Di hari yang mulia ini, totalitas penghambaan kita kepada Allah kembali
diperbaharui. Teladan Nabi Ibrahim alaihissalam dan keluarganya menjadi cermin
sejauh mana ketundukan kita kepada Allah Ta’ala. Nabi Ibrahim dan keluarganya
adalah teladan sempurna tentang penyerahan diri yang utuh kepada Allah dan contoh
yang agung tentang kesungguhan dalam menjalankan dan mendakwahkan ajaran-ajaran
islam.
“Dan ingatlah ketika Rabbmu menguji Ibrahim dengan beberapa perintah, kemudian Ibrahim
melaksanakan dengan sempurna semua perintah-perintah itu” (QS. Al Baqarah: 124)
Ketundukan yang sempurna ini memang kadang tidak dapat dipahami oleh akal
pikiran dan tak dapat diterima oleh perasaan. Yang bisa menerimanya hanyalah jiwa yang
penuh dengan keimanan dan keyakinan. Dan Nabi Ibrahim alaihissalam telah
menunjukkan kepada kita bagaimana keimanan dan keyakinan yang sempurna itu.
Nabi Ibrahim diperintah oleh Allah untuk berkhitan pada usia 70 tahun, maka
beliau pun segera melaksanakannya dengan segala keterbatasan yang ada. Allah
perintahkan beliau untuk mendakwahkan ajaran islam kepada penguasa paling zalim
pada zamannya, maka beliau pun datang dengan gagah berani.
Nabi Ibrahim bahkan menghancurkan patung-patung yang dipertuhankan oleh
penduduk negeri, berdiri tegar menghadapi maut yang tampak di depan mata seorang
diri. Akibat perbuatannya, beliau divonis untuk dibakar hidup hidup dan hukuman itu
benar-benar dilaksanakan oleh Namrud, raja yang zhalim saat itu.
Setelah selamat dari kobaran api Raja Namrud, Nabi Ibrahim alaihissalam kembali
mendapatkan perintah untuk membawa keluarga ke tengah padang pasir dan
meninggalkan mereka di sana. Orang tua mana yang tega meninggalkan bayinya di
padang pasir hanya bersama ibunya yang lemah?
Nabi Ibrahim pun demikian. Beliau tentu tidak rela melepas anak dan istrinya di
padang tandus itu. Tapi sekali lagi ini adalah perintah Allah, dan perintah Allah adalah
di atas segala-galanya. Iman perlu pembuktian.
Tak sekedar pengakuan di lisan, tapi harus terpatri di dalam hati, dan terbukti dalam
perbuatan. Dan Nabi Ibrahim pun melakukannya dengan ketulusan penghambaan yang
utuh kepada Allah.
Saat anaknya mulai tumbuh besar dalam usianya yang belia, Allah mengizinkan
Nabi Ibrahim untuk menemui keluarganya di padang pasir Hijaz yang dulunya tandus
dan kering, namun kini telah dipenuhi oleh penduduk bersebab adanya Sumur Zam-zam.
Dalam masa ceria pertemuan keluarga, turun perintah yang sangat berat lagi yaitu
menyembelih putranya yang tercinta. Anak tertusuk duri saja, orang tua akan merasa
perih hatinya. Apalagi ketika harus melihat darah mengucur dari leher sang anak oleh
pisau sembelihan ayahnya sendiri. Sang anak tidak kalah tegarnya dalam menyikapi
perintah ini. Dengan hati penuh keimanan, Ismail berkata kepada ayahnya:
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu!
Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (QS. Ash Shaffat:
102)
Hati ini tak kuasa menahan haru, mata ini kuasa menahan tangis, bila
membayangkan adegan yang sangat menegangkan tersebut. Ayah, ibu, dan anak saling
mengikhlaskan hati untuk tunduk dan patuh melaksanakan perintah Allah. Sungguh
akal pikiran kita sekali lagi tidak akan sampai bila hanya memahami peristiwa ini
dengan logika semata. Yang bisa memahaminya hanyalah hati yang penuh keyakinan
dan keimanan kepada Allah Swt. Sebab bagaimanapun juga perintah Allah adalah di
atas segalanya…
Nabi Ibrahim adalah panutan kita sebagai hamba Allah yang sejati. Allah sendiri
telah memerintahkan Rasulullah untuk mengikuti jejak langkah Nabi Ibrahim.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 97)