PEMBAHASAN
Jadi, Psikologi agama terdiri dari dua paduan kata, yakni psikologi dan agama.
Kedua kata ini mempunyai makna yang berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin,
1979: 77). Sedangkan agama memiliki sangkut paut dengan kehidupan batin manusia.
Menurut Harun Nasution, agama berasal dari kata Al-Din yang berarti undang-undang
atau hukum, religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca.
Kemudian religare berarti mengikat.
1
Dari ketiga rumusan pengertian psikologi agama tersebut ditemukan beberapa
catatan penting, yang selanjutnya dapat digunakan untuk melacak bagaimana hakekat
ilmu ini?.
Bila dicermati dari ketiga kajian pokoknya, maka jelas bahwa psikologi agama
tidak menyentuh keyakinan atau kepercayaan agama seseorang. Psikologi agama
hanya meneliti seberapa besar atau kecil pengaruh keyakinan terhadap sikap dan
perilakunya, bagaimana proses terjadi, dan bagaimana kondisi jiwa keberagamaan
seseorang. Psikologi agama tidak menyentuh ajaran agama dan atau keyakinan
seseorang. Ini berarti, psikologi agama tidak berhak mendukung, membenarkan,
menolak atau menyalahkan ajaran, keyakinan, atau keimanan seseorang. Ungkapan
seperti itu dapat ditemukan dalam pengertian Jalaluddin, dan juga Thouless, karena
keduanya menyatakan, kajian psikologi agama mengarah pada aplikasi prinsip-prinsip
psikologis perilaku keagamaan seseorang.
2
keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. Dengan demikian dapat dipahami, psikologi
agama adalah ilmu psikologi yang menekankan kajiannya pada pengaruh, proses
kejiwaan, dan bentuk-bentuk kemantapan atau kegoncangan dalam kehidupan
keberagamaan seseorang.
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsur
kejiwaan dalam diri manusia. Dalam hal ini cukup beralasan mengingat substansi
pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan
identik dengan unsur kejiwaan.
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup
pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari
maslah agama lainnya. Pernyataan Robert Thouless, memusatkan kajiannya pada
agama-agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok / masyarakat itu sendiri.
Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan
menggunakan psikologi.
1. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut serta dalam
kehidupan beragama orang biasa ( umum ). Contoh : perasaan tenang, pasrah dan
menyerah.
2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap
Tuhannya. Contohnya: kelegaan batin.
3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup
sesudah mati/ akhirat pada tiap-tiap orang.
3
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan
yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut
memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap
ayat-ayat suci kelegaan batinnya. Semua itu tercangakup dalam kesadaran
beragama (religious counsciousness) dan pengalaman agama ( religious
experience).
C. Pengertian Tasawuf
Tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang
mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai Islam, dengan pengertian bahwa
pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, karena seluruh agama
Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar
mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab di dalam ajarannya yang menjadi sasaran
utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan
bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik
sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Khaliq
pencipta alam semesta.
1. Tasawuf berasal ari istilah “ahlu Shuffah” artinya sekelompok orang di zaman
Rasulullah Saw, yang hidupnya banyak berdiam diri di serambi-serambi mesjid
dan mereka hanya mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah
SWT.
2. Tasawuf berasal dari kata “Shof” yang maksudnya adalah barisan orang yang
dalam sholat yang berada di sohf yang paling depan.
3. Tasawuf berasal dari kata “Shaffa” yang artinya adalah orang-orang bersih dan
suci yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhannya sesuci-sucinya.
4. Tasawuf diasrtikan sebagai sekelompok orang-orang bani “Shuffah”.
4
5. Tasawuf diartikan dari bahasa Grik atau Yuanani, yakni “Saufi” yang berarti
hikmah atau kebijaksanaan.
6. Tasawuf berasal dari kata “Shaufanah” yaitu sebangsa buah-buahan kecil dan
berbulu banyak yang tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan pakaian kaum
sufi adalah berbulu-bulu seperti buah itu pula.
7. Tasawuf bersal dari kata “Suff” yang berarti bulu domba atau wol, maksudnya
adalah kaum sufi itu adalah kaum yang sering kali berpakaian yang berasal dari
bulu domba yang menimbulkan kesederhanaan dan kefakiran. (Rosihan Anwar,
2000:9).
Dari ketujuh pengertian tersebut di atas yang diaukui oleh banyak kalangan
adalah yang ketujuh, yaitu makna tasawuf dengan istilah “Shuff” yakni kaum sufi
adalah kaum yang menggunakan pakaian woll, walaupun kenyataannya tidak semua
kaum sufi berpakaian wol.
Pengertian tasawuf secara terminologipun tidak sedikit para ahli yang berbeda
pendapat, hal ini nampaknya disebabkan oleh selera masing-masing dalam memaknai
kata tasawuf. Akan tetapi untuk memberikan penekanan pada pemabahasan ilmu
taswawuf ini, penulis coba pengutip pendapat Al-Junaidi tentang tasawuf, seperti
yang dikutip oleh Mukhtar Solihin, yaitu ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari
tentang pembersihan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian
dengan makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia serta
berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah saw, dengan
mendekatkan diri dan mencapai keridhoan-Nya.
Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf merupakan bidang yang oleh
sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda
dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam percakapan sehari hari, banyak
yang mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini
cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa
manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan.
5
Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas
tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas
dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam pembahasan tasawuf
dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari
uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian
antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat
sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang
dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. Dari sini baru muncul perbuatan
perbuatan manusia, baik atau buruk, yang disebut dengan akhlak. Maka hubungan
tasawuf dengan psikologi agama secara jelas bisa dihilat dalam lingkup Tasawuf
Akhlaqi.
Oleh karena itu pada tahap-tahap awal dalam tasawuf akhlaqi mempunyai
tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang
sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela.
Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek
antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela.
Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun
internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang
bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Adapun yang bersifat dalam adalah
seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli
6
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase
tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan
organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah
terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran
optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi agama ditemukan
beberapa persamaan dari keduanya, yaitu :
7
Konsepsi tentang fitrah di atas, memiliki kesamaan dengan pandangan
Maslow dan juga para ahli psikolog humanistik lain, yang menekankan potensi
dasar manusia. Menurutnya, manusia adalah spesies yang memiliki kemampuan
atau potensi dasar yang sangat besar. Namun pada umumnya manusia hanya
menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia justru lebih
didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya yang dapat mengarahkan pada
pilihan mundur, atau kejahatan. Konsepsi semacam ini adalah salah satu factor
penting dari teori maslow tentang motivasi manusia secara komperhensip.
Sesuai Firma Tuhan " Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan
suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd,
13).
8
dorongan tingkat rendah ini tidak dapat dipenuhi maka akan menimbulkan
penyakit mental dan menjauhkan diri dari proses aktualisasi diri (fitrah).
Pertama, perlu diketahui bahwa para sufi sebagaimana mistis yang lain,
memiliki konsep dunia yang berbeda dengan ilmu pengetahuan modern. Ilmu
pengetahuan modern menganggap dunia yang dikaji manusia secara valid
hanyalah realitas yang obyektif, yang seringkali disebut dunia materi. Meskipun
keberadaan dunia non-materi tidak sepenuhnya diingkari, namun mereka tidak
memiliki ketegasan, apakah realitas spiritual itu merupakan sesuatu yang ada
dalam dirinya sendiri ataukah hanya sisi dalam dunia materi. Sedangkan para sufi
dengan tegas menganggap bahwa hakikat realitas bersifat spiritual, karena segala
sesuatu berasal dari Tuhan dan Tuhan adalah wujud spiritual.
Ketiga, di dalam konsep sufi juga terdapat berbagai realitas dan wujud
spiritual yang berinteraksi serta memberi pengaruh kepada kondisi jiwa manusia,
seperti mukjizat, bantuan malaikat, godaan setan, atau gangguan jin yang bukan
hanya terdapat dalam, namun juga tidak mungkin diterima oleh psikologi modern.
9
Keempat, dalam presfektif mistisisme secara umum, dan juga bagi para sufi,
terdapat kaidah yang mengatakan: ‘hanya yang sama bisa saling mengetahui’,
yang mengacu kepada kesejajaran antara aspek-espak di dalam diri manusia
dengan lapisan alam raya di atas.
Dari sisi lain Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa Agama (Psikologi
Agama) semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan
latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual ke arah yang
lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut
adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih
kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta
untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan
baik.
10
dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-
sentuhan keislaman.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada
jenis jiwa yang berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah
nafsu-nafsu hewani atau nabati, prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan
nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil
adalah prilaku insani pula. Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam
konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia
terletak pada unsur spritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam
konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani
manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan
jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi
khalifah-Nya di bumi.
11
kedua kajian tersebut seakan terpisahkan, padahal objek kajian tasawuf, psikologi
agama, dan kesehatan mental berurusan dengan soal yang sama, yakni soal jiwa.
12
Nicholson menyatakan “Sufism is the type of religious experiences” (Sufisme,
tasawuf, merupakan suatu bentuk berbagai pengalaman keberagamaan).
13
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Tasawuf dengan psikologi memiliki hubungan, yaitu tentang jiwa dan aspek yang
mempengaruhinya.
2. Kesamaan potensi dasar manusia memiliki kecenderungan kebaikan dan
keburukan yang nantinya dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan yang datang
dari luar dalam perkembangan kehidupannya, dan dalam konsep psikologi
Maslow manusia lah yang menentukan pilihan baik buruk itu, sedangkan dalam
tasawuf selain manusia itu sendiri namun jug tidak terlepas dari takdir Illahi.
3. Kesamaan-kesamaan itu meliputi kesederhanaan, kesabaran, menerima kodarat
apa adanya, kerelaan ,kreativ, suka cita, kesatuan, ketahanan terhadap budaya,
efisien, terpusat pada persoalan , kemandirian, kesegaran paresiasi, kesadaran
social, demokratis dll. Di mana karakter-karakter tersebut ditemukan baik dalam
maqomat, ahwal, self actualization, peak-experience, dan metamotivation.
(Maslow)
4. Perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya adalah pada tujuan akhir.
Tujuan akhir dari pengalam sufi adalah ketauhidan yang murni, sedangkan
Maslow menjadikan aktualisasi diri sebagai tujuannya. Dalam pandangan tasawuf
maqomat dan ahwal merupakan proses yang harus dilalui seseorang untuk
mencapai kesempurnaan, sementara aktualisasi diri Maslow adalah proses
sekaligus tujuannya.
14
B. Kritik dan Saran
Segala puji bagi Tuhan semesta alam, dalam waktu yang minimal singkat, dan
dengan kekuatan yang maksimal makalah ini dapat diselesaikan. Dalam
mengerjakan makalah ini, kami merasa sedikit kesulitan tetapi inilah proses
belajar yaitu untuk menghilangkan kebodohan sehingga menjadi sebuah
penemuan dan pemahaman baru. Tetapi kami percaya, bahwa makalah ini tidaklah
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami butuhkan
guna untuk memperbaiki makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmad, Jalaludin. 1996. Psikologi Agama. (Edisi Revisi). Penerbit Putra Utama:
Jakarta.
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama.Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Ramayulis.2009. Psikologi Agama.Radar Jaya: Jakarta.
Aqil, Muhammad.1993. Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islâmiy.Dar al-Hadits: Kairo.
Badri, Malik B.1994. The Dilemma of The Muslim Psychology, Terj. Siti Zaenab
Lutfiati, dengan judul “Dilemma Psikolog Muslim”. Pustaka Firdaus: Jakarta.
Bastaman, Hanna Djumhana.1995. Integritas Psikologi Dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Daradjat, Zakiah.1970. Ilmu Jiwa Agama.Bulan Bintang: Jakarta.
Spilka, Bernard.1985.The Psychology of Religion, An Empirical Approach. Ner
Jersey: Prentice Hall.
Rasihi Anwar, Mukhtar Solihin.2004.Ilmu tasawuf.CV Pustaka Setia: Jakarta.
Nurbakhsi, Javad, 2000. Psikologi Sufi (Penterjemah: Arief Rakhmat), Fajar
Pustaka: Yogyakarta.
Nata, Abuddin.1996.Akhlak Tasawuf.PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
15