Anda di halaman 1dari 11

PSIKOLOGI TASAWUF DAN PSIKOLOGI BARAT

Diajukan untuk memenuhi Tugas mata kuliah psikologi tasawuf


Dosen Pengampu : M. Abdullah Umar, M.A

Disusun Oleh :
kelompok 4
Agnezia Byanda 2311080004
Shintia Aulia Tahzan 2311080116
Nugroho Ridho Ilahi 2311080197

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN


ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN AJARAN 1445 H/2024 M
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................. i


BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C. Tujuan................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2
A. Psikologi tasawuf ............................................................................... 2
B. Psikologi barat.................................................................................... 6
C. Perbedaan psikologi tasawuf dan psikologi barat .............................. 6
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 8
A. Kesimpulan......................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 9

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Psikologi Tasawuf lahir dari tradisi keilmuan Islam, di mana
masyarakat Muslim pada masa itu tengah mengalami keemasan peradaban.
Dalam atmosfer ini, para ulama dan sufi mulai merintis kajian tentang dimensi
kejiwaan manusia dengan fokus pada pengembangan spiritualitas dan
hubungan individu dengan Tuhan. Psikologi Tasawuf menjadi respons terhadap
kebutuhan spiritualitas dan moralitas dalam kehidupan sehari-hari,
menjadikannya sebagai cabang ilmu yang mencakup pemahaman mendalam
tentang jiwa manusia dan upaya menuju kesempurnaan moral.
Di sisi lain, Psikologi Barat muncul sebagai bagian dari transformasi
intelektual di Eropa, khususnya setelah berdirinya laboratorium psikologi oleh
Wilhelm Wundt pada tahun 1879. Masyarakat Barat pada masa itu mengalami
pergeseran dari paradigma teologis menuju paradigma ilmiah dan empiris.
Psikologi Barat mengadopsi pendekatan ilmiah dan eksperimental untuk
memahami proses mental, perilaku, dan emosional manusia. Faktor-faktor
seperti perkembangan teknologi, kemajuan metode penelitian, dan kepentingan
terhadap eksplorasi aspek kejiwaan manusia mendorong lahirnya Psikologi
Barat sebagai disiplin ilmu yang mandiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Psikologi tasawuf?
2. Bagaimana Psikologi barat?
3. Bagaimana Perbedaan psikologi tasawuf dan psikologi barat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Psikologi tasawuf.
2. Untuk mengetahui Psikologi barat.
3. Untuk mengetahui Perbedaan psikologi tasawuf dan psikologi barat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Psikologi Tasawuf
1. Pengertian Psikologi Tasawuf
Membahas Psikologi Tasawuf, pada hakikatnya menggabungkan
dua tema kajian keilmuan yang mandiri menjadi sebuah kajian keilmuan
yang integral. Dalam mendudukkan apa itu psikologi tasawuf, maka perlu
dibahas apa yang dimaksud dengan psikologi dan apa yang dimaksud
dengan tasawuf. Berdasarkan landasan ini, penulis merasa perlu
menyinggung sedikit tentang Psikologi dan Tasawuf.
Secara etimologi, psikologi berasal dari kata Psiko dan logos.
Psiko berarti Jiwa, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi Psikologi dapat
diartikan sebagai “ilmu tentang jiwa”. Secara terminologi, psikologi
memiliki pengertian suatu disiplin ilmu yang mengkaji tentang jiwa;
tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Atau hal
ihwal kehidupan jiwa dan kejiwaan, sikap dan tingkah laku
manusia, serta pengembangan hubungan komunikasi dan interaksinya
dengan Tuhan dan lingkungan1.
Tasawuf, secara etimologi memiliki arti sikap mental yang selalu
memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban
untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana2. Sikap jiwa yang demikian
ini pada hakikatnya dapat diartikan sebagai akhlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf secara terminologi : upaya melatih jiwa
dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari berbagai
pengaruh kehidupan dunia sehingga mencerminkan akhlak yang mulia dan
dekat dengan Allah SWT. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tasawuf

1
Yahya Jaya, dikutip melalui Kuliah Seminar tentang Psikologi Agama Islam Modern, pada tanggal
25 maret 2012 di lokal PI3
2
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (PT. Raja Grafindo Persada, 1997) Edisi. 1 Cet. 2 h. 179-180.

