Anda di halaman 1dari 5

Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah

Marilah selalu memanjatkan syukur kepada Allah SWT karena pada pagi hari ini kita masih diberikan
karunia untuk melakukan shalat Idul Adha di masjid yang penuh berkah. Demikian pula diberikan
kesempatan bertemu keluarga, sahabat, tetangga yang mungkin jarang kita temui di hari biasa.
Karenanya, ini adalah waktu istimewa yang disediakan untuk kita, umat Islam. Karenanya, mari
aneka nikmat yang ada kita pergunakan dengan sebaik mungkin untuk meningkatkan takwallah yang
diwujudkan dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Hadirin yang Berbahagia

Baru saja kita rebahkan diri kita, bersimpuh di depan pintu kebesaran Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Baru saja kita mengakhiri shalat dengan menyebarkan salam sejahtera kepada
semua makhluk sekitar. Sejak tadi malam sampai pagi ini, kita memenuhi langit dengan suara takbir
kita. Allahu akbar allahu akbar allahu akbar la ilahaillahu allahu akbar. Allahu akbar walillahil hamdu.

Di belahan dunia lain, di Mekah al-Mukkaramah, di hari-hari ini, jutaan umat Islam dari segenap
penjuru dunia berdatangan dan berkumpul di tanah suci melakukan ibadah haji. Gemuruh dan gema
kaum muslimin dan muslimat yang sedang menunaikan ibadah haji menyambut panggilan ilahi
dengan mengucapkan talbiyah. Labbaikallahuma labbaik. Labbaika la syarika laa labbaik. Innal
hamda wan nikmata la wal mulk la syarika laka.

Maasyiral Muslimin yang Dirahmati Allah


Idul Ahda yang khas dengan ibadah kurban merupakan bentuk rasa syukur pada Allah. Demikian ini
karena banyaknya Allah telah melimpahkan anugerah pada kita. Kita telah diberi banyak hal oleh
Allah Subhanahu Wa Taala. Anggota tubuh yang kita miliki dari mulai kepala, telinga, tangan, kaki,
hidung, dan lain-lain. Semuanya adalah nikmat yang tidak mungkin terbeli. Jika dihitung berapa
nominal harganya, pastilah tidak bisa dinominalkan. Pastilah bermiliar-miliar.
Demikian juga, udara yang dihirup, biji-bijian yang dimakan, kendaraan yang ditumpangi, semuanya
disediakan oleh Allah Subhanahu Wa Taala yang Maha-Pengasih dan Maha-Penyayang untuk
manusia. Wallahu khalaqa lakum ma fil ardli jami’a. Allah Subhanahu Wa Taala telah menciptakan
yang ada di dunia untuk kalian semua. Semua kalau dihitung dengan nominal angka manusia, pasti
tiada terhingga.

Artinya: Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu
memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu
menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati),
maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-
unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj: 36).

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah


Hari Raya Idul Adha selalu saja menjadi rekonstruksi sejarah masa lampau. Sejarah kehidupan figur-
figur agung para kekasih Allah Subhanahu Wa Taala, yaitu figur Nabiyullah Ibrahim 'Alaihis Salam,
figur sang anak hebat Nabi Ismail, dan figur sang ibu luar biasa, Siti Hajar. Prosesi yang mengharu
biru sejarah umat manusia adalah penyembelihan Nabiyullah Ibrahim AS pada putra tercintanya Nabi
Ismail yang akhirnya diganti kambing oleh Allah.
Selain sebagai bentuk kepatuhan pada titah Allah SWT, ibadah kurban adalah merupakan bentuk
solidaritas atas sesama yang tercecer dari mobilitas sosial. Untuk mereka, yakni orang-orang fakir
dan miskin. Apalagi, di tengah kondisi perekonomian yang lesu di negara Indonesia imbas Covid-19,
juga nilai tukar rupiah yang anjlok di kisaran Rp15.000,- dan menyebabkan makin sulitnya kehidupan
saudara-saudara kita, adalah kewajiban untuk membantu.
Di tengah hiruk pikuk manusia dengan berbagai aktivitasnya, maka menjadi penting untuk
menanyakan kembali pertanyaan Ibrahim AS. Karena bisa jadi, yang primer bagi manusia secara
faktual dewasa ini adalah avoiding the pain, menghindari apa pun yang menyakitkan. Lalu juga
looking for the pleasure, mengejar apa pun yang dirasakan menyenangkan. Sehingga yang muncul
hanyalah kehidupan materi duniawi belaka.
Tujuan hidup kita, lagi-lagi seperti teladan Nabi Ibrahim, adalah harus tertuju pada Allah. Tuhan
semesta alam. Inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin. Sesungguhnya
shalatku, matiku, hidupku adalah untuk Allah. Setiap shalat, kita sudah seringkali mengikrarkan
dalam lisan kita.

Hadirin yang Dimuliakan Allah


Pelajaran berharga lainnya yang kita bisa teladani dari Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam adalah bahwa
tujuan tertinggi manusia adalah seperti doa Nabi Ibrahim. Rabbi hab li minasshalihin. Ya Allah berilah
kami anak-anak yang salih. Nabi Ibrahim meminta anak yang salih. Bukan anak yang pintar, bukan
anak yang kaya raya. Bukan anak yang punya jabatan luar biasa. Bukan anak yang punya pangkat
setinggi langit. Karena apalah arti anak kaya, anak berpangkat dan jabatan, anak yang pintar tapi
mereka tidak salih. Karena itu, kata kuncinya adalah anak salih.

Untuk mewujudkan anak yang salih, tentu bukan hal yang mudah. Pertama: keluarga adalah hal
utama dan pertama dalam mewujudkan anak salih. Jangan remehkan peran keluarga. Anak yang
salih dan salihah, pasti tidak luput dalam pendidikan keluarga sejak dini seperti dilakukan Nabi
Ibrahim dan Siti Hajar. Keduanya berjibaku membentuk karakter Ismail sedemikian rupa. Mereka
mengajarkan pendidikan agama pada Ismail sejak dini. Ini sama dengan sabda Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam dalam mendidik anak-anak muslim: Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara:
Mencintai Nabimu, mencintai ahlu baitnya dan membaca Al-Qur’an. (HR. Tabrani).
Dan sahabat Ali pernah berkata:

Artinya: Didiklah anak-anakmu karena mereka hidup di zaman yang tidak sama dengan zamanmu.

Jamaah yang Berbahagia


Kedua, memberi keteladanan (uswah) pada anak-anak kita. Bagaimana pun, keteladanan
merupakan dakwah yang sangat manjur dalam mengarahkan anak. Dengan keteladanan yang
ditampakkan sehari-hari, maka yang demikian ini akan mempengaruhi anak-anak. Keluarga yang
mempertontonkan kejujuran dan kedermawanan akan berpengaruh bagi anaknya. Sebaliknya,
keluarga yang mempertontonkan kedustaan dan kebakhilan juga akan anaknya meniru.
Di tengah hiruk pikuk manusia dengan berbagai aktivitasnya, maka menjadi penting untuk
menanyakan kembali pertanyaan Ibrahim AS. Karena bisa jadi, yang primer bagi manusia secara
faktual dewasa ini adalah avoiding the pain, menghindari apa pun yang menyakitkan. Lalu juga
looking for the pleasure, mengejar apa pun yang dirasakan menyenangkan. Sehingga yang muncul
hanyalah kehidupan materi duniawi belaka.
Tujuan hidup kita, lagi-lagi seperti teladan Nabi Ibrahim, adalah harus tertuju pada Allah. Tuhan
semesta alam. Inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin. Sesungguhnya
shalatku, matiku, hidupku adalah untuk Allah. Setiap shalat, kita sudah seringkali mengikrarkan
dalam lisan kita.

Hadirin yang Dimuliakan Allah


Pelajaran berharga lainnya yang kita bisa teladani dari Nabi Ibrahim 'Alaihis Salam adalah bahwa
tujuan tertinggi manusia adalah seperti doa Nabi Ibrahim. Rabbi hab li minasshalihin. Ya Allah berilah
kami anak-anak yang salih. Nabi Ibrahim meminta anak yang salih. Bukan anak yang pintar, bukan
anak yang kaya raya. Bukan anak yang punya jabatan luar biasa. Bukan anak yang punya pangkat
setinggi langit. Karena apalah arti anak kaya, anak berpangkat dan jabatan, anak yang pintar tapi
mereka tidak salih. Karena itu, kata kuncinya adalah anak salih.

Untuk mewujudkan anak yang salih, tentu bukan hal yang mudah. Pertama: keluarga adalah hal
utama dan pertama dalam mewujudkan anak salih. Jangan remehkan peran keluarga. Anak yang
salih dan salihah, pasti tidak luput dalam pendidikan keluarga sejak dini seperti dilakukan Nabi
Ibrahim dan Siti Hajar. Keduanya berjibaku membentuk karakter Ismail sedemikian rupa. Mereka
mengajarkan pendidikan agama pada Ismail sejak dini. Ini sama dengan sabda Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam dalam mendidik anak-anak muslim: Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara:
Mencintai Nabimu, mencintai ahlu baitnya dan membaca Al-Qur’an. (HR. Tabrani).
Dan sahabat Ali pernah berkata:

Artinya: Didiklah anak-anakmu karena mereka hidup di zaman yang tidak sama dengan zamanmu.

Jamaah yang Berbahagia


Kedua, memberi keteladanan (uswah) pada anak-anak kita. Bagaimana pun, keteladanan
merupakan dakwah yang sangat manjur dalam mengarahkan anak. Dengan keteladanan yang
ditampakkan sehari-hari, maka yang demikian ini akan mempengaruhi anak-anak. Keluarga yang
mempertontonkan kejujuran dan kedermawanan akan berpengaruh bagi anaknya. Sebaliknya,
keluarga yang mempertontonkan kedustaan dan kebakhilan juga akan anaknya meniru.
Karena itu, Abdullah Nasih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad, mengutip syair Abul Aswad Adduwali
yang melontarkan kecaman bagi pengajar atau orang tua yang tindak tanduknya bertentangan
dengan ucapannya:
Artinya:
Wahai orang yang mengajar orang lain
Kenapa engkau tidak juga menyadari dirimu sendiri.
Engkau terangkan bermacam obat bagi segala penyakit agar semua yang sakit sembuh.
Sedang engkau sendiri ditimpa sakit.
Obatilah dirimu dahulu. Lalu cegahlah agar tidak menular pada orang lain.
Dengan demikian, engkau adalah seorang yang bijak.
Apa yang engkau nasihatkan akan mereka terima dan ikuti,
ilmu yang engkau ajarkan akan bermanfaat bagi mereka.

Ketiga, kumpulkan anak-anak kita dengan teman-teman yang baik atau teman yang salih atau
salihah. Teori habitus yang disampaikan oleh Pierre Bordieu menunjukkan bahwa habitus, tempat di
mana kita berada, sangat berpengaruh pada manusia, pada anak-anak dan juga kepada adik-adik
kita. Bordie menyebut habitus sebagai “struktur yang terstruktur”.

Habitus adalah “lingkungan dari kekuatan yang ada”. Almarhum KH Abdul Muchith Muzadi, selalu
memberi nasihat pada orang-orang: Lebih baik sekolah yang berakhalkul karimah meskipun 'tidak
bermutu' daripada 'bermutu' tapi tidak berakalakul karimah. Untuk memilih pendidikan yang karena
itu, carilah habitus yang baik-baik. Jangan terjerumus pada habitus yang kurang baik sehingga
menyebabkan kita masuk dalam habitus tersebut.

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah


Demikianlah khutbah yang saya sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai