Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
ZAKARIA
193121050
2021
A. Pengertian Psikologi Agama
Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Menurut bahasa kata
psikologi merupakan hasil peng Indonesiaan dari bahasa Inggris psychologi, dan istilah ini
pun berasal dari kata Yunan, yaitu: Psycho dapat diartikan “roh, jiwa atau jiwa hidup”, dan
logos dapat diartikan “ilmu”. Dengan demikian, secara harfiah psikologi adalh ilmu jiwa.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan manakala ada seseorang yang menyebut dengan istilah
ilmu jiwa atau psikologi. Bertolak dari pemberian istilah tersebut, saya lebih setuju dengan
penyebutan istilah psikologi dari pada ilmu jiwa. Dengan alasan objeknya, dimana objeknya
ilmu jiwa adalah ilmu yang sangat abstrak dan tidak memungkinkan untuk dipelajari maupun
diamati secara langsung. Sedangkan objek dari psikologi adalah ilmu konkrit atau ilmu yang
mempelajari tingkah laku organisme dalam hubungan dengan lingkungannya. Psikologi
secara umum dapat diartikan nsebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang
normal, dewasa dan beradab.1
Sehubugan dengan psikologi agama Jalaludin(1979:77) berpendapat bahwa Psikologi
Agama menggunakan dua kata yaitu Psikologi dan Agama, kedua kata ini memiliki
pengertian yang berbeda. Dimana Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang
mempelajarigejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradap.
Sedangkan penulis menyimpulkan, bahwa psikologi agama adalah salah satu cabang ilmu
psikologi yang mengkaji tentang gejala-gejala kejiwaan dan tingkah laku seseorang yang
dapat diamati secara langsung, dimana gejala-gejala kejiwaan dan tingkah laku tersebut
dibentuk dan dipengaruhi oleh aspek-aspek keagamaan yang dia yakini. Psikologi agama
membatasi wilayah kajiannya hanya pada proses kejiwaan manusia yang dihayati secara
sadar dalam kondisi normal, dan manusia.
B. Target atau Cakupan Psikologi Agama
Psikologi agama membatasi wilayah kajiannya hanya pada proses kejiwaan manusia yang
dihayati secara sadar dalam kondisi normal, dan manusia yang memiliki norma-norma
kehidupan luhur dan berperadaban. Psikologi agama tidak membahas masalah ajaran atau
pokok-pokok keyakinan suatu agama, seperti sifat-sifat Tuhan, masalah surga dan neraka
2[2]Ibid hal. 15
menjadi apa dan siapa, atau berperilaku apa saja sesuai dengan lingkungan yang dialami atau
yang dipersiapkan untuknya. Dengan kata lain, respon atau perilaku individu dalam situasi
tertentu sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh stimulus atau apa yang diterimanya dari
lingkungan. Salah satu prinsip perilaku menurut pendekatan behavioristik adalah perilaku
organisme terbentuk melalui pembiasaaan atau kondisioning. Prinsip lainnya, perilaku yang
mendapat hadiah (reward) cenderung diulangi. Sebaliknya, perilaku yang mendatangkan
hukuman (punishment) cenderung dihindari.3
E. Konsep Manusia Menurut Humanisme dan Al Quran
Secara etimologi, humanism Menurut Corliss Lamont, dalam bukunya The Philosophy of
Humanism, mengatakan “Humanisme is a deration to the humanities or literang culture”
atau humanism adalah kesetiaan pada manusia atau kebudayaan. Pencerahan kemanusian
menjadi semangat untuk belajar kemudian berkembang pada akhir abad pertengahan dan
kebangkitan baru tulisan tulisan klasik dan sebuah pembaharuan yang percaya diri dalam
kesanggupan kejadian manusia untuk menentukan kebenaran dan kesalahan terhadap diri
mereka.
Maka penulis menyimpulkan Humanisme adalah salah satu pendektan atau aliran dari
Pskiologi yang menekankan kepada kehendak bebas, pertumbuhan pribadi, kegembiraan,
kemampuan untuk pulih kembali setelah mengalami ketidakbahagiaan, serta keberhasilan
dalam merealisasikan potensi manusia.
Kemudian, manusia menurut Al Qur’an dimaknai dengan menggunakan beberapa istilah,
yaitu Bani (Banu) adam atau Dzurriyat Adam (Keturunan, anak Cucu Adam), al-insan, al-ins,
an-nas, atau al-basyar. Sejalan dengan fungsinnya sebagai khalifah dimuka bumi ini, manusia
dibekali dengan berbagai instrument sebagai modal dasar dalam menjalankan tugas
kekhalifan. Pada sisi ini manusia tidak menjadi objek selayaknya hewan.
Dalam Islam, setidaknya ada lima paradigma yang dapat digunakan dalam mengukur
kesehatan mental. Paradigma tersebut membentuk piramida dari yang terendah, yaitu
normalitas, kemudian pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu akhlak mazmumah (akhlak
tercela), akhlak mahmudah (akhlak terpuji), keseimbangan nafsiyah, dan yang paling tinggi
adalah orientasi ilaahiyah.
Menurutnya pada tingkatan tertinggi, di dalam Islam kesehatan prilaku dapat dipandang
dari orientasinya. Perilaku sehat adalah perilaku yang diorientasikan untuk beribadah kepada
Allah. Orientasi inilah yang menentukan sehat atau tidaknya sebuah perilaku.
Psikoterapi dzikir dan doa dapat dijadikan psikoterapi untuk pengobatan keguncangan
jiwa, kecemasan dan gangguan mental. Dzikir dan doa adalah metode kesehatan mental.
Dengan berdzikir dan berdoa orang akan merasa dekat dengan Allah SWT dan berada dalam
perlindungan dan penjagaannya. Dengan demikian akan timbul rasa percaya diri, teguh,
tenang, tenteram dan bahagia.
1. Aspek olahraga. Artinya, gerakan-gerakan shalat, mulai dari takbiratul ihram sampai
salam, memberikan efek positif bagi kesehatan jasmani dan ruhani;
2. Aspek relaksasi otot. Menurut Walker, aspek ini dapat mengurangi kecemasan,
mengurangi insomnia, mengurangi sifat hiperaktif pada anak, dan mengurangi toleransi
rasa sakit;
3. Aspek relaksasi kesadaran indera. Artinya, pada saat melaksanakan shalat, ruh kita
“terbang” menghadap Zat Yang Mahatinggi tanpa perantara. Setiap bacaan dan gerakan
senantiasa dihayati dan dimengerti. Ingatan pun fokus pada Allah semata;
4. Aspek meditasi. Shalat memiliki efek seperti meditasi, bahkan shalat adalah meditasi
tertinggi dengan efek luar biasa apabila dilakukan dengan benar dan khusyuk;
5. Aspek autosugesti. Artinya, shalat dapat membimbing diri melalui proses pengulangan
doa-doa atau bacaan shalat yang menyatakan suatu keyakinan atau perbuatan positif;
6. Aspek penyaluran emosi (katarsis). Shalat menjadi sarana penghubung atau sarana
komunikasi antara seorang hamba dan Tuhannya. Saat itulah ia dapat mengadu dan
mengungkapkan isi hatinya kepada Allah secara langsung sehingga beban emosi dapat
tersalurkan secara tepat;
7. Aspek pembentukan kepribadian. Artinya, melalui shalat, seorang hamba akan memiliki
kedisiplinan, cinta kebersihan, cinta persaudaraan, bertutur kata yang baik, dan
bersungguh-sungguh dalam hidup;
8. Aspek terapi air (hydro therapy). Sebelum shalat, seseorang harus berwudhu. Wudhu ini
memiliki efek penyegaran (refreshing), mampu membersihkan badan dan jiwa, serta
memulihkan tenaga.