Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi Agama

Psikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari perilaku manusia secara


umum dapat dilihat dari segi mental, baik yang bersifat perasaan ataupun bukan,
dengan tujuan untuk mencapai kaidah-kaidah yang dapat dipakai guna memahami
berbagai motif perilaku, mengenali dan memastikan (gejala-gejala kejiwaan yang
tampak dalam perilaku).

Kemudian pengertian agama, Jung berpendapat bahwa agama adalah kondisi


mental khusus yang bias dikondisikan. Pandangan Jung ini berdasarkan kepada
penggunaan kata asli agama atau religion yang biasa dipakai untuk menunjukkan
makna pandangan baru atau titik persepsi, yang terbentuk karena berbagai factor.
Artinya, agama adalah suatu istilah yang mungkin sekali terbentuk dalam diri manusia
karena beberapa factor. Hal ini terjadi karena manusia menemukan keadaan mental
tersebut bersifat kuat dan kukuh, sehingga mencapai suatu derajad kemungkinan besar
menjadi fokus perhatiaannya.

Jadi, Psikologi agama terdiri dari dua paduan kata, yakni psikologi dan agama.
Kedua kata ini mempunyai makna yang berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin,
1979: 77). Sedangkan agama memiliki sangkut paut dengan kehidupan batin manusia.
Menurut Harun Nasution, agama berasal dari kata Al-Din yang berarti undang-undang
atau hukum, religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca.
Kemudian religare berarti mengikat.

Dari definisi tersebut, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan


beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama
itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah darajat dikutip oleh
Jalaluddin, 2004: 15).

1
Dari ketiga rumusan pengertian psikologi agama tersebut ditemukan beberapa
catatan penting, yang selanjutnya dapat digunakan untuk melacak bagaimana hakekat
ilmu ini?.

Pertama, psikologi agama menitikberatkan pada aspek pengaruh, karenanya


ada yang menyebut psikologi agama sebagai ilmu pengaruh, yakni ilmu yang
mempelajari sikap dan perilaku seseorang sebagai hasil pengaruh keyakinan atau
kepercayaan agama yang dianutnya.

Kedua, psikologi agama mengkaji proses terjadinya pengaruh tersebut.


Psikologi agama mengkaji bagaimana proses terjadinya pengaruh suatu kepercayaan
atau keyakinan dalam menumbuhkembangkan jiwa keagamaan seseorang.

Ketiga, psikologi agama mengkaji kondisi keagamaan seseorang. Bagaimana


terjadinya kemantapan dan kegoncangan jiwa dalam keberagamaannya juga menjadi
obyek kajian penting psikologi agama. Tiga ranah itu yang menjadi kajian pokok
psikologi agama.

Bila dicermati dari ketiga kajian pokoknya, maka jelas bahwa psikologi agama
tidak menyentuh keyakinan atau kepercayaan agama seseorang. Psikologi agama
hanya meneliti seberapa besar atau kecil pengaruh keyakinan terhadap sikap dan
perilakunya, bagaimana proses terjadi, dan bagaimana kondisi jiwa keberagamaan
seseorang. Psikologi agama tidak menyentuh ajaran agama dan atau keyakinan
seseorang. Ini berarti, psikologi agama tidak berhak mendukung, membenarkan,
menolak atau menyalahkan ajaran, keyakinan, atau keimanan seseorang. Ungkapan
seperti itu dapat ditemukan dalam pengertian Jalaluddin, dan juga Thouless, karena
keduanya menyatakan, kajian psikologi agama mengarah pada aplikasi prinsip-prinsip
psikologis perilaku keagamaan seseorang.

Pendapat kedua tokoh sekaligus mempertegas, bahwa obyek kajian psikologi


agama bukan ajaran agama, melainkan tiga aspek sebagaimana disebut di atas, yang
oleh Zakiah diringkas menjadi dua aspek, yaitu, kesadaran keagamaan (religious
consciousness) dan pengalaman keagamaan (religious experience). Kesadaran
keagamaan diartikan sebagai bagian atau segi yang hadir dalam pikiran yang
pengujiannya dapat dilakukan melalui metode instrospeksi. Juga dapat dikatakan,
kesadaran keagamaan adalah aspek mental dan aktifitas keagamaan seseorang.
Sementara pengalaman keagamaan diartikan sebagai perasaan yang membawa pada

2
keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. Dengan demikian dapat dipahami, psikologi
agama adalah ilmu psikologi yang menekankan kajiannya pada pengaruh, proses
kejiwaan, dan bentuk-bentuk kemantapan atau kegoncangan dalam kehidupan
keberagamaan seseorang.

