Anda di halaman 1dari 22

http://khutbahistiqlal.wordpress.

com/
Keteladanan Nabi Ibrahim As dan Nabi Isma’il As Dalam
Melaksanakan Perintah Allah SWT
Posted on Maret 17, 2008 by E-Center Istiqlal

( Intisari khutbah Jum’at tanggal, 31 Desember 2006 M)

 oleh : Prof. Dr. Nazaruddin Umar

 Salah satu dimensi kebesaran Nabi Ibrahim ialah besarnya pengorbanan yang ditunjukkan
kepada Allah melalui ketulusannya dalam mengorbankan putra kesayangannya. Nabi Isma’il
lahir setelah melalui penantian yang cukup panjang dari keluarga ini.Kisah keluarga Nabi
Ibrahim sarat akan pesan-pesan moral. Nabi Ibrahim adalah simbol bagi manusia yang rela
mengorbankan apa saja demi mencapai keridhaan Tuhan, rela menyembelih anaknya,
bahkan rela mengorbankan diri dalam kobaran api.

Setiap orang mempunyai kelemahan terhadap sesuatu yang dicintainya. Kelemahan Ibrahim
terletak pada anak kesayangannya yang sudah lama didambakannya, dan dari sini pula
kembali diuji Tuhan berupa godaan setan, tetapi Nabi Ibrahim lulus dari ujian itu. Ia secara
tulus dan ikhlas mau mengorbankan putra kesayangannya.Nabi Isma’il adalah simbol bagi
sesuatu yang paling dicintai dan sekaligus berpotensi melemahkan dan menggoyahkan
iman, simbol bagi sesuatu yang dapat membuat kita enggan menerima tanggung jawab.

Simbol bagi sesuatu yang dapat mengajak kita untuk berpikir subyektif dan berpendirian
egois. Tegasnya, simbol bagi segala sesuatu yang dapat menyesatkan kita.Mari kita 
mengintrospeksi  dan mengukur diri kita masing-masing. Seandainya kita adalah figur
“Ibrahim”, sudahkah kita memperoleh iman setangguh  beliau? Sudahkah kita menunjukkan
pengorbanan yang optimal ke jalan-jalan yang diridhai Tuhan?

Jika kita misalnya berada di puncak karir, sudah relakah kita mengorbankan segalanya demi
mempertahankan prinsip-prinsip ajaran yang dianut?“Nabi Isma’il” simbol bagi sesuatu
yang amat kita cintai, sudah barang tentu kita semua memiliki sesuatu yang dicintai. Boleh
jadi “Isma’il-Isma’il” kita berbentuk harta kekayaan, semisal kendaraan baru, rumah
mewah, jabatan penting, deposito, atau kekayaan lainnya. Apakah kita sudah rela
mengorbankannya untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencapai ridha
Tuhan?

Jika kita sebagai suami, sudah sanggupkah kita meniru ketangguhan iman Nabi Ibrahim,
mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya, demi mengamalkan perintah Tuhan? Jika
kita sebagai istri, sudah sanggupkah kita meniru ketabahan dan ketaatan Hajar, merelakan
suaminya menjalankan perintah Tuhan dan menghargai jiwa besar anaknya? Jika kita
sebagai anak, sudahkah kita memiliki idealisme yang tangguh setangguh Nabi Isma’il yang
rela menjadi korban untuk suatu tujuan mulia?

Kisah-kisah yang ditampilkan Al-Qur’an sangat patut menjadi pembelajaran buat kita
semua. Nabi Ibrahim melahirkan anak paling sejati dalam Al-Qur’an (Q.S. 37. al-Shaffat :
102). Ia bukan hanya anak biologis, melainkan sekaligus anak spiritual. Bandingkan dengan
putra Nabi Nuh, meskipun ia seorang putra biologis Nabi, tetapi ia menjadi pembangkang
dan kufur. Itulah sebabnya ia dicap hanya sebagai anak biologis, tetapi bukan anak spiritual
ayahnya (Q.S.11. Hud : 46).

Fir’aun adalah sosok manusia paling angkuh yang tersebut dalam al-Qur’an, tetapi isterinya
mendapatkan pujian sebagai isteri salehah yang beriman (Q.S. 66 At-Tahrim : 11).
Bandingkan dengan istri paling pengkhianat dalam Al-Qur’an ternyata istri Nabi Luth dan
Nabi Nuh (Q.S. 66 At-Tahrim : 10). Ini merupakan pelajaran penting buat kita bahwa
kehebatan atau kelemahan sosok figur dalam keluarga bukan jaminan bagi keluarga lainnya
untuk melakukan hal yang sama.

Semoga anak keturunan kita tidak hanya menjadi anak keturunan biologis kita, tetapi
sekaligus anak keturunan spiritual kita. Semoga istri/suami kita bukan hanya istri/suami
biologis kita, melainkan sekaligus istri/suami spiritual kita.Hari raya Idul Adha ini juga
momentum yang baik untuk mempersiapkan generasi milenium ketiga, suatu generasi yang
betul-betul terpilih (the chosen people) atau umat pilihan (khairu ummah) menurut istilah
Al-Qur’an (Q.S. 4 Ali Imran : 110).

Al-Qur’an memberikan warning bagi kita agar tidak meninggalkan generasi lemah dan tidak
punya daya saing :  ِ ً‫ين لَ ْو تَ َر ُكوا ِم ْن َخ ْلفِ ِه ْم ُذ ِّريَّة‬
‫ض َعافًا‬ َ ‫“ َو ْليَ ْخ‬
َ ‫ش الَّ ِذ‬
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka generasi yang lemah… “ (Q.S.  An-Nisa : 9)Sebaliknya, Al-Qur’an memberikan
dorongan untuk mempersiapkan generasi yang betul-betul professional, memiliki
kemampuan kompetisi yang handal, generasi yang kuat dan terpercaya, sebagaimana
dilukiskan dalam al-Qur’an :  ُّ ‫ستَأْ َج ْرتَ ا ْلقَ ِو‬
ُ‫ي ْاألَ ِمين‬ ْ ‫“إِنَّ َخ ْي َر َم ِن ا‬
….sesungguhnya generasi yang paling baik yang kamu pilih untuk bekerja ialah generasi
yang kuat lagi dapat dipercaya” (Q.S. 28 Al-Qashash : 26)

Generasi al-qawiyy al-amin menurut ulama Tafsir ialah generasi yang sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki berbagai kecerdasan, keterampilan, dan keunggulan, di samping
kejujuran dan amanah. Dengan demikian, generasi untuk milenium ketiga ialah generasi al-
qawiyy al-amin, yakni generasi tangguh dan terpercaya.Prasyarat untuk mencapai umat
ideal (khairu Ummah) ialah terbentuknya pribadi-pribadi utuh dan keluarga-keluarga
tangguh sebagai cikal bakal warga umat.

Sulit membayangkan umat yang ideal tanpa pribadi utuh dan keluarga yang sakinah. Itulah
sebabnya Al-Qur’an dan hadis lebih  banyak berbicara tentang pembentukan pribadi dan
keluarga, bukannya banyak berbicara tentang masyarakat dan negara.Keluarga sakinah
sebagai cikal bakal umat dan warga bangsa yang ideal merupakan obsesi Al-Qur’an.

Keluarga sakinah hanya dapat diwujudkan melalui institusi perkawinan sah dan Allah SWT
melarang keras perzinahan. Itulah sebabnya perkawinan dalam Islam, menurut Imam
syafi’i, bukan sekedar kontrak sosial (‘aqd al tamlik), melainkan juga memiliki makna sakral
(‘aqd al ‘ibadah). Institusi perkawinan menuntut berbagai syarat dan ketentuan agar rumah
tangga yang terbentuk kelak melahirkan generasi-generasi pilihan. Keluarga dan rumah
tangga yang normal dan utuh berpotensi melahirkan generasi yang tangguh, sebaliknya
keluarga dan rumah tangga yang berantakan berpotensi melahirkan generasi yang lemah.
Wajarlah kiranya jika Rasulullah pernah mengingatkan bahwa, “Sesuatu yang halal tetapi
paling dibenci Allah ialah perceraian” Perceraian adalah lambang kegagalan sebuah rumah
tangga.  

Filed under: Tak Berkategori | Tinggalkan sebuah Komentar »

Al Qur’an dan Al Sunnah Mencerahkan


Kehidupan Manusia
Posted on Maret 17, 2008 by E-Center Istiqlal

( Intisari khutbah Jum’at tanggal, 24 Nopember 2006 M / 03 Dzulqa’dah 1427 H ) 

Oleh : DR.H. Hidayat Nurwahid 

Hari-hari ini kita kembali menyaksikan, merasakan dan melihat karunia Allah yang hadir
terus menerus dan tidak akan berhenti  kepada kita umat Islam khususnya  umat Islam di
Indonesia. Kita kembali betapa satu dari sekian banyak syari’ah Allah bila dilaksanakan
ketika kita melihat sebahagian saudara-saudara kita akan dan sebahagian sudah berangkat
kembali untuk melaksanakan ibadah haji. Tentu saja karunia Allah yang sangat besar ini
kita maknai  sebagai bagian dari karunia-karunia yang memang telah dihadirkan oleh Allah,
agar kita dapat mensyukurinya, dengan mengambilnya sebagai pelajaran yang penting. 

Ibroh yang paling utama salah satu diantarnya, bahwa kita dari salah satu umat Islam,
termasuk umat Islam di indonesia , oleh Allah SWT selalu diberikan sarana, agar tidak
pernah lupa dengan Baitullah, tak pernah lupa dengan Sya’arullah, tidak pernah lupa kita
melaksanakan hak-hak sebagai hamba Allah, siapapun kita, bahkan kita adalah kelompok
masyarakat yang dimudahkan oleh Allah  untuk mendapatkan kemampuan, mempunyai
kekuatan untuk kemudian  karenaNya untuk bisa melaksanakan  kewajiban berhaji. 

Kemampuan terkait dengan pelaksanaan kekuatan, terkait dengan masalah ekonomi,


kesehatan, kesempatan, rizki, keberkahan, Allah SWT memberikan kepada kita satu sarana,
agar kelebihan-kelebihan yang diberikan kepada kita tidak membuat kita menjadi lupa
kepada Allah SWT, lupa ajaran Allah / pada Syari’ahNya,  justru kita kembali diberikan Allah
suatu bukti dan satu sarana bahwa karunia Allah yang diberikan kepada kita baik berupa
harta, kedudukan, kesempatan, ternyata bisa dipergunakan  oleh saudara-saudara kita
untuk merialisasikan ubudiyah kepada Allah dengan melaksanakan ibadah haji.  

Satu hal yang mudah-mudahan kita selalu teringat, akan fatwa syukur kepada Allah SWT, 
hal yang amat menjadi penting hari inipun kita di sisi yang lain, masih merasakan betapa
banyak kegetiran betapa banyak yang pahit, betapa banyak hal yang menyusahkan
kehidupan kita sebagai bangsa, sebagai umat, belum selesai problema dengan lumpur di
Sidoarjo, kembali kemarin terjadi ledakkan yang mengakibatkan bukan saja lubernya
lumpur, tapi terjatuhnya korban saudara-saudara kita yang bertugas dan mereka pasti tidak
berdosa.

Dan kemarin pun kita melihat dan membaca berita bagaimana seorang suami menembak
seorang istrinya sendiri, kemudian ia berupaya untuk bunuh diri, tapi ajal belum sampai
kepada dia, dan jadilah dia sekarang pesakitan.   Begitu banyak masalah-masalah yang
seolah-olah kemudian membawa kita kepada lingkaran syaetan, krisis yang seolah-olah
karenanya tidak memberikan harapan kepada kita untuk bangkit keluar dari lingkaran
syaetan ini. Dari dua kondisi yang telah saya sampaikan, kita sebagai umat yang beragama,
apalagi yang penduduknya mayoritas beragama Islam ini.

Tentulah kita tidak boleh terjebak berlama-lama termangu, seolah-olah tidak mempunyai
pedoman, seolah-olah kita berada di tengah-tengah gelap gulitanya kegelapan dan
kezholiman. Sesungguhnya Allah telah memberikan suatu panduan kehidupan amat sangat
yang mencerahkan yaitu Al Islam, dengan Al Qur’an, panduan yang kongkrit yaitu As
Sunnah.  Kita akan mendapatkan bahwa kehidupan memang tidaklah selamanya terang
benderang, cerah mencerahkan, mudah seperti apa yang kita bayangkan, bahkan
sesungguhpun apabila jamaah haji kita akan berangkat ke Makkah dan Madinah, mereka
akan menadapat satu kondisi Makkah dan Madinah  dan apalagi kalau mereka membaca
siroh Nabawiyah, perjuangan Nabi Muhammad SAW,

sejarah diturunkan Al Qur’anul Karim kepada beliau kita akan mendapatkan Nabi dan Islam,
hadir ditengah kekosongan budaya tidaklah hadir ditengah masyarakat yang tidak
mempunyai interes-interes yang kemudian menghadirkan beragam tragedi, problema,
termasuk juga untuk meredupkan upaya agama Allah, cahaya Al Qur’an.  Tidak mengetahui
bagaimana masyarakat Makkah, bagaiman kejahiliyahannya begitu luar biasa, seperti
digambarkan dengan bagus oleh Umar bin Khathab ra, ketika beliau sudah menjadi
Kholifah, didapatkan oleh seorang umat beliau sedang menangis dan tertawa, umat ini
kemudian bertanya, wahai Kholifah apa yang terjadi, baginda tadi menangis kemudian
tertawa, 

Khalifah Umar RA kemudian menjawab, aku teringat dengan masa pra Islam, dengan masa
jahiliyyah dahulu, aku menagis betapa zholimnya masyarakat, mereka mempunyai anak
perempuan, anak yang sudah lama mereka nantikan, tapi begitu mereka datang kemudian
mematikan dan dikubur hidup-hidup.  Menangislah aku, betapa rendahnya kwalitas
kemanusian di waktu itu, tetapi aku tertawa mengingat ketika masa jahiliyah pra Islam
dahulu, betapa bodohnya kami, pada waktu itu kami membuat tuhan dari tepung-tepung
yang kami kumpulkan, kemudian kami bentuk menjadi tuhan-tuhanan, kemudian kami
sembahlah tuhan yang dibuat sendiri dan kemudian setelah selesai prosesi penyembahan,
tuhan yang kami bentuk itu kami menyantapnya dan memakannya, betapa amat
menggelikanya. 

Itulah kondisi pra Islam, kondisi pra hijrahpun amat sangat menyesakkan, sebelum
Rasulullah berhijrah ke Madinah Al Munawaroh, satu kota yang akan dikunjungi oleh
saudara-saudara kita para jamaah haji, mereka ziarah ke Madinah Al Munawaroh, ke masjid
An Nabawi, sebelum Rasulullah berhijrah ke sana, al Madinah adalah satu kota yang disebut
dengan Yastrib, satu ungkapan yang sangat berdekatan maknanya dengan segala yang
menghadirkan kerusakan, kerugian, kehancuran, yang tidak harmonis itulah yang terjadi.  

Begitulah masyarakat Madinah pra hijrah, komplik terus menerus yang dipropokasikan oleh
komunitas Yahudi yang menghadirkan hegemoni tunggal atas kehidupan di Madinah,
mereka menguasai kehidupan perokomian di Madinah, dan menguasai dalam seluruh
setratanya, baik dalam stratanya ekonomi, sosial, politik, tehnologi, airpun mereka kuasai,
kebunpun mereka kuasai, pasar mereka kuasai, opini mereka kuasai, bahkan mereka tidak
cukup dengan itu, dalam rangka mengokohkan hegemoni yang mereka miliki,.

Mereka terus-menerus melemahkan faktor pesaing yang ada di Madinah yang berada
dikalangan Arab, dan untuk itulah mereka melakukan upaya untuk mengadu domba antara
orang-orang Arab yang berada di Madinah, antara Haoz dan Khazraj, menyebarkan fitnah
dan informasi, melakukan beragam cara agar orang-orang Arab itu bisa dilemahkan dan
karena hegemoni Yahudi tidak bisa diganggu gugat.  Terjadilah salah satunya perang Bu’at,
40 tahun lamanya, Haoz dan Khazraj terjebak perang di antara mereka, kita bisa
bayangkan bagaimana kondisi warga bangsa yang terjebak dalam perang yang permanen,
dikipas terus menerus oleh bangsa yang lebih besar yaitu orang-orang Yahudi, tapi itu
memang kondisi Yastrib pra Hijrah.  

 Seperti juga kondisi Makkah pra Hijrah, kondisi yang amat sangat menyesakkan, seolah-
olah tidak ada masa depan, seolah-olah yang ada adalah kegelapan dan kegelapan. Tetapi
yang terjadi kemudian adalah Allah menghadirkan Al  Islam , menghadirkan Saiyyidina
Muhammad SAW, sebagai nabi dan sebagai rasul, kemudian masyarakat dikeluarkan dari
kegelapan keterang benderang, segala bentuk kegelapan itu, segala bentuk kezholiman itu,
kepada cahaya Al Islam dan kemudian munculah masyarakat yang baru, masyarakat yang
madani, masyarakat yang membawa kerahmatan lilalamin. 

masyarakat yang sangat unggul, yang dinilai oleh para ulama termasuk Said Jamaluddin
Ahwani dalam salah satu kitabnya Aroddu Adahriyin, ia mengatakan adalah salah satu dari
kemu’zizatan Islam adalah selain hadirnya Al Qur’an, selain hadirnya Rasululoh SAW dengan
segala kemu’zizatanya, salah satu kemu’zizatanya adalah kemukzizatan sosial, dimana
dalam salah satu waktu yang pendek telah hadir salah satu komunitas yang baru,
masyarakat yang sama sekali yang berbeda , masyarakat yang sukses, masyarakat yang
menghadirkan peradaban yang baru, peradaban yang sangat manusiawi,

masyarakat yang mencerahkan, masyarakat yang akan hadirnya umat manusia dalam
waktu yang sangat pendek, peradaban ini bisa menyebar, bukan hanya terbatas di Jazirah
Arabia bahkan kemudian mengikuti tulisan  Ibnu Robbi dalam tulisannya  Asl Ibdu Farid
dalam abad pertama Hijriyahpun Al Islam telah sampai ke bumi Nusantara kekerajaan
Sriwijaya, telah diadakan surat menyurat antara Khulapa Daula Ummayah, di Damaskus
termasuk juga dengan Khalifah Ar Rosyid  Umar Abdul Azis,  

Saya menegaskan sekali lagi bahwa apa yang kita dapatkan sekarang ini dalam dua
demensi adalah sebagai Allah tegaskan dalam surah Al Muluk

:  َ ‫ق ا ْل َم ْوتَ َوا ْل َحيَاةَ لِيَ ْبلُ َو ُك ْم أَ ُّي ُك ْم أَ ْح‬


‫سنُ َع َمالً َو ُه َو ا ْل َع ِزي ُز ا ْل َغفُو ُر‬ maksudnya: َ َ‫الَّ ِذي َخل‬
“Allah menghadirkan ini seluruhnya adalah sebagai ibtila sebagai ujian, agar Allah bisa
mendapatkan suatu bukti siapa yang diantar kita yang paling baik amalnya” (Al Muluk : 2)
tentulah dikarenanya dengan pendekatan ini, mengambil salah satu hikmah dari yang hadir
sebagai salah satu ujian agar kita menjadi salah satu pihak yang berlomba-lomba
menghadikran kebaikan, lomba yang menghadirkan yang lebih baik, lomba pelajaran yang
unggul dari peristiwa yang ada  

Mudah-mudahan keberangkatan jamaah haji kita akan membawa kepada kita semuanya
pembelajaran yang penting dan sekaligus mengingatkan kepada mereka agar mereka
memaksimalkan keberangkatan mereka untuk menjadikan diri mereka sebagai haji yang
mabrur dan dengan kemabruranya akan membawa kepada kita semangat baru untuk terus
menerus menapaki kebaikan dari pada Al Islam,

dengan kemabruran mereka mudah-mudahan akan selalu membawa kepada kita kader-
kader umat dan kader-kader bangsa yang tidak pernah berhenti untuk beramal sholeh,
mudah-mudahan doanya dikabulkan Allah dan mudah-mudahan doanya itu diantaranya
adalah agar umat dan bangsa kita segera bangkit keluar dari krisisnya, para pimpinannya,
umatnya dan siapun juga supaya betul-betul menjadi umat dan masyarakat yang muttaqun.
(ds) 

Filed under: Tak Berkategori | Tinggalkan sebuah Komentar »

Pandangan Hidup Muslim
Posted on Maret 17, 2008 by E-Center Istiqlal

(Intisari Khutbah Jum’at tanggal, 12 Mei 2006 M / 14 Rabiul Akhir 1427 H)

Oleh : Prof.DR.H.A. Bachmid 

v   Tujuan hidup seorang Muslim.

Jarang orang merumuskan tujuan hidupnya. Merumuskan apa yang dicari dalam hidupnya,
apakah hidupnya untuk makan atau makan untuk hidup. Banyak orang sekedar menjalani
hidupnya, mengikuti arus kehidupan, terkadang berani melawan arus, dan menyesuaikan
diri, tetapi apa yang dicari dalam melawan arus, menyesuaikan diri dengan arus atau dalam
pasrah total kepada arus, tidak pernah dirumuskan secara serius. Ada orang yang
sepanjang hidupnya bekerja keras mengumpulkan uang, tetapi untuk apa uang itu baru
dipikirkan setelah uang terkumpul, bukan dirumuskan ketika memutuskan untuk
mengumpulkannya.

Ada yang ketika mengeluarkan uang tidak sempat merumuskan tujuannya, sehingga harta-
nya terhambur-hambur tanpa arti. Ini adalah model orang yang hidup tidak punya konsep
hidup. Sesungguhnya secara fithri, terutama ketika melakukan sesuatu untuk kebutuhan
dasarnya selalu ingat tujuan. Ketika seseorang ingin menjadi insinyur dia masuk Fakultas
Tehnik, bila ingin menjadi Dokter maka ia masuk Fakultas kedokteran, bila ingin jadi ahli
ekonomi maka masuk Fakultas Ekonomi, dan bila ingin menjadi pemimpin maka ia harus
mengadakan manuver politik mencari legitimasi dari kaum muslimin atau masyarakat.

Rumusan tujuan hidup yang didasari oleh ajaran agama menempati posisi sentral, yakni
orang yang hormat dan tunduk kepada nilai-nilai agama yang diyakininya, melalui figure
Ulama Kharismatik, atau menurut kitab suci. Menurut ajaran Islam, tujuan hidup manusia
ialah untuk menggapai ridha Allah, ibtigha mardhatillah. Firman Allah  

: ‫ضا ِة هللاِ َوهللاُ َر ُءوفٌ بِا ْل ِعبَا ِد‬ َ ‫ش ِري نَ ْف‬


َ ‫سهُ ا ْبتِـ َغا َء َم ْر‬ ِ ‫ َو ِمنَ النَّا‬,
ْ َ‫س َمنْ ي‬
artinya : “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari
keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (QS. 2 Al Baqarah :
207). Ridha artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan hidup seorang
Muslim, terpulang kepada apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu
yang disukai atau diridhai Allah SWT atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridha-Nya,
maka apapun yang diberikan Allah kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridha
(senang) pula, ridha dan diridhai (radhiyatan mardhiyah). 

Kita bisa mengetahui sesuatu itu diridhai atau tidak oleh Allah. Tolok ukur pertama adalah
syariat atau aturan agama, sesuatu yang diharamkan Allah pasti tidak diridhai; dan sesuatu
yang halal pasti diridhai, sekurang -kurangnya tidak dilarang. Selanjutnya nilai-nilai akhlak
akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya memberi kepada orang yang
meminta karena kebutuhan adalah sesuatu yang diridhai-Nya; tidak memberi tidak berdosa
tetapi kurang disukai. 

Indikator ridha Allah juga dapat dilihat dari dimensi horizontal, Nabi bersabda : “Bahwa
ridha Allah ada bersama ridha kedua orang tua, dan murka Allah ada bersama murka kedua
orang tua”. Semangat untuk mencari ridha Allah sudah barang tentu hanya dimiliki orang-
orang yang beriman, sedangkan bagi mereka yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal
agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya dan prilakunya sesat, tetapi mungkin juga
pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang yang minus beragama, karena toh
setiap manusia memiliki akal yang bisa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai
kebaikan. 

Metode untuk mengetahui Tuhan juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada
hati sendiri, istifti qalbaka. Orang bisa berdusta kepada orang lain, tetapi tidak kepada hati
sendiri. Hanya saja hati orang berbeda-beda. Hati yang gelap, hati yang kosong, dan hati
yang mati tidak bisa ditanya. Hati juga kadang-kadang tidak konsisten, oleh karena
pertanyaan paling tepat kepada hati nurani, Nurani berasal arti kata nur, cahaya. Orang
yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridha Tuhan. Problem hati
nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme, dan kemaksiatan. 

v   Tugas Hidup Seorang Muslim

Rumusan tugas hidup seorang muslim bisa dibuat berdasarkan citarasa sebagai manusia
yang hidup di tengah realita objektip, oleh karena itu rumusan tugas hidup dapat berbeda-
beda. Menurut ajaran Islam, tugas hidup manusia, sepanjang hidupnya hanya satu tugas,
yaitu menyembah Allah, Sang Pencipta, atau dalam bahasa harian disebut ibadah.
Disebutkan dalam Al Qur’an bahwa tidaklah Tuhan menjadikan Jin dan Manusia kecuali
untuk menyembah kepada-Nya. Menjalankan ibadah bukanlah tujuan hidup, tetapi tugas
yang harus dikerjakan sepanjang hidupnya.

Ibadah mengandung arti untuk menyadari dirinya kecil tak berarti, meyakini kekuasaan
Allah Yang Maha Besar, Sang Pencipta, dan disiplin dalam kepatuhan kepada-Nya. Oleh
karena itu orang yang menjalankan ibadah mestilah rendah hati, tidak sombong, dan
disiplin. Itulah etos ibadah. Ibadah ada yang bersifat mahdhah/murni, yakni ibadah yang
hanya memiliki satu dimensi, yaitu dimensi vertikal, patuh tunduk kepada Allah Yang Maha
Kuasa, seperti shalat, puasa, ada ibadah yang bersifat material-sosial seperti; zakat dan
sadaqah, ada ibadah bersifat fisik seperti ibadah haji. 

Ibadah juga terbagi menjadi dua klasifikasi; ibadah khusus dan ibadah umum. Ibadah
khusus adalah ritual yang bersifat baku yang ketentuannya langsung dari wahyu atau dari
Nabi Muhammad SAW, sedangkan ibadah umum adalah semua perbuatan yang baik,
dikerjakan dengan niat baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula. Ibadah khusus
seperti shalat lima waktu sehari semalam adalah tugas, taklif dari Allah SWT yang secara
khusus diperuntukkan kepada orang-orang mukmin yang telah baligh. Puasa, Zakat (zakat
fitrah, zakat mal) bagi yang telah memenuhi syaratnya, dan ibadah haji bagi yang mampu,
memotong hewan kurban bagi yang mampu semuanya adalah taklif. 

Dan ibadah ghairu mahdhah, seperti berbisnis, karena inti dari berbisnis adalah membantu
mendekatkan orang lain dari kebutuhannya. Menuntut ilmu adalah ibadah yang sangat
besar nilainya asal dilakukan dengan niat baik dan cara yang baik pula. Bahkan menunaikan
syahwat seksual yang dilakukan dengan halal (suami isteri) dan dilakukan dengan cara baik
(ma’ruf) adalah ibadah. Dengan demikian kita dapat melakukan tugas ibadah dalam semua
aspek kehidupan kita, sesuai dengan bakat, minat, dan profesi kita. Perbedaan pandangan
hidup akan menghasilkan perbedaan nilai dan persepsi.

Orang yang tidak mengenal ibadah, mungkin sangat sibuk dan lelah mengerjakan tugas
sehari-hari, tetapi nilainya nol secara vertikal, sementara orang yang mengenal ibadah,
mungkin sama kesibukannya, tetapi cara pandangannya berbeda dan berbeda pula dalam
mensikapi kesibukan, maka secara psikologis/kejiwaan ia tidak merasa lelah karena merasa
sedang beribadah. 

v   Peran dalam pentas kehidupan

Dalam hal ini manusia memiliki dua peran utama; pertama sebagai hamba Allah, dan peran
kedua sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai hamba Allah manusia adalah kecil dan
tidak memiliki kekuasaan, oleh karena itu tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan
berpasrah diri kepada-Nya. Namun, sebagai khalifah, manusia diberi fungsi, peran yang
sangat besar, karena Allah Yang Maha Besar maka manusia sebagai wakil Allah di muka
bumi memiliki tanggungjawab dan otoritas yang sangat besar. Sebagai khalifah manusia
diberi tugas untuk mengelola alam semesta ini untuk kesejahteraan manusia. 

Dari ketiga dimensi tersebut; Tujuan Hidup seorang muslim, tugas hidup, dan peranannya
dalam kancah kehidupan dunia, dapat kita sarikan dalam sifat-sifat moral yang harus
dimiliki seorang muslim adalah: Beramal shaleh, menghindari dosa, menyuruh berbuat baik,
melarang berbuat munkar (amar ma’ruf nahi munkar), jujur dan mencela kebohongan,
bersikap sederhana dan menjauhi pemborosan. Dalam segala hal, adil, lemah lembut dalam
berbicara, menghindari perkataan yang buruk dan fitnah, sedia memaafkan, menghindari
keangkuhan dan kesombongan, sabar, mengendalikan diri dan waspada, tidak kejam, sedia
bertindak sebagai penengah dan pembuat perdamaian, berpegang teguh kepada keimanan,
setia, dermawan, berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada seluruh tetangga
dan kerabat, sederhana, melaksanakan sumpah, menghindari sumpah palsu, dan sifat
paling mulia adalah taqwa

ُ ‫م ِع ْن َدهللاِ أَ ْتقَا‬Nْ ‫ إِ َّن أَ ْك َر َم ُك‬ “Orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling
 ‫ك ْم‬
taqwa” (QS. 49 Hujurat : 13) 

Filed under: Tak Berkategori | Tinggalkan sebuah Komentar »

Taubat Semisal Pelampung dan Timah Pemberat


Posted on Maret 17, 2008 by E-Center Istiqlal

(Intisari khutbah Jum’at, 07 April 2006 M / 08 Rabi’ul Awal 1427 H)

Oleh :.DR.KH. Masyhuri Na’im, MA


Khotbah yang ingin saya sampaikan hari ini saya awali dengan dua ayat :

‫اب ْاألَلِ ْي ُم‬ َ ‫ َوأَنَّ َع َذابِي ُهـ‬.‫نَبِّ ْئ ِعبَا ِدي أَنِّي أَنَا ا ْل َغفُو ُر ال َّر ِحي ُم‬.
ُ ‫ـو ا ْل َعـ َذ‬ , artinya :
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang
sangat pedih” (QS.15 Al Hijr 49-50).

Ada dua pengertian yang paradox bisa kita tangkap dari ayat tersebut, yaitu :

Pertama, siksa dan azab Allah SWT sangat pedih

Kedua, Allah SWT sangat Pengasih dan Penyayang lebih daripada siapa saja yang
berhati kasih sayang, dan pasti akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya betapapun
besarnya jika ia mau bertaubat.

Dan ini yang paling dominan dalam ayat tersebut, karenanya didahulukan

penyebutannya, apalagi kalau dilihat dari ‫اب ْالنُّ ُز ْو ِل‬ ْ َ‫ أ‬,


ُ َ‫سـب‬ yaitu : “Rasulullah SAW

melewati sekelompok sahabatnya yang sedang tertawa bersenda gurau, beliau menegurnya

: ‫َض َح ُك ْو َن َو َذ َك َر ا ْل َجنَّةَ َوالنَّا ُر بَ ْي َن اَ ْي ِد ْي ُك ْم‬


ْ ‫اَت‬ “Kalian tertawa dan menyebut-nyebut

sorga, padahal neraka berada di depan kalian ?”, Kemudian datanglah Jibril dan berkata :
Wahai Muhammad sungguh Allah SWT berfirman : “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku
bahwa sesungguhnya Aku yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang …”.

Ayat tersebut memberikan optimisme dan harapan kepada kita, bahwasanya tidak ada
dosa betapapun besarnya – kecuali syirik – yang tidak akan terampuni jika kita mau
bertaubat, apalagi penjelasan dan janji Allah tersebut diperkuat oleh hadits-hadits yang
diriwayatkan dari Rasulullah SAW, seperti, artinya : “Ketika Allah menciptakan makhluk.
Ditulisnya sebuah tulisan di atas singgasana-Nya : sungguh rahmat-Ku mendahului
kemarahan-Ku. Dalam sebuah riwayat disebutkan : Sungguh rahmat-Ku mengalahkan
kemarahan-Ku”

Sesuai dengan firman Allah


َ‫ســ ِه ال َّر ْح َمــ ة‬ ِ ‫ت َو ْاألَ ْر‬
ِ ‫ض قُــ ْل ِهللِ َكت ََب َعلَى نَ ْف‬ َّ ‫ َ قُــ ْل لِّ َمنْ َّما فِي‬,
ِ ‫الســ َم َوا‬
artinya : “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?”
Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang …” (QS.6
Al-An’am 12).

Jadi, salah dan dosa adalah sesuatu yang wajar terjadi, dan itu dengan tegas
disampaikan oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam hadits di bawah ini yang artinya :
“Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya kalian semua tidak ada
yang berbuat dosa, niscaya kalian semua akan dibinasakan kemudian akan diciptakan suatu
bangsa yang berbuat dosa, tapi, kemudian mohon ampun kepada Allah SWT, dan Allah
mengampuni mereka” (HR. Muslim).

Hadits di atas menyadarkan kita, bahwa dosa adalah sesuatu yang wajar terjadi, yang
terpenting adalah upaya menyadari kesalahan dan bertaubat.

Rasulullah SAW bukan hanya bisa menyuruh, tapi beliau juga memberi contoh dan
melakukannya, sebagaimana hadits ini

‫ب إِلَ ْي ِه ِفي ا ْليَ ْو ِم ِمأَتَة َم َّرة‬


ُ ‫لى هللاِ فَإِنِّي اَتُ ْو‬ ُ َّ‫ يَآأيُ َها الن‬, artinya :
َ ِ‫اس تُ ْوبُ ْواـ إ‬
“Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, sungguh saya bertaubat kepada-Nya
seratus kali setiap harinya” (HR. Muslim). “Karenanya, yakinlah bahwa Allah SWT pasti
mengampuni dosa-dosa kita dengan rahmat dan belas kasih-Nya, dan itu modal masuk
surga”.

Sampai di sini kita bisa memahami bahwasanya taubat dan harapan adalah semisal
pelampung dan timah pemberat. Pelampung agar kita tidak tenggelam kedalam
kepesimisan dan keputus-asaan, sementara timah pemberat akan menyelamatkan kita dari
kesombongan yang itu adalah bentuk lain dari dosa dan kemaksiatan, dan dengan
kesombongan membuat Iblis terlaknat selamanya. Untuk itu Rasulullah SAW mengingatkan
kita dalam sebuah sabdanya, yang artinya : “Amal seseorang tidak akan mengantarkannya
masuk surga, tidak Anda ya Rasulullah ? Kata sahabat. Beliau menjawab : tidak juga saya,
kecuali Allah meliputi dan memenuhiku dengan ampunan dan rahmat” (Muttafaq alaih).

Ya Allah, semoga Engkau ampuni Dosa-dosa kami dan terimalah ibadah kami, kemudian
masukkanlah kami ke dalam surga-Mu dengan rahmat dan kasih sayang-Mu, karena
sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi sangat Penyayang lebih dari siapa saja yang
berhati pengasih dan penyayang. Amin

Filed under: Tak Berkategori | Tinggalkan sebuah Komentar »

Profesionalisme dan Amanah Akan


Melahirkan Kesejahteraan
Posted on Februari 11, 2008 by E-Center Istiqlal

(Intisari khutbah Jum’at, 31 Maret 2006 M / 01 Rabi’ul Awal 1427 H)

Oleh : Prof.DR.H. Didin Hafiduddin

Banyak orang yang menduga bahwa kemakmuran dan kesejahteraan merupakan akibat
dari tingkat kesuburan. Semakin subur suatu negeri, maka akan semakin makmur dan
sejahtera masyarakatnya. Pendapat ini tentu tidak semuanya salah, tetapi juga tidak
semuanya benar. Dalam realitas kehidupan, ada negeri dan daerah yang subur kemudian
masyarakatnya makmur dan sejahtera, tetapi ada pula negeri dan daerah yang tidak subur
rakyatnya makmur dan sejahtera. Sebaliknya, adapula negeri dan daerah yang subur tetapi
rakyatnya miskin.Kalau kita memperhatikan Al-Qur’an, maka faktor utama kesejahteraan
dan kemakmuran adalah perilaku yang baik, yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Walaupun negerinya subur, tetapi pemimpin dan rakyatnya durhaka, maka yang terjadi
adalah kehancuran dan keterpurukan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an : ً‫ب هللاُ َمثَالً قَ ْريَةً َكانَتْ آ ِمنَةً ُم ْط َمئِنَّة‬ َ ‫ض َر‬ َ ‫َو‬
َ َ‫ان فَ َكفَ َرتْ بِأ َ ْن ُع ِم هللاِ فَأ َ َذاقَ َهاهللاُ لِب‬
ِ ‫اس ا ْل ُج ْو‬
‫ع‬ َ ‫يَأْتِ ْي َها ِر ْزقُ َه‬
ٍ ‫ار َغ ًدا ِمنْ ُك ِّل َم َك‬
ِ ‫َوا ْل َخ ْو‬
ْ َ‫ف بِ َما َكانُوا ي‬
‫صنَ ُع ْو َن‬
Artinya : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang
dahulunya aman dan tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap
tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah ; karena itu Allah
merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu
mereka perbuat” (QS. 16 An-Nahl 112).

Dalam sebuah hadits, riwayat Imam Thabrani dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda :

‫اح َك ُم ْوا‬َ ‫ َو َم‬, ‫سلِّطَ َعلَ ْي ِه ْم َعد ُُّو ُه ْم‬ُ َّ‫ إِال‬,‫ض قَ ْو ٌم ا ْل َع ْه َد‬
َ َ‫ َمانَق‬: ‫س‬ ٍ ‫س بِ َخ ْم‬ ٌ ‫َخ ْم‬
‫شةُ إِالَّفَشَافِ ْي ِه ُم‬ ِ َ‫ إِالَّ فَشَا فِ ْي ِه ُم ا ْلفَ ْق َر َوالَظَ َه َرتْ فِ ْي ِه ُم ا ْلف‬, ُ‫بِ َغ ْي ِر َما أَ ْن َز َل هللا‬
َ ‫اح‬
َ‫ َوالَ َمنَ ُع ْوا ال َّز َكاة‬,‫سنِ ْي َن‬ ِّ ‫ا ْل َم ْوتُ َوالَ طَفَّفُ ْوا ا ْل ِم ْكيَا َل إِالَّ ُمنِ ُع ْوا ا ْلنَبَاتَ َوأُ ِخ ُذ ْوابِال‬
‫س َع ْن ُه ُم ا ْلقُ ْط ُر‬ َ ِ‫إِالَّ ُحب‬
Artinya : “Rasulullah SAW bersabda : “(Ada) lima perbuatan (yang akan mengakibatkan)
lima malapetaka :1. Tidaklah suatu bangsa mudah mengingkari janji, kecuali akan
dikendalikan oleh musuh-musuh mereka, 2. Tidaklah mereka berhukum dengan sesuatu
yang bukan diturunkan Allah, kecuali akan tersebar kekafiran,3. Tidaklah merajalela di
suatu tempat perzinahan, kecuali akan merajalela pula penyakit yang membawa kematian,
4. Tidaklah mereka mempermainkan takaran / timbangan atau kwalitas suatu barang,
kecuali akan dihambat tumbuhnya tanaman, dan akan disiksa dengan kemarau panjang,
dan5. Tidaklah mereka mengeluarkan zakat, kecuali akan dihambat turunnya hujan yang
membawa keberkahan” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas). Sebaliknya, dengan keimanan dan
ketaqwaan yang tercermin perilaku keseharian, akan menyebabkan turunnya keberkahan.

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an : ‫َولَ ْوأَنَّ أَ ْه َل‬
ْ‫ض َولَ ِكن‬ ِ ‫س َما ِء َواألَ ْر‬ َّ ‫ت ِم َن ال‬ َ ‫ا ْلقُ َرىا َمنُ ْو‬
ٍ ‫اواتَّقَ ْوالَفَت َْحنَا َعلَ ْي ِه ْـم بَ َر َكا‬
‫سبُ ْو َن‬ ِ ‫ َك َّذبُ ْوافَأ َ َخ ْذنَا ُه ْم بِ َما َكانُوا يَ ْك‬.Artinya : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya” (QS. 7 Al-‘Araf 96).

Perilaku yang baik ini, yang harus dimiliki oleh masyarakat dan bangsa, terutama para
pemimpinnya adalah amanah, jujur dan terpercaya. Di samping memiliki keahlian dalam
bidangnya masing-masing. Orang yang amanah pasti akan mendapatkan rizki dan
kesejahteraan dalam hidupnya. Sebaliknya, khianat, culas dan korup akan melahirkan
kefakiran. Dalam sebuah hadits, riwayat Imam ad-Dailamiy, Rasulullah SAW bersabda :

ُ ِ‫ق َوا ْل ِخيَانَةُ ت َْجل‬


‫ب ا ْلفَ ْق َر‬ َ ‫الر ْز‬
ِّ ‫ب‬ُ ِ‫ ْاَألَ َمانَةُ ت َْجل‬, artinya : “Sifat amanah itu akan
menarik (mendatangkan) rizki, dan sifat khianat itu akan menarik (melahirkan) kefakiran”
(HR. Ad-Dailamiy).

Ada suatu kisah yang menarik dalam Al Qur’an, yaitu kisah Nabi Yusuf AS, yang mampu
membawa kesejahteraan masyarakatnya, dan masyarakat di sekitar negeri Mesir, karena
beliau dan pejabat di negeri Mesir ketika itu memiliki sifat hafidzun, alimun, yaitu amanah,
terpecaya dan ahli atau profesional dalam bidangnya. Dalam hal ini perhatikan firman Allah

dalam Al-Qur’an: ِ ‫لى َخ َزائِ ِن األَ ْر‬


‫ض إِنِّي َحفِ ْيظٌ َعلِي ٌم‬ ْ ‫قَا َل‬
َ ‫اج َع ْلنِي َع‬
, artinya :
“Berkata Yusuf : “Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah
orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan” (QS. 12 Yusuf : 55).

Dalam sejarah Islam pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang tidak lama, hanya
+ 22 bulan, ternyata tidak ada orang yang menjadi mustahiq zakat dengan sebab kejujuran
dan keadilan dalam segala bidang yang dilakukan oleh beliau dan pemerintahannya.Amanah
dan profesionalisme akan menumbuhkan etos kerja yang tinggi; Akan menumbuhkan etika
kerja yang kuat; Akan menyebabkan orang berlomba-lomba dalam mempersembahkan
yang terbaik dan akan menyebabkan tumbuhnya ta’awun dan rasa solidaritas sosial yang
tinggi antara sesama anggota masyarakat. Kalau sudah begitu, maka akan lahirlah
masyarakat yang adil, masyarakat yang makmur, dan masyarakat yang sejahtera di bawah
naungan ridha Ilahi.

Filed under: Tak Berkategori | Tinggalkan sebuah Komentar »


Lima Dasar Pembinaan Ummat Unggulan
Posted on Februari 11, 2008 by E-Center Istiqlal

(Intisari khutbah Jum’at tanggal, 24 Maret 2006 M / 24 Shaffar 1427 H)

Oleh : KH. M. Nadjid Mukhtar, MA Dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 110,
Allah SWT menyatakan tingginya kedudukan ummat Islam di tengah masyarakat
lainnya, yaitu sebagai ummat terbaik, ummat unggulan atau Khairu ummah.

Firman-Nya : ‫وف َوتَ ْن َه ْو َـن َع ِن‬ َ ‫س تَأْ ُم ُر‬


ِ ‫ون بِا ْل َم ْع ُر‬ ِ ‫ُك ْنتُ ْم َخ ْي َر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َجتْ لِلنَّا‬
‫ ا ْل ُم ْن َك ِر َوتُ ْؤ ِمنُ َـ‬, artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
ِ‫ون بِاهلل‬
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah” (QS. 3 Ali Imran : 110).

Mereka pantas memperoleh kedudukan tinggi itu karena mereka selalu mempunyai
keyakinan dan keimanan yang benar dan teguh akan adanya Allah SWT dan keesaan-Nya
serta iman akan kebenaran semua ajaran-Nya. Mereka juga selalu melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf artinya selalu melakukan dan mengajak orang lain untuk
melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, duniawi, dan ukhrawi.
Sedang nahi munkar artinya selalu menolak dan mencegah segala hal yang dapat
merugikan, merusak, dan merendahkan nilai-nilai kehidupan masyarakat.

Hal ini juga diungkapkan Allah pada ayat sebelumnya, artinya : “Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung“ (QS. 3
Ali Imran : 104). Rasulullah juga bersabda, yang artinya : “Siapapun di antara kamu
melihat kemunkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangan (kekuasaan-Nya),
kalau dia tidak mampu (tidak memiliki kekuasaan) maka dengan lidah / ucapannya, kalau
(yang inipun) dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman”
(Al-Hadits)

Tiga ciri ini, yaitu berkeimanan, beramar ma’ruf, dan bernahi munkar merupakan syarat
bagi lahirnya suatu masyarakat unggulan / ummat terbaik; yaitu suatu masyarakat yang di
dalamnya berlangsung tata kehidupan yang manusiawi, tata kehidupan yang sendi-
sendinya didasarkan atas persaudaraan, kesetiakawanan, saling percaya, kejujuran dan
keadilan.

Dalam kondisi ini, setiap warga akan terpenuhi kebutuhan lahiriahnya dan batiniahnya,
duniawinya dan ukrawinya, yang oleh Imam Ghazali disebut masyarakat “Maslahah” yang

senantiasa didambakan oleh setiap muslim dalam do’a: ً‫سنَة‬ َ َ‫َربَّنَآأَتِنَاِفىال ُّد ْني‬
َ ‫اح‬
َ ‫ َّ ِوفىاْألَ ِخ َر ِة َح‬, artinya : “Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami
‫سنَةً َّوقِنَا َع َذابَاالنَّا ِر‬
di dunia ini kebaikan dan di akhirat (nanti) kebaikan (pula) dan hindarkanlah kami dari

siksa neraka” (QS.2 Al Baqarah : 201). Dan firman Allah,‫ر‬ ُ ‫طيِّبَةٌ َو َر ٌّب َغفُ ْو‬
َ ٌ‫ بَ ْل َدة‬, artinya
: “Negeri yang thayyib (sentosa) dan Tuhan yang senantiasa memberikan ampunan” (QS.
34 Saba : 15).
Untuk mewujudkan masyarakat unggulan yang semestinya mampu dilakukan oleh ummat
Islam seperti dinyatakan Allah di atas, maka setiap muslim dalam kedudukan dan dalam
profesi apapun, terutama sebagai pemimpin; baik pemimpin rumah tangga, masyarakat dan
bangsa harus menghiasi dirinya dengan nilai-nilai dasar terpuji yaitu nilai terpuji yang
menghiasi pribadi Rasulullah SAW panutan kita. Ada lima nilai dasar terpuji yang
dirumuskan oleh para ulama antara lain sebagai berikut :

1. ‫ق‬ ِّ َ‫( ا‬Kejujuran, kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan).Bentuk pengamatan


ُ ‫لص ْد‬
shidq ini adalah jujur dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan. Orang yang shadiq ataupun
yang menjadikan sifat shidq sebagai ciri khasnya sehingga dapat disebut sebagai shiddiq, ia
akan mendapat kedudukan tinggi di sisi Allah bersama para Nabi dan syuhada. Mereka
inilah yang selalu mengatakan yang sebenarnya diketahui, tidak menutupi kesalahan, baik
yang dilakukan dirinya, maupun oleh kawannya, serta menjaga satunya kata dengan
perbuatan, menjauhi kebohongan, termasuk jujur dalam berdiskusi dan bermusyawarah.

2. ُ‫( األَ َمانَة‬Selalu menepati janji dan bertanggung jawab dalam melaksanakan hal-hal yang
dipercayakan kepadanya)Orang-orang pengemban amanah ini senantiasa memegang teguh
amanat. Amanat kepada Tuhan dengan menyadari tugas kekhalifahannya di bumi sehingga
ia selalu menjadi al-mushlih (yang memperbaiki), bukan sebagai al-mufsid (yang merusak).
Amanat kepada keluarga dengan membimbing dan mendidik mereka kepada tuntunan ilahi,
serta tidak memberikan nafkah kecuali yang halal lagi baik; Amanat kepada sesama
anggota masyarakat dengan selalu mengajak dan berwashiyat (tawâshau) kepada kebaikan
(al-khair) atau al-ma’ruf serta kepada kesabaran dan amanat kepada diri sendiri dengan
menghindarkan segala yang haram baik dalam profesi maupun konsumsinya. Rasulullah

bersabda  ُ‫ الَ ِد ْي َن لِ َمنْ الَاَ َمانَةَ لَه‬, artinya : “Tidaklah ada agama bagi orang yang tidak
amanah” (HR. Addailami).

3. ُ‫( اَ ْل َع َدالَة‬Bersikap dan berlaku adil)Ini mengandung pengertian berpihak dan berpegang
kepada yang benar, tidak sewenang-wenang, bertindak sepatutnya dan tidak berat sebelah.
Bentuk pengamalannya selalu bersedia untuk saling tawashau, saling mengingatkan antara
sesamanya, saling menyuarakan kebenaran dan sikap kesabaran, serta saling menghargai
pendapat yang lain, tidak memaksakan kehendaknya sendiri tanpa mau memahami
kepentingan dan kehendak pihak lain. Kebenciannya terhadap seseorang atau satu
kelompok tidak menjadikannya menahan hak-hak mereka, baik berupa harta ataupun
penghargaan prestasi.

Sebaliknya, kasih dan sayangnya tidak membutakan matanya untuk bersikap tegas dalam
memberi hukuman. Karena sesungguhnya sifat adil inilah yang selalu mendekatkan orang

kepada ketakwaan. Allah berfirman : ُ ‫ اِ ْع ِدلُ ْواه َُواَ ْق َر‬ “Adillah karena ia lebih
‫ب ِللتَّ ْقوى‬
dekat kepada takwa” (QS.5 Al Maaidah : 8)

4. ‫ ْاَألُ ُخ َّوةُ والتَّ َعا ُونـ‬Menjaga persaudaraan dan persatuan serta saling membantu
sesamanya.Untuk itu, setiap muslim harus menyadari bahwa dia bersaudara dengan orang
lain, baik sesama muslim (ukhuwwah islâmiyah), sesama bangsanya (ukhuwwah
wathoniyah), maupun sesama manusia (ukhuwwah basyariyah). Ketiga macam ukhuwah
tersebut tidak perlu ditentangkan, tetapi harus diterapkan sesuai dengan situasi dan
kondisi. Hal ini akan menciptakan rasa kebersamaan, bukan memperuncing perbedaan.
5. ُ‫ستِقَا َمة‬
ْ ‫اإل‬
ٍ   (Berlaku konsisten, ajeg dan senantiasa berada dan mengikuti jalan
kebenaran menurut Allah) Imam Ghazali menyatakan, artinya : “Tidak baiknya suatu
kebajikan yang tidak konsisten, bahkan keburukan yang sesekali dilakukan lebih baik
daripada kebajikan yang tidak konsisten / ajeg”.Islam selalu menganjurkan umatnya untuk
memiliki sifat istiqomah dalam kebajikan. Bagi mereka yang selalu istiqomah dijamin akan
terhindar dari kerisauan, kekhawatiran dan ketakutan (di hari kiamat), baik dalam
kehidupan di dunia ini maupun pada hari kiamat nanti, bahkan mendapat berita gembira
dengan janji dan jaminan masuk surga.

Filed under: Tak Berkategori | Tinggalkan sebuah Komentar »

Ingatlah Selalu Peringatan Allah


Posted on Februari 11, 2008 by E-Center Istiqlal
(Intisari khutbah Jum’at tanggal, 17 Maret 2006 M / 17 Shafar 1427 H)

 Oleh : KH. Masyhuri Syahid, MA 

Manusia adalah makhluk yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Di mana Islam
mengajarkan kepada hambanya untuk saling mengingatkan kepada sesamanya dengan
pedoman Al Qur’an dan Hadits Nabi secara komprehensif. Makanya kami selalu
mengingatkan dalam pelbagai pertemuan majlis taklim, masjid-masjid dan sebagainya
untuk selalu mengingat dan mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam dalam aktivitas sehari-
hari. Baik hubungan vertikal dengan Allah (hablun min Allah) dan hubungan horizontal
dengan manusia (hablun min al-nas). Karena peringatan itu sangat bermanfaat untuk
meningkatkan kadar keimanan seorang hamba.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, sebagai berikut :  ِّ َّ‫َو َذ ِّك ِرفأِن‬
‫الذ ْك َرى تَ ْنفَ ُع‬
َ ‫ ا ْل ُم ْؤ ِم‬, artinya : “Dan engkau berilah peringatan, sungguh peringatan itu bermanfaat
‫نين‬
untuk orang-orang mukmin” (QS. 51, Al-Dzariyat 55). Dalam menyikapi kehidupan bangsa
kita yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia, di mana-manapun umat Islam sedang

mengalami ujian-ujian yang paling berat. Pesan Allah SWT dalam Al-Qur’an : ً‫َواتَّقُواـ فِ ْتنَة‬
‫ب‬ َ َ‫صةً َوا ْعلَ ُموا أَنَّ هللا‬
ِ ‫ش ِد ْي ُد ا ْل ِعقَا‬ َّ ‫ين ظَلَ ُموا ِم ْن ُك ْم َخا‬
َ ‫ص ْيبَنَّ الَّ ِذ‬
ِ ُ‫ الَ ت‬, artinya ; 
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim
saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya” (QS. 8, Al-Anfal 25).

Di duga akan terjadi suatu fitnah dan malapetaka, kerusuhan, bencana, akan terjadi di
mana saja. Tetapi pesan Allah fitnah, bencana tidak akan tertimpa kepada orang yang
berbuat salah / berbuat zhalim saja. Oleh karena itu kita diperintahkan oleh Allah SWT,
diingatkan Allah SWT dari mulai yang terkecil, dari diri kita sendiri, lingkungan keluarga,
lingkungan masyarakat dan lingkungan yang paling besar. Maka hati-hati dan jagalah diri
ini, jangan sampai ada fitnah di lingkungan kita, itu akan membawa kehancuran,
sasarannya bukan pada orang-orang yang bersalah itu saja. Kita harus mawas diri kepada
diri kita, keluarga dan lingkungan kita.
Pada suatu hari Rasulullah berpidato yang mensitir dari seorang intelektual, yang hidupnya
bukan di zaman Rasulullah, yang namanya terpatri di dalam Al Qur’an yang disebut Lukman

Al Hakim, dalam pidatonya di tengah-tengah umat :  ٌ ‫يَابُن َّي إِ ْعلَ ْم اَنَّ ال ُّد ْنيَا بَ ْح ٌر َع ِم ْي‬
‫ق‬
yang artinya ; “Ketahuilah hidup di dunia ini kadang-kadang terjadi seperti di atas laut yang
sangat tinggi gelombangnya”. Anginnya sangat kencang dan ke dalaman lautnya sangat
dalam, banyak orang terhempas dan tersasar ke pantai yang lain, banyak orang-orang yang
tersungkur karena badainya sangat kencang. Maka beliau berpesan tiga hal :

1)   َ ْ‫ َو ْلتَ ُكن‬, artinya : “Hendaknyalah bahtera yang Anda naiki itu
ِ‫سفِ ْينَتَكَ تَ ْق َوى هللا‬
berdasarkan taqwallah”. Dalam beberapa hadits banyak mensitir bahwa kita dalam
perjalanan hidup di atas perahu yang sangat besar sekali, perahu yang berdasarkan taqwa,
hati-hati, waspada dan menjaga diri, bahwa tiap individu, tiap keluarga, berpegang kepada
pesan Rasulullah, maka kita tidak akan tersungkur ke dasar laut yang sangat dalam itu,

tidak akan terhempas oleh badai ke pulau yang lain. Jaminan Allah bahwa  ِ َّ‫َو َمنْ ْيَت‬
َ‫ق هللا‬
‫اليحتسب‬
ُ ‫ يَ ْج َع ْل لَّهُ َم ْخ َر ًجا ويرزقه من حيث‬, artinya : “Barang siapa yang
bertaqwa kepada Allah maka Allah akan memberikan suatu jalan keluar dengan mendatang
rezeki yang tidak diduga-duga” (QS.65 Al Thalaq : 2-3).

2)   Penghuni bahtera itu agar tetap berpegang teguh kepada Allah, dan 3)   Layarnya
adalah tawakal kepada Allah”.Alhamdulillah kita selalu dituntun oleh Allah, kalau kita selalu
berpegang teguh kepada Allah, maka Allah akan memberikan jaminan, tidak usah takut dan
tidak usah khawatir, baik bagi diri sendiri maupun di lingkungan keluarga. Dalam surah
Al-‘Araaf ayat 96 Allah memberikan garansi : ‫َولَ ْوأَنَّ اَ ْه َل ا ْلقُراىاَمنُ ْواواتَّقَ ْوا لَفَت َْحنَا َعلَ ْي ِه ْم‬
ِ ‫ض َولَ ِكنْ َك َّذبُ ْوا فَأ َ َخ ْد نَ ُه ْم بِ َما َكانُ ْوايَ ْك‬
‫سبُ ْو َن‬ ِ ‫س َمآ ِء َو ْاالَ ْر‬ َّ ‫ت ِم َن ال‬ ٍ ‫ بِ َرك‬,
artinya : “Kalau pada suatu negeri orangnya beriman dan bertaqwa, maka Allah akan
membukakan pintu keberkahan yang datangnya dari manapun, kalau Allah sudah
memberikan keamanan, keselamatan, kedamaian, ketentraman, akan tetapi kalau umat itu
berdusta atau mendustakan ayat-ayat Allah apakah langsung atau tidak langsung, maka
Allah akan menyiksa penduduk negeri itu”. Akhirnya dengan ini khatib sampaikan pesan
Allah dan Rasul-Nya, semoga kita diselamatkan oleh Allah dari fitnah dan bencana dunia
dan akhirat. 

Filed under: Tak Berkategori | Tinggalkan sebuah Komentar »

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi


Posted on Februari 11, 2008 by E-Center Istiqlal

(Intisari khutbah Jum’at tanggal, 10 Maret 2006 M / 10 Shafar 1427 H)

Oleh : Prof.KH. Ali Musthapa Yaqub, MA 

Hari-hari ini ramai dibicarakan orang, tentang Rencana Undang-Undang tentang Pornografi
dan Porno Aksi, RUU APP, banyak yang mendukung tetapi ada juga yang menolak. Yang
menolak, mereka beranggapan karena undang-undang ini nantinya akan mengekang
kebebasan, mengekang kebebasan berekpresi, alias melanggar hak-hak azasi manusia.
Mereka juga mengusung isu-isu yang sebenarnya tidak berkaitan dengan substansi dari
pada RUU APP ini, misalnya isu bahwa undang-undang ini berlawanan dengan budaya-
budaya lokal karena sebagian masyarakat Indonesia sebagian masih ada yang mandi di kali
tidak berpakaian dan sebahagian masyarakat Indonesia masih memakai koteka.

Inilah beberapa isu yang diangkat oleh orang-orang yang menentang RUU APP ini.Boleh jadi
mereka itu belum pernah membaca teks rancangan undang-undang anti pornografi dan
pornoaksi, atau memang sengaja mengusung isu-isu yang sebenarnya tidak ada kaitannya
dengan substansi rancangan undang-undang itu. Apabila RUU disahkan orang – orang itu
merasa dirugikan karena sekarang ini  merekalah  yang mengeruk keuntungan dengan
adanya pornografi dan pornoaksi.Rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi
itu, sama sekali tidak ada kaitanya dengan orang yang mandi di kali, tidak ada kaitan
dengan orang yang memakai koteka, dan tidak ada kaitan dengan turis-turis yang berjemur
di pantai Kute Bali.

Karena dalam pasal satu Rancangan Undang-Undang itu menyebutkan apa yang disebut
pornografi. Pornografi substansinya dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk
menyampaikan gagasan – gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan dan erotica.
Jadi di sini ada dua unsur, yang pertama adalah substansi dalam media masa dan yang
kedua adalah usaha mengeksploitasi sexsual, maka kalau ada orang berjemur di pantai, itu
tidak termasuk dalam pengertian pornografi, kalau ada orang mandi di kali itupun tidak
termasuk dalam pengertian pornografi. Kecuali kalau dia mandi tidak berbusana di tengah
alun-alun dalam rangka mempertontonkan kebugilannya, itu masuk dalam pengertian
pornoaksi, yaitu pasal dua yang mengatakan, pornoaksi adalah suatu perbuatan
mengeksploitasi perbuatan kecabulan atau erotika di muka umum.

Sebab itu, orang yang mandi di kali tidak termasuk yang dilarang oleh undang-undang ini,
begitu juga orang memakai koteka, yang dilarang adalah ada orang mandi kemudian
dipotret, direkam, divideokan, kemudian videonya dipublikasikan itulah pornografi, bahkan
dalam konteks ini ibadahpun bisa juga masuk dalam pornografi, hubungan intim antara
suami dan isteri adalah termasuk ibadah, tetapi ketika hubungan suami isteri itu direkam
dengan video atau alat-alat komunikasi, kemudian dipublikasikan maka hubungan suami
isteri itu menjadi sebuah pornografi karena penyebar gambar tersebut atau suami istri
melakukan hubungan sexsual di alun-alun dan dipertotonkan oleh orang banyak, maka itu
termasuk pornoaksi.

Beberapa gelintir manusia mengangkat dan membesar-besarkan masalah ini, bahkan ada
yang mengatakan bahwa RUU APP ini adalah wujud dari Piagam Jakarta, penerapan hukum
Islam, padahal tidak ada satu huruf pun yang menyebutkan kata Islam, dan tidak satu
hurufpun menyebutkan kata syari’at Islam. RUU APP memang masih jauh dari substansi
hukum Islam, tetapi andai kata ini disahkan dan diterapkan, mudah-mudahan ini dapat
dipakai sebagai alat untuk mencegah kemungkaran yang semakin meraja rela. Sejak
kurang lebih tujuh tahun yang lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) sering mendapatkan
protes dari masyarakat, karena banyaknya tayangan-tayangan di televisi yang mengumbar
aurat dan mengexploitasi kemungkaran.

MUI merespon protes-protes ini, kemudian berkonsultasi dengan pihak Kapolri, namun
pihak kepolisian sulit untuk menyeret pelaku-pelakunya itu, karena belum ada undang-
undang yang melarang perbuatan tersebut. MUI  akhirnya pada tahun 2001 mengeluarkan
fatwa tentang keharaman pornografi dan pornoaksi, ternyata ada beberapa gelintir manusia
yang akan merusak moral bangsa Indonesia dan tahun 2002 muncul tarian ngebor
distasion-stasion televisi, ini jelas sekali memang ada otak intelektual yang bermain di
belakangnya. Seorang yang tinggal di desa dengan modal ngebornya langsung mencuat ke
arena panggung nasional bahkan kemudian ke arena internasional.

Karena itu kaum muslimin –tentunya- semuanya mendukung disahkanya RUU APP ini,
beberapa organisasi wanita, seperti KOWANI, WANITA ISLAM, MUSLIMAT NAHDATUL
ULAMA, PERWANAS (Perasatuan Wanita Nasional) semua telah menyatakan mendukung
rancangan undang-undang ini untuk disahkan menjadi undang-undang.Kalau segelintir
manusia atau organisasi perempuan yang menolak undang-undang ini atau rancangan
undang-undang ini, apalagi kalau dia yang membawa organisasi bendera Islam, maka kita
perlu mempertanyakan keIslaman orang tersebut, atau keIslaman organisasi tersebut.

Kita teringat satu tahun yang lalu persis tanggal 18 Maret 2005, DR. Aminah Wadud
mensponsori dan melaksanakan sholat Jum’at dengan khotib dan sholat dilaksanakan oleh
seorang wanita. Ternyata siapa di belakang Aminah Wadud, adalah LSM Wanita di Amerika,
yang bernama Muslim Women Fredom Toor, satu organisasi LSM di Amerika yang dipimpin
oleh Astroyu Mane, seorang wanita kelahiran India. Cita-cita dari Women Muslim Fredom
Toor ini salah satunya yang akan diperjuangkan adalah tentang hak wanita muslimat di
tempat tidur. Pada point delapan menyebutkan: “wanita muslimah tidak boleh dikenakan
hukuman apapun apabila ia melakukan hubungan sexsual dengan pria dewasa atas dasar
suka sama suka”.

Oleh karena itu waspadailah pada gerakan-gerakan yang membawa bendera Islam tetapi
sejatinya, gerakannya adalah gerakan kafir. Waspadailah pula kalau di Indonesia ada
gerakan-gerakan yang membawa bendera Islam tetapi sejatinya yang diperjuangkanya
adalah hal-hal yang justru berlawanan dengan Islam.

Filed under: Tak Berkategori | Tinggalkan sebuah Komentar »

Dambaan Keluarga Sakinah Menuju Rumahku Surgaku


Posted on Februari 11, 2008 by E-Center Istiqlal

(Intisari khutbah Jum’at, 3 Maret 2006 M / 3 Shaffar 1427 H)

Oleh : Drs.H. Zulkifli Rahman, SH.MH

 Setiap orang yang berumah tangga siapapun orangnya pasti menginginkan rumah
tangganya menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Inilah inti do’a yang
diaminkan segenap undangan ketika juru do’a memimpin do’anya pada setiap walimatul
‘ursy (saat pesta perkawinan). Keluarga sakinah merupakan langkah awal untuk
menyongsong kehidupan abadi, yaitu kehidupan surgawi di akhirat yang sakinah, hanya
disediakan untuk orang-orang yang berjiwa sakinah dan hidup dengan sakinah. Allah SWT

menggambarkan dalam Al-Qur’an : ً‫اضيَة‬


ِ ‫ىربِّ ِك َر‬ ُ ‫يَآأَيَّتُ َهاالنَّ ْف‬
َ َ‫اِ ْر ِج ِعي إِل‬.ُ‫س ا ْل ُم ْط َمئِنَّة‬
‫واد ُْخلِي َجنَّتِي‬.‫ي‬ ِ ‫فَاد ُْخلِي‬.ً‫ضيَّة‬
َ ‫ِفىعبَا ِد‬ ِ ‫ َم ْر‬, artinya : “Wahai jiwa yang tenteram.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridho dan diridhoi. Lalu masuklah ke dalam kelompok
hamba-hambaku yang shaleh dan masuklah ke dalam surga Ku” (QS. 89 Al-Fajr : 27-30).
Keluarga sakinah merupakan langkah awal membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sakinah.  Rumah tangga merupakan unit terkecil dari kehidupan berbangsa
dan bernegara. Kondisi bangsa dan negara sangat ditentukan oleh kondisi rumah tangga.
Karena itu rumah tangga yang rusak akan menyebabkan bangsa dan negara rusak/kacau
dan terpuruk. Sebaliknya rumah tangga sakinah akan membawa kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sakinah.

Allah mengisyaratkan dalam surat 90 Al-Balad: 1-3 artinya: “Tidak begitu, Perhatikanlah
negeri ini, sedang engkau sendiri bertempat tinggal di negeri ini, dan juga Bapak beserta
Anak”.Keluarga sakinah bertujuan mendapatkan keturunan/generasi yang ideal; beriman,

bertaqwa, cerdas, berakhlak karimah dan ْ‫قُ َّرةُ اَ ْعيُن‬, sebagaimana do’a yang diajarkan
‫ين إِ َما ًما‬
Allah : ْ ‫او ُذ ِّريَّاتِنَاقُ َّرةَ أَ ْعيُ ٍن َو‬
َ ِ‫اج َع ْلنَالِ ْل ُمتَّق‬ ِ ‫َربَّنَا َه ْب لَنَا ِمنْ أَ ْز َو‬
َ َ‫اجن‬
, artinya : “Ya
Tuhan kami anugerahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami dan anak cucu
kami sebagai penyejuk mata dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang
bertaqwa” (QS. 25Al-Furqon : 74).

Generasi seperti tersebut dalam ayat do’a di atas bertumbuh kembang dari keluarga
sakinah. Generasi seperti itulah yang kini sedang kita dambakan dalam rangka
mengantisipasi KRISIS DEMORALISASI yang sedang melanda masyarakat kita, terutama di
kalangan generasi muda kita. Banyak berita-berita setiap hari tentang adanya masalah-
masalah yang actual, yang memang disebabkan dari akibat pengaruh-pengaruh adanya
PORNOGRAFI dan PORNOAKSI, bahkan konon akan terbit di Indonesia majalah PLAYBOY,
kemudian adanya korban-korban NARKOBA dan lain sebagainya.

Memang ada tangan-tangan jahil yang bermaksud jahat untuk meruntuhkan bangunan
Islam, dimulai dengan menghancurkan generasi muda/generasi pewaris. Bagaimana usaha-
usaha kita, apa dibiarkan saja RUSAK dan HANCUR, generasi ini sementara menanti dan
menanti RUU Anti Pornografi / Pornoaksi saja belum juga disyahkan. Menurut Harian
Republika kemarin  tanggal. 2/3-06 hal. 5 bahwa RUU APP tersebut mengalami deadlock
dan diduga ada kepentingan KAPITALIS GLOBAL yang mencoba menggagalkan penyusunan
RUU-APP lewat perpanjangan tangannya di Indonesia.

Sebagai muslim tentu kita telusuri ajaran Islam yaitu back to basic. Karena itu untuk
menciptakan keluarga sakinah itu, perlu beberapa hal sejak awal-awalnya demi menuju

‫ىجنَّتِى‬
َ ِ‫ بَ ْيت‬, kata Nabi “Rumahku Surgaku” yaitu antara lain :
I)          Harus ada kesamaan aqidah suami – isteri. Oleh karena itu faktor niat untuk
menikah dan memilih pasangan harus didahulukan : niat ibadah dan karena agama, sebab
yang seagama, Insya Allah akan selamat, (lihat QS.2:221).

II)         Seluruh anggota keluarga harus berakhlakul karimah, terutama dalam hal berkata-
kata yang benar. Karena besar sekali dampaknya dalam kehidupan berrumah tangga. Allah
berfirman, artinya : “Dan berkata-katalah dengan baik / tepat. Niscaya Allah akan
memperbaiki perilakumu yang sangat bermanfaat bagi kamu dan Allah mengampuni dosa-
dosa kamu…” (QS. 33 Al-Ahzab : 70 – 71)

III)       Harus ada kemauan memahami dan mengamalkan syari’at Islam, terutama tentang
batasan HALAL dan HARAM. Dengan demikian seluruh aktivitas yang dilakukan oleh anggota
keluarga, baik di dalam maupun di luar rumah, ketika bekerja maupun sedang istirahat,
ketika beribadah maupun sedang bermain-main, tidak ada yang menyimpang dari riil
syari’ah. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW: ‫ت َخ ْيرًافَقَّهَهُ ْم ِفىال ِّدي ِْن‬
, ٍ ‫اِ َذااَ َرا َدهللاُ اَ ْه َل بَ ْي‬
artinya : “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada Pembina Rumah Tangga, maka Allah
akan memberikan pemahaman tentang agama kepada mereka” (HR. Bukhari).

IV)      Harus ada saling pengertian. Setiap Manusia tidak luput dari kekurangan. Demi
keharmonisan Rumah Tangga, kekurangan itu harus dieliminasi dan diantisipasi sejak dini
dengan menumbuhkan saling pengertian, terutama antara suami isteri. Hal ini diisyaratkan
Allah dalam Surat Al-Baqarah : 228, artinya : “Perempuan (isteri) mempunyai hak
seimbang dengan kewajiban-kewajiban atas mereka dengan cara-cara yang baik”.

V)       Harus ada kepemimpinan dan ketaatan kepada pimpinan. Dalam hal ini
kepemimpinan dibebankan kepada laki-laki (suami), sedangkan isteri harus patuh. Namun
semuanya harus dalam batas-batas ‘alal birri wat taqwâ. Allah SWT berfirman dalam Surat
ke-4, An-Nisa ayat 34, artinya : “Laki-laki (suami) adalah pengurus atas perempuan
(isteri), lantaran Allah telah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain, dan
lantaran suami harus menafkahkan isteri dari harta-harta mereka. Maka isteri-isteri yang
sholihah adalah isteri-isteri yang patuh dan menjaga diri ketika suami tidak berada di
rumah dengan aturan yang telah ditetapkan Allah”.Demikianlah khutbah singkat ini, semoga
Allah menjadikan kita mampu membangun Rumah Tangga kita sakinah untuk menuju
“rumahku surgaku”. Amin. 

Filed under: Tak Berkategori | Tinggalkan sebuah Komentar »

Internalisasi Nilai-Nilai Islam
Posted on Februari 11, 2008 by E-Center Istiqlal
(Intisari khutbah Jum’at, 24 Februari 2006 M / 25 Muharam 1427 H)

 Oleh : Prof.DR.H.Moh. Ardani 

Dalam Islam, latihan rohani yang diperlukan manusia diberikan dalam bentuk ibadah.
Semua ibadah dalam Islam, baik dalam bentuk shalat, puasa, zakat, maupun haji,
bertujuan untuk membuat rohani manusia agar tetap ingat kepada Allah dan bahkan
merasa senantiasa dekat pada-Nya. Keadaan senantiasa dekat pada Allah Yang Maha Suci
dan dapat mempertajam rasa kesucian yang selanjutnya menjadi rem bagi hawa nafsunya
untuk melanggar nilai-nilai moral, peraturan dan hukum yang berlaku.Dalam ibadah terjadi
kontak kegiatan jasmani dan rohani. Ibadah merupakan tanggapan batin yang tertuju
kepada Allah namun dibarengi dengan amal perbuatan yang bersifat lahir, yang dilakukan
oleh gerak-gerik jasmani.

Ibadah secara lahiriah dan batiniah seperti itu dapat difahami dari aspek pembawaan hidup
manusia sendiri yang bersifat dualistis yang terdiri dari dua unsur jasmani dan rohani
seperti disebut di atas. Kedua unsur itu menyatu dalam diri manusia.Manusia adalah
jasmani yang dirohanikan; dan manusia seutuhnya adalah rohani yang telah menjasmani,
maka badan manusia bukan hanya materi semata-mata atau kejasmanian saja. Seluruh
jasmani manusia dan segala gejalanya tidak sama dengan jasmani binatang, karena
kejasmanian manusia adalah jasmani yang dirohanikan dan di dalam jasmani itu terdapat
roh yang menjasmani.
Oleh karenanya tidak mengherankan jika peristiwa-peristiwa yang dialami manusia secara
jasmaniah akan mempengaruhi gerak batin dan rohaninya. Dan sebaliknya situasi rohani
seseorang juga akan tercermin dalam sikap dan tingkah laku lahiriah atau
jasmaniahnya.Dengan demikian manusia yang utuh diberi konsumsi ibadah yang utuh pula.
Dengan berbagai ucapan dan perbuatan dalam ibadah, rasa rohaniah dan rasa moral
menjadi lebih tajam. Lebih lanjut segala peristiwa rohaniah manusia berpengaruh pada
jasmaninya yang menggejala dalam kehidupan lahiriahnya; dan demikian pula sebaliknya
peristiwa yang dialaminya secara jasmaniah berpengaruh pada rohaninya yang menggejala
dalam kehidupan rohaniahnya.

Ibadah dalam Islam sebenarnya bukan bertujuan supaya Allah disembah seperti
penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif. Kata ibadah yang berasal dari
‘abada’, sekalipun dapat diterjemahkan dengan menyembah, namun terjemahan ini
dipandang kurang tepat. Karena Tuhan yang disembah itu bukan saja ditakuti dan disegani,
tetapi juga dikasihi dan disayangi.

Memang betul dalam surat Al Dzariat ayat 56, terdapat kata liya’ budûni dalam rangkaian

ayat   َ ‫و َما َخلَ ْقتُ ا ْل ِجنَّ َو ْا ِإل ْن‬.


ِ ‫س إِالَّ لِيَ ْعبُد‬
‫ُون‬ َ
 , yang berarti “agar mereka beribadat
kepada-Ku. Tetapi dalam konsep Islam, Allah adalah Dzat Yang Maha Esa, Maha Kuasa
(Wâhid, Qadîr) di samping Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun (Rahmân, Rahîm
dan Ghafûr), maka kata liya’budûni lebih cocok diterjemahkan dengan “agar mereka tunduk
dan patuh kepada-Ku”.

Maka Allah tidak harus dijauhi dan ditakuti, tetapi Allah harus didekati dan disayangi,
karena ia memang dekat dan sayang kepada manusia. Dengan demikian arti ayat tersebut
ialah : “Tidak Ku-ciptakan jin dan manusia kecuali untuk tunduk dan patuh kepada-Ku”. 

Menghayati Akidah Ibadah dan Akhlak

Karena manusia mempunyai kesadaran batin, maka semua gerak tingkah lakunya,
seharusnya mempunyai kontak dengan batinnya. Seperti dikemukakan terdahulu bahwa
ibadah itu mengandung aspek latihan spiritual untuk mendapatkan kesucian, dan aspek
latihan moral. Dengan demikian ibadah itu selain berfungsi untuk berbakti kepada Allah,
juga membawa efek kesucian lahir batin, menjadikan orang baik yang jauh dari noda-noda
kejahatan.Dengan penghayatan demikian diharapkan system nilai yang menyangkut
keimanan, berpadu dengan system norma yang menyangkut syari’at yang di dalamnya
termasuk ibadah.

Rupa-rupanya nilai-nilai iman yang dihayati dengan ibadah akan menebalkan iman. Dan
norma-norma syari’at yang termasuk di dalamnya ibadah, jika dihayati dengan baik, akan
membawa kesucian yang berpengaruh pada moral.Betapa pentingnya aspek spiritual dalam
ibadah itu, yang disebut dengan kata khusyu’ atau dzikir, seperti diisyaratkan dalam ayat Al

‫ون‬ ِ ‫صالَتِ ِه ْم َخ‬


َ ‫اش ُع‬
qur’an :  َ ‫ين ُه ْم ِفي‬ َ ُ‫قَدْأَ ْفلَ َح ا ْل ُم ْؤ ِمن‬.
‫الَّ ِذ َـ‬.‫ون‬  , artinya : “Sesung-
guhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam
shalat mereka” (QS. Al-Mukminun 1-2).

Shalat yang khusyu’ adalah shalat yang disertai dengan kesadaran batin, patuh dan
merendahkan diri dihadapan Tuhan Yang Maha Agung. Sedangkan dzikir berarti ingat,
sadar, dan tidak lalai.Dengan menjalin semangat ajaran antara syari’at dan tarekat dalam
kegiatan ibadah, akan tercapai hakekat muslim, yang seharusnya memiliki sifat-sifat : suci
hati dan perbuatannya, jujur, dapat dipercaya, tidak menyukai kemewahan, rajin bekerja,
tabah, sabar, syukur, rela, menerima dan sebagainya

Anda mungkin juga menyukai