2
dapat diartikan sebagai bidang kegiatan yang berhubungan dengan
pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Psikologi
tasawuf merupakan kajian hal ihwal kehidupan jiwa dan kejiwaan, sikap
dan tingkah laku para sufi, serta pengembangan hubungan komunikasi
dan interaksinya dengan Tuhan dan lingkungan.
2. Objek Kajian Psikologi Tasawuf
Dalam hal kejiwaan, tasawuf cenderung di tafsirkan sebagai
“revolusi bathin” seseorang terhadap kezaliman yang menimpa manusia
yang tidak hanya terbatas pada kezaliman dari orang lain, tetapi justru
terfokus kepada kezaliman yang dilakukan oleh dirinya sendiri3. Revolusi
bathin yang dilakukan para sufi ini menghantarkan kepada jiwa yang
tawadhu’ dan wara’. Tawadhu’ merupakan kesadaran yang lahir dari jiwa
seorang hamba yang menginsyafi betapa kecil dan hinanya ia dihadapan
kebesaran dan kemuliaan sang Khâliq. Wara’ seorang sufi, terwujud
dalam bentuk tidak adanya respek pada alam, kebesaran dan
keindahannya. Bagi mereka dunia dianggap sebagai penjara dan kuburan.
Oleh karena itu, jiwa yang terpenjara tersebut berusaha membebasakan
diri dan ingin menemukan kemerdekaan supaya dapat masuk ke Ufuk
Langit Ketuhan yang Luhur sebagai tempat kehadirannya4.
Kajian di atas memberikan pemahaman bahwa yang menjadi objek
kajian Psikologi Tasawuf adalah pengalaman sufistik yang dirasakan oleh
para sufi. Yaitu pengalaman bathin yang dilalui dan dirasakan seorang sufi
dalam mencari ketenangan dan kecerdasan bathin serta penyingkapan
tabir kedekatan (qarîb)antara hamba dengan Allah Swt. Pengalaman itu
memberikan kondisi jiwa tertentu yaitu jiwa yang penuh dengan
ketenangan dan kebahagiaan serta kesejahteraan.

3
Amir An-Najar (penj : Ija Sutana) at-Tashawwuf An-Nafsi (Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan
Modern), Kairo : al-Hai’ah al-Mishriyah Al-‘Ammah li Kitab; Jakarta : Penerbit Hikmah PT. Mizan
Publika, cet 1 2004, h. 153
4
Ibid

3
Berbicara tentang pengalaman sufistik dalam konteks tasawuf,
sudah menjadi kesepakatan para sufi yang ikhlas, bahwa puncak
pengalaman sufistik yang mereka rasakan tidak dapat ungkapkan dengan
bahasa verbal. Ketika sebagian para sufi berusaha menggambarkannya
dengan bahasa yang sangat ringkas, mereka memperlihatkan bahwa
kalimat-kalimat yang mereka kemukakan sama sekali tidak mampu
mengungkapkan pengalaman-pengalaman sufistik tersebut5. Walaupun
demikian, dampak kejiwaan bagi seorang sufi setelah melalui berbagai
macam pengalaman sufistik dapat di teliti. Dalam pandangan Zoehner,
pengalaman sufistik manusia dapat dibagi pada tiga jenis yaitu : (a)
pengalaman sufistik alami, (b) Pengalaman Sufistik ruh atau jiwa dan (c)
pengalaman sufistik ke-Tuhanan6.
a. Pengalaman sufistik alami
Yaitu pengalaman sufistik yang tidak berkaitan langung
dengan tasawuf. Pemikiran ke-Tuhanan dalam sufistik alami ini
terabaikan dan berada dibawah pengaruh anestetik. Dalam
pengalaman alami ini seseorang – dengan cara anestetik dan melalui
seni pengolahan pernafasan seperti Yoga – merasakan keterhanyutan
dalam suasana alam jagad raya yang dahsyat. Persaksian yang dialami
oleh seseorang dalam pengaruh keadaan anastetik (terbius) tidak bisa
diterima oleh nalar. Sebab apa yang terihat oleh seorang pengaruh
keadaan seperti itu hanyalah sekedar ilusi dan fantasi7.
b. Pengalaman sufistik ruh atau jiwa
Pengalaman ini merupakan cerminan esensi tasawuf. Di dalam
kajian ilmu tasawuf, pengalaman sufistik atau ruh diisitilahkan
dengan hâl. Menurut Harun Nasution dalam Abuddin
Nata, hâl merupakan sikap mental seperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut dan lain sebagainya 8. Hâl diperdapat oleh

5
Ibid, h. 164
6
Ibid, h. 165
7
Ibid
8
Abuddin Nata, op.cit, h. 205

4
seorang sufi sebagai anugerah dan rahmat Allah, ia hadir dalam jiwa
seorang sufi sifatnya sementara, datang dan pergi bagi seoran sufi
dalam perjalanannya mendekati Allah9.
Yang dimaksud dengan hâl pada masalah ini adalah takut (al-
Khauf), rendah hati (al-Tawadhu’), patuh (at-Taqwa), ikhlas (ikhlas),
rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-
Syukr).
c. Pengalaman Sufistik ke-Tuhanan
Pengalaman sufistik seperti ini bertujuan untuk
mengembalikan ruh kepada Tuhannya. Pemikiran ke-Tuhanan ini
muncul dalam bentuk yang beragam bagi para sufi.
Dalam ajaran tasawuf pengalaman sufistik ke-Tuhanan
merupakan puncak tertinggi kejiwaan manusia dalam mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam mengungkapkannya, para tokoh sufi
memiliki cara pengungkapan yang berbeda, diantara pengalaman
sufistik yang dirasakan oleh para sufi adalah
1) Ma’rifah, tokohnya adalah al-Ghazali dan Zunnun al-Misri.
Ma’rifah disini memiliki pengertian mengatahui rahasia-rahasia
Tuhan melalui hati sanubari, sehingga dengan hati sanubari
seorang sufi dapat melihat Tuhan10.
2) Fana, Baqa dan ittihaad. Tokohnya Abu Yazid al-Bustami, yaitu
bersatunya ruhaniyah dan bathiniyah manusia dengan zat Allah
dengan tidak ada pemisahan.
3) Hulul, tokohnya al-Halaj. Hulul diartikan oleh para sufi sebagai
suatu tahap dimana manusia Tuhan bersatu secara ruhaniah11.
4) Wahdah al-Wujud. Tokohnya Ibn A’rabi. Wahdatul
Wujud diartikan sebagai pengalaman sufistik yang dirasakan oleh

9
Amir an-Najar, loc. cit
10
Lihat H. A Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2005) cet. 3, h. 252-259,
Bandingkan dengan Abuddin Nata, h. 219-230
11
Abuddin Nata, op.cit, h. 239-246

5
seorang sufi, pengalaman ini terjadi dalam bentuk bersatunya
manusia dengan zat Allah secara zahir dan bathin12.
B. Psikologi Barat
Sejarah Psikologi Barat dapat dibagi dalam dua tahap utama, yaitu masa
sebelum dan masa sesudah menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Kedua tahap ini
dibatasi oleh berdirinya laboratorium psikologi yang pertama di Leipzig pada
tahun 1879 oleh Wilhelm Wundt. Sebelum tahun 1879, psikologi dianggap
sebagai bagian dari filsafat atau ilmu faal, karena psikologi masih dibicarakan
oleh sarjana-sarjana dari kedua bidang ilmu itu yang kebetulan mempunyai
minat terhadap gejala jiwa, tetapi tentu saja penyelidikan-penyelidikan mereka
masih terlalu dikaitkan dengan bidang lain ilmu mereka sendiri saja. Pada saat
Wundt berhasil mendirikan laboratorium psikologi di Leipzig, para sarjana
kemudian baru mulai menyelidiki gejala-gejala kejiwaan secara lebih
sistematis dan objektif. Metode- metode baru diketemukan untuk mengadakan
pembuktian-pembuktian nyata dalam psikologi sehingga lambat laun dapat
disusun teori-teori psikologi yang terlepas dari ilmu-ilmu induknya. Sejak
masa itu pulalah psikologi mulai bercabang-cabang ke dalam aliran-aliran,
karena bertambahnya jumlah sarjana psikologi tentu saja menambah
keragaman berpikir dan banyak pikiran-pikiran itu yang tidak dapat disatukan
satu sama lain. Karena itulah maka mereka yang merasa sepikiran, sependapat,
menggabungkan diri dan menyusun suatu aliran tersendiri. Aliran-aliran
strukturalisme, fungsionalisme, behaviorisme, dan sebagainya adalah aliran-
aliran yang tumbuh setelah lahirnya laboratorium pertama di Leipzig tersebut.
C. Perbedaan psikologi barat dan psikologi tasawuf
Psikologi Tasawuf dan Psikologi Barat memiliki perbedaan mendasar
dalam pendekatan, objek kajian, serta tujuan akhirnya. Psikologi Tasawuf
menggabungkan dimensi kejiwaan dan spiritualitas dengan fokus pada
pengembangan hubungan antara individu dengan Tuhan dan lingkungan.
Objek kajiannya mencakup pengalaman sufistik para sufi yang melibatkan

12
Ibid, h. 247-255

6
revolusi batin, tawadhu', wara', dan upaya membebaskan jiwa dari pengaruh
dunia untuk mencapai akhlak mulia dan kedekatan dengan Allah. Sementara
itu, Psikologi Barat, terutama setelah pendirian laboratorium psikologi oleh
Wilhelm Wundt, lebih bersifat sistematis dan objektif dalam mengkaji
fenomena kejiwaan. Aliran-aliran seperti strukturalisme, fungsionalisme, dan
behaviorisme muncul dengan pendekatan ilmiah dan eksperimental. Psikologi
Barat lebih cenderung memfokuskan pada aspek-aspek kognitif, perilaku, dan
emosional tanpa memasukkan dimensi spiritualitas secara signifikan. Dengan
demikian, perbedaan tersebut mencerminkan perbedaan akar filosofis,
metodologi, dan tujuan dari dua bidang keilmuan ini.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara keseluruhan, perbandingan antara Psikologi Tasawuf dan
Psikologi Barat menggambarkan dua pendekatan yang berbeda terhadap
pemahaman dan pengkajian aspek kejiwaan manusia. Psikologi Tasawuf
menonjolkan dimensi spiritualitas dan hubungan dengan Tuhan sebagai fokus
utamanya, dengan objek kajian yang melibatkan pengalaman sufistik dan
upaya menuju akhlak mulia. Sementara itu, Psikologi Barat lebih terfokus pada
pendekatan ilmiah dan eksperimental terhadap aspek kognitif, perilaku, dan
emosional, dengan penekanan yang lebih sedikit pada dimensi spiritualitas.
Perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam akar filosofis, metodologi
penelitian, dan tujuan akhir dari dua bidang keilmuan ini. Meskipun keduanya
memainkan peran penting dalam memahami manusia, keduanya memberikan
kontribusi unik dan memberikan wawasan yang berbeda terhadap
keberagaman kompleksitas kejiwaan manusia.

8
DAFTAR PUSTAKA

An-Najar, Amir, Dr, at-Tashawuf an-Nafsi ( Kairo : al-Hay’ah Mishriyah al-


‘Ammah li Kitab, 2002), Penj : Ija Sutana, Judul Bahasa Indonesia :
Psikoterapi Sufistik (Jakarta : Penerbit al-Hikmah PT Mizan Publika, 2004)

Mustofa, A. H, Drs; Akhlak Tasawuf, ( Bandung : CV Pustaka Setia), th. 2005

Nata, Abuddi. H. Drs, MA, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada),
cet. II th. 1996
Jaya. Yahya, Prof. Dr. MA, Bimbingan Konseling Agama Islam, (Angkasa raya), th.
2004

Anda mungkin juga menyukai