Psikologi agama merupakan studi psikologi dalam kaitannya dengan


kehidupan keagamaan seseorang dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip psikologi.
Bagaimana bentuk pengaruh ajaran keagamaan, bagaimana terjadinya proses
pembentukan suasana kejiwaan, dan bagaimana pula bentuk-bentuk kepribadian
keagamaan seseorang dikaji dengan tetap bertopang pada prinsip-prinsip psikologi.

Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsur
kejiwaan dalam diri manusia. Dalam hal ini cukup beralasan mengingat substansi
pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan
identik dengan unsur kejiwaan.

B. Ruang Lingkup Kajian Psikologi Agama

Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup
pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari
maslah agama lainnya. Pernyataan Robert Thouless, memusatkan kajiannya pada
agama-agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok / masyarakat itu sendiri.
Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan
menggunakan psikologi.

Menurut Zakiyah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian


psikologi agama mengenai:

1. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut serta dalam
kehidupan beragama orang biasa ( umum ). Contoh : perasaan tenang, pasrah dan
menyerah.
2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap
Tuhannya. Contohnya: kelegaan batin.
3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup
sesudah mati/ akhirat pada tiap-tiap orang.

3
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan
yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut
memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap
ayat-ayat suci kelegaan batinnya. Semua itu tercangakup dalam kesadaran
beragama (religious counsciousness) dan pengalaman agama ( religious
experience).

C. Pengertian Tasawuf

Tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang
mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai Islam, dengan pengertian bahwa
pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, karena seluruh agama
Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar
mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab di dalam ajarannya yang menjadi sasaran
utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan
bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik
sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Khaliq
pencipta alam semesta.

Sedangkan pengertian tasawuf dalam terminologi Islam, ternyata banyak para


ahli dan tokoh-tokoh Islam yang berbeda pendapat tentang apa yang sebenarnya
pengertian tasawuf itu secara baik dan benar. Nampaknya di sini kita perlu melihat
beberapa pengertian itu antara lain:

1. Tasawuf berasal ari istilah “ahlu Shuffah” artinya sekelompok orang di zaman
Rasulullah Saw, yang hidupnya banyak berdiam diri di serambi-serambi mesjid
dan mereka hanya mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah
SWT.
2. Tasawuf berasal dari kata “Shof” yang maksudnya adalah barisan orang yang
dalam sholat yang berada di sohf yang paling depan.
3. Tasawuf berasal dari kata “Shaffa” yang artinya adalah orang-orang bersih dan
suci yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhannya sesuci-sucinya.
4. Tasawuf diasrtikan sebagai sekelompok orang-orang bani “Shuffah”.

4
5. Tasawuf diartikan dari bahasa Grik atau Yuanani, yakni “Saufi” yang berarti
hikmah atau kebijaksanaan.
6. Tasawuf berasal dari kata “Shaufanah” yaitu sebangsa buah-buahan kecil dan
berbulu banyak yang tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan pakaian kaum
sufi adalah berbulu-bulu seperti buah itu pula.
7. Tasawuf bersal dari kata “Suff” yang berarti bulu domba atau wol, maksudnya
adalah kaum sufi itu adalah kaum yang sering kali berpakaian yang berasal dari
bulu domba yang menimbulkan kesederhanaan dan kefakiran. (Rosihan Anwar,
2000:9).

Dari ketujuh pengertian tersebut di atas yang diaukui oleh banyak kalangan
adalah yang ketujuh, yaitu makna tasawuf dengan istilah “Shuff” yakni kaum sufi
adalah kaum yang menggunakan pakaian woll, walaupun kenyataannya tidak semua
kaum sufi berpakaian wol.

