rakyatnya dan hidup dalam gelimang kemewahan dan
kekayaan.

37
Dr. Badri Yatim, loc.cit. hlm. 45
38
Dalam perang Karbala, sekitar tujuh puluh dua anggota keluarga beliau mati syahid,
termasuk bayi dan anak-anak karena haus ataupun terkena senjata musuh. Akhirnya, Imam Husain
juga mati syahid dengan kepala beliau terpotong oleh bala tentara Yazid. Sementara itu, wanita
dan anggota keluarga beliau yang masih hidup digiring dengan tangan terantai dan dipaksa
menempuh perjalanan yang jauh melewati gurun pasir dengan panas yang sangat membakar untuk
dibawa ke kota Damaskus, tempat istana Yazid.
33

2. Spiritualitas Islam

Dari sedikit deskripsi sejarah Islam di atas menjelaskan bahwa,


secara tidak langsung spiritualitas Islam muncul sejak pada abad ke-7 M
diawali dari pencerahan Nabi Muhammad saw kepada seluruh
pengikutnya. Beliau memberikan pencerahan itu mengenai nilai-nilai
moral dan spiritual yang telah diperoleh dari Allah SWT.

Apa yang telah ditanamkan oleh Nabi saw kepada para


pengikutnya yang awal, dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda, adalah
perasaan yang mendalam pada pertanggungjawaban di hadapan pengadilan
Tuhan, yang mengangkat perilaku mereka dari alam duniawi dan
kepatuhan yang mekanis kepada hukum, kepada alam kegiatan moral.39

Nilai-nilai moral dan spiritual yang telah diajarkan Nabi ternyata


dapat memberikan perubahan bagi umat manusia – khususnya Islam –
dalam mencapai derajat tertinggi (kehidupan hakiki). Pengalaman-
Pengalaman spiritual tersebut dapat memberikan posisi kehidupan yang
lebih baik dan dapat dirasakan dan dinikmati kalayak muslim (Islam).

Akhirnya apa yang telah dibawa Nabi saw itu dijadikan sebagai
“sendi” dalam Islam guna mencapai kedekatan diri kepada Allah SWT.
Lima sendi itu yang sering kita kenal dengan sebutan “Rukun Islam” dan
kelima hal itu tetap berguna selama seseorang ingat bahwa dasar-dasar
tersebut merupakan bagian kepercayaan dan bukan hanya suatu ibadah
singkat yang diangkat.40 Lima sendi rukun Islam tersebut adalah ;
Pertama, Percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad
adalah utusan Allah SWT ; Kedua, Shalat wajib lima kali dalam sehari
semalam ; Ketiga, Membayar Zakat kepada yang berhak menerimanya ;
Keempat, Puasa dari matahari terbit hingga terbenam selama tiga puluh

39
Fazlur Rahman, op.cit., hlm. 184
40
M.W. Shafwan, op.cit., hlm. 5
34

hari pada bulan kesembilan, “Ramadhan” ;, dan Kelima, Ibadah Haji ke


Makkah sekali seumur hidup jika mampu secara materi dan sehat jasmani.

Dari lima sendi itulah yang akan membawa manusia pada tingkatan
tertinggi dari agama Islam ketika manusia itu mau melaksanakan dan
mencari titik temu dalam segi keagamaan. Karena dalam ajaran Islam
tingkatan teritinggi terletak pada tingkat kesalehan manusia. Dimana kunci
dari kesalehan ini adalah “takut kepada Tuhan” atau tanggung jawab
kepada cita moral,41 atau yang sering disebut dengan istilah “taqwa”.

Konsep al-Qur'an tentang berserah diri kepada Tuhan (taqwa),


sebagaimana telah ditekankan oleh paham kesalehan dalam arti etisnya,
berkembang dalam kelompok-kelompok tertentu menjadi suatu doktrin
ekstrim tentang pengingkaran dunia.42

Maka dalam perilaku atau motivasi dari seseorang harus


berlandaskan kesucian. Begitupun dalam semua aktifitas kegiatan
manusia, hendaklah harus memiliki kesadaran akan pengawasan Tuhan.

Taqwa merupakan salah satu kata yang paling tinggi nilainya, yang
memiliki arti kurang lebih ‘kemuliaan’ dan ‘kedermawanan’. Hingga pada
akhirnya yang akan membawa manusia pada tingkat esoterisme atau yang
tidak lain disebut dengan tingkat “spiritualitas”.

Spiritualitas Islam itu senantiasa identik dengan upaya


menyaksikan yang satu, mengungkap yang satu, dan mengenali yang satu,
sang tunggal itu yang ditegaskan dalam al-Qur'an adalah dengan nama
“Allah SWT”.43 Oleh karena itu, seseorang ketika ingin mencapai
tingkatan spiritualitas harus membersihkan hijab-hijab yang telah
menghalangi penyatuan diri manusia dengan Tuhannya.

41
Fazlur Rahman, op.cit., hlm. 184
42
Ibid., hlm. 186
43
Sulaiman al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari HAMKA ke Aa Gym, Pustaka Nuun,
Semarang, 2004, hlm. 4
35

Dalam bahasa tasawuf untuk mencapai tingkat spiritual ada tiga


tahapan yang perlu diperhatikan, yakni ; Petama, mengosongkan dan
membersihkan diri dari sifat-sifat keduniawiaan yang tercela (takhalli).44
Kedua, upaya mengisi atau menghasi dengan jalan membiasakan diri
dengan sikap, prilaku, dan akhlak terpuji (tahalli).45 Ketiga, lenyapnya
sifat-sifat kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan
(tajalli).46

Dalam tradisi tasawuf, banyak sekali teori yang menyebut karakter-


karakter keluhuran yang seharusnya dimiliki oleh manusia. Karakter-
karakter tersebut terukir dalam konsep-konsep sufistik seperti, Tahapan-
tahapan (maqam) dan kondisi kejiwaan (ahwal), yang akan penulis coba
uraikan pada bab selanjutnya.

C. Tahap-tahap Perjalanan Spiritualitas

1. Tentang Perjalanan Spiritualitas

Beberapa banyaknya orang yang kaya harta, tetapi mukanya


muram, dan beberapa banyaknya orang yang miskin uang, tetapi wajahnya
berseri. Sekedar kekuatan dan usaha diri, begitu pulalah tingkatan
kesucian yang akan ditempuh jiwanya.

Hidup kita adalah pertempuran dan perjuangan belaka. Asal


bernama manusia, tidak akan sunyi dari kelemahan dan kesalahan.
Mencari kebahagiaan bukanlah dari luar diri, tetapi dari dalam.
Kebahagiaan yang datang dari luar, kerapkali hampa, palsu.47 Artinya
ketika orang dihujani rahmat maka ia gembira, lupa bahwa hidup ini

44
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi ; Telaah Pemikiran
Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Atas Kerjasama Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002, hlm. 9
45
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtqar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, cv.
Pustaka setia, Bandung, 2000, 56
46
Hasyim Muhammad, loc.cit.
47
Prof. Dr. Hamka, Tasauf Moderen, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990, hlm. 146
36

berputar-putar. Sangat kecewa jika ditimpa bahaya, sehingga lupa bahwa


kesenangan terletak di antara dua kesusahan, dan kesusahan terletak di
antara dua kesenangan. Atau dalam senang itu telah tersimpan kesusahan,
dan dalam kesusahan telah ada unsur kesenangan.

Manusia materialis akan melewatkan kehidupannya dalam lembah


gelap materialisme. Mereka terjerumus ke dalam lautan berbagai hasrat
dan keinginan jahat dan senantiasa diombang-ambingkan jabatan,
kekayaan, istri, dan anak-anaknya. Mereka menangis dan menjerit minta
tolong. Tetapi yang demikian itu sia-sia saja, dan akhirnya tidak
mendapatkan apa-apa kecuali kekecewaan yang akan ia alami.

Karena terperangkap oleh rasa putus asa dan tak bermakna, tidak
mengherankan bahwa begitu banyak orang di zaman sekarang yang
diliputi kerinduan untuk mencari kembali pemahaman diri yang lebih
mendalam.48

Kadang-kadang, dalam lautan ini, hembusan angin yang


menghidupkan qalbu (dorongan Ilahi) membelai-membelainya serta
menyulut harapan dalam dirinya bahwa dia bisa menyelami serta tiba di
pantai dengan selamat. Namun angin ini tidak menghembus secara teratur
dan hanya kadang-kadang saja. “Mulai saat ini mari kita melakukan
rutinitas untuk menghirup nafas yang menyenangkan dari Tuhan Yang
Maha Esa. Manfaatkanlah semua itu, dan jangan berpaling darinya
sehingga kita akan mencapai cita-cita hidup damai dan ceria.

Pikiran-pikiran yang mengejawantah pada kebutuhan dunia


ataupun materialistis akan dapat memperhambat manusia untuk
mendekatkan diri kepada Tuhannya. Karena pada dasarnya manusia
diciptakan menurut gambar Tuhan, namun sebagai binatang, disatu sisi ia
merupakan pancaran dunia spiritual dan disisi lain, ia merupakan pancaran

48
Pir Vilayat Inayat Khan, Membangkitkan Kesadaran Spiritual : Sebuah Pengalaman
Sufistik, Penterj : Rahmani Astuti, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hlm. 49
37

dunia binatang.49 Artinya nasib manusia erat tak terpisahkan dari dunia
alam dan spiritual. Itulah mengapa pemulihan final, memiliki arti lintasan
spiritual ke Tuhan dan pemulihan semua benda termasuk binatang dan
tumbuhan.

Manusia yang berwatak seperti binatang hanya akan berpikir


tentang makan, minum, dan hubungan seksual.50 Dalam kondisi demikian,
ruh manusia tidak berada dengan ruh binatang. Bathin, fitrah, dan
kemanusiaannya telah terhapus. Sebagai gantinya ia telah menyandang
sifat kebuasan dan kebinatangan.

Dalam dunia ke-Islam-an atau mistik Islam yaitu tasawuf atau ke-
sufi-an, orang yang ingin mencari jalan spiritual itu harus bersungguh-
sungguh dan fokus, artinya orang tersebut harus benar-benar rela untuk
meninggalkan kenistaan-kenistaan duniawi. Bahkan mereka rela
mengorbankan kehidupannya demi mendapatkan kekuatan yang tak
terukur hebatnya, mereka disebut juga orang-orang yang bijak atau arif.

Seperti halnya dalam dunia tasawuf, seorang murid harus


mengalami “penyucian jiwa” terlebih dahulu sehingga ia akan lebih
mudah untuk mencapai pada tujuan tertentu. Pada tahap ini sang murid
harus semaksimal mungkin hingga dirinya merasakan nikmatnya
peralihan meninggalkan kemaksiatan kepada kebaikan yang hakiki.
Karena penyucian jiwa adalah tahap perjalanan awal seorang murid
sebelum tahap-tahap selanjutnya dilewati.

Karenya menurut para bijak manusia mengumpulkan obyek seperti


kekayaan, kenikmatan, atau materi-materi surgawi di masa sebelumnya.
Sebaliknya seorang spiritualis memulai perjalanannya dari titik
berakhirnya minat terhadap hal-hal tersebut. Proses evolusi bukanlah

49
Seyyed Hossein Nasr, Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual ;
Antara Tuhan, manusia, dan Alam, terj. : Ali Noer Zaman, IRCISoD, Yogyakarta, 2003, hlm. 122
50
Murthadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, Penterj : Abdillah Hamid Ba’abud,
Yayasan Pesantrten Islam, Bangil, 1995, hlm. 27
38

proses yang langsung jadi, tetapi seperti roda yang berputar. Sehingga
pengalaman orang yang menapaki kehidupan spiritual bermula dari
kecenderungan yang ada di bawah sampai mencapai yang tertinggi.51

Sementara itu, kita diciptakan di dunia ini sebenarnya memang


untuk mencari kebenaran yang hak yaitu hanya untuk beribadah dan
menapaki jalan Allah SWT. Adapun ibadah itu sendiri dipraktikkan demi
menggapai ketakwaan ; dan ketakwaan tak lebih dari gerbang atau
mukadimah dalam meraih falah (yang secara harfiah berarti dhafar atau
kemenangan/keberhasilan).52 Seperti apa yang telah diungkapkan dalam
Kitabullah, Allah SWT berfirman ;

