Anda di halaman 1dari 9

Pesan Moral dalam Kehidupan Keluarga

(Khutbah ‘Îdul Adha)

1
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah
Di pagi yang penuh berkah ini kita kembali mengumandang­kan
takbir sebagai pernyataan yang tulus dan ikhlas akan kebesaran
dan keagungan Allah l, sekaligus sebagai pengakuan bahwa kita
adalah hamba yang teramat kecil, sangat lemah dan penuh keter­
batasan. Kita memuja dan memuji-Nya sebagai wujud syukur atas
segala limpahan nikmat dan rahmatNya yang tak terhingga.
Alhamdulillah, kita kembali diberi kesempatan oleh Allah l
untuk merasakan kegembiraan dan kebahagiaan dalam suasana
Idul Adha ini. Bukan untuk berpesta, tetapi untuk mengambil ibrah
dari perintah berkurban dan beribadah haji yang terambil dari pe­
nga­laman hidup bersejarah yang dilakoni oleh Nabi Ibrahim p
bersama Isteri dan anak beliau, Ibunda Hajar dan Ismail.
Kehidupan Nabi Ibrahim p benar-benar sarat dengan hikmah
dan keteladanan yang patut diikuti oleh umat Islam saat ini di tengah
berbagai krisis yang melanda dunia dan negara kita khusus­nya: dari
krisis moral, krisis kepemimpinan dan keteladanan, hingga krisis
semangat hidup. Nabi Ibrahim p dalam hal ini adalah sosok

2
orangtua dan pemimpin teladan yang sabar dalam melahirkan gene­
rasi pemimpin yang unggul.
Dalam Kitab Suci, kita bisa membaca sejarah perjuangan beliau
 beserta istri; dimana pada usia perkawinan yang sudah sangat
senja, anak yang ditunggu sebagai generasi penerus belum juga
dikaruniakan oleh Allah l. Dalam penantian yang panjang ter­
sebut, Nabi Ibrahim  tidak pernah berputus asa. Beliau tetap
istiqamah, terus berdoa dan memohon kepada-Nya agar dianu­
gerahi keturunan yang shalih. Beliau senantiasa berdoa “Rabbi habli
min al-shâlihîn” (Wahai Rabb-ku karuniakanlah kepadaku anak yang
shalih). Setelah sekian lama menunggu, Allah l akhirnya menga­
bulkan doa beliau dengan menganugerahkan seorang anak yang
kemudian diberi nama Ismail p.
Baru saja menikmati kebahagiaan dengan kelahiran putranya
Ismail, Allah l memerintahkan Nabi Ibrahim  untuk membawa
dan menempatkan istri dan anaknya di sebuah tempat di dekat
Baitullah. Hal ini disebutkan Allah dalam firman-Nya:

“Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian dari


keturunanku di sebuah lembah yang tiada tanam-tanamannya, di dekat
rumah-Mu (Baitullah) yang disucikan, Ya Tuhanku (yang demikian itu)
agar mereka mendirikan shalat”. (QS Ibrahim [14]: 37).

Kita tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya ujian yang di­


terima oleh Nabi Ibrahim . Beliau diperintahkan untuk berpisah
dengan keluarganya, bahkan disuruh untuk menempatkan istri
yang baru melahirkan dan anaknya yang masih merah di sebuah
tempat yang sangat gersang. Para ahli tafsir menggambarkan, saking
gersangnya tempat itu sampai-sampai rumputpun tidak mau tumbuh.
Istri ditinggal sendiri tanpa pendamping dan sanak keluarga, tanpa

3
pembantu dan tetangga. Ditinggal di gurun pasir yang panas dan
bukit batu yang ganas.
Dalam kondisi seperti itu Ibunda Hajar tidak berputus asa.
Ketika semua perbekalannya telah habis, demi keberlangsungan
hidup anaknya, iapun berlari mencari air dari bukit shafa ke bukit
marwa. Setelah perjuangannya telah mencapai titik optimal, Allah
l Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang menurunkan per­
tolongan-Nya dengan mengeluarkan mata air di dekat kaki Ismail.
Mata air itu kemudian kita kenal dengan sumur zamzam yang me­
ngalir dan dapat dinikmati jutaan kaum muslimin hingga saat ini.
Para muslimah patut meneladani Ibunda Hajar karena beliau
adalah sosok isteri yang yang sangat tabah menghadapi ujian kehi­
dupan yang sangat berat. Isteri yang setia mendampingi suami dalam
suka dan duka. Isteri yang selalu mendukung perjuangan suami
dalam menegakkan kebenaran. Beliau juga seorang ibu yang ikhlas
mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Ibu yang memiliki per­hatian
besar terhadap masa depan putra-putrinya.

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah l


Kemudian setelah Nabi Ismail p beranjak dewasa, Nabi Ibrahim
p kembali diuji oleh Allah l apakah cinta beliau terhadap anak
lebih besar daripada cinta beliau kepada Allah l, berupa perintah
untuk menyembelih anak tersayangnya (Nabi Ismail p). Dalam
al-Qur’an diceritakan, bahkan Nabi Ibrahim p pun merasa ragu
untuk melaksanakan perintah tersebut karena rasa sayang beliau
yang teramat sangat kepada Nabi Ismail p. Namun setelah Nabi
Ismail p turut meyakinkan Nabi Ibrahim p untuk melaksanakan
perintah Allah  itu, beliau pun dengan ikhlas melaksanakannya.
Ungkapan Nabi Ismail p ini termaktub dalam firman Allah l:

4
«Wahai ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepada ayah,
Insya Allah ayah akan mendapati saya dalam keadaan sabar».(QS al-
Shâffât [37]:102).

Kisah Nabi Ibrahim p dan Nabi Ismail p ini patut menjadi


model utama untuk diteladani sebagai Bapak-Anak yang selalu ber­
sabar dalam ketaatan kepada Allah l, melebihi cinta dan kasih di
antara keduanya. Karena Nabi Ibrahim p menyadari bahwa hidup
ini harus selalu dalam ketaatan kepada Allah l semata. Ketaatan
kepada Allah adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Apapun
pengorbanan yang diminta, apapun resiko yang harus ditanggung,
perintah Allah l itulah yang terbaik, perintah Allah itulah yang
harus didahulukan dan ditaati. Bahkan sampai pada tingkat dimana
perintah itu dalam pandangan kita terasa dan terlihat seperti se­
suatu yang sangat tidak wajar, tidak masuk akal, bahkan tidak
manusiawi, harus dan wajiblah kita sebagai seorang yang mengaku
beriman untuk mengatakan “sami’na wa ‘atha’na (kami dengar dan
kami patuhi)”.

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allahl


Keteguhan hati dan kepasrahan yang tinggi yang dimiliki oleh Nabi
Ismail p untuk menerima perintah Allah l yang sangat berat itu
tentu tidak terlepas dari keberhasilan Nabi Ibrahim p dan Ibunda
Hajar dalam mengajarkan dan menanamkan tauhid. Keberhasilan
Nabi Ibrahim p dalam mendidik anaknya, Nabi Ismail p,
bukan­lah pekerjaan ringan. Terlebih jika melihat kesabaran dan per­
juangan hidup dengan segala ujian dan cobaan yang ditimpakan

5
oleh Allah l kepada beliau. Nabi Ibrahim p senantiasa, setiap
waktu, memperlihatkan dan mencontohkan bagaimana ketaatan
seorang hamba kepada Allah l dalam segala hal kepada putra ter­
cintanya. Teladan inilah yang selalu ditangkap dan dihayati oleh
putranya Ismail sehingga tauhid terpatri dalam jiwanya dengan
sangat kuat.
Sekarang mari kita lihat diri kita. Sudahkah kita memberi ke­
teladanan yang baik kepada anak-anak kita? Sudahkah kita memiliki
ketaatan dan keshalihan yang baik untuk dicontoh anak-anak kita?
Sudahkah kita mendoakan mereka setiap selesai shalat agar menjadi
anak-anak yang shalih? Sudahkah kita menyelamatkan mereka dari
lingkungan yang rusak?

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allahl


Membangun dan mencetak generasi terbaik memang memerlukan
perhatian dan pengorbanan yang sangat besar yang harus diiringi
dengan kesabaran dan keikhlasan yang tinggi. Maka, ibarat mimpi
jika kita merindukan lahirnya kader penerus terbaik, sementara
perhatian dan pengorbanan yang kita berikan untuk itu masih
kurang. Tentu saja perhatian dan pengorbanan yang diberikan bukan
pada hal-hal yang bersifat materi, melainkan pada jiwa dan ruhani­
nya, juga pada sikap kepemimpinannya.
Karena yang umum terjadi saat ini adalah orangtua lebih
banyak memberikan perhatian pada hal-hal yang bersifat materi dan
duniawi terhadap perkembangan anak-anaknya. Sedangkan aspek
mental, spiritual dan ruhaninya terkadang tidak diperhatikan.
Saat ini banyak orangtua yang lebih merasa gundah jika anaknya
di­bilang tidak pandai atau tidak menarik, daripada jika anaknya di­
bilang tidak bisa mengaji atau tidak menutup aurat. Banyak orangtua

6
yang tidak merasa khawatir ketika anak tidak shalat dibandingkan
dengan ketika anak tidak juara kelas.
Saat ini, semakin banyak orang cerdas, banyak pula sarjana
pandai dan semakin banyak juga orang kreatif dan jenius, tetapi
ke­maksiatan dan degradasi moral justru semakin parah. Maka, di
tengah godaan kemajuan zaman saat ini, tidak ada yang bisa menye­
lamatkan generasi kita dan generasi sesudahnya kecuali agama dan
tauhid. Maka dari itu, mari kita mulai dari keluarga kita masing-
masing untuk membentuk keluarga yang kuat iman, kuat tauhid dan
kuat kesabarannya dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah l.

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allahl


Maka, pesan inti yang terkandung dalam syariat qurban tidak lain
adalah bagaimana kita meningkatkan semangat berkorban dalam
kebaikan dan kebenaran. Makna dan hakikat kurban bukan sekedar
menyembelih hewan kemudian dagingnya disedekahkan kepada
fakir miskin. Tidak juga berarti bahwa daging dan darahnya yang
akan sampai kepada Allah . Namun yang menjadi penilaian bagi
Allah adalah kualitas takwa yang dihasilkan dari ibadah kurban itu
sendiri. Allah berfirman:

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai


(keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.

7
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah
kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS al-Hâjj [22]:
37).

Dengan demikian berkorban dalam ibadah kurban adalah konse­


kuensi iman dan takwa kepada Allah l selama kita menjalani
ke­hidupan di dunia. Karena hidup adalah perjuangan dan setiap
perjuangan pasti memerlukan pengorbanan. Pengorbanan Nabi
Ibrahim bersama keluarganya patut selalu direnungi dan diteladani
oleh semua manusia dari semua level usia dan latar belakang. Karena
semangat berkorban adalah tuntutan paling berat dalam kehi­dupan,
terutama dan yang pertama adalah dalam membina keluarga dan
generasi penerus umat.
Semoga Allah l meridhai kita semua. Sebagai penutup mari­
lah kita berdo’a kepada Allah l dengan penuh ikhlas:

8
9

Anda mungkin juga menyukai