A. Pengertian Spiritualitas
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1986,
hlm. 963
2
Charles H. Zastrow, The Practice Work, University of Wisconsin, An International
Thompson Publishing Company, White Water, 1999, hlm. 317
3
Sa’id Hawa, Jalan Ruhaniah, terj : Drs. Khairul Rafie’ M. dan Ibnu Tha Ali, Mizan,
Bandung, 1995, hlm. 63
16
17
Dalam dunia kesufian ‘jiwa’ atau ‘ruh’ atau ‘hati’ juga merupakan
pusat vital organisme kehidupan dan juga, dalam kenyataan yang lebih halus,
merupakan “tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk
pribadi.6 Para sufi mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang
sangat dekat kepada apa yang ada dalam al-Qur'an dan ekspresi ringkas
terpadu mereka yang telah mencakup seluruh esensi ajaran.
4
Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan sekarang, terj : Abdul Hadi W.M., Mengutip
dari Syaikh al-‘Arabi al-Darqawi, Letter of a Sufi, hlm. 4
5
Seyyed Hossein Nasr, Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual ;
Antara Tuhan, Manusia, dan Alam, terj : Ali Noer Zaman, IRCISoD, Yogyakarta, hlm. 7
6
Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1984,
hlm. 17
18
7
Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik ; Pengalaman Keagamaan Jama’ah
Maulid al-Diba’ Giri Kusuma, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Bekerja Sama dengan Walisongo
Press, Semarang, 2003, hlm. 17
8
ibid.,
19
Jika dalam agama Budha, hidup adalah untuk menderita, namun dalam
pandangan Islam hidup adalah sebagai perjuangan, bekerja keras untuk
terlibat jihad setiap saat dan dalam berbagai tingkat.
9
ibid., hlm. 23
10
M.W. Shafwan, Wacana Spiritual Timur dan Barat, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2000,
hlm. 7
20
11
Yayasan Penyelenggara Penterjemah, al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama
RI, Jakarta, 1983, hlm. 645
12
Ruh individu dipengaruhi oleh tubuh ; sedangkan ruh universal mutlak tanpa bentuk.
Dalam masalah lain, perbandingan jiwa dengan ruh adalah seperti substansi dengan esensi atau
sebagai esensi yang “formatif”. Demikianlah individu-individu dibedakan oleh kebajikan ruh,
karena pada hakekatnya bersatu di dalamnya, dan secara substansial bersatu dengan ruh universal.
Sedangkan individu-individu berbeda berdasarkan kebajikan bentuk-bentuk mereka yang
merupakan dukungan “kenyal” terdapat apa yang terdapat apa yang tepatnya disebut jiwa
universal atau jiwa keseluruhan. Sejauh ruh – dalam pengertian tertentu – terpilih-pilih dalam
hubungannya dengan setiap wujud tertentu, maka kita dapat berbicara tentang banyaknya “ruh-
ruh”. Ketunggalan hakikat “ruh” sekali-kali tidak berarti, bahwa ruh manusia dengan pasti bersatu
kembali dengan ruh Tuhan setelah kematian tubuh. Karena jiwa yang mengakibatkan terjadinya
21
íóÇóíøóÊõåóÇÇáäøóÝúÓõ
ÇáúãõØúãóÆöäøóÉõ ÇöÑúÌöÚöí Çöáìó
ÑóÈøößö ÑóÇÖöíóÉð ãøóÑúÖöíøóÉð
ÝóÇÏúÎõáöí Ýöí ÚöÈóÇÏöí æóÇÏúÎõáöí
ÌóäøóÊöí (ÇáÝÌÑ : ٢٧–٣٠)
Artinya : “Hai jiwa yang tenang ! kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhai-Nya. Kemudian, masuklah ke dalam
kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”.13
Oleh karena itu, pengalaman keagamaan, dalam arti merasakan
kenikmatan religiusitas sangat didambakan oleh setiap pemeluk agama. Ini
terjadi karena pengalaman keagamaan terkait erat dengan pemenuhan
kebutuhan (puncak) kehidupan manusia.14
individualisasi ruh, sedangkan jiwa itu sendiri bersifat tidak abadi. Titus Burckhardt, op.cit., hlm.
94
13
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 1059
14
Ahmad Anas, op.cit., hlm. 43
22
tersebut. Namun secara umum terdapat tiga teori psikologi agama yang
mencoba untuk memberikan jawaban atas persoalan di atas. Diantaranya teori
monistik, teori faculti, beberapa pemuka teori fakulti.
15
Drs. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, Raja Gravindo Persada, Jakarta,
2004, hlm. 54-56
16
ibid., hlm. 59-62
23
1. Sejarah Islam
17
Syaikh Fadhalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, Terj ; Ibnu Burdah dan Shohifullah,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 101
18
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 424
19
Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 2000, cet. IV, hlm. 183
25
20
Neal Robinson, Ph.D, Pengantar Islam Komprehensif, terj : Anam Sutopo, dkk., Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hlm. 28
21
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2000, hlm. 20
26
dan pelajaran bagi umatnya dulu, kini, dan yang akan datang, baik dalam
bidang agama, politik, dan sosial budaya.
22
Neal Robinson, Ph.D, op.cit., hlm. 33
27
pantas untuk memimpin umat Islam di masa selanjutnya, waktu itu Abu
Bakar (632-634) yang terpilih dari empat calon tersebut.
Namun dari segolongan umat Islam ada juga yang tidak sepakat
atas terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin mereka. Bagaimanapun,
ketidaksepakatan terhadap terpilihnya Abu Bakar muncul, apakah karena
alasan Nabi Muhammad saw., secara khusus telah menunjuk imam Ali
sebagai pengganti beliau atau pun karena Nabi secara tidak langsung telah
menyebut diri Ali sebagai sahabat teragung dalam pengetahuan maupun
kesalehan.
23
Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam ; Dirasah Islamiyah II, raja grafindo
persada, Jakarta, 2001, hlm. 36
28
Kemudian pada tahun 634 M, Abu Bakar wafat, tapi sebelum Abu
Bakar wafat ia sudah menunjuk Umar (634-644) untuk menggantikannya.
Karena Umar adalah sosok sahabat Nabi yang ikut berhijrah dari Makkah
ke Madinah, maka Abu Bakar sangat yakin kepada Umar untuk dapat
memimpin masyarakat Islam setelah ia wafat.
24
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., Menggugat Tasawuf ; Sufisme dan Tanggung
Jawab Sosial Abad 21, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 31
25
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A., Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2000, hlm. 33
26
Neal Robinson, op.cit., hlm. 34
27
Ahmad Musyafiq, M.Ag., Reformasi Tasawuf al-Syafi’i, Admaja, Jakarta, 2003, hlm.
33
29
hidup sangat bersahaja. Pada akhirnya, Umar ditikam oleh seorang budak
Persia ketika tengah menunaikan shalat di masjid pada tahun 644 M,
hingga beliau wafat.
28
Neal Robinson, loc.cit.,
29
Ibid., hlm. 35
30
Dr. Badri Yatim, op.cit., hlm. 38
30
Peristiwa sumpah palsu ini pun terjadi lagi pada masa perang
Shiffin tahun 675, Setelah Imam Ali gugur syahid pada tahun 661 M,
lantaran ditikam ketika besujud dalam shalat, maka putra lelakinya Imam
Hasan yang paling layak memegang posisi sebagai pemimpin umat Islam
berikutnya. Namun demikian, muawiyah, gubernur Syria,35 tidak tinggal
diam untuk menarik tuntutannya Hasan sebagai khalifah. Beliu sebenarnya
mengetahui kelemahan orang-orang tesebut, namun ia tidak ingin terjadi
pertikaian diantara mereka. Bahkan beliau juga menyadari benar
kecerdikan dan sikap khianat Muawiyah. Beliau hanya ingin agar darah
umat Islam tidak tumpah lagi secara sia-sia. Karena itu, beliau menerima
gencatan senjata yang ditawarkan pihak Muawiyah, dengan jalan beliau
mengorbankan hak klaimnya sebagai pemimpin umat Islam, tanpa
melepaskan status spiritualnya yang istimewa. Sikap “menerima” gencatan
31
Ibid.,
32
Neal Robinson, loc.cit.
33
Dr. Badri Yatim, loc.cit. hlm. 39
34
Ibid.
35
Neal Robinson, op.cit. hlm. 35
31
senjata ini bukan berarti hilangnya status spiritual yang sejati, bahkan
berarti sebaliknya. Sejak itulah, tidak mungkin menerjemahkan kebesaran
hatinya dalam statemen-statemen lahiriyah kecuali dengan perang antar
saudara muslim, sebuah alternatif untuk menerima tidaknya gencatan
senjata yang disana antara lain ditetapkan bahwa, setelah Muawiyah
lengser, saudara Hasan, yakni Imam Husain, akan memimpin umat Islam
berikutnya.
36
Ibid., 36
32
Namun demikian, tetap tak ada pilihan lain baginya kecuali meneruskan
perjalanannya ke kota Kufah. Pasukan Yazid akhirnya menghadang beliu
dan memaksanya mengakui bahwa kepemimpinan Yazid –seorang
pemabok yang terang-terangan mencemooh syari’at Islam– adalah syah.37
Namun Imam Husain tidak gentar dengan mendengarkan pengakuan
Yazid bahwa ia sebagai pemimpin yang syah. Akhirnya Imam Husain
tidak ada pilihan lain, selain perang melawan pengkhianatan tersebut.
Akhirnya pada tahun 661 terjadilah perang “Karbala”.38
37
Dr. Badri Yatim, loc.cit. hlm. 45
38
Dalam perang Karbala, sekitar tujuh puluh dua anggota keluarga beliau mati syahid,
termasuk bayi dan anak-anak karena haus ataupun terkena senjata musuh. Akhirnya, Imam Husain
juga mati syahid dengan kepala beliau terpotong oleh bala tentara Yazid. Sementara itu, wanita
dan anggota keluarga beliau yang masih hidup digiring dengan tangan terantai dan dipaksa
menempuh perjalanan yang jauh melewati gurun pasir dengan panas yang sangat membakar untuk
dibawa ke kota Damaskus, tempat istana Yazid.
33
2. Spiritualitas Islam
Akhirnya apa yang telah dibawa Nabi saw itu dijadikan sebagai
“sendi” dalam Islam guna mencapai kedekatan diri kepada Allah SWT.
Lima sendi itu yang sering kita kenal dengan sebutan “Rukun Islam” dan
kelima hal itu tetap berguna selama seseorang ingat bahwa dasar-dasar
tersebut merupakan bagian kepercayaan dan bukan hanya suatu ibadah
singkat yang diangkat.40 Lima sendi rukun Islam tersebut adalah ;
Pertama, Percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad
adalah utusan Allah SWT ; Kedua, Shalat wajib lima kali dalam sehari
semalam ; Ketiga, Membayar Zakat kepada yang berhak menerimanya ;
Keempat, Puasa dari matahari terbit hingga terbenam selama tiga puluh
39
Fazlur Rahman, op.cit., hlm. 184
40
M.W. Shafwan, op.cit., hlm. 5
34
Dari lima sendi itulah yang akan membawa manusia pada tingkatan
tertinggi dari agama Islam ketika manusia itu mau melaksanakan dan
mencari titik temu dalam segi keagamaan. Karena dalam ajaran Islam
tingkatan teritinggi terletak pada tingkat kesalehan manusia. Dimana kunci
dari kesalehan ini adalah “takut kepada Tuhan” atau tanggung jawab
kepada cita moral,41 atau yang sering disebut dengan istilah “taqwa”.
Taqwa merupakan salah satu kata yang paling tinggi nilainya, yang
memiliki arti kurang lebih ‘kemuliaan’ dan ‘kedermawanan’. Hingga pada
akhirnya yang akan membawa manusia pada tingkat esoterisme atau yang
tidak lain disebut dengan tingkat “spiritualitas”.
41
Fazlur Rahman, op.cit., hlm. 184
42
Ibid., hlm. 186
43
Sulaiman al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari HAMKA ke Aa Gym, Pustaka Nuun,
Semarang, 2004, hlm. 4
35
44
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi ; Telaah Pemikiran
Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Atas Kerjasama Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2002, hlm. 9
45
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtqar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, cv.
Pustaka setia, Bandung, 2000, 56
46
Hasyim Muhammad, loc.cit.
47
Prof. Dr. Hamka, Tasauf Moderen, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990, hlm. 146
36
Karena terperangkap oleh rasa putus asa dan tak bermakna, tidak
mengherankan bahwa begitu banyak orang di zaman sekarang yang
diliputi kerinduan untuk mencari kembali pemahaman diri yang lebih
mendalam.48
48
Pir Vilayat Inayat Khan, Membangkitkan Kesadaran Spiritual : Sebuah Pengalaman
Sufistik, Penterj : Rahmani Astuti, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hlm. 49
37
dunia binatang.49 Artinya nasib manusia erat tak terpisahkan dari dunia
alam dan spiritual. Itulah mengapa pemulihan final, memiliki arti lintasan
spiritual ke Tuhan dan pemulihan semua benda termasuk binatang dan
tumbuhan.
Dalam dunia ke-Islam-an atau mistik Islam yaitu tasawuf atau ke-
sufi-an, orang yang ingin mencari jalan spiritual itu harus bersungguh-
sungguh dan fokus, artinya orang tersebut harus benar-benar rela untuk
meninggalkan kenistaan-kenistaan duniawi. Bahkan mereka rela
mengorbankan kehidupannya demi mendapatkan kekuatan yang tak
terukur hebatnya, mereka disebut juga orang-orang yang bijak atau arif.
49
Seyyed Hossein Nasr, Jembatan Filosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual ;
Antara Tuhan, manusia, dan Alam, terj. : Ali Noer Zaman, IRCISoD, Yogyakarta, 2003, hlm. 122
50
Murthadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, Penterj : Abdillah Hamid Ba’abud,
Yayasan Pesantrten Islam, Bangil, 1995, hlm. 27
38
proses yang langsung jadi, tetapi seperti roda yang berputar. Sehingga
pengalaman orang yang menapaki kehidupan spiritual bermula dari
kecenderungan yang ada di bawah sampai mencapai yang tertinggi.51
íóÇóíøõåóÇÇáäøóÇÓõ
ÇÚúÈõÏõæúÇÑóÈøóßõãõ ÇáøóÐöíú
ÎóáóÞóßõãú æóÇáøóÐöíúäó ãöäø
ÞóÈúáößõãú áóÚóáøóßõãø ÊóÊøóÞõæúäó
(ÇóáúÈóÞóÑóÉú : ٢١)
Artinya : “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.53
(Q.S. al-Baqarah : 21).
Ibadah pada Tuhan inilah tempat perlindungan dari prahara dunia
modern ; ia bertindak sebagai sumber kehidupan untuk menggairahkan
kembali tubuh dan jiwa serta sebagai pendukung untuk merenungkan
51
Hazrat Inayat Khan, Kehidupan Spiritual ; Tiga Esai Klasik Tentang Kehidupan
Ruhani, Penerjemah : Imron Rosjadi, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 28
52
Muhsin Qiraati, Mencari Tuhan : Mengapa dan Bagaimana, terj : Muhammad Bafaqih,
Penerbit Cahaya, Bogor, 2001, hlm. 43
53
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 11
39
54
Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj : Drs. Sutejo, Mizan, Bandung,
1993, hlm. 219
55
Suluk berarti menempuh perjalanan dan sayr bermakna melihat berbagai karaktersitik
dan ciri-ciri menonjol dalam berbagai tahap dan kedudukan di jalan spiritual atau untuk lebih jelas
suluk adalah perjalanan di jalan spiritual menuju sang Sumber. Ini adalah metode perjalanan
melalui berbagai keadaan dan kedudukan, di bawah bimbingan seorang guru spiritual (pir, syaikh,
mursyid). Seseorang yang menempuh jalan ini disebut salik. Sang hamba yang telah jauh berjalan
menuju Allah SWT adalah yang telah sungguh-sunguh menunjukkan penghambaannya kepada
Allah SWT. Lihat Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi ; kunci memasuki dunia tasawuf,
Mizan, Bandung, 2000, hlm. 268)
56
Penghalang, sekat, atau pemisah. Al-Barzakh adalah simbol keadaan pertengahan. Ini
adalah sesuatu yang memisahkan dua hal yang tidak bakal pernah bersatu. Ini adlah penghalang
antara yang diketahui dan yang tidak dikethuai, yang ada dan yang tidak ada.
40
58
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 945-946
59
Murtadha Muthahari dan Thabathaba’i, Menapak Jalan Spiritual, terj : M.S Nasrullah,
pustaka hidyah, Bandung, 1995, hlm. 86
60
Drs. Anwar Masy’ari, M.A., Akhlak Al-Qur'an, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hlm.
121
42
orang lain.61 Sebab, jika tujuan peribadatan itu sudah dicampuri oleh
pengaruh lain, baik yang berupa riya’, sombong dan lain-lain, maka
amalan-amalan yang semacam itu tentulah sudah keluar dari jalur
keikhlasan.62 Besar sekali pengaruh ikhlas dalam jiwa manusia yang
sedang menderita kesedihan.63 Sebab ketika itu manusia ingin melepaskan
diri dari semua pengaruh hawa nafsu serta kehendak melepaskan dirinya
dari segala kesalahan dan hendak berdiri di hadapan Allah SWT dengan
menyatakan tobatnya serta mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan
siksanya.
61
Al-Makki As-Syyid Bakri, Merambah Jalan Sufi, terj : A. Wahid SY, Sinar Baru
Algesindo, Bandung, 1995, hlm. 47
62
Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA, Tasawuf Kontekstual, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2003, hlm. 120-121
63
Drs. Anwar Masy’ari, M.A., op.cit., hlm. 126
64
Prof. Drs. H. M. Amin Syukur, M.A., op.cit., hlm. 122
43
ÇöáÇøóÚöÈóÇÏöÇááåö ÇáúãõÎúáóÕöíúäó
(ÇáÕÇ ÝÇÊ : ١٢٨)
Artinya : “Kecuali hamba-hamba Allah SWT yang tulus dan besikap
ikhlas”.66 (Q.S. as-shafaat : 128)
Harus diingat juga bahwa seseorang yang mencapai derajat
ketulusan pribadi memiliki sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh
orang lain. Sifat khas penting yang diperlukannya adalah bahwa dia kebal
dan terbebas dari dominasi setan. Seperti halnya firman Allah SWT ;
...ÝóÈöÚöÒøÊößó áÇóÇõÛúæöíóäøóåõãú
ÇóÌúãóÚöíúäó. ÇöáÇøóÚöÈóÇÏößó
ãöäúåõãõ ÇáúãõÎúáóÕöíúäó (Õ : ٨٢-٨٣)
Artinya : “…demi kekuasaan dan keagungan-Mu, akan aku sesatkan
mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang tulus dan
ikhlas diantara mereka”.67 (Q.S. Shaad : 82-83)
Uraian yang telah dikemukakan di atas menunjukkan berbagai
anugerah yang dijumpai dalam tahap akhir ‘irfan. Hanya saja, mestilah
diingat bahwa berbagai anugerah dan karunia ini bisa diperoleh hanya
manakala ibadah terus-menerus yang dilakukan sang penempuh jalan
65
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 1084
66
Ibid., hlm. 727
67
Ibid., hlm. 742
44
Dengan rasa harap yang tulus dan benar membuat seorang salik
menahan diri dari dosa demi mengharap pertolongan Allah SWT dan
sekuat tenaga melakukan amal ibadah kebajikan yang bisa dia lakukan dan
menghadap ke pintu Ilahi, hanya untuk mengharapkan rahmat-Nya.70
68
Murtadha Muthahari dan Thabathaba’i, op.cit., hlm. 89
69
Ibid., hlm. 90
70
Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Terj : Tri Wibowo Budi Santoso, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 74-75
45