íóÇóíøõåóÇÇáäøóÇÓõ
ÇÚúÈõÏõæúÇÑóÈøóßõãõ ÇáøóÐöíú
ÎóáóÞóßõãú æóÇáøóÐöíúäó ãöäø
ÞóÈúáößõãú áóÚóáøóßõãø ÊóÊøóÞõæúäó
(ÇóáúÈóÞóÑóÉú : ٢١)
Artinya : “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.53
(Q.S. al-Baqarah : 21).
Ibadah pada Tuhan inilah tempat perlindungan dari prahara dunia
modern ; ia bertindak sebagai sumber kehidupan untuk menggairahkan
kembali tubuh dan jiwa serta sebagai pendukung untuk merenungkan

51
Hazrat Inayat Khan, Kehidupan Spiritual ; Tiga Esai Klasik Tentang Kehidupan
Ruhani, Penerjemah : Imron Rosjadi, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 28
52
Muhsin Qiraati, Mencari Tuhan : Mengapa dan Bagaimana, terj : Muhammad Bafaqih,
Penerbit Cahaya, Bogor, 2001, hlm. 43
53
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 11
39

kembali hakikat tertinggi yang menuntun menuju hakikat terakhir itu


sendiri.54

Oleh karena itu, jika semakin maju jiwa seseorang spiritualis, ia


semakin menunjukkan sifat kemanusiaan yang sesungguhnya, karena dari
sinilah kemanusiaan yang sejati bermula. Orang bisa melihat dalam diri
jiwa orang tersebut tanda-tanda karakter sejati seseorang manusia, sama
sekali tidak ada sifat kebinatangan. Di bawah dorongan dari Allah SWT,
sang salik (penempuh jalan spiritual) pun memutuskan untuk menembus
dunia kemajemukan. Oleh kaum arif perjalanan ini disebut sayr wa suluk55
(perjalanan spiritual). Karena tidak mudah memutuskan hubungan
material ini, maka sang salik pun perlahan-lahan meretas jerat-jerat dunia
kemajemukan itu dan dengan penuh kehati-hatian memulai perjalanannya
dari dunia material.

Betapapun, orang pencari sejati Allah SWT dan penempuh jalan-


Nya tidaklah dibuat susah dan patah arang oleh berbagai hambatan dan
kendala ini dan terus-menerus – dengan penuh keberanian – bergerak
maju menuju tujuannya dengan bantuan dorongan ke-Tuhan-an dalam
dirinya sampai dia keluar dengan selamat dari alam pikirannya yang picik
dan syarat dengan pertentangan yang disebut barzakh.56 Mereka mesti
berhati-hati kalau-kalau pikiran jahatnya masih mengeram dan mengintai
di sudut tersembunyi dalam benaknya.

54
Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj : Drs. Sutejo, Mizan, Bandung,
1993, hlm. 219
55
Suluk berarti menempuh perjalanan dan sayr bermakna melihat berbagai karaktersitik
dan ciri-ciri menonjol dalam berbagai tahap dan kedudukan di jalan spiritual atau untuk lebih jelas
suluk adalah perjalanan di jalan spiritual menuju sang Sumber. Ini adalah metode perjalanan
melalui berbagai keadaan dan kedudukan, di bawah bimbingan seorang guru spiritual (pir, syaikh,
mursyid). Seseorang yang menempuh jalan ini disebut salik. Sang hamba yang telah jauh berjalan
menuju Allah SWT adalah yang telah sungguh-sunguh menunjukkan penghambaannya kepada
Allah SWT. Lihat Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi ; kunci memasuki dunia tasawuf,
Mizan, Bandung, 2000, hlm. 268)
56
Penghalang, sekat, atau pemisah. Al-Barzakh adalah simbol keadaan pertengahan. Ini
adalah sesuatu yang memisahkan dua hal yang tidak bakal pernah bersatu. Ini adlah penghalang
antara yang diketahui dan yang tidak dikethuai, yang ada dan yang tidak ada.
40

Karena itulah, sang salik perlu memusatkan pikiran-pikirannya


dengan bantuan riyadlah (latihan) dan berbagai amalan pengekangan diri
sehingga perhatiannya tidak terpalingkan dari Allah SWT. Akhirnya,
ketika – sesudah melewati alam barzakh – sang salik memasuki alam
spiritual, tapi bagi sang salik tidak cukup sampai disini saja melainkan
sang salik masih harus melewati beberapa tahap latihan yang harus di
jalani lagi demi untuk mendapatkan sesuatu yang sangat rahasia itu,
termasuk bimbingan spiritual, serangkaian model-model psiko-spiritual
yang merepresentasikan aliran spiritualitas selama berabad-abad, baik
praktik-praktik penting seperti shalat, khalwah57 dan bentuk-bentuk
asketisme tertentu.

Bagi kaum sufi shalat merupakan kegiatan yang sangat urgen


dalam mengarungi perjalanan spiritual. Karena dengan shalat akan
mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam bertindak dari segala sesuatu
perkara yang dihadapinya, disamping hati merasa tenang, tentram, juga
mengarahkan kita dalam prilaku perbuatan. Shalat juga merupakan bukti
ketakwaan hambanya pada Tuhan. Seperti halnya Allah SWT berfirman ;

æóãóäú íøóÊóÞö Çááåó íóÌúÚóáú áóåõ


ãóÎúÑóÌðÇ. ...æóíóÑúÒõÞúåõ ãöäú ÍóíúËõ
áÇíóÍúÊóÓöÈõ, ...æóãóäú íøóÊóÞö Çááåó
íóÌúÚóáú áóåõ ãöäú ÃóãúÑöåö íõÓúÑðÇ.
...æóãóäú íøóÊóÞö Çááåó íõßóÝøöÑú
57
Penarikan diri dan penyendirian spiritual. Semula, khalwah dilakukan secara fisik
dengan menarik diri dari gangguan-gangguan luar yang berpotensi menyimpangkan seseorang
dalam kontemplasinya atas Nama-nama dan Sifat-sifat Allah SWT. Akhirnya, penarikan ini
menjadi semata-mata bersifat spiritual ketika hati senantiasa hadir terus-menerus bersama Allah
SWT (dawam-i-hudhur). Maka, sang pecinta Allah SWT pun selalu bersama Kekasihnya setiap
saat tanpa mempedulikan kondisi-kondisi lahiriah yang melingkunginya. Khalwah, adalah
perbincangan (muhadatsah) relung kesadaran seseorang dengan Allah SWT. (Lihat Amatullah
Armstrong, hlm. 142)
41

Úóäúåõ ÓóíøöÃó Êöåö æóíõÚúÙöãú áóåõ


ÃóÌúÑðÇ. (ÇáØøóáÇÞú : ٢ - ٥)
Artinya : “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah SWT, niscaya
diberikan kepadanya jalan keluar serta rizki melalui jalan
yang tidak terduga, Barangsiapa yang bertakwa kepada
Allah SWT ia akan mendapat kemudahan dalam semua
urusannya, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
SWT, ia akan ditutupi kesalahannya dan dilipatgandakan
pahalanya”.58 (Q.S. ath-Thalaq : 2-5)
Perlu ada ketekunan dalam berlatih ketika seseorang ingin
menghasilkan puncak perjalanan spiritulitas. Tidak hanya meninggalkan
hal-hal yang bersifat maksiat saja, melainkan harus menjaga diri dari
dorongan-dorongan yang bersifat material. Karena keduanya dapat
membatalkan bahkan menghancurkan usaha seorang salik untuk mencapai
tujuannya.

2. Ketulusan dalam ibadah

Perlu diingat bahwa tanpa bersikap tulus di jalan Allah SWT,


mustahil kita mencapai berbagai tahap dan kedudukan spiritual.
Kebenaran tidak bisa terungkap bagi sang penempuh jalan spiritual
kecuali bila dia sepenuhnya tulus dan benar-benar bersikap ikhlas dalam
ibadah yang dilakukannya.59 Kebenaran niat dan keikhlasan hati kepada
Allah SWT itulah akan mengangkat derajat amal duniawi semata-mata
menjadi amal ibadah yang diterima Allah SWT.60

Ikhlas merupakan kesengajaan seseorang dalam melakukan taat


kepada Allah SWT, hanya untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan
mengharap ridha-Nya semata, tanpa ada tujuan riya’ atau ingin dipuji

58
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 945-946
59
Murtadha Muthahari dan Thabathaba’i, Menapak Jalan Spiritual, terj : M.S Nasrullah,
pustaka hidyah, Bandung, 1995, hlm. 86
60
Drs. Anwar Masy’ari, M.A., Akhlak Al-Qur'an, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hlm.
121
42

orang lain.61 Sebab, jika tujuan peribadatan itu sudah dicampuri oleh
pengaruh lain, baik yang berupa riya’, sombong dan lain-lain, maka
amalan-amalan yang semacam itu tentulah sudah keluar dari jalur
keikhlasan.62 Besar sekali pengaruh ikhlas dalam jiwa manusia yang
sedang menderita kesedihan.63 Sebab ketika itu manusia ingin melepaskan
diri dari semua pengaruh hawa nafsu serta kehendak melepaskan dirinya
dari segala kesalahan dan hendak berdiri di hadapan Allah SWT dengan
menyatakan tobatnya serta mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan
siksanya.

Sebagai orang arif untuk mendapatkan ridha Allah SWT, setiap


apa yang diamalkan harus benar-benar tulus, karena ketulusan yang akan
membuka segala kepribadiannya dalam mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Allah SWT akan membukakan kemudahan bagi hamba-hambanya
yang tulus dalam ibadahnya. Amal yang sedikit yang dilandasi oleh
keikhlasan itu akan lebih baik dari pada amal yang banyak tanpa dilandasi
oleh keikhlasan.64

Keikhlasan ibadah dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama


adalah melaksanakan semua perintah agama hanya semata-mata demi
mencari keridhaan Allah SWT. Tahap kedua adalah mengabdikan segenap
dirinya semata kepada Allah SWT. Pada tahap pertama seperti halnya
Allah SWT telah berfirman ;

61
Al-Makki As-Syyid Bakri, Merambah Jalan Sufi, terj : A. Wahid SY, Sinar Baru
Algesindo, Bandung, 1995, hlm. 47
62
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA, Tasawuf Kontekstual, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2003, hlm. 120-121
63
Drs. Anwar Masy’ari, M.A., op.cit., hlm. 126
64
Prof. Drs. H. M. Amin Syukur, M.A., op.cit., hlm. 122
43

æóãóÇÇõãöÑõæúÇ ÇöáÇøóáöíóÚúÈõÏõæÇÇááåó ãõÎúáÕöíúäó áóåõ ÇáÏøöíúäó...


(ÇáÈíøäÉ : ۵)

Artinya : “Merekalah tidaklah diperintah melainkan agar beribadah


kepada Allah SWT dengan bersikap tulus kepada-Nya dalam
agama,…”.65 (Q.S. al-Bayyinah : 5)
Tahap kedua diisyaratkan seperti ayat di bawah ini ;

ÇöáÇøóÚöÈóÇÏöÇááåö ÇáúãõÎúáóÕöíúäó
(ÇáÕÇ ÝÇÊ : ١٢٨)
Artinya : “Kecuali hamba-hamba Allah SWT yang tulus dan besikap
ikhlas”.66 (Q.S. as-shafaat : 128)
Harus diingat juga bahwa seseorang yang mencapai derajat
ketulusan pribadi memiliki sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh
orang lain. Sifat khas penting yang diperlukannya adalah bahwa dia kebal
dan terbebas dari dominasi setan. Seperti halnya firman Allah SWT ;

...ÝóÈöÚöÒøÊößó áÇóÇõÛúæöíóäøóåõãú
ÇóÌúãóÚöíúäó. ÇöáÇøóÚöÈóÇÏößó
ãöäúåõãõ ÇáúãõÎúáóÕöíúäó (Õ : ٨٢-٨٣)
Artinya : “…demi kekuasaan dan keagungan-Mu, akan aku sesatkan
mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang tulus dan
ikhlas diantara mereka”.67 (Q.S. Shaad : 82-83)
Uraian yang telah dikemukakan di atas menunjukkan berbagai
anugerah yang dijumpai dalam tahap akhir ‘irfan. Hanya saja, mestilah
diingat bahwa berbagai anugerah dan karunia ini bisa diperoleh hanya
manakala ibadah terus-menerus yang dilakukan sang penempuh jalan

65
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 1084
66
Ibid., hlm. 727
67
Ibid., hlm. 742
44

spiritual mencapai tahap peniadaan diri (fana’),68 ( footnote) sehingga dia


bisa disebut sebagai gugur dan terbunuh di jalan Allah SWT dan berhak
beroleh balasan dan ganjaran sepadan dengan yang didapatkan oleh orang-
orang yang mati syahid.

Sebagai awal dari perjalanan spiritualnya, sang hamba mestilah


menempuh jalan hidup kezuhudan dan harus terus-menerus merenungkan
betapa tidak berharga dan tidak bernilainya hal-hal yang bersifat duniawi
serta memusatkan hubungannya dengan dunia kemajemukan.69 Ketika dia
tidak lagi tertarik pada dunia, maka tidak ada keuntungan material yang
bakal bisa membuatnya senang. Begitu pula, kerugian material tidak bakal
membuatnya sedih.

Dengan rasa harap yang tulus dan benar membuat seorang salik
menahan diri dari dosa demi mengharap pertolongan Allah SWT dan
sekuat tenaga melakukan amal ibadah kebajikan yang bisa dia lakukan dan
menghadap ke pintu Ilahi, hanya untuk mengharapkan rahmat-Nya.70

Bersikap acuh tak acuh pada kebahagiaan dan kesedihan bukannya


berarti bahwa sang penempuh jalan spiritual tidak merasa gembira dan
bahagia atas anugerah dan karunia Allah SWT atau tidak merasa sedih
atas segala sesuatu yang menyusahkannya, sebab kegembiraan dan
kebahagiaan atas rahmat dan anugrah Allah SWT bukanlah hasil dari
kecintaannya pada hal-hal duniawi semisal harta kekayaan, jabatan,
kehormatan, ketenaran, dan sebagainya. Dia menyukai dan mencintai
berbagai anugrah dan karunia Allah SWT sebab dia mengetahui bahwa
rahmat Allah SWT meliputi dirinya.

Keadaan-keadaan yang dialami oleh seorang penempuh jalan


spiritual dan cahaya-cahaya yang dilihatnya mestilah mendahului upaya
perolehan berbagai sifat dan kualitas tertentu yang dilakukannya. Selain

68
Murtadha Muthahari dan Thabathaba’i, op.cit., hlm. 89
69
Ibid., hlm. 90
70
Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Terj : Tri Wibowo Budi Santoso, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 74-75
45

itu, mengubah sedikit kondisi yang dialaminya tidaklah cukup. Sang


penempuh jalan spiritual harus benar-benar menjauhi segala macam hal
yang tidak penting dalam dirinya di dunia yang kadarnya lebih rendah
dengan melakukan perenungan serta mengerjakan berbagai amalan ibadah
terus menerus. Tidaklah mungkin meraih kedudukan orang-orang yang
tulus dan bertakwa tanpa memperoleh dan mengikuti sifat-sifat mereka.
Sedikit tergelincir saja dalam melakukan perenungan dan mengerjakan
berbagai amalan ibadah bakal menimbulkan kerugian bagi sang penempuh
jalan spiritual.

Oleh karena itu, sang penempuh jalan spiritual haruslah


membersihkan hati dan kalbunya serta menyucikan dirinya secara lahir
dan batin serta mendominasi sikap mukhlis dalam mengerjakan segala hal
yang berhubungan dengan amal ibadah. Agar Allah SWT memberikan
diberikan persahabatan dengan jiwa-jiwa yang suci dan bersih karena
ridha-Nya.

Anda mungkin juga menyukai