Pengertian tasawuf secara terminologipun tidak sedikit para ahli yang berbeda
pendapat, hal ini nampaknya disebabkan oleh selera masing-masing dalam memaknai
kata tasawuf. Akan tetapi untuk memberikan penekanan pada pemabahasan ilmu
taswawuf ini, penulis coba pengutip pendapat Al-Junaidi tentang tasawuf, seperti
yang dikutip oleh Mukhtar Solihin, yaitu ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari
tentang pembersihan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian
dengan makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia serta
berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah saw, dengan
mendekatkan diri dan mencapai keridhoan-Nya.

D. Ruang Lingkup Kajian Tasawuf

Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf merupakan bidang yang oleh
sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda
dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam percakapan sehari hari, banyak
yang mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini
cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa
manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan.

5
Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas
tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas
dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam pembahasan tasawuf
dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari
uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian
antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat
sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang
dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. Dari sini baru muncul perbuatan
perbuatan manusia, baik atau buruk, yang disebut dengan akhlak. Maka hubungan
tasawuf dengan psikologi agama secara jelas bisa dihilat dalam lingkup Tasawuf
Akhlaqi.

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku,


akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang
telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmumah
dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’
lama sufi.

Oleh karena itu pada tahap-tahap awal dalam tasawuf akhlaqi mempunyai
tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:

1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang
sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela.
Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek
antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela.
Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun
internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang
bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Adapun yang bersifat dalam adalah
seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli

6
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase
tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan
organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah
terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran
optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.

Dalam hal ini, dengan demikian tampaklah beberapa sifat bahwa zuhud,


qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori
kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa
nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental
yang sakit.

Keterkaitan antara tasawuf dengan psikologi (agama) ini dibahas dalam


psikologi transpersonal yaitu sebuah aliran baru dalam psikologi yang merupakan
pengembangan dari psikologi humanistik yaitu yang menolak teori dan metode
sebelumnya yaitu psikoanalitik dan behavoristik. Aliran ini berusaha mengembangkan
potensi manusia, hanya saja aliran ini menjangkau hal yang bersifat adikodrati dan
spiritual.

E. Hubungan Psikologi Agama Dengan Tasawuf

Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi agama ditemukan
beberapa persamaan dari keduanya, yaitu :

1. Persamaan konsepsi tentang potensi dasar manusia

Di kalangan para ilmuwan muslim terutama para ahli tasawuf hampir


terjadi kesepakatan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan dalam keadaan
suci atau fitrah. Yang dimaksud fitrah di sini adalah bahwa manusia ketika
dilahirkan adalah dalam kondisi yang tidak memiliki dosa sama sekali, bahkan
manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan kepada Allah. Konsepsi Islam
mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai
Tuhan, atau kecenderungan kepada kebenaran.

7
Konsepsi tentang fitrah di atas, memiliki kesamaan dengan pandangan
Maslow dan juga para ahli psikolog humanistik lain, yang menekankan potensi
dasar manusia. Menurutnya, manusia adalah spesies yang memiliki kemampuan
atau potensi dasar yang sangat besar. Namun pada umumnya manusia hanya
menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia justru lebih
didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya yang dapat mengarahkan pada
pilihan mundur, atau kejahatan. Konsepsi semacam ini adalah salah satu factor
penting dari teori maslow tentang motivasi manusia secara komperhensip.

Menurut maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan


kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya. Meski demikian banyak orang
yang tidak mengetahui potensi yang dimilikinya, mereka tidak menyadari
seberapa besar prestasi yang dapat meraka raih dan berapa banyak ganjaran bagi
mereka yang mengaktualisasikan dirinya.

2. Persamaan konsepsi perkembangan jiwa manusia

Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan mepunyai peluang


untuk mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan kehendak bebasnya
manusia diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur, di mana pilihan
inilah yang dapat merubah kondisi psikologis manusia.

Sesuai Firma Tuhan " Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan
suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd,
13).

Dari ayat tersebut jelas sekali bahwa perkembangan dan pertumbuhan


manusia sangat ditentukan oleh pilihannya sendiri. Jika ia konsisten dengan
fitrahnya maka ia akan berkembang secara wajar.

Dalam prespektif psikologi humanistik maslow, pertumbuhan yang wajar


dan sehat adalah dipengaruhi oleh motif perkembangan, sementara pertumbuhan
yang mengarah pada kemunduran dipengaruhi oleh motif kekurangan (defisiensi
need). Motif kekurangan atau kebutuhan dasar ini, serupa dengan konsepsi nafs al-
ammarah dalam tradisi tasawuf, di mana jika seseorang didominasi oleh nafsu
rendah maka ia akan cenderung pada kebutuhan atau keinginan rendah, jika

8
dorongan tingkat rendah ini tidak dapat dipenuhi maka akan menimbulkan
penyakit mental dan menjauhkan diri dari proses aktualisasi diri (fitrah).

Perlu dikatahui bahwa tasawuf merupakan presfektif spiritual untuk


memetakan kondisi kejiawaan manusia, dalam usahanya menuju kesempurnaan,
yaitu pengetahuan terhadap atau penyatuan dengan Yang Maha Mutlak. Menurut
Javad Nurbakhsi (2000 : 3), ada beberapa hal dalam memahami bahwa tasawuf
merupakan bagian dari psikologi agama, yaitu:

Pertama, perlu diketahui bahwa para sufi sebagaimana mistis yang lain,
memiliki konsep dunia yang berbeda dengan ilmu pengetahuan modern. Ilmu
pengetahuan modern menganggap dunia yang dikaji manusia secara valid
hanyalah realitas yang obyektif, yang seringkali disebut dunia materi. Meskipun
keberadaan dunia non-materi tidak sepenuhnya diingkari, namun mereka tidak
memiliki ketegasan, apakah realitas spiritual itu merupakan sesuatu yang ada
dalam dirinya sendiri ataukah hanya sisi dalam dunia materi. Sedangkan para sufi
dengan tegas menganggap bahwa hakikat realitas bersifat spiritual, karena segala
sesuatu berasal dari Tuhan dan Tuhan adalah wujud spiritual.

Kedua, Para sufi juga menganggap diri manusia memiliki lapisan-lapisan


yang paralel dengan realitas alam raya. Kita tidak hanya berjumpa dengan istilah
mikrokosmos dan makrokosmos, yang menggambarkan bahwa diri manusia
adalah miniatur alam raya; melainkan juga mikroantropos dan makroantropos,
dari Ibnu Arabi yang berarti alam raya sebenarnya merupakan tiruan dalam
struktur raksasa dalam diri manusia. Didalam diri manusia terdapat lapisan fisikal
yang berada di alam materi; lapisan selanjutnya lebih tinggi adalah nafs yang
setara dengan alam nasut;lapisan Qalb yang sejajar dengan ‘Arsy; lapisan ruh
yang setara dengan Malakut; lapisan kesadaran batin, Sirr atau kahfi, yang berada
dalam tingkat alam jabarut; serta lapisan kesadaran batin terdalam (Akhfa) yang
berada dalam tingkatan alam lahut.

Ketiga, di dalam konsep sufi juga terdapat berbagai realitas dan wujud
spiritual yang berinteraksi serta memberi pengaruh kepada kondisi jiwa manusia,
seperti mukjizat, bantuan malaikat, godaan setan, atau gangguan jin yang bukan
hanya terdapat dalam, namun juga tidak mungkin diterima oleh psikologi modern.

9
Keempat, dalam presfektif mistisisme secara umum, dan juga bagi para sufi,
terdapat kaidah yang mengatakan: ‘hanya yang sama bisa saling mengetahui’,
yang mengacu kepada kesejajaran antara aspek-espak di dalam diri manusia
dengan lapisan alam raya di atas.

Kaidah di atas menjadikan sebuah naskah atau pembicaraan mistik hanya


bisa difahami oleh para mistikus, yaitu orang telah, sedang, akan, atau ingin
menekuni kehidupan mistis. Dunia sufi adalah dunia spiritual, yanng tidak dapat
diperbincangkan secara diskursif karena tidak memilki acuan kongkrit.

Dari sisi lain Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa Agama (Psikologi
Agama) semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan
latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual ke arah yang
lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut
adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih
kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta
untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan
baik.

Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia


itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur,
resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya. Dengan
tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan
(psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri,
dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa
lainnya.

Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan Tuhan bahwa


berusaha untuk berada di hadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan
ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat
karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki
ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis
seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya. Tasawuf juga selalu
membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang

10
dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-
sentuhan keislaman.

Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia


muslim. Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara
spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian
tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan.
Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan
dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan
tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat
sejauhmana hubungan perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan
yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru
muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai
perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang
adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika
perbuatan yang ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.

Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada
jenis jiwa yang berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah
nafsu-nafsu hewani atau nabati, prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan
nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil
adalah prilaku insani pula. Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam
konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia
terletak pada unsur spritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam
konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani
manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan
jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi
khalifah-Nya di bumi.

Tasawuf dapat dijadikan pijakan jiwa alternative dalam menghadapi


problem kehidupan yang semakin kompleks. Setiap orang membutuhkan pijakan
dalam hidupnya untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang
berimplikasi pada psikologi pada orang tersebut. Tasawuf dijadikan pijakan
karena tasawuf lebih dekat dengan disiplin ilmu psikologi. Akan tetapi sering

11
kedua kajian tersebut seakan terpisahkan, padahal objek kajian tasawuf, psikologi
agama, dan kesehatan mental berurusan dengan soal yang sama, yakni soal jiwa.

Kemudian pendapat lain juga menyatakan tidak ditemukan secara langsung


hubungan psikologi agama dengan tasawuf, namun jika dikaji lebih teliti maka
akan ditemuakan beberapa keterkaitan, yaitu:

Pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian


kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada metode pengkajiannya.
Tasawuf lebih banyak menggunakan metode intuitif, metode nubuwah, metode
ilahiyah, dan metode-metode yang berkaitan dengan “qalb” lainnya. Sementara
psikologi agama menggunakan metode pengkajian psikologis empirik. Tasawuf
membahas bagaimana menyucikan jiwa spiritualitas manusia beragama, psikologi
agama membahas bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap seluruh aspek
kehidupan manusia yang observeable.

Kedua, Tasawuf dan psikologi agama berbicara tentang kondisi


keberagamaan seseorang. Tasawuf menggunakan pendekatan “rasa” ,
sementara psikologi agama menggunakan pendekatan “positivisme”, cara berfikir
positif, dan rasional empirik.

Ketiga, kedekatan hubungan tasawuf dengan psikologi agama ditemukan


ketika ternyata salah satu kajian psikologi agama adalah perilaku para sufi. Hanya
saja psikologi agama melihat ketasawufan para sufi melalui fenomena yang dapat
diteliti dan diobservasi. Psikologi agama tidak mengkaji tasawuf dari segi ajaran
dan ritus-ritusnya, melainkan hanya mengkaji bukti-bukti empirik ketasawufan
seorang sufi. Psikologi agama tidak melibatkan diri dalam pembelaan atau
penyangkalan terhadap hasil penghayatan para sufi. Psikologi agama hanya
mengungkap pengaruh ajaran tasawuf terhadap perilaku dan kepribadian
seseorang.

Keempat, persinggungan tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan


dalam obyek kajian. Psikologi agama bersinggungan dengan tasawuf dikarenakan
ada kepentingan obyek kajian dan atau obyek penelitian. Sebagaimana dalam
uraian di atas, salah satu obyek kajian psikologi agama adalah kesadaran dan
pengalaman keberagamaan seseorang. Sementara dua hal tersebut banyak
ditemukan dalam ajaran dan perilaku kehidupan para sufi. Berkait dengan itu,

12
Nicholson menyatakan “Sufism is the type of religious experiences” (Sufisme,
tasawuf, merupakan suatu bentuk berbagai pengalaman keberagamaan).

Dengan demikian, titik persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama


dapat ditemukan dalam beberapa aspek, sebagaimana diungkap di atas, sekalipun
persinggungannya tidak bersifat esensial. Secara hakiki kedua bidang kajian
tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan berbeda. Bahkan
dapat dikatakan, tasawuf lebih bersikap pasif, sedangkan psikologi lebih bersikap
agresif. Penghayatan tasawuf para sufi sama sekali tidak pernah berorientasi pada
kepentingan keilmuan. Mereka hanya memiliki satu orientasi, yaitu, bagaimana
memperoleh kebahagiaan dan kedekatan sedekat-dekatnya dengan Allah, Sang
Khaliq, sementara psikologi agama cenderung terus mencari dan meneliti semua
perilaku dan perikehidupan para sufi.

Kapanpun psikologi agama berdiskusi, maka aspek kehidupan esoterik


sufistik umat beragama tidak bisa ditinggalkan. Bahkan aspek tasawuf menjadi
bagian kajian yang menyita ruang buku-buku dan riset-riset psikologi agama.
Sekalipun persinggungan antara keduanya bersifat pasif aktif, namun
persinggungannya dapat dikatakan bersifat mutualisme. Persinggungan antara
kedua saling memberi keuntungan dan saling memberi manfaat, terutama, bagi
upaya pengembangan dan pemahaman masing-masing ilmu tersebut. Studi
terhadap pengalaman para sufi dapat memberikan kesempurnaan pengkajian
psikologi agama. Sedangkan pengalaman para sufi yang diungkap melalui kajian
psikologi agama dapat memberikan pemahaman dan sekaligus manfaat bagi orang
yang hendak mengkaji dan atau mendalaminya.

13
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Tasawuf dengan psikologi memiliki hubungan, yaitu tentang jiwa dan aspek yang
mempengaruhinya.
2. Kesamaan potensi dasar manusia memiliki kecenderungan kebaikan dan
keburukan yang nantinya dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan yang datang
dari luar dalam perkembangan kehidupannya, dan dalam konsep psikologi
Maslow manusia lah yang menentukan pilihan baik buruk itu, sedangkan dalam
tasawuf selain manusia itu sendiri namun jug tidak terlepas dari takdir Illahi.
3. Kesamaan-kesamaan itu meliputi kesederhanaan, kesabaran, menerima kodarat
apa adanya, kerelaan ,kreativ, suka cita, kesatuan, ketahanan terhadap budaya,
efisien, terpusat pada persoalan , kemandirian, kesegaran paresiasi, kesadaran
social, demokratis dll. Di mana karakter-karakter tersebut ditemukan baik dalam
maqomat, ahwal, self actualization, peak-experience, dan metamotivation.
(Maslow)
4. Perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya adalah pada tujuan akhir.
Tujuan akhir dari pengalam sufi adalah ketauhidan yang murni, sedangkan
Maslow menjadikan aktualisasi diri sebagai tujuannya. Dalam pandangan tasawuf
maqomat dan ahwal merupakan proses yang harus dilalui seseorang untuk
mencapai kesempurnaan, sementara aktualisasi diri Maslow adalah proses
sekaligus tujuannya.

14
B. Kritik dan Saran
Segala puji bagi Tuhan semesta alam, dalam waktu yang minimal singkat, dan
dengan kekuatan yang maksimal makalah ini dapat diselesaikan. Dalam
mengerjakan makalah ini, kami merasa sedikit kesulitan tetapi inilah proses
belajar yaitu untuk menghilangkan kebodohan sehingga menjadi sebuah
penemuan dan pemahaman baru. Tetapi kami percaya, bahwa makalah ini tidaklah
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami butuhkan
guna untuk memperbaiki makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmad, Jalaludin. 1996. Psikologi Agama. (Edisi Revisi). Penerbit Putra Utama:
Jakarta.
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama.Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Ramayulis.2009. Psikologi Agama.Radar Jaya: Jakarta.
Aqil, Muhammad.1993. Madkhal Ila al-Tasawuf al-Islâmiy.Dar al-Hadits: Kairo.
Badri, Malik B.1994. The Dilemma of The Muslim Psychology, Terj. Siti Zaenab
Lutfiati, dengan judul “Dilemma Psikolog Muslim”. Pustaka Firdaus: Jakarta.
Bastaman, Hanna Djumhana.1995. Integritas Psikologi Dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Daradjat, Zakiah.1970. Ilmu Jiwa Agama.Bulan Bintang: Jakarta.
Spilka, Bernard.1985.The Psychology of Religion, An Empirical Approach. Ner
Jersey: Prentice Hall.
Rasihi Anwar, Mukhtar Solihin.2004.Ilmu tasawuf.CV Pustaka Setia: Jakarta.
Nurbakhsi, Javad, 2000. Psikologi Sufi (Penterjemah: Arief Rakhmat), Fajar
Pustaka: Yogyakarta.
Nata, Abuddin.1996.Akhlak Tasawuf